Senin, 03 Februari 2014

Fiqih dan Syariah

Secara bahasa, syariah bermakna sumber air. Sedangkan pengertian mudahnya dalam terminologi ulama, bisa difahami sebagai agama Islam beserta semua ajaran-ajarannya yang Allah turunkan kepada kita melalui Nabi-Nya. Ajaran-ajaran tersebut tertuang dalam Al Qur’an maupun As Sunnah. Ajaran-ajaran tersebut meliputi i'tiqadiyah (tauhid), khuluqiyyah (akhlak) dan amaliyah (aktivitas lahir). Itulah syariah.

Tentu saja antara makna bahasa (etimologi) dan makna terminologi dari kata syariah memiliki korelasi. Barangkali korelasi yang paling nampak adalah bahwa keduanya merupakan sumber kehidupan. Jika air merupakan sumber kehidupan jasmani, maka syariah adalah sumber kehidupan rohani. 

Fiqih Secara Bahasa

Adapun fiqih secara bahasa, kata ini bermakna faham. Sedangkan dalam istilah syar’i, maka secara mudah bisa diartikan sebagai pemahaman terhadap syariah diatas.

Namun yang perlu digarisbawahi disini adalah bahwa “pemahaman” yang dimaksud bukanlah pemahaman semua orang. Karena pemahaman disini adalah sebuah hasil dari proses panjang nan melelahkan dengan mengerahkan segala kemampuan dan keterampilan. Proses itulah yang dikenal dengan ijtihad.

Dan tidak berhenti sampai disini saja. Proses ijtihad tersebut hanya boleh dilakukan oleh mereka yang memiliki multi ketrampilan dalam mengolah sumber-sumber fiqih. Merekalah para mujtahid; manusia-manusia mulia yang memang memiliki semua perangkat ijtihad dan pirantinya.

Perlu diketahui juga, bahwa objek pembahasan fiqih yang sedang kita bahas ini, adalah fiqih dalam maknanya yang telah mengalami penyempitan hanya terbatas pada amaliyah saja. Inilah fiqih yang kita kenal sekarang. Sedangkan kajian seputar i'tiqadiyah, telah terpisah dan memiliki ruangnya sendiri dalam sebuah ilmu yang dikenal dengan aqidah. Adapun tema tentang khuluqiyyah, bisa kita jumpai dalam ilmu Tasawwuf.

Perbedaan Syariah dan Fiqih

Dengan melihat pengertian syariah dan juga fiqih yang sederhana diatas, bisa kita simpulkan bahwa syariah berbeda dengan fiqih. Sisi-sisi perbedaan tersebut bisa kita himpun dalam beberapa poin berikut :

1. Syariah tak akan pernah salah.

Syariah tak akan pernah salah, karena ia merupakan paket yang langsung diturunkan oleh Allah SWT. Sedangkan fiqih mengandung kemungkinan benar dan salah. Karena ia adalah pemahaman manusia terhadap syariah itu.

2. Syariah lebih umum dan luas

Syariah lebih umum dan luas cakupannya dari pada fiqih. Kalau syariah meliputi aqidah, akhlak dan amaliyah. Sedangkan fiqih hanya mencakup sisi amaliyah saja.

3. Syariah bersifat mengikat untuk semua manusia.

Syariah bersifat mengikat untuk semua manusia. Maka siapapun yang telah melengkapi syarat-syarat taklif, wajib mengikuti aturan syariah. Baik aturan aqidah, akhlaq maupun ibadah. Sedangkan fiqih yang merupakan pemahaman para mujtahid itu, maka tidaklah mengikat.

Hasil kesimpulan fiqih seorang mujtahid tidaklah mengikat mujtahid lain untuk mematuhinya. Bahkan kesimpulan fiqih juga tidaklah mengikat seorangpun muqallid. Jika si muqallid ini mendapati kesimpulan mujtahid lain yang ingin diikutinya, ia boleh melakukannya.

4. Syariah bersifat tetap dan tak berubah.

Syariah bersifat tetap dan tak berubah. Sedangkan fiqih bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat, kondisi, dan lain-lain. Perlu dicatat disini, bahwa perubahan fiqih -karena adanya salah satu atau beberapa faktor tadi- hanya boleh terjadi atas rekomendasi seorang mufti atau mujtahid.

Dari beberapa perbedaan diatas, ada satu hal yang tentu kita sepakati bersama bahwa hasil pemahaman para mujtahid itu ternyata ada kemungkinan benar dan ada kemungkinan salah. Pada saat hasil kesimpulan seorang mujtahid sesuai dengan  apa yang Allah SWT kehendaki, maka ia benar dan mendapatkan dua pahala. Ia tepat sesuai dengan syariah Allah SWT. Dan itulah syariah.

Namun, pada saat hasil ijtihad tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT, maka ia tidaklah berdosa.  Justru ia akan tetap mendapatkan reward, meski hanya satu pahala. Pertanyaannya adalah apakah hasil kesimpulan fiqih yang salah itu adalah syariah?

Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar mengatakan bahwa ia tetaplah fiqih namun bukan syariah. Disebut fiqih karena itu hasil ijtihad, dan tidak bisa disebut syariah karena ijtihad tersebut meleset dari titik kebenaran yang Allah kehendaki.

Secara global, sebenarnya hasil kesimpulan-kesimpulan fiqih para mujtahid -terlepas dari benar dan salahnya- tetaplah bagian dari syariah. Karena ijtihad itu sendiri merupakan bagian dari syariah. Dalam kisah yang sudah cukup populer, nabi SAW yang merupakan penyampai syariah itu, pernah menyetujui apa yang dilakukan oleh Muadz ibn Jabal dalam berijtihad. 

Tentu saja persetujuan Nabi merupakan syariah. Terlepas dari ijtihad Muadz nantinya benar atau salah, tepat atau meleset dari titik kebenaran, aktivitas Muadz sudah mendapatkan legalitas syar’i. “Al Hamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusannya Utusan Allah SWT”

Begitulah legalitas wahyu keluar dengan cukup jelas dari lisan sang Nabi SAW. Dan lagi, Allah SWT malah memberikan pahala kepada mujtahid meski dia salah. Tentu saja pemberian pahala tidak akan diberikan kecuali pada hal-hal yang sesuai syariah.

Namun, ketika kita melihat tiap kesalahan dalam hasil kesimpulan ijtihad-ijtihad fiqih itu secara parsial, satu per satu, ijtihad per ijtihad, maka hasil itu bukanlah syariah. Meski proses perjalanan menuju kepada kesimpulan itu sudah mendapatkan legalitas syar’i, namun kita tentu sudah paham bahwa syariah tak akan pernah memiliki sifat salah ataupun keliru.

Sedangkan kalau kita menyebutnya sebagai fiqih, maka kesalahan tersebut akan dinilai sebagai hal yang sangat wajar dan mungkin saja terjadi pada sebuah hasil kesimpulan kerja akal manusia.

Klaim Paling Sesuai Syariah

Yang sering menjadi titik permasalahan adalah adanya klaim paling sesuai syariah yang dilakukan oleh sebagian pengikut masing-masing madrasah fiqih. Padahal kebenaran dan juga kesalahan sebuah hasil ijtihad adalah perkara rahasia yang hanya Allah SWT saja yang Maha Mengetahui akan hakikatnya.

Kerahasiaan itulah yang disadari betul oleh para mujtahid. Namun yang cukup mengherankan adalah banyak sekali yang malah tidak mau menyadarinya, padahal mereka bukanlah mujtahid. 

Ijma'

Hanya ada satu media yang Allah karuniakan kepada kita untuk mengetahui kebenaran hasil ijtihad itu di dunia ini. Namun hal itu hanya terdapat pada hasil ijtihad kasus-kasus fiqih yang jumlahnya cukup terbatas. Media ini dikenal dengan nama Ijma.

Setiap permasalahan fiqih yang sudah masuk dalam wilayah ijma, maka kita bisa meyakini kebenarannya. Kita bisa meyakininya bahwa itulah syariah. Karena, ijma adalah panggung dimana kebenaran dan ketepatan ijtihad semua mujtahid itu dipentaskan. Sehingga para ulama setelah masa terjadinya ijma itu, bisa dengan jelas menyaksikan. 

Setiap mujtahid mutlak diwajibkan untuk mengetahui semua fiqih yang ada dalam wilayah ijma itu. Hal ini dimaksudkan agar ia tidak perlu repot-repot lagi melelahkan diri dalam sebuah aktivitas yang hasilnya sudah final. Jika hasilnya benar dan sesuai ijma maka aktivitasnya tak menambah nilai apa-apa. Apalah lagi jika salah, penyelisihannya terhadap ijma ini akan dianggap sebagai dosa.

Setelah mengetahui wilayah ijma, maka semua permasalahan fiqih yang berada di luar wilayah tersebut adalah wilayah rahasia yang tidak pernah diketahui benar dan salahnya atau tepat dan melesetnya.

Kesimpulan Fiqih

Apa yang para mujtahid lakukan kemudian hanyalah berusaha mengambil kesimpulan hukum fiqih sesuai dengan konsekwensi setiap dalil dan hujjah yang mereka ketahui. Mereka melakukan aktivitas ijtihad itu dengan tetap menyadari bahwa kesimpulan fiqihnya nanti bisa saja tepat dan itulah syariah, namun bisa juga salah dan itulah ijtihad fiqih.

Maka, sekali lagi hasil kesimpulan fiqih memang belum tentu syariah. Namun kita sama sekali tak dilarang untuk menjadikan fiqih sebagai panduan beribadah. Kita sangat boleh dan sah-sah saja beribadah kepada Allah SWT dengan berpanduan hasil atau produk akal manusia itu.

Namun, ia bukan sekedar hasil produk akal. Fiqih adalah produk akal yang merupakan pemahaman para mujathid yang aktivitasnya merupakan perintah syariah. Sehingga hasilnya yaitu fiqih, secara global merupakan bagian dari syariah.

Dengan kesadaran akan makna fiqih seperti itulah, para ulama salaf terdahulu sangat tidak berani untuk mengatakan bahwa ra’yu (pendapatnya) adalah agama atau syariah.

Imam Syafi’i dengan segala kerendahan hatinya mengatakan, “Ra’yi..” (pendapatku) dan bukan “inilah sifat ibadah Nabi”.

Umar ibn Al Khattab -ketika seseorang hendak menulis pendapatnya dengan redaksi, “inilah hukum yang Allah ilhamkan kepada Amir Al Mu’minin”- beliau menolak dengan mengatakan, “tulislah; ini pendapat Umar, jika benar maka itu dari Allah, jika salah maka dari Umar ”.

Abu Bakr Ash-shiddiq  radhiyallahuanhu juga memiliki cerita yang hampir sama. Beliau pernah berpendapat dalam kasus Kalalah. Beliau mengatakan, “Dalam kasus ini, Aku menggunakan pendapatku. Jika benar dari Allah SWT, jika salah maka dari kesalahanku dan juga syaitan. Allah SWT dan Rasul-Nya terlepas dari kesalahan tersebut” 

Para ulama terdahulu tidak ada yang menulis buku atau kitab-kitab mereka dengan judul-judul yang terkesan mengklaim bahwa bukunya adalah sunnah atau syariah yang sahih. Mereka selalu menulis dengan judul yang menunjukkan pengakuan akan segala kekurangan. Fathul Qarib, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab, Fathul Qadir dan dengan model judul-judul yang lain.

Hal itu karena mereka sadar bahwa ini semua hanyalah petunjuk yang dianugerahkan Allah SWT -yang Maha Al Qarib, Al Mu’in, Al Wahhab, Al Qadir- dalam menuliskan kitabnya.

Tarjih Hanya Kesimpulan Fiqih

Meski banyak juga diantara mereka yang melakukan tarjih terhadap perbedaan-perbedaan pendapat tersebut, namun mereka selalu sadar bahwa tarjih tersebut “hanyalah” kesimpulan fiqih dan belum tentu syariah. sehingga mereka akan mengakhiri setiap bab, pasal, atau kitabnya dengan; Wallahu A’lam.

Barangkali itulah jawabannya mengapa kita tidak pernah mendapati nama-nama kitab fiqih ulama terdahulu dengan nama  dan juga isi yang mengesankan seolah itulah yang paling sahih dan paling sesuai dengan semua sifat peribadahan nabi.

Barangkali hal ini berangkat dari kesadaran bahwa mereka tidak pernah bertemu nabi, dan dengan adanya jarak yang membentang antara mereka dengan nabi, hasil ijtihad mereka bisa saja tepat dengan apa yang dicontohkan nabi, namun bisa juga meleset dari titik sunnah nabi yang sebenarnya. Bahkan yang hidup bersama nabi dan menyaksikan turunnya wahyupun kenyataannya bisa juga berbeda.

Dengan tetap meyakini bahwa para penulis kontemporer itu bersih dari motiv klaim paling sunnah atau paling sahih, tulisan ini lahir bukanlah untuk mengkritisi judul-judul kitab itu dan isinya. Tulisan ini hadir tidak lain hanya ingin menghilangkan efek yang timbul dari judul-judul buku semacam itu. Sebuah efek yang diakui atau tidak, merupakan penyakit yang jelas terlihat nyata, lumayan terasa, cukup menggemaskan, namun juga menantang untuk segera dicarikan obatnya.

Dengan munculnya buku-buku berjudul seperti itu, banyak sekali para pembaca awam kemudian dengan berani dan tak beradab menyalah-nyalahkan fiqih-fiqih para fuqaha salaf yang terdapat dalam fiqih At Taharah, fiqih As Shalat, fiqih Az Zakat, dan lain-lain. Padahal mereka juga sama-sama membaca. Membaca pemahaman para ulama. Membaca fiqih, dan belum tentu syariah.

Jika saja kesadaran akan makna fiqih dan syariah itu mereka miliki, tentu penyakit semacam itu sedikit terobati. Dan sebagai bagian dari kesadaran itu, tulisan ini juga tidaklah diakui sebagai bagian dari fiqih, apalagi syariah. Karena penulis bukanlah mujtahid yang hasil kesimpulan ijtihadnya terangkum dalam fiqih. Jika tulisan ini benar, maka itu dari Allah SWT, dan jika salah maka itu murni kesalahan penulis.

Wallahu A’lam


Sutomo Ibnu Abi Nashr, Lc

Kembali ke Al-Quran Agar Terhindar Dari Khilafiyah?

Dalam sebuah rapat pendirian satu ormas Islam yang dihadiri oleh banyak tokoh Islam, saya diminta memperkenalkan diri dengan menyebutkan bidang keilmuan dan aktifitas sehari-hari.

Saat itu dengan polos saya bilang bahwa ilmu yang saya tekuni adalah ilmu fiqih, khususnya fiqih perbandingan mazhab. Dan aktifitas saya banyak tercurah di Rumah Fiqih Indonesia. Sehari-hari kami melakukan berbagai penelitian terkait dengan hukum-hukum syariat, termasuk juga berbagai perbedaan pendapat ulama.

Saat itu spontan ada yang nyeletuk, mungkin sambil guyon,"Wah, berarti tiap hari mengurus masalah khilafiyah, tuh". Yang lain juga ikutan nyeletuk,"Hari gini kok masih saja bicara perbedaan pendapat, ustadz?". Hadirin yang lain ikut tertawa meski agak ditahan, saya tidak tahu maksudnya mentertawakan siapa.

Saya jawab saat itu,"Kebetulan dulu saya kuliah di Fakultas Syariah Jurusan Perbandingan Mazhab. Disana kita memang bicara tentang komparasi perbedaan pendapat hukum-hukum fiqih di antara para ulama dan mujtahidin".

Dari sepenggal kisah itu, saya sedikit mendapat masukan bahwa ternyata masih banyak kalangan yang memandang ilmu fiqih, khususnya tentang ikhtilaf dan perbandingan mazhab, dengan sebelah mata. Dan kesan yang saya tangkap memang banyak kalangan yang kurang lengkap pemahamannya.

Sedihnya lagi, yang mempertanyakan hal di atas bukan dari kalangan orang awam, tetapi mereka yang dikenal sebagai da'i dan aktifis dakwah.


* * *

Pada kala yang lain, ada satu teman sesama ustadz yang penasaran bertanya kepada saya. Atau mungkin lebih tepatnya mempertanyakan. Sebut saja namanya Ustadz Abdul. Beliau bertanya begini kepada saya :

"Ustadz, bukankah kita ini butuh persatuan umat agar bisa kuat?. Namun kalau saya perhatikan, materi-materi ceramah antum masih saja berkutat dengan masalah-masalah furu'iyah yang banyak khilafiyahnya. Bukankah hal ini malah cenderung kurang produktif?. Mestinya kan kita tinggalkan saja semua masalah khilafiyah itu dan kembali ke Al-Quran. Bukankah Al-Quran itu menyatukan kita seluruh umat Islam?"

Agak bengong juga saya diberondong dengan pertanyaan seperti itu. Sudah panjang, pertanyaannya tajam dan menukik pula. Terpaksa harus saya jawab juga pertanyaannya.

"Saya amat setuju persatuan umat Islam. Dan saya 100% mendukung untuk kita berpegang teguh dengan Al-Quran. Dan saya pun juga tidak ingin umat Islam berpecah-belah dan saling caci maki, gara-gara meributkan masalah khilafiyah", jawab saya.

"Kalau memang begitu, lantas kenapa masih saja mengangkat masalah khilafiyah? Nanti umat jadi makin asyik berbeda pendapat dan semakin jauh dari Al-Quran?, tanya Ustadz Abdul lagi.

"Kalau masalah khilafiyah, rasanya tidak mungkin kita hindari. Jangankan dalam ilmu fiqih, bahkan di dalam Al-Quran sendiri pun tetap saja ada masalah khilafiyah", jawab saya.

"Ah, mana mungkin ya ustadz. Al-Quran kan kitab yang turun dari Allah SWT. Masa antum bilang di dalam Al-Quran terdapat masalah khilafiyah? Yang bener aja, ustadz", ujarnya bernada protes.

"Kalau antum tidak percaya, coba jawab pertanyaan saya ini : apakah lafadz bismillahirrahmanirrahim itu termasuk bagian dari surat Al-Fatihah atau bukan?", pancing saya.

"Hmm, sebenarnya ada yang bilang bukan bagian dari surat Al-Fatihah, sih. Tetapi menurut saya, termasuk bagian dari surat Al-Fatihah", jawabnya agak ragu.

"Jadi yang benar yang mana nih, bismillah itu bagian dari Al-Fatihah atau tidak?", begitu saya tegaskan. Dia diam agak lama sambil mikir.

"Sudah lah, jawabannya kan itu masalah khilafiyah di antara para ulama. Gampang saja jawabnya," potong saya.

"Iya juga sih kalau dipikir-pikir", jawabnya agak ragu.

"Nih, lagi jawab pertanyaan saja : berapa sebenarnya jumlah total seluruh ayat Al-Quran?", tambah saya.

"Ah, itu sih gampang, jawabnya enam ribu enam ratus enam puluh enam ayat", jawabnya mantab.

Saya balik bertanya,"Yakin nih antum jawabnya 6.666 ayat?".

"Lho memangnya bukan segitu? Kan dari kecil kita sudah dikasih tahu segitu. Lagian waktu masih duduk di Madrasah Ibtidaiyah dulu kan jadi soal ulangan. Dan kalau kita jawab segitu, pak gurunya membenarkan.

Saya bilang,"Ya, Ustadz Abdul. Untuk menetapkan berapa jumlah ayat Al-Quran, ternyata para ulama pun berbeda-beda jawabannya".

"Ah, masak sih? Yang benar nih antum?", tanya dia kurang percaya.

"Kalau kita telusuri, ternyata memang benar bahwa para ulama berbeda-benda ketika menghitung jumlah ayat Al-Quran. Menurut Nafi' yang merupakan ulama Madinah, jumlah tepatnya adalah 6.217 ayat. Sedangkan Syaibah yang juga ulama Madinah, jumlah tepatnya 6.214 ayat. Lain lagi dengan pendapat Abu Ja'far, meski juga merupakan ulama Madinah, beliau mengatakan bahwa jumlah tepatnya 6.210 ayat", sambung saya.

Ustadz Abdul masih agak bengong mendengarkan, saya sambung lagi,"Antum tahu Ibnu Katsir, kan?"

"Ya tahu, ulama ahli tafsir yang kitabnya termasyhur itu, Tafsir Ibnu Katsir", jawab Ustadz Abdul.

"Nah, kalau menurut hitungan Ibnu Katsir, jumlahnya ayat Al-Quran itu ada 6.220 ayat. Hasil hitungannya beda dengan hitungan ulama lainnya", ujar saya.

Ustadz Abdul mengangguk-anggukan kepala perlahan, tidak jelas maksudnya, apakah mengerti atau malah mungkin agak bingung.

"Lalu 'Ashim yang merupakan ulama Bashrah mengatakan bahwa jumlah ayat al-Quran ialah 6.205 ayat. Hamzah yang merupakan ulama Kufah sebagaimana yang diriwayatkan mengatakan bahwa jumlahnya 6.236 ayat. Dan pendapat ulama Syria sebagaimana yang diriwayatkan oleh Yahya Ibn al-Harits mengatakan bahwa jumlahnya 6.226 ayat", tambah saya.

"Jadi bagaimana kita bilang di dalam Al-Quran tidak ada perbedaan atau khilafiyah. Lha wong ngitung berapa jumlah ayatnya saja, para ulama sudah beda-beda", pancing saya.

Ustadz Abdul diam agak lama sambil dahinya berkerut dua belas lipatan, mungkin otaknya sedang dipaksa berpikir agak keras.

"Ini pertanyaan terakhir, silahkan jawab kalau antum bersedia dan tahu jawabannya", tiba-tiba saya berkata memecah kesunyian.

"Pertanyaannya apa? Mana soalnya?", ujar Ustadz Abdul penasaran.

"Sebutkan ayat mana yang terakhir kali diturunkan?', tanya saya.

"Wah itu sih kecil. Jawabnya ya ayat ketiga surat Al-Maidah. Al-Yauma akmaltu lakum dinakum dan seterusnya", jawab Ustadz Abdul dengan mantab.

"Jawaban antum sebenarnya tidak salah, tetapi perlu diketahui bahwa itu adalah salah satu jawaban dari sekian banyak jawaban para ulama", jawab saya.

"Maksudnya?", tanya Ustadz Abdul penasaran.

"Selain pendapat antum itu, ada beberapa pendapat yang berbeda terkait dengan ayat yang turun terakhir. Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa ayat yang terakhir turun adalah ayat riba, yaitu surat Al-Baqarah ayat 278 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ 

Sedangkan Al-Imam An-Nasa'i meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Said bin Jubair, bahwa ayat yang terakhir kalli turun adalah surat Al-Baqarah ayat 281:

وَاتَّقُوا يَوْماً تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ

Dan versi Said bin Al-Musayyib lain lagi. Menurut beliau ayat yang terakhir turun ayat tentang hutang piutang, yaitu surat Al-Baqarah ayat 282.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً فَاكْتُبُوهُ

Nah, siapa bilang dengan kembali ke Al-Quran dijamin tidak ada khilafiyah atau perbedaan pendapat?", kata saya mengakhiri percakapan dengan Ustadz Abdul.

* * *

Memang benar sekali. Baru bicara ayat pertama tentang bismillah, apakah termasuk bagian dari surat Al-Fatihah atau bukan, para ulama sudah berbeda pendapat. Terus menghitung jumlah total ayat Al-Quran, ternyata beda pendapat lagi. Dan menetapkan mana ayat yang terakhir turun, lagi-lagi beda pendapat.

Jadi kesimpulannya, yang namanya beda pendapat itu bukan monopoli ilmu fiqih saja. Bahkan ilmu Al-Quran sendiri pun penuh dengan perbedaan pendapat. Semua hal di atas belum terhitung kalau kita bicara tentang perbedaan qiraat yang ada begitu banyak jalur periwayatannya.

Dalam ilmu hadits pun kita akan menemui begitu banyak perbedaan pendapat. Ilmu Tafsir malah lebih banyak lagi perbedaan pendapatnya. Malah dalam ilmu gramatika Bahasa Arab alias ilmu Nahwu, kita pun berhadapan dengan ulama Kufiyyin dan Bashriyyin, yang selalu saja beda pendapat.

Lepas dari semua ini, yang penting untuk dicatat bahwa berbeda pendapat itu bukan dosa atau hal yang tabu. Dan mustahil kita menghilangkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama.

Maka mari kita membiasakan diri untuk nyaman dengan adanya perbedaan pendapat itu. Toh dahulu para shahabat pun sering berbeda pendapat. Para tabi'in dan generasi salafunash-shalih pun terbiasa berbeda pendapat. Namun hebatnya, mereka tetap santun dan saling menghargai perbedaan pendapat.

Yang haram adalah berantem, saling caci, saling maki dan saling merasa paling benar sendiri karena perbedaan pendapat. Apalagi kalau sudah menulis komen di media sosial terhadap pendapat yang tidak sejalan dengan dirinya, sampai penghuni kebun binatang diabsen namanya satu per satu. Naudzubillah min tilka.

Sikap-sikap seperti inilah yang harus kita hindari. Dan untuk menghindarinya, justru wawasan kita harus terbuka luas. Kita harus pelajari adanya perbedaan pendapat para ulama itu. Baru kita bisa nantinya menghormati perbedaan pendapat.

Sedangkan kalau ilmunya cetek dan sempit, tahunya cuma apa yang diajarkan gurunya, selebihnya cuma dapat dari copy paste di internet, tidak pernah tahu adanya perbedaan pendapat para ulama, biasanya malah cenderung fanatik dan mudah menyalahkan orang lain. Semakin keras bahasa yang digunakan, semakin kelihatan bodohnya.

Itulah gunanya kita belajar ilmu fiqih yang membahas berbagai perbedaan pendapat ulama. Tujuannya, justru biar kita tidak mudah menyalahkan orang.

Wallahu 'alam bishshawab.


Ahmad Sarwat, Lc., MA