Jumat, 07 Maret 2014

Menyikapi Fatwa Para Ulama

Sangat jelas perbuatan itu sebuah kemungkaran. Semua sepakat bahwa meminum khamr haram hukumnya. Tapi entah kenapa orang yang telah dianggap guru nan ‘alim itu sama sekali tak tergerak hatinya untuk menasehati pemuda-pemuda jalanan Tartar agar berhenti dari mengkonsumsi minuman kharam tersebut. Ia biarkan. Bahkan ketika para muridnya hendak bernahi munkar, niatan itu ia cegah.

Entahlah, murid-muridnya sendiri heran. Guru yang selalu mengajarkan amar ma’ruf nahi munkar itu, kali ini benar-benar membingungkan. Bagaimana mungkin kemungkaran di depan mata ia diamkan begitu saja? Tidakkah ia ingat sabda sang Nabi;

“Man ra’a minkum munkaran fal yughayyirhu biyadih”?

Tidak. Ia tidak mungkin lupa. Tapi kenapa?
Mungkin kita pernah mendengarkan fatwa seorang ulama atau menyaksikan jawaban seorang ustadz, kyai, atau bahkan guru ngaji di kampung atas sebuah persoalan yang ditanyakan dan diajukan kepadanya. Kita dikagetkan oleh jawaban sang ulama tersebut. Jawabannya sungguh sangat bertentangan dengan nash-nash yang sahih dan mungkin sekaligus sarih.

Komentar-komentar yang muncul terhadap fatwa seperti ini biasanya beragam. “Fatwa bodoh dan tolol”, komentar seorang penuntut ilmu belia. Terhadap bahasa arab ia baru saja bisa mengeja. Ia adalah murid majalah, buku terjemah, dan kajian-kajian yang seringkali berisi ghibah. Semangatnya memang menyala-nyala. Namun sayang ilmu yang ia peroleh belumlah menjadi lentera. Minimal, untuk hatinya yang sebenarnya gelap gulita.

“Kok bisa?”, komentar yang wajar. Sebuah pertanyaan menggugat. Ada ketidakrelaan hati ketika hukum agama ternodai. Itu karena ilmu mengenai fatwa belum juga ia mengerti. Padahal fatwa itu sama sekali tidak serta merta keluar seenak hati. Komentator semacam ini, seharusnya memang masih harus lanjut lagi mengaji.

“Kita harus tahu latar belakang fatwa tersebut sebelum menghakimi”. Inilah komentar penuntut ilmu sejati. Ia memang sangat hati-hati. Terhadap ulama ia tak akan berani memaki dan mencaci. Apalagi ia tahu bahwa karena beberapa faktor, bisa saja keluar fatwa semacam ini. Ia juga mawas diri. Sebelum berkomentar terhadap sang ‘ulama seharusnyalah ia terlebih dahulu ngaca.

Kisah pada paragraf pertama bukanlah cerita fiktif yang mengada-ada. Ia adalah fakta. Cerita tersebut adalah pelajaran berharga bagi mereka yang masih memiliki akal dan rasa.

Ya, khamar memang haram. Tapi untuk sebuah kemaslahatan, kondisi mabuk justru lebih baik. Mabuk bisa menimbulkan rasa aman. Mabuk menciptakan ketenangan. Kondisi seperti inilah yang dipilih oleh Imam Ibnu Taimiyah. Mabuknya kaum Tatar di atas adalah keamanan dan keselamatan bagi jiwa raga kaum muslimin.

Sebab, dalam pandangan sang imam, kesadaran mereka sungguh membahayakan. Akan ada banyak darah tertumpah dan jiwa yang melayang dari kaum muslimin. Padahal hifzdhu an-nafs adalah salah satu dari maqasid as-syyaria’ah. Disini, diamnya sang imam terhadap sebuah kemungkaran sama sekali tak boleh dicela.

“Tidak mengapa, silahkan saja”.

Demikianlah jawaban seorang da’i, ketika ditanya seseorang yang mencintai shalat tapi dia tidak suka berwudhu. Berwudhu baginya sungguh memberatkan dan merepotkan. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana bisa lima kali sehari ia harus mengulang-ulang bersentuhan dengan air. Alasan si penanya sederhana; “Lagi pula saya sudah mandi dua kali sehari”. Tak ada kotoran di badan, begitu pikirnya.

Jawaban “tidak mengapa” diatas tentu sangat bertentangan dengan fiqih.

Bagaimana dikatakan sah, jika ia shalat dalam keadaan berhadats? Tak satupun ‘ulama yang mengatakan bahwa shalat tanpa wudhu itu sah hukumnya. Namun kondisi psikologis si penanya, akan membuat tidak bijaksana kalau sang da’i mengatakan “tidak boleh”. Jawaban ini akan membuatnya malah semakin menjauh dari sholat. Ia akan semakin susah untuk diajak sholat. Pikirnya; Islam itu susah.

Dan ternyata, jawaban sang da’i memang tepat. Pengakuan si penanya bahwa ia mencintai shalat memang benar. Itu terbukti ketika ia semakin rajin untuk menunaikan kewajiban lima waktu itu. Dan hal itu dilakukannya tanpa berwudhu sebelumnya.

Setelah semakin tenggelam ia dalam kenikmatan shalat, dia mulai merasa; tidak etis rasanya saya hadir di depan-Nya dalam keadaan berhadats. Cinta kepada shalat itu kemudian menurunkan cinta kepada wudhu. Karena wudhu adalah cara agar ia suci yang merupakan syarat sah sholat.

Kalau saja sang da’i saat itu menjawab dengan fiqih an sich, entah apa yang akan terjadi dengan diri si penanya. Akankah ia serajin itu dalam shalatnya seperti sekarang ini? Untung saja, ia bertanya kepada seorang faqih yang benar-benar dalam ilmunya. Seorang faqih yang tidak hanya ‘alim fiqih ahkam, tapi juga tahu sebuah fiqih yang dikenal oleh para ‘ulama sebagai fiqhunnafsi. Sebagaimana yang disampaikan oleh Syaikh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al ‘Abbad dalam salah satu muhadharahnya.

Kalau saja kita tidak mengetahui latar belakang jawaban sang da’i, apakah komentar kita ketika mendengar bahwa ia membolehkan sholat tanpa wudhu pada seseorang?

Ada ‘ulama yang memfatwakan ke seseorang bahwa ia masih boleh bekerja di bank konvensional. Ada yang membolehkan seseorang memakan daging babi. Ada yang membolehkan sholat tanpa wudhu.

Kalau kita tidak mau tahu latar belakang keluarnya fatwa tersebut, apa komentar kita?


Sutomo Ibnu Abi Nashr, S.Sy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar