Selasa, 31 Oktober 2017

RIBA

Faktor yang membuat muamalat atau transaksi keuangan tertentu menjadi haram atau diharamkan yaitu terkait tentang riba. Hal yang menjadi sebab diharamkanya sebuah muamalat adalah salah satunya riba.

Yang menjadi pertanyaan menarik itu bukan masalah riba itu apa tapi apakah kita bisa menghindarinya?

Ada 3 istilah yang hampir sama yaitu ada riba, ada bunga dan ada bank. Apakah riba itu bunga, apakah bunga itu riba? Terus kalau bunga kan ada di bank. Apakah semua bank itu pasti berbunga? Yang mana orang yang bekerja di bank itu apakah pasti haram atau tidak.

Pertama ada istilah at takhobbun. At takhobbun itu orang yang memakan riba. Di hari kiamat ia akan berdiri, tidak akan berdiri kecuali ia berdirinya seolah-olah berdirinya orang yang sedang kerasukan setan yang akan sempoyongan. Makanya beberapa ahli menyebutkan suatu ekonomi yang dibangun dari asas riba itu kaya orang mabuk. Pasti akan mudah terombang-ambing/akan goncang karena dalam nash al qur’an juga dia tidak berdiri. Berdirinya tidak kokoh/tegak. Dia seperti orang kerasukan. Maka system ekonomi yang dibangun atas riba akan sangat mudah/rentan untuk jatuh/collapse. Karena ayatnya bilang at takhobbun. Yaitu istilah yang dipakai al qur’an, yang pertama kali untuk orang yang memakan riba. Yaitu pasti dia berdirinya itu tidak benar. Yang kedua adalah al mahku. Al mahku itu dihapus.

Allah menghapus riba, dan meningkatkan sadaqah. Ini al qur’an memberikan solusi. Orang itu bermuamalah dengan riba, itu biasanya untuk menggandakan uang maka riba dihapus oleh Allah, dan dikasih solusi kalau mau menggandakan uang adalah dengan cara sadaqah. Al mahku atau dihapus ini adalah kata yang dipakai dalam al qur’an. Jadi riba itu dihapus. Jadi sudah tidak ada. Ini adalah redaksi yang dipakai didalam al qur’an ketika melabeli riba itu sendiri.

Dari sisi definisi secara sederhana bisa kita pahami bahwa yang namanya gharar itu adalah jual beli ketidakjelasan karena yang dijualbelikan adalah ketidakjelasan itu sendiri.  Wa bil misal yattadihul maqal. Kalau dengan contoh-contoh nanti akan jelas ‘Oh ini gharar..’ Selanjutnya  urgensi  mempelajari atau  mengetahui gharar.

Suatu jual beli itu harus jelas dari banyak sisinya. Pertama adalah akadnya jelas,kedua adalah barangnya jelas, ketiga harganya jelas, keempat waktu mendapatkan juga jelas. Imam Nawawi dalam kitabnya, Al Majmu’, beliau menjelaskan :

             An nahyu ‘an bai il gharar aslun ‘adhimun min usuli kitabil buyu’. Fa yadkhulu fihi masaail katsiirah ghairumun hasrah.

            “Larangan jual beli sesuatu yang gharar itu masuk ke dalam sesuatu yang besar yang memang masuk di hampir semua kitab jual beli. Gharar hampir masuk di setiap akad-akad jual beli, yang mana (Imam Nawawi sendiri) tidak mampu menghitung satu persatunya.”

Ketika kita mau membahas fikih muamalah, bicara tentang gharar itu penting. Kenapa? Karena nanti ada konsekuensi hukum. Kalau ada gharar yang memang itu berpengaruh pada akad maka jual belinya itu tidak sah, atau batal. Maka belajar fikih gharar ini, fikih tentang jual beli yang ada ghararnya, itu sangat penting. Karena hampir masuk di setiap bab-bab jual beli dalam kitab muamalah ini.

Pengetahuan akan gharar dalam fikih muamalah itu aslun ‘adhim. Karena pondasi ini akan masuk dan bersebaran di setiap bab transaksi muamalat. Ada gharar di dalam ijarah, sewa. Gharar dalam utang piutang, gharar dalam akad sosial. Karena konsekuensinya cukup serius. Ketika jual beli itu  terdapat gharar, yang gharar itu berpengaruh kepada akad, maka jual beli itu tidak sah, yang sama dengan batal. Makanya kalau kita katakan bahwa sebuah akad itu terdapat gharar, dan menjadikan akad itu tidak sah, itu berarti batal . Ini menjadikan akad itu tidak jadi. Kalau akad tersebut tidak jadi. Hal ini nanti sedikit bersinggungan dengan bab ibadah. Maksudnya, dalam hal ibadah kan shalat kalau belum wudhu shalatnya tidak sah, berarti kan harus mengulang. Kalau tidak sah dalam jual beli apakah berarti dosa?

Sah tidaknya suatu akad. Ada akad di dalamnya ada sesuatu yang haram, konsekuensinya tidak sah atau batal. Batal ini bukan berarti langsung dia wudhu lagi. Maka dari itu, dalam ibadah kalau disebut tidak sah ketika

           maa am kan an yatarattab fiihil khodo`,

           “Disebut batal atau tidak sah di dalam ibadah itu sesuatu yang dia itu belum tercatat sehingga dia wajib mengulangi.”

            Walaupun tidak ada konsekuensi dosa disitu. Dosanya adalah ketika dia tidak mengulangi sedang dia tahu dia batal. Contohnya, dia shalat terus kentut, berarti kan dia dosa nggak? Nggak, cuma shalatnya tidak sah atau batal, kalau batal berarti harus diulangi. Tapi, kalau dalam akad muamalah, disebut tidak sah atau batal itu

            kullu aktin lam yatarattab atsaruhul ma’sud minhu syar`an alaihi,

            “Setiap akad yang tidak tersampaikan maksud dari suatu akad itu.”

         Contohnya, maksud dari jual beli adalah perpindahan suatu barang dari satu orang ke orang lain yang mana orang yang menjual itu dapat imbal balik berupa harta dari jual beli itu. Ini namanya perpindahan barang. Kalau jual beli itu tidak sah, berarti perpindahan itu belum sah. Tapi belum tentu dosa. Misal : si A jual beli dengan B ternyata ada ghararnya, berarti barang itu belum A miliki. Itu namanya belum sah. A belum berdosa gara-gara jual belinya tidak sah. Berdosanya kapan? Ketika A menggunakan barang itu tapi A tahu ini jual belinya belum sah. Maka berdosanya bukan dari jual beli tapi karena menggunakan barang orang lain yang mana barang itu belum dimiliki secara sempurna.

Berbicara tentang konsekuensi ketika ada suatu muamalah terdapat gharar, maka konsekuensinya adalah tidak sah. Tidak sah dalam sebuah muamalat itu berbeda dengan tidak sahnya ibadah. Kalau tidak sah di dalam ibadah, ketika ibadah itu tidak sah maka kita berkewajiban untuk mengulanginya. Kalau belum mengulangi maka kita masih punya tanggungan, hutang, yang kalau tidak dibayar, berdosa.

            Berbeda dengan tidak sah yang ada dalam muamalat. Ketika muamalat itu tidak sah maka tidak berkonsekuensi kepada dosa. Kecuali jika muamalah yang tidak sah itu kemudian tetap seolah-olah dianggap sah. Perpindahannya ada, mereka masing-masing mendapatkan kentungan dan seterusnya, padahal sudah dihukumi tidak sah. Disini ada dosanya..

Kalau dosanya di akad muamalah, belum ada barang tapi kok udah dijual lagi. Maka, disebut tidak sah itu ketika sebenarnya barangnya belum berpindah tapi sudah dipakai. Ini tidak sah dalam  akad muamalat, sedikit beda dalam ibadah. Tidak sah di dalam ibadah sedikit berbeda dengan tidak sah dalam muamalat.

Ketika muamalah mengandung gharar itu kemudian sangat penting sekali kita mengetahui mana yang gharar dan mana yang bukan gharar. Karena bisa jadi dalam jual beli, jual belinya belum sah, lalu barang itu sudah kita miliki tapi tidak sah kita memilikinya maka secara otomatis ketika kita memanfaatkan barang tersebut, sama saja  memanfaatkan yang bukan miliknya, kalau bukan miliknya maka bisa jadi berdosa ketika yang memiliki itu tidak ridho. Itulah konsekuensinya. Bahkan ketika saling ridho pun atas ketidaksahannya itu pun tetap tidak sah. Tetap berdosa. Kalau berkaitan dengan haqqullah. Larangan itu bukan haq adami tapi haqqullah.

            Contohnya ketika maishir. Maishir sama-sama ridho. Orang judi akan selalu ridho semua. 

Dari datang di awal sudah ridho semua, ‘Udah lah.. saya ikhlas buat kamu aja..’ Ya... itu bukan seperti itu juga.. Walaupun kalahnya bermilyar asal ikhlas itu.. bukan ridho juga namanya.. Kalau menang, ‘Alhamdulillah....’ Kalau kalah, ‘Astaghfirullah..... besok lagi dilakukan. Bukan seperti itu. Kalau haq adami memang masalahnya kepada orang-orang itu. Antaradhin, saling ridho. Tapi, kalau sudah haqqullah itu bicaranya bukan masalah saling ridho lagi. Agar semakin mendalam, karena pentingnya mengetahui tentang konsep gharar di dalam muamalat, ada istilah/nama lain yang mirip dengan gharar.

Pada artikel sebelumnya telah dibahas mengenai ancaman-ancaman yang sangat mengerikan, yakni tentang ayat-ayat Al Qur’an atau hadits-hadits Nabi Muhammmad saw yang mengancam orang yang melakukan transaksi-transaksi yang mengandung unsur riba. Ada yang diperangi oleh Allah SWT. Dosanya lebih besar dari sekadar berzina dengan 36 wanita pezina walaupun hanya dengan 1 dirham saja. Bahkan yang paling ringan di dalam 73 pintu riba adalah orang yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri.

Setelah mengetahui ancaman riba yang begitu berat dan mengerikan, maka perlu diketahui gambaran seperti apa riba itu. Nah, ternyata riba tidak diharamkan oleh Allah SWT seberat itu. Masih diharamkan secara bertahap. Terdapat urutan dan proses pengharaman riba. Seperti apa prosesnya? 

Berikut adalah penjelasannya.

Ketika berbicara tentang pengharaman sesuatu, memang ada yang sifatnya langsung diharamkan dan ada pula yang sifatnya takrijiyyat (berkala) dalam proses pengharamannya. Hanya saja berkalanya itu unik. Al Qur’an diibaratkan seperti sebuah ruangan. Di ruangan tersebut awalnya sandal boleh masuk. Berarti ditulis ‘sandal boleh masuk’. Kemudian ternyata ada hukum baru, sandal tidak boleh masuk. Kalau ada hukum baru, apakah tulisan awal dihapus dulu atau langsung ditempelin di atasnya atau ditempelin di sebelahnya? Hal ini adalah masalah teknis. Yang penting jangan di sebelahnya karena akan menyebabkan kebingungan.

Begitu juga di dalam pensyariatan suatu hukum. Al Quran kadang-kadang ketika takrijiyyat mengenai penetapan suatu hukum ternyata semua teksnya (nash Al Quran) masih ada. Makanya di dalam membahas ilmu Al Quran (ilmu tafsir) tidak bisa hanya berdasarkan teksnya. Yang mana semua teks harus dilihat. Bagaimana diturunkan? Kapan diturunkan? Dalam keadaan seperti apa? Hanya dalam urutan penulisan Al Quran tidak serta-merta yang di akhir ayat itu berarti yang lebih akhir.

Seperti pengharaman riba juga ada urutannya. Dalam pengharaman riba, ayat pertama yang membahas tentang riba adalah QS. Ar-Rum ayat 39.

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipay gandakan (pahalanya)”( QS. Ar-Rum : 39)

Artinya, apa yang diberikan (harta) untuk ditingkatkan (digandakan) dengan jalan riba tidak mungkin akan meningkat. Yang meningkat itu, kalau diberikan dengan jalan zakat. Zakat ikhlas lillahi ta‘ala. Maka orang-orang yang seperti itu termasuk orang-orang yang meningkatkan harta. QS. Ar-Rum ayat 39 memberikan solusi kalau ingin menggandakan (harta), jangan memakai riba. Pakailah zakat.
Riba dan zakat memiliki arti yang hampir mirip. Riba itu ayyiyadah, az zakah juga ayyiyadah. Hanya saja bahasa yang digunakan mempengaruhi hukum. Riba tidak diperbolehkan, sedang zakat diperbolehkan. Padahal sama-sama menggandakan.

Kemudian di dalam surat An-Nisa ayat 160 dikatakan,

“karena kedzaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan bagi mereka makanan yang baik-baik yang (dahulu) pernah dihalalkan; dan karena mereka sering menghalangi (orang lain) dari jalan Allah”
Ayat tersebut memberikan pengertian bahwa sebenarnya riba dilarang tidak hanya sekarang. Sudah sejak zaman dulu. Tidak hanya kamu tapi orang-orang terdahulu juga telah dilarang melakukan riba.  Ayat tersebut menyatakan keharaman riba dengan sangat jelas.

Kemudian di dalam surat Ali Imran ayat 130 dikatakan,

”wahai orang-orang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”

Berdasarkan ayat ini, beberapa ulama menyimpulkan bahwa kalau tidak bertingkat itu tidak termasuk riba. Berarti boleh. Yang tidak boleh jika bertingkat. Contohnya seseorang mempunyai uang seribu kemudian menjadi dua ribu. Itu bertingkat karena berlipat-lipat. Kalau dari seribu menjadi seribu dua ratus, ini belum bertingkat. Karena baru bertambah saja. Berarti kalau bertambah belum termasuk riba. Karena Al Qurannya mengatakan adl’afan mudla affah (yang berlipat-lipat). Makanya, jangan heran ketika ada ulama yang berdalil ayat ini memang tidak mengharamkan riba secara umum! Yang haram adalah yang memang itu sangat-sangat rentan untuk dzalim.

Apakah berarti ulama dengan dalil ayat ini membolehkan riba yang masih sedikit?

Bukan membolehkan riba. Membolehkan suatu  akad yang lebih. Yang bentuknya seperti riba tapi tidak bertingkat. Yang nantinya disebut dengan bunga. Makanya ketika membahas tentang bunga beberapa ulama ada yang berpandangan bahwasanya bunga itu tidak mutlak riba, ketika tidak bertingkat dan memang Al Quran mengatakan seperti itu.

Hanya saja memang yang terakhir, di dalam surat Al Baqarah ayat 275-279 sangat lengkap membahas riba.

“orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya(275). Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai orang yang tetap dalam kekafiran dan bergelimang dosa(276). Sungguh, orang-orang yang beriman, mengerjakan kebajikan, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati(277). 

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu beriman(278). Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertaubat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zhalim (merugikan) dan tidak dizhalimia (dirugikan)(279).
(QS. Al baqarah : 275-279)

Dalam ayat 278 di atas diperintahkan kepada orang yang beriman untuk meninggalkan sisa riba. Para ulama belakangan menyebutkan sisa-sisa riba tersebut diperintahkan untuk ditinggalkan semuanya.
Artinya yang tadi adl’afan mudla affah memang tidak boleh. Lantas, bagaimana dengan yang sedikit? Ya, sisanya ditinggalkan. Nah, nanti ada juga pemaknaan, sisa ini berarti apa? Nanti ada pemaknaan lain. Yang mengatakan riba yang haram itu adalah yang adl’afan mudla affah. Mengenai masalah tersebut akan dibahas dalam pembahasan tentang bermuamalah dengan bank konvensional. Akan tetapi, pada intinya ayat tersebut mengatakan bahwasanya yang sisa-sisa pun sudah tidak boleh. Kalau bertaubat, bukan berarti rugi. Kalian akan mendapatkan modal yang kalian tanamkan. Kalian tidak akan mendzalimi orang lain dan kalian tidak akan terdzalimi.

Oleh karena itu, di dalam akad syariah harus melihat dua pihak. Antara mendzalimi orang lain atau terdzalimi. Ketika diharamkan lantas tidak boleh bermuamalah sama sekali tidak seperti itu juga. Kalau uang sudah masuk dalam riba, uang tersebut boleh diambil kembali. Berarti tidak akan mendzalimi orang yang berhutang, tapi juga tidak akan terdzalimi ketika uang tersebut tidak bisa diambil. Makanya, dalam konteks syariah semua pihak diperhatikan. Tidak boleh mendzalimi, apalagi terdzalimi.

Dalam hal riba, baik orang yang memberikan riba atau orang yang menerima riba, bisa jadi memang saling ridha. Walaupun nanti ketika membayar hutang tersebut dengan tambahan banyak. Karena menganggap biasa dalam tekanan. Sangat membutuhkan. Tapi sebenarnya perbuatan tersebut merupakan kedzaliman. Lah, ketika orang sangat membutuhkan kemudian malah dimanfaatkan momentnya untuk mendzalimi orang lain. Makanya, beberapa ulama menyebutkan bisa jadi pahala orang memberi hutang kepada orang lain dengan tanpa bunga (riba) itu lebih besar daripada bersadaqah kepada orang itu. Pendapat tersebut memunculkan pertanyaan unik. Bukankah sadaqah itu uang yang diberikan tidak kembali, sedang hutang  masih kembali?

             Pada intinya karena orang yang berhutang berarti sedang membutuhkan. Orang yang tiba-tiba diberi sadaqah, bisa jadi tidak sedang membutuhkan. Tapi kalau berhutang berarti memang membutuhkan. Menolong kepada orang yang membutuhkan pertolongan pahalanya besar. Maka dari itu, hutang-piutang termasuk akad sosial. Memanfaatkan sesuatu yang sifatnya akad sosial sangat-sangat dilarang.

             Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam proses pengharaman riba terdapat empat tahapan. Proses tersebut melalui wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT dalam Al Quran pada surat yang berbeda. Yaitu surat Ar-Rum ayat 39, An-Nisa ayat 160, Ali Imran ayat 130, dan Al Baqarah ayat 275-279.

RIBA

Tadi kita sudah membahas tentang proses pengharaman riba yang ternyata tidak sekali cara atau sekali turun langsung haram tetapi ada proses yang dilaluinya sampai ada empat ayat atau empat tahapan. Setelah kita mengetahui prosesnya, selanjutnya kita mempelajari lebih detail tentang sebenarnya yang namanya riba itu seperti apa? Definisinya apa? Konsepnya seperti apa? Sehingga kita tidak secara kasar menghukumi orang telah melakukan riba. Atau ternyata kita sendiri pernah melakukan riba karena kita tidak tahu, dst. Maka kita harus tahu definisinya

Orang tau riba=haram, dari segi bahasanya riba itu dari kata raba-yarbu-rabwan waraban-warabaan aziyaddah, aziyaddah itu artinya nambah. makannya banyak akad itu sesuatu yang haram itu artinya bagus, riba maisir yang dari kata al-yusru, dari sesuatu yang mudah, riba dari suatu yang nambah. Dalam bahasan Allah SWT memperbandingkan riba dengan zakat yang artinya al-barakah aziyaddah juga hampir sama. Ini dari segi bahasa. Hanya kebanyakan riba (bukan nama sebenarnya) atau bunga (bukan nama sebenarnya), ini secara bahasa artinya bagus. Kalau secara istilah ada beberapa pengertian dari beberapa kitab fiqih empat madzhab, yang boleh dibaca satu-satu mungkin dari Al-Hanfiyah  dari kitab ilmu abdin beliau menyebutkan riba itu fadlun khaalin ‘an iwadin bima yar’in syar’iyin masyrutin li ahadil muta’akidaini fil ma’awadhah

Apa makna dari definisi ilmu abdin ?

Fadlun khaalin sebuah tambahan yang dia itu tidak berdasarkan ‘an iwadin bima yar’in syar’iyin tidak berdasarkan suatu imbalan. Imbalan tapi tidak berdasarkan suatu ganti yang mana disyaratkan li ahadil muta’akidaini oleh salah satu orang yang berakad fil ma’awadhah dalam akad komersi. Tapi ini ni pengertian dalam madzhab Hanafi ini kurang jami’.

Dari Syafi’i paling tidak nanti dalam kitab muhdin muhtaj dikatakan abdun ala iwadun makhsusin ghairu ma’lumin attamasul wa ghairu ma’lumin aw ma attaakhirin aw ahadihima. sebenarnya ini pengertian tentang bagian, kadang-kadang pengertian itu ada yang had dan ada yang ta’rif, kalau yang ini termasuk ke dalam yang bagian. Disebutkan riba itu ada akad dari iwad dari sesuatu yang sifatnya itu komersil makhsus ghairuu ma’lumin attamasul yang tidak diketahui sama atau tidaknya fii ma’i ya’i syar’i ini ada riba fadl di sini. Kemudian dalam tataran syari’ah halaka ta’dili ketika akad auma takhirin aw ahadihima ini ketika salah satu badalnya atau transaksiya tidak di  on the spot atau satu tempat, ini nanti ada riba nasiah jadi ini pake pengertian jenis-jenis riba

Contoh riba dalam muhni mumtaj, walaupun  dalam kitab kashab kinaah atau matan ulun niha dikatakan tafaadhul fii asya wa nasyi fi asya’ mustas fi asya’ wara tasyara bi tahrimiha nasshan fil ba’di wa qiyasan fil ba’qiminha. Tafaadhul fii asya’ (ada riba fadl, ada kelebihan dari sesuatu) wa nasyi fi asya’ ( dan bayarnya telat dalam sesuatu )

Kemudian dalam madzhab Malikiyah itu qulu nau’in min ‘anwain riba ‘ala hiddah dalam kifayatun tharib itu malah riba itu segala sesuatu yang ada ribanya. Lalu riba apa? Pengertian ini memang susah kalau tidak ada macam-macamnya

Macam atau ragam dari riba

Riba akan terbagi menjadi dua segmen besar, yang pertama riba dalam akad jual-beli, yang kedua dalam akad utang piutang. Berdasarkan dimana riba itu berada dalam dua hal, ada riba al-buyu’ dan riba dain ,riba buyu’ atau jual-beli nanti bisa dibagi menjadi dua, yang pertama riba fadl yang kedua riba nasiah atau riba nasa’. Kalau dalam riba dain nanti juga dibagi menjadi dua riba qard dan riba jahiliyah yang hampir mirip dengan riba nasa’.

Riba dalam jual-beli.

Ada hadits yang bunyinya seperti ini
 Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1584)

Zaman dulu, jual-beli belum tentu dengan uang dengan barang, kadang-kadang barang dengan barang yang kita kenal dengan barter tukar tambah. Tukar tambah itu nanti ada komoditi riba yang disebutkan secara nas dalam hadits, yang tidak semua tukar tambah itu nantinya haram. Tapi ada enam komoditi yang termasuk riba (yang dikatakan dalam hadits di atas).

Hanya hadits ini nanti akan ada perdebatan. Dalam emas dan perak itu dalam rangka barangnya atau dalam rangka nilai dalam mata uang. Kenapa ada empat komoditi lain yang disebutkan? Apakah dalam rangka barang atau sudah dalam bentuk makanan. Tapi intinya ketika hal itu dipertukarkan maka harus sama sekilo dengan sekilo, seliter dengan seliter. Ataupun tidak sama, misalnya kurma dengan gandum itu boleh asalkan kontan tidak boleh kurmanya sekarang sedangkan gandumnya besok.

Kemudian dalam riwayat lain kalau enam hal di atas berbeda maka boleh diperjual belikan assalkan memang kontan. Sehingga jika kita perhatikan riba itu dibagi menjadi dua, pertama riba fadl yang artinya riba lebih. Riba nambah fadl lebih, nambah lebih kan gitu.. maka riba fadl ini memang pertukaran antar barang dengan barang sejenisnya dengan kadar atau takaran yang berbeda dan barang yang dipertukarkan termasuk dalam jenis barang yang ribawi. Riba fadl ini dilarang, hanya saja pertanyaannya kenapa dilarang? Kalau riba fadl itu komoditi barangnya riba, ditukarkan keduanya ternyata kok beda kuantitasnya, ini namanya riba fadl. Kalau beda dalam penyerahannya itu namaya riba nasiah. Untuk menghindari riba fadl itu harus ada tamatsul. Untuk menghindari riba nasiah harus ada kontan.

Riba bisa dibagi menjadi 2 tergantung posisinya dimana, kalau riba ada didalam jual beli maka disebut riba fadl. Ada juga riba nasiah, kalau ribanya dalam hutang atau riba adduyun maka ada  yang namanya riba qard dan riba jahiliyyah. nah tadi sudah kita bahas tentang riba dalam  perdagangan atau dalam jual beli riba al buyu’ yaitu riba al fadl yaitu ketika tidak ada kesepadanan antara barang yang dibarterkan atau ditukarkan atau riba nasiahnya ketika tidak terjadi secara kontan, penyerahan antara kedua barang tersebut, ini riba dalam jual beli baik riba fadl atau nasiah

Muncul pertanyaan “kalau sekarang nih, orang beli emas atau tuker-tuker emas, kan gak mungkin emas dengan kuantitas kualitas sama ditukarkan kan gak mungkin” atau contoh yang paling  mudah “beras”, beras rajalele yang mahal sama beras raskin yang murah, kalau ditukarkan masak gak boleh, yang ini satu liter yang satunya setengah masak gak boleh, kalau dalam teks hadistnya kan begitu, harus mislan bi mislin, Cuma ternyata kenapa alasannya kok tidak boleh? Walaupun diteksnya gak ada beras. ya gampangnya tamr, para ulama mengambil persamaanya dengan tamr, tamr itu salah satu contoh yang ada dijaman nabi yang mana hadist shahih bukhari itu menjelaskan kenapa tidak boleh riba fadl ini? memang disebutkan “jaabilalun ila rasulillah SAW Bittamrin radi” bittamrin burni, disitu dikatakan “bittamrin burni “

Suatu ketika bilal datang kepada nabi, “tamrnya itu bagus” kemudian nabi nanya “tumben antum kok bawa bagus nih” ya kita tahu bilal kan mantan budak, terus qoola bilal, bilal jawab “saya punya tamr yang agak jelek, saya jual 2 sok dengan 1 sok yang bagus untuk saya berikan kepada engkau, makanya bilal ini kalau ingin memberi nabi itu yang jelek ditukar dulu yang bagus, karena yang dia punya hanya yang jelek, makanya kan gak enak kalau mau ngasih nabi, maka ditukarkan 2 sok dengan 1 sok, nabi bilang “oh gitu ya, ini riba!” trus nabi mengatakan laa taf al, nabi mengatakan “kalau kamu mau jangan begitu caranya, jangan 2 sok langsung 1 sok, tapi 2 sok itu dijual dulu kemudian dihargain, harganya berapa baru dibelikan yang bagus, nanti dapatnya berapa. Artinya dijaman itu, dijaman nabi ketika mata uang itu standarnya masih pakai dinar dirham, nabi sudah memberiakn solusi-solusi bahwasanya kalau mau seperti itu, biar tidak terjadi dzalim, kamu harus nilai dulu yang jelek ini berapa kemudian ditukarkan sehingga diketahui nilainya berapa, baru nanti kalau diberikan ini, ini nilainya berapa?

Jadi agar tidak terjadi kedzaliman, ada yang dirugikan salah satu dari kedua pihak itu maka jangan langsung ditukarkan yang jelek dan yang bagus itu, tetapi  yang jelek ini harus diberikan penilaian, harganya berapa, ketika sudah dilakukan penilaian, maka dari harga sekian ini bisa dapat harga yang bagus berapa.

Maka dalam ayat tadi laa tutlimuna wala tutlamun, tidak ada yang didzalimi dalam riba, ketika orang tukarkan begitu saja ternyata harga yang jelek itu 2 sok sepadan dengan 20ribu ketika 1 sok  10 ribu maka berarti pas, tetapi itu kalau kebetulan pas, nah kalau harganya 15 ribu? Harusnya kan kembali  5 ribu, makanya riba fadl itu tidak bolehnya ketika memang terjadi dzalim, ketika ditukarkan kok gak tau nih. bukan berarti tukar tambah itu tidak boleh, tukar motor honda dengan motor yang lain yaa boleh lah, asalkan tahu ini harganya berapa. Ini riba fadl.

 Riba nasiah ketika berkaitan dengan emas, emas ini apakah sama dengan uang? Apakah boleh orang beli emas dengan cara kredit, Ketika dikatakan emas adalah uang. Padahal didalam hadist tadi secara jelas rasul mengatakan tidak boleh terjadi pembayarannya tidak kontan, walaupun berbeda komoditti. Boleh berbeda tapi ya harus 05.33...tetapi nanti kita akan bahas lebih detail karena banyak muamalah modern yang berbicara jual beli emas secara kredit, nanti ada gadai emas syariah, itu kan sebenarnya intinya kan kredit. Nanti kita akan bahas lebih detail perbedaan pendapat para ulama terkait dengan ini. Ini ni tentang riba jual beli.

Kedua adalah riba dalam utang piutang. Utang piutang dalam bahasa arab memang ada 2 istilah, istolah dain dan qardun. Apakah sama atau berbeda? Lah kalau dari maknanya memang sama, sama-sama utang, Cuma ulama menyebutkan dain itu lebih umum daripada al qardi, dan itu lebih kepada tanggungan kepada orang lain, itu namanya dain, tapi kalau al qardu itu lebih kepada utang harta, makanya ada istilah al wa’du dainun “janji adalah utang”, janji itu bukan uang. Dia pakai kata2 dain, lebih umum, bukan al wa’du qardun. Dalam riba utang piutang itu sendiri dibagi menjadi 2

Riba qardun

Yaitu riba utang piutang, maksudnya suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang mana disyaratkan terhadap orang yang berhutang atau mu’tariq. Yang mana utang satu juta diawal akad, “oke saya beri utang 1 juta, nanti lebih yaa”. Ketika disyaratkan diawal itulah namanya riba qardun, riba utang piutang. Kelebihan dari utang piutang itu namanya riba. Walau nanti ada beberapa hadist yang menyebutkan “setiap ada hutang piutang yang mendatangkan manfaat bagi yang memberi hutang, itu disebut riba, walaupun nanti ulama masih berikhtilaf, ada yang bilang hadistnya dhaif, tapi itu sudah menjadi kaidah yang disepakati bahwasanya setiap hutang piutang kok ada lebihan yang disyaratkan diawal ketika akad itu namanya riba, yang mana namanya riba qardun.

Walaupun mau disebut dengan apapun namanya/ bisa jaddi, “oh ini bukan riba, tetapi bonus atau uang jasa, kalau disyaratkan diawal memang itu menjadi riba karena ada tambahan itu tadi. Jadi misalnya “kamu boleh minjam ke saya tapi nanti saya dikasih bonus, uang jasa kalau disepakati diawal itu riba. Dan ini bukan nama apapun, kalau memang didasarkan dengan jumlah utangan itu, itu namanya riba, walaupun namanya lain. Kecuali kalau habis hutang, diakhirtanpa kesepakatan diawal, atas kesadaran sendiri orang yang berhutang, “ini sebagai balas jasa, saya tambahkan sedikit” itu bukan riba ketika tidak disyariatkan diawal.

Riba jahiliyyah

Yang mana riba ini sejak jaman jahiliyyah sudah ada, yaitu utang dibayar lebih dari pokoknya karena si pengutang tidak mampu membayar sesuai dengan wkatu yang ditentukan, hampir sama dengan nasiah, nasiah itu andzirni adzidka, “oke kamu gak bayar sekarang, tapi nanti lebih ya?” namanya nasiah. Bisa jadi ini denda, denda diantara pembayaran utang disebut dengan riba nasih/riba jahiliyyah. Bahkan riba jahiliyyah masih ada sampai sekarang, bahkan mungkin lebih jahiliyyah lagi. Jahiliyyah itu kan nama untuk menggambarkan bahwa dijaman itu sudah ada, walaupun sekarang sebenarnya orang sudah pintar tapi itu masih produk jahiliyyah yang mana bisa jadi ini masih ada sampai sekarang

Itulah macam2 riba. Ada riba buyu’ (jual beli) dan riba addain. Yang mana tadi bagiannya masing-masing ada 2. Ini konsep riba secara umum. Nanti kita akan lebih detail berbicara mengenai transaksi2 khusus yang ada indikasi riba, contohnya tadi utang kredit, terus nanti kalau bermuamalah dengan bank itu bagaimana. Nanti kita akan semakin detail ketika membahas satu persatu dari masalah itu.

Wallahua’lam


Ust Hanif Lutfi Lc.MA

GHARAR

Oleh : Ust Hanif Lutfi Lc. MA

Faktor-faktor keharaman dalam bermuamalah adalah maishir, Gharar, riba, dan batil. Dalam pembahasan kali ini, akan di kupas terkait apa itu Gharar? Definisinya? Dalil-dalil yang menjadikan Gharar ini diharamkan? Syarat-syaratnya?
Apa itu Gharar?   
            Gharar berasal dari bahasa arab. Dari segi bahasa memang dari tiga suku kata, ghin, ra’ dan ra’. Gharar, dalam bahasa arab yakni ismu masdar minat taghrir wa huwal khatar wal hid’ah yaitu isim mashdar dari at-taghrir yang artinya ar-khatar wal hid’ahkhatar memiliki makna bahaya dan al-hid’ah ialah menipu. Artinya, secara bahasa, Gharar adalah menipu dan bahaya.
            Adapun Gharar secara isitilah disebutkan di dalam beberapa kitab yaitu Maussafiqiyyah Kuwaitiyyah. Dalam kitab ini disebutkan bahwa Gharar itu ma yakuunu majhuulal ‘aakibah laa yudra ayakun amla yakni sesuatu yang tidak diketahui endingnya/akhirnya. Dalam prakteknya, Gharar adalah apabila seseorang  akan dapat atau tidak dari suatu yang transaksi. Misalnya seseorang membeli sesuatu, tapi tidak tahu seseorang tersebut akan  dapat atau tidak dari barang yang dibeli.  
Gharar hampir sama dengan gambling.  
Gharar juga hampir sama dengan Maishir sebab dalam transaksinya, seseorang tidak tahu apakah ia akan mendapatkan suatu barang atau lainnya dari apa yang ia transaksikan.
Gharar dan Maisir sama-sama kita tidak tahu apakah dapat sesuatu atau kah tidak.  Hal ini kemudian disebut dengan majhul ‘akibahMajhulil ‘akibah ini bukan saja tidak tahu akan dapat atau tidak, tapi tidak tahu dapatnya apakah seperti yang disampaikan atau kah tidak? Misalnya, spesifikasinya katanya sekian-sekian, atau seperti ini, ternyata tidak 100 % persis.
            Dalam zaman modern kali ini, akad-akad dalam teransaksi jual beli hampir-hampir bersinggungan langsung dengan Gharar. Sebab dalam transaksinya, belum melihat barangnya tetapi pembeli sudah mengetahui spesifikasi barangnya.
Inti dari pengertian Gharar adalah jual beli yang dia tidak tahu dia akan dapat atau tidak dalam transaksi. Meskipun seperti ini, bukan berarti lingkupnya kecil hanya jual beli saja, tetapi  termasuk segala sesuatu yang ada akad, transaksi, yang dia tidak tahu akan dapat atau tidak, itu juga termasuk dalam transaksi yang diharamkan yakni Gharar.

Apa Dalil-dalil yang menjadikan Gharar ini diharamkan?
            Dalil dari segi muamalat sangat-sangat ringkas dibanding dengan pembahasan-pembahasan lainnya.
Contohnya dalil tentang Gharar yakni diriwayatkan oleh Imam Muslim: Abu Hurairah itu berkata bahwasanya nabi bersabda, naha an bai il hashah wa an bai il Gharar, ‘Nabi itu melarang jual beli hashah.....’ Hashah itu kerikil. Berarti, jual beli kerikil haram? Berarti jual beli akik yang juga kerikil boleh tidak? yang dimaksudkan disini bukan seperti jual beli batu akik, melainkan kerikil mulia.  Kemudian dilanjutkan  ‘.. dan jual beli Gharar.’
            Jual beli kerikil pada zaman dulu para ulama mengartikan yakni beli tanah tapi dalam mengukurnya dengan cara melempar dan tidak di ketahui nantinya seberapa panjang lemparan itu dan ketika lemparan itu sampai pada titik yang terakhir, itu berarti itu menjadi batasan yang akan dibeli.  Dalam transaksi jual beli ini tidak diketahui panjang tanah yang akan dibeli itu berapa. Maka hal ini jelas dilarangnya. Nabi melarang jual beli Gharar. Sangat umum yakni .. ‘Jual beli Gharar dilarang nabi..’ Gharar itu yang bagaimana? maka munculah pertanyaan apakah semua Gharar itu tidak boleh ataukah ada beberapa Gharar yang boleh?
      Jual beli kerikil bisa saat ini bisa terjadi misalnya seseorang membeli sesuatu akan tetapi cara mendapatkan barangnya dengan cara melempar dan apa yang kita dapatkan dari melempar itu, maka itu yang dibeli. Misalnya dalam satu meja isinya berbagai macam, orang tersebut dari jauh melempar menggunakan  gelang. Yang kena atau masuk dalam gelangnya, berarti barang tersebut kita beli. Padahal di meja itu isinya berbagai macam barang-barang. Transaksi ini kan hampir sama dengan metode jaman dulu yang menggunakan kerikil itu. 
            Dalil hadist riwayat muslim ini termasuk  dalil yang paling umum dalam pembahasan terkait Gharar.  Ada pula dalil-dalil khusus terkait Gharar yang lebih spesifik. Yang lebih spesifik, yang berlaku di jaman dulu. Ada mulamasa, ada musabana, dan lain sebagainya.  Dalil ini termasuk dalil pertama dan spesifik yang berbicara mengenai Gharar. Sedangkan dalil berikutnya bicara tentang contoh-contoh di jaman nabi yang termasuk Gharar.
            Apabila melihat dari hadits ini, maka hashah juga bagian dari pada Gharar. Kalau dilihat kenapa haram ya? Karena ada ketidakjelasan tadi. Ketidakjelasan dapat apa? Berapa? maka Ini juga termasuk Gharar. Tapi, apakah  dzikrul ‘amm ba’dal khas, menyebut sesuatu yang umum setelah sesuatu yang khusus? hal ini juga memiliki artinya. Sebab mungkin di jaman dulu yang sudah berlaku di masyarakat adalah jual beli hashah.
Apa Urgensi mengetahui  Gharar
            Suatu jual beli harus jelas dari banyak sisinya. Yang pertama adalah akadnya jelas, yang kedua adalah barangnya jelas, yang ketiga harganya jelas, yang keempat kapan dapetnya juga jelas ketika itu memang nggak langsung on the spot atau tidak secara langsung.
            Imam Nawawi di dalam kitabnya, Al Majmu’, beliau menjelaskan begini,
            An nahyu ‘an bai il gharar aslun ‘adhimun min usuli kitabil buyu’. Fa yadkhulu fihi masaail katsiirah ghairumun hasrah.
 “Larangan jual beli yang gharar itu masuk ke dalam sesuatu yang besar yang memang masuk di hampir semua kitab jual beli. Gharar itu hampir masuk di setiap akad-akad jual beli, yang mana (Imam Nawawi sendiri) tidak mampu menghitung satu persatunya.”
       Artinya, hal ini sangat penting. Ketika membahas fikih muamalah, kemudian bicara tentang gharar, maka pembahasan ini sangat penting. Sebab ada konsekuensi hukum di dalamnya. Jika ada gharar yang memang itu berpengaruh pada akad maka jual belinya itu tidak sah, atau batal. Maka belajar fikih gharar ini, sangat penting. Karena hampir masuk di setiap bab-bab jual beli dalam kitab muamalah. Makanya kemudian Imam Nawawi dengan sangat tegas mengatakan bahwa pengetahuan akan gharar dalam fikih muamalah itu aslun ‘adhim sebab ini adalah sebuah pondasi yang memang penting kita pelajari. Pondasi ini akan masuk dan bersebaran di setiap bab transaksi muamalat.  Ada gharar di dalam ijarah (sewa), dan dalam sewa menyewanya  dapat apa? Nanti kalau ada ghararnya itu bagaimana? Gharar dalam utang piutang, gharar dalam akad sosial dan ini masuk di hampir semua lini kitab-kitab jual beli. Maka konsep matangnya dan konsep utuhnya harus kita ketahui tentang gharar itu sendiri. Agar nanti ketika mengaplikasikan konsep ini tidak akan salah, jual beli ini gharar atau tidak, dan seterusnya.
            Ketika dalam jual beli ada gharar, yang gharar itu berpengaruh kepada akad, maka jual beli itu tidak sah atau sama dengan batal. Dalam hal ini akan sedikt bersinggungan dengan bab ibadah. Maksudnya, dalam hal ibadah kan shalat kalau belum wudhu shalatnya tidak sah, berarti kan harus mengulang. Kalau tidak sah dalam jual beli apakah berarti dosa? bagaimana tentang sah tidaknya suatu akad? Jadi, kalau ada akad tetapi ada sesuatu yang haram,  maka konsekuensinya adalah tidak sah atau batal jual belinya.  Batal ini bukan berarti langsung dia wudhu lagi, bukan. Makanya, dalam ibadah itu kalau disebut tidak sah itu.
           maa am kan an yatarattab fiihil khodo`,
“Disebut batal atau tidak sah di dalam ibadah itu sesuatu yang dia itu belum tercatat sehingga dia wajib mengulangi.”
            Meskipun tidak ada konsekuensi dosa disitu. Dosanya adalah ketika dia tidak mengulangi sedang dia tahu dia batal. Contohnya, dia shalat terus kentut, berarti dia dosa tidak? Tidak, tetapi shalatnya tidak sah atau batal, kalau batal berarti harus diulangi. Tapi, kalau dalam akad muamalah, disebut tidak sah atau batal yakni.
kullu aktin lam yatarattab atsaruhul ma’sud minhu syar`an alaihi,
 “Setiap akad yang tidak tersampaikan maksud dari suatu akad itu.”
            Contohnya, maksud dari jual beli adalah perpindahan suatu barang dari satu orang ke orang lain yang mana orang yang menjual itu dapat imbal balik berupa harta dari jual beli itu. Ini namanya perpindahan barang. Kalau jual beli itu tidak sah, berarti perpindahan itu belum sah. Tapi hal tersebut belum tentu dosa. Misalnya, A  jual beli sama B ternyata ada ghararnya, berarti barang itu belum A miliki. Itu namanya belum sah. A belum berdosa gara-gara jual belinya tidak sah. Berdosanya kapan? Ketika A menggunakan barang itu, dan A tahu ini jual belinya belum sah. Maka berdosanya bukan dari jual beli tapi karena menggunakan barang orang lain yang mana barang itu belum dimiliki secara sempurna. Sama halnya kalau tidak sah di dalam ibadah, ketika ibadah itu tidak sah maka kita berkewajiban untuk mengulanginya. Kalau belum mengulangi maka masih memiliki tanggungan, hutang, yang kalau tidak dibayar ya berdosa. Berbeda dengan tidak sah yang ada dalam muamalat. Ketika muamalat itu tidak sah maka tidak berkonsekuensi kepada dosa. Kecuali jika muamalah yang tidak sah itu kemudian tetap seolah-olah dianggap sah. Perpindahannya tetap ada, mereka masing-masing mendapatkan kentungan dan seterusnya, padahal sudah dihukumi tidak sah. Disini ada dosanya. Bahkan ketika saling ridho atas ketidaksahannya itu tetap tidak sah. Tetap berdosa jika kalau memang hal itu berkaitan dengan haqqullah. Larangan itu bukan haq adami tapi haqqullah.
Contohnya ketika maishir. Maishir yakni sama-sama ridho. Orang judi kan ridho semua. Dari datang di awal sudah ridho semua, ‘Udah lah.. saya ikhlas buat kamu aja..’ Ya... bukan seperti ini. Kalau haq adami memang masalahnya kepada orang-orang itu. Antara dhin, saling ridho. Tapi, kalau sudah haqqullah itu bicaranya bukan masalah saling ridho lagi.
Istilah-istilah yang hampir sama dengan Gharar
            Istilah-istilah tersebut ada yang bernama jahala, maishir, dan lain sebagainya. Maishir yakni ada ketidak jelasan dapat atau tidaknya dan ada unsur ghararnya. Melakukan  sesuatu yang tidak jelas (dapat atau tidaknya suatu barang yang ditransaksikan), Artinya sama saja dengan mengundi nasib dan hal ini pasti ada ghararnya. Maka dapat katakan disetiap maishir itu pasti ada gharar, tapi tidak semua gharar itu ada maishir. Sehingga gharar itu lebih umum dari pada mashir.
            Kedua, ada istilah yang namanya Jahalah. Jahalah berasal dari kata Jahlun yang artinya tidak tahu yang dan memang sifatnya tidak tahu. Jahalah disebutkan oleh para ulama merupakan salah satu alasan dimana jual beli tidak diperbolehkan jika mengandung unsur jahalah (ketidaktahuan). Ketidaktahuan ini para ulama menyebutkan bahwa:
al- gharar aamu minal jahalah (gharar itu lebih umum daripada jahalah) , fakulun maj’ulin gharar (setiap yang tidak tahu itu gharar) falaisakulu gharar majhul (tapi tidak setiap gharar itu tidak diketahui). Gharar itu memang awalnya laa yudro yahsul amla (tidak tahu akan dapat atau tidak), sebagaimana kita beli burung  masih di awang-awang (masih dalam keadaan terlepas terbang).
Hal ini juga diperumpamakan ikan dalam kolam yang tidak mengetahui jumlah pasti dalam kolam tersebut  dan misal dijual 500rb. Kalau tidak tahu jumlahnya maka ini berarti gharar atau kalau sesuatu itu bakal dapatnya diketahui tapi sifatnya tidak diketahui namanya mashul.
Contohnya A punya motor lalu hilang dicuri, tapi motor tersebut masih ada BPKB dan STNK-nya yang mana terkadang dalam waktu-waktu polisi bertemu dengan pencurinya secara tidak sengaja dijalan dan A masih dapat untuk meminta motor itu balik kepadanya. Kemudian A mengatakan bahwa, dia masih punya BPKB dan STNK, akan tetapi motor yang belum jelas tersebut di jual murah oleh si A. Misalnya motor Honda 15 jt kemudian dijual 2,2 jt saja. Tapi posisinya motor tersebut sedang dicuri orang, hal ini kemungkinan  dapatnya sangat kecil , inilah yang namanya gharar karena Dia tidak tahu bakal dapet atau tidak. Apabila jahalah dari motornya tetap ada. Misalnya motor tersebut belinya dikota, sementara keberadaan motornya dikampung dan tidak disifati dengan bagus, pokoknya dirumah (kampung) saya punya motor Honda. Kemudian dibeli orang. Orang yang membeli tidak mengetahui sifatnya  maka dinamakan Jahalah.
            Sehingga dapat dikatakan bahwa gharar itu lebih umum daripada maishir dan jahalah. Kalau jahalah lebih kepada barang nya ada tapi tidak mengetahui sifatnya.  Misalnya lagi sebuah kotak ada sesuatu tapi kita tidak yakin  akan dapat apa dari dalam kotak tersebut maka dinamakan Jahalah. Kalau gharar itu kita tidak tahu akan dapat atau tidak. Antara maysir, jahalah dan gharar itu semuanya diharamkan dan ketiganya ini diharamkan dengan dalil yang sama. Sebab Jahalah merupakan salah satu jual beli yang tidak jelas akan dapat atau tidak atau jual beli yang tidak mengetahui akan dapatnya seperti apa, ini jahalah. Ada istilah lagi yang hampir mirip dengan jahalah tetapi dari sisi kesengajaan orang yang menjual maka namanya takhlis atau ghois (Man khosana Falasaiminna). Yaitu para ulama menyebutkan takhlis itu kitsman wakhibisil akh’alil mukhtari wa akhwa uhu. Kitsman menyembunyikan, ‘its dari barang yang dijual (barang yang dijual disembunyikan ‘its nya sehingga orang yang membeli itu tidak tahu. Kalau dari sisi kesengajaan orang yang menjual maka itu namanya takhlis atau khois. Yang mana sama saja dihukumi tidak boleh karena ada unsur kesengajaan dan orang yang membeli itu tidak tahu. Hal ini sama dengan sifat ketidaktahuan atau disebut gharar karena ketidak jelasanyya. Isitilah yang benar-benar antara gharar, taghlis, dan nanti dalam istilah lain ada juga dizaman dulu yang namanya talaqi arukban. Talaqi arukban yakni sesuatu yang tidak  ditahui harganya.
            Pada Zaman dulu, Madinah sebagai kota  pusat jual beli (pasar), misalnya orang kampung bawa barang yang akan dijual. Akan tetapi dalam perjalanan orang kampung ini diberhentikan oleh pembeli dan dibeli seharga sekian, tapi si penjual awal tidak mengetahui barang yang akan dijual oleh pembeli tangan pertama itu berapa ke pasaran. Ketidak tahuan ini berarti oleh Nabi dilarang. Zaman sekarang kasus seperti yang dicontohkan diatas, tidak bisa dihukumi seperti zaman itu. Sebab pasti orang kampung saat ini telah mengetahui  harga pasaran yang akan dijual orang pertama,  
            Perbedaan istilah gharar secara konsep dengan istilah yang lain tersebut, apakah membuat perbedaan konsekuensi hukumnya? Konsekuensi hukumnya hampir-hampir mirip, intinya ketidakjelasan yaitu  adanya ketidakjelasan akad, barang, dan harga. Ketidakjelasan akad ini dalam akad izarah (akad jual beli) akan berpengaruh semua kepada akad jual beli. Karena ketidaktahuan tersebut menimbulkan ketidak ridhoan seseorang, Hal ini yang tidak boleh, bukan sekedar konsep tapi konteks dan penempatan situasi dari istilah-istilah tersebut juga berbeda.  
            Nabi melarang jual beli gharar, namun ketika diaplikasikan tidak semua gharar dalam prakteknya itu haram. dan tidak semua gharar berpengaruh terhadap akad. Oleh sebab itu, gharar masih dapat dibagi lagi dari segi berpengaruh atau tidaknya pada akad Ada 3 jenis gharar yaitu:
1.            Gharar muatsir fil akti (gharar yang berpengaruh terhadap akad)
2.            Gharar ghoiru muatsir fil akti (gharar yang tidak berpengaruh terhadap akad)
3.            Masih diperselisihkan, apakah muatsir atau ghoiru muatsir.
            Apabila Gharar ini berpengaruh, maka akadnya  batal, jika tidak berpengaruh maka akadnya tetap sah. Meskipun ada Ghararnya. Pertanyaannya adalah apakah syarat Gharar itu berpengaruh kepada akad? Ada yang berpengaruh ada yang tidak berpengaruh. Para ulama menyebutkan beberapa syarat Gharar itu berpengaruh atau tidak berpengaruh pada akadnya. Apabila syaratnya ini terpenuhi, maka dia termasuk Gharar yang tidak berpengaruh. Hal ini dikarenakan asal jual beli itu halal kecuali yang haram, asal dari Gharar haram kecuali yang halal. Makanya jika  bahas fiqih ekonomi pasti akan membahas yang haram, selebihnya halal. Dan dalam bab Gharar, karena asal mula Gharar itu tidak boleh maka membahas yang boleh selain dari itu berarti tidak boleh.
            Berbicara tentang pengecualian hadits Nabi SAW, yakni “Naha an bai’il Gharar”, melarang jual beli Gharar. Arti jual beli Gharar itu bukan berarti jual beli Gharar, tapi jual beli yang di dalamnya ada Gharar. Artinya ada faktor lain dalam jual beli itu, yaitu Gharar. Karena jual beli sebenarnya boleh, tapi karena ada Ghararnya menjadi tidak boleh. Ketidakbolehan Gharar ini nanti ada yang boleh dan sah walaupun ada Ghararnya. Gharar yang diperbolehkan karena yang pertama yakni tidak berpengaruh pada akad. Kemudian, ada syarat yang memang berpengaruh pada akad. Para ulama menyebutkan beberapa syaratnya, yakni:
1.            Tidak ada kebutuhan yang sangat mendesak. Contoh yang sederhana adalah jual beli salam, istina’. Salam itu jual beli yang uangnya sudah diberikan, tapi barangnya sudah disifati dan barangnya belum ada. Kalau barangnya belum ada, namanyakan jual beli Gharar. Hal ini diperbolehkan karena merupakan kebutuhan mendesak.
Kemudian istina’, misalkan disuruh membuatkan rumah yang kalau zaman sekarang sudah ada foto, video yang bisa menjadi contoh rumahnya. jika dibandingkan dengan jaman dulu sangat berbeda yakni seseorang menginginkan rumah, tetapi visualnya masih ada di akal dan terkadang apa yang diinginkan berbeda dengan pembuat. Hal ini kemudian juga dibolehkan. Inilah contoh dari pengecualian Gharar, walaupun jual belinya ada Gharar tapi jual beli salam dan isti’na’ yakni diperbolehkan karena kebutuhan manusia.
      Dalam bahasan ushul fiqih, hal ini berbeda dengan dalil umum. Dimana ada dalil khusus yaitu hadits yang menentang dalil umum, ketika dalil umum tentang ketidakbolehan Gharar bertentangan dengan hadits Nabi SAW, maka hadits ini, mengkhususkan sesuatu yang umum.  Dengan landasan ada kebutuhan yang mana tidak setiap orang bisa menetapkan kebutuhannya, para ulama juga membahasnya dengan dalil-dalil/nash. Dalil umumnya adalah jual beli Gharar itu tidak boleh, karena ada kebutuhan, maka dalam nash diperbolehkan. Jadi pengecualian itu datangnya juga dari nash. Meskipun dikatakan kenapa boleh, sebab tadi dasarnya adalah karena ada kebutuhan manusia kemudian dibenarkan oleh nash.
2.            Gharar itu terjadi pada asal akad bukan dari turunannya. Dicontohkan disini, A membeli hp, kemudian berhadiah pulsa. Maka asal akadnya adalah beli hp, tapi kalau pulsa adalah akad turunan.
Kemudian jual beli pohon yang baru berbuah, sudah dibeli akadnya dan sudah deal, tapi hasilnya belum kelihatan., Hal ini tidak diperbolehkan, sebab tidak ada kejelasan. Apakah pohon itu berbuah atau tidak dan karena ada Gharar pada dapat atau tidaknya, maka jual beli semacam ini tidak diperbolehkan.
Contoh lain, jaman dulu ada jual beli hewan yang masih bentuknya sprema atau jual beli janin hewan, kalau dibeli sekarang akan lebih murah. Maka Gharar seperti ini, di jaman ini, sama dengan jual beli apartemen yang belum jadi. Akad yang belum jelas ini, kemudian oleh para ulama dikatakan bahwa hal sama ini berpengaruh pada akad. Ini intinya kalau jual beli ada Gharar di asal akad, itu nanti berpengaruh, kalau diturunannya itu tidak berpengaruh. Contoh lagi, misalkan beli tanah yang di atasnya ada pohon yang berbuah, seseorang tidak tau apakah pohon tersebut jadi berbuah atau tidak, hal ini tidak masalah. Sebab yang kita beli itu tanahnya, kalau ada turununnya  itu berarti di akad turunan, dan dia itu dimaafkan. Kalau di akad turunan itu tidak masalah, kalau di akad yang asli itu bermasalah.  Contoh lagi, Apabila seseorang membeli sapi hamil ini boleh walaupun dapat bonus janin. Karena janin itu di akad turunan bukan akad asal. Dan ini nanti akan sangat berpengaruh.
Contoh lain, A membeli apartemen yang berhadiah mobil. Meskipun A membeli apartemen kemudian hadiah tidak jelas, tapi selama dia (mobil) di akad turunan itu tetap tidak jadi masalah. Ada lagi, misalnya A dulu pernah beli telur cicak, Jika A membeli permen telur cicak kemudian tidak tau hadiah yang akan didapatkan apa, maka hal ini tidak apa-apa. Sebab ia termasuk akad turunan.
Maka dari itu harus cerdas ketika bertransaksi dengan siapapun kemudian memilih transaksi yang sebenarnya artinya sesuai dengan syari’at. Makanya kalau MLM hukumnya bebas nilai, kita tidak bisa mengatakan halal haramnya tergantung transaksi apa yang ada di dalamnya, dan apa yang kita beli. Dan Apakah MLM itu ada ghararnya dan apa hukumya? MLM tidak bisa dihukumi, bahwasanya semua MLM itu haram dan kita tidak bisa katakan bahwa semua MLM itu halal. Hal ini tergantung, sebab MLM Ini hanya sekedar sistem penjualannya saja.
MLM juga tidak bisa kita hukumi hanya gara-gara namanya. Walaupun namanya tidak MLM syariah, tapi belum tentu haram dan jika MLM yang punya ustadz, ya belum tentu halal. Meskipun namanya syariah, murni syariah, tetapi kalau sistemnya ada hal-hal yang tidak jelas, maka itu bisa jadi haram. Termasuk MLM yang salah satu unsurnya menjadikan itu haram yaitu ketika MLM-nya jual beli, tapi yang diperjualbelikan itu tidak jelas. Ketidakjelasan yakni sebagai contoh Jika A membeli suatu produk, maka nanti kemungkinannya A akan mendapatkan untung sekian, artinya disini yang di perjualbelikan adalah kemungkinan.
Berbeda jika MLM itu haram. Contohnya adalah penjualan produk dengan banyak bonus. Pertanyaannya adalah kita sedang jual produk atau bonus? Kalau jual produk tidak masalah, sebagaimana produk pada umumnya. Tapi kalau, seseorang tersebut jual produk, nanti kemungkinan akan mendapatkan downline, Akan dapat macam-macam dari bonus itu dari yang dijual.  jadi orang tersebut ikut MLM nya itu gara-gara jual produk atau mengejar bonus? Kalau mengejar bonus berarti  akad turunannya malah bukan disitu. Tetapi Akad aslinya jatuh pada bonusnya bukan produknya, kalau sudah mencapai level tertentu, Akan dapat iming-iming misalnya kapal pesiar.  Susahnya seperti ini, kalau dapatnya kapal pesiar, nanti parkirnya dimana? Hal ini jadikan diri kita repot, ini asalnya yang mana jadinya? apakah jual beli barang atau jual beli kemungkinan. Kalau yang dijual belikan barang, Apabila ada bonus, sebagaimana pada umumnya, asal akadnya adalah jual beli produk. Jika dapat bonus, maka itu turunannya. Maka dari itu terkadang  jual janjinya janji manis. Ini yang dimasalahkan, bab ghararnya ada di sisi itu. Kedua, gharar ketika terjadi di asal akad, berpengaruh, tetapi kalau terjadi di turunannya tidak berpengaruh. Karena dia sifatnya turunan.
3.            Ghararnya  yang tidak berpengaruh ketika ghararnya itu sedikit. Apa yang dimaksud ghararnya sedikit?
            Ghoror sedikit maksudnya adalah tergantung pada banyaknya urf. Oleh sebab itu dalam bab gharar sangat muhakamah yakni sebuah kebiasaan suatu negara itu atau suatu kampung itu muhakamah. Walaupun harus diukur dengan syariat, bukan berarti kebiasaan saja. Tradisi ini yang akan menentukan banyak atau tidaknya Gharar. Ibnu Rusyd menyebutkan beberapa contoh misalnya kita nyewa rumah. Yang mana rumah yang disewa hanya dengan jangka waktu sebulan. Harga perbulan rumah tersebut yakni 1 juta. Pertanyaannya begini, ini sebulan bulan apa? Apakah Bulan januari 31 hari tuh, bulan Februari malah kadang kadang 28, kalau 30  masih sedang. Hal ini ada Gharar-nya yakni ketidakjelasan satu bulan itu berapa hari. Terkecuali perjanjian diawal bukan bulan melainkan hari. Misalnya per-30 hari.  Hal ini termasuk kedalam Gharar ghairu matsir, karena sedikit sifanya. Dan hal ini ma’fulah (dimaafkan). Contoh Gharar yang dimaafkan lagi adalah ketika kita mandi di tempat umum dan bayarnya misalnya 5 ribu. Hal ini juga ada Ghararnya sebab tidak tahu habis airnya berapa liter dan lama waktunya berapa menit/jam. Contoh lain, misalnya  ada pemancingan umum , kalau masuk ke pemancingan nanti bisa Gharar bisa tidak. Kalau kita beli nya ikan, berarti harus jelas. Kalau dapat 1 kg, mau mancingnya lama atau sebentar, asal 1 kg, itu harganya sekian. Artinya disini kita beli ikan tetapi ambil sendiri, yang penting 1 jam masuk 50.000 ribu. Tetapi ikan yang mau dibeli pada tidur sebab baru diberi makan paginya. . Hal ini kalau kita asal akadnya beli ikan, ini tidak diperbolehkan. Tapi kalau asal akadnya adalah kita nyewa fasilitas, yang mana salah satu fasilitasnya itu bisa mancing ikan. Itu gak masalah. Contoh ini gharar yang banyak.
4.            Terjadi pada akad komersil bukan akad sosial, dan hal ini berpengaruh jika ada pada akad komersil, kalau dalam akad sosial tidak masalah. Beberapa ulama menyatakan dalam akad sosial itu tidak masalah. Kalau utang piutang dalam akad sosial namanya yakni ijarah atau sewa menyewa. Tapi kalau akad sosial, contohnya yakni A nyumbang orang nikah. Apakah wajib, A nyumbang berapa? Apakah harus jelas? tentu saja tidak. Ada lagi misalnya Memberi hadiah orang, A kasih hadiah B, hadiahnya di dalam saku A. Apakah, B terima. Tapi harus jelas apa yang ada didalam saku!

Jadi ada empat hal yang berpengaruh pada Gharar yakni
1.            yang kebutuhannya mendesak, tidak berpengaruh;
2.            Tidak berpengaruh ketika di turunan, kembali kepada asal akad;
3.            Ghararnya banyak, akan berpengaruh dan sedikit tidak berpengaruh;
4.            Akad sosial tidak berpengaruh, kalau komersial berpengaruh.

Demikian materi awal Sekolah Fiqih, tema Ghoror.

Wallahua’lam

Minggu, 22 Oktober 2017

Kenapa Hadits Dhoif sering dijadikan Dalil Hukum.


Pertama kali kita harus tau kenapa Suatu Hadits dikatakan Dhoif, adalah karena ada permasalahan di sanad atau perawi (yg meriwayatkan Hadits tsb). 

Bila ada diantara perawi tsb yg dikatakan "tidak dipercaya/tidak dikenal, atau tidak memenuhi persyaratan Hadits shohih", maka Hadits tsb akan dikatakan dhoif.

Kedua, Permasalahan pen Dhoif An Hadis ini juga masih permasalahan khilafiyah.

Kenapa dikatakan khilafiyah? Karena dalam penentuan perawi, terkait ke tsiqoh annya, satu ulama bisa berbeda dengan ulama lainnya.

Bila kita mau lebih "sedikit kritis" ingin mendalami permasalahan Hadis, apabila kita menerima atau mendengar suatu Hadits dan ada yang mengatakan Hadits tersebut dhoif, maka pertama kali kita harus bertanya siapa yang men dhoif kan Hadits tersebut. Kenapa kita bertanya seperti itu? Alasannya adalah untuk mengetahui posisi jaman, keilmuan dan metodologi penelitian hadisnya.

Ada apa dengan permasalahan "posisi zaman"? Salah satunya adalah, semakin jauh zaman atau kelahiran ulama yg mendhoifkan Hadits tsb, bisa semakin berbeda pula hasil kesimpulannya. Ilustrasinya kurang lebih seperti ini, suatu Hadits dikatakan dhoif salah satunya dan yg paling utama adalah permasalahan perawi Hadits. Contoh Hadits riwayat Imam Bukhori. Beliau hidup di abad ke 2 tahun Hijriah, kurang lebih tahun 194 - 256 H. Maka Imam Bukhori memiliki 5-6 perawi yg kemudian sampai kepada Rosul. Contoh Hadits ttg niat, “semua perbuatan tergantung pada niatnya .... dst” (HR Bukhari). Dalam Hadits tsb ada 6 perawi sampai akhirnya ke Umar bin Khattab dan kemudian Rosulullah.

Bagaimana Imam Bukhori bisa mengatakan Hadits tsb shohih atau dhoif apalagi Maudhu? Tentu saja dengan mengadakan penelitian tentang perawi yg meriwayatkan Hadits tsb. Namun pertanyaan berikutnya, bagaimana bisa imam Bukhori menentukan perawinya bisa dipercaya atau tidak? Padahal misalnya perawi yg ke 3 (dari 5-6 sanad perawi yg menyampaikan Hadits hingga sampai ke imam Bukhori) beliau belum lahir. Sementara buku riwayat perawi (jarh wa ta'dil) belum dibuat.

Nah untuk itu dibutuhkan ketelitian dari imam Bukhori untuk "menanyakan" masing2 perawi sanad, kepada org2 yang meriwayatkannya (intinya akan semakin rumit bila peneliti Hadits adalah orang yang hidup jauh sesudah Hadits tsb diriwayatkan, atau mata rantai Hadits tsb sudah terlalu jauh dengan masa hidup peneliti Hadits). Misalnya Syaikh Bin Baz, yg hidup di abad 14 Hijriah, maka pendefinisian Hadits shohih dan dhoif, boleh jadi berbeda dengan imam Hanafi yang masih masuk kategori Tabiut Tabi'in, atau dengan Imam Malik yg hanya selisih 2 generasi dari Sahabat).

Lalu apa yang dimaksud dgn "keilmuan" dari perawi Hadits. Ke Ilmuan dari masing2 ulama Hadits kadang kala berbeda antara 1 dengan yg lainnya. Seperti keilmuan imam Muslim dan Imam Bukhori yg mungkin bisa berbeda. Imam Bukhori dalam mensyaratkan Hadits shohih, mempunyai persyaratan yg sangat ketat, misalnya diantara perawi Hadits/sanad, harus benar2 saling bertemu, bukan sekedar hidup sejaman. Berbeda dengan imam Muslim, cukup mensyaratkan Hadits shohih adalah bila perawi/sanad nya cukup hidup sejaman saja, tanpa perlu bertemu.

Kemudian metodologi penelitian haditsnya. Antara Imam Bukhori dengan Imam Hakim bisa berbeda. Oleh karenanya, Imam Bukhori sangat sedikit mengeluarkan Hadits shohih dibandingkan imam Hakim.

Ketiga, kita harus tahu, kenapa Hadits tsb di dhoifkan

Salah satunya contohnya Hadits tsb di dhoifkan adl karena tidak mendapatkan biografinya (contohnya perawi/sanad Sahal bin Mutawakkil). Dalam kitab Syaikh Albani tettang Hadits2 dhoif, Sahal bin Mutawakkil ini tidak diketahui org nya shg dikatakan dhoif, sementara oleh imam Ibnu Hibban dalam kitab As-Tsiqat, perawi bernama Sahal bin Mutawakkil dikatakan Tsiqah. Juga oleh Abu Ya’la al-Khalili dalam kitab al-Irsyad fi Ma’rifat ulum al Hadits.

Keempat, banyak hadits yang dhoif dari 1 perawi, namun dari perawi yang lain sifatnya shohih

Hadits mutawatir memiliki banyak jalur. Boleh jadi dalam 1 jalur ada yang dhoif, namun dari jalur yang lain dia shohih. Satu jalur ada perawi yang sifatnya dhoif, namun di jalur lain, semua perawinya tsiqoh. Karena banyakan ya jalur dan ada yang sampai derajat nya shohih, maka hadits yang dhoif statusnya bisa naik ke derajat Hasan. Haditsnya banyak (banyak jalur), namun secara makna, seputaran itu-itu saja (misalnya hadits tentang niat, ada diriwayatkan oleh banyak perawi, dari banyak jalan, namun isinya tidak sama persis. Kalimatnya masing-masing bisa berbeda, namun dari sisi makna sama saja)

Pakar Hadits dan Fiqh, Imam Nawawi berkata: “Menurut ahli hadits dan lainnya, boleh memperlonggar (tasahul) dalam menyampaikan sanad-sanad yang lemah (dha`if) dan meriwayatkan hadits dha`if yang tidak maudhu` serta mengamalkannya tanpa menjelaskan kedha`ifannya, dalam hal yang tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah, hukum-hukum halal dan haram, dan yang tidak berkaitan dengan akidah dan hukum-hukum.” (Tadrib al-Rawi, 1/162).

Seorang ulama hadits kenamaan setelah generasi Imam Nawawi, Ibnu Hajar mengutip pendapat ulama, mengatakan bahwa:“Imam Ahmad dan Imam yang lain (seperti Ibnu Mubarak) berkata: Jika kami meriwayatkan hadits tentang halal-haram (hukum), maka kami sangat selektif (dalam hal sanad), dan jika kami meriwayatkan hadits yang berkaitan dengan keutamaan-keutamaan, maka kami tidak begitu selektif (tetapi tidak sampai pada taraf hadits palsu)” (IbnuHajar, al Qaul al Musaddad I/11, dan al Baihaqi, Dalail an Nubuwwah I/34)

Berikut juga ada cuplikan tulisan dari ulama, yang diterjemahkan oleh Danang Kuncoro, dari kitab Manhaj an Naqd fi Ulumil Hadis karya DR. Nuruddin ‘Eter, hal 291-297.

Adapun anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwa beramal dengan hadis dhaif dalam masalah fadhail adalah sama dengan menciptakan ibadah baru dan membuat aturan baru dalam agama yang tidak direstui oleh Allah swt, maka hal itu telah dijawab oleh para ulama, mereka mengatakan bahwa diutamakannya beramal adalah sejalan dengan prinsip-prinsip dasar Islam yang menganjurkan beramal demi menjaga (berhati-hati) dalam masalah agama. Beramal dengan hadis dhaif termasuk dalam kategori ini, dengan demikian tak terdapat penambahan apapun dalam syariat Islam.

Menurut pandangan saya (DR. Nuruddin ‘Eter), seseorang yang mengamati persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh para ulama tersebut menafikan adanya peluang untuk menambah hal-hal baru dalam syariat. Hal itu tampak jelas dari syarat mereka bahwa sebuah hadis dhaif diharuskan tidak keluar dari koridor syariat dan prinsip-prinsip syar’i yang sudah baku secara umum. Oleh karena itu, status hukum asal hal ini adalah legal menurut hukum syar’i, baru kemudian muncullah hadis dhaif tersebut yang tidak bertentangan dengan syariat.

Contoh:

Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, sebagai berikut:

Abu Ahmad al-Marrar bin Hammuyah mengabarkan kami, ia berkata: Muhammad bin Mushaffa mengabarkan kami, ia berkata: Baqiyyah bin Al-Walid mengabarkan kami dari Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Mi’dan dari Abu Umamah dari Rasulullah saw bahwasannya beliau bersabda: “Barangsiapa yang mendirikan shalat pada dua malam hari raya dengan mengharapkan ridha Allah, maka hatinya takkan mati di saat hati-hati yang lain sedang mati”.

Pada sanad tersebut, para perawi adalah Tsiqat, kecuali Tsaur bin Yazid, ia dituduh dengan tuduhan bid’ah Qadariyah. Akan tetapi dalam hal ini ia meriwayatkan hadis yang tidak ada sangkut pautnya dengan kebid’ahannya tersebut sehingga tidak berpengaruh terhadap hadisnya. Muhamad bin Mushaffa adalah seorang yang sangat jujur (Shaduq), ia banyak meriwayatkan hadis sehingga Ibnu Hajar memberikan label “Hafizh” kepadanya. Adz-Dzahabi berkomentar bahwa ia adalah seorang tsiqah masyhur (sangat terpercaya dan populer), akan tetapi dalam riwayat-riwayatnya terdapat riwayat yang munkar. Dalam sanad tersebut juga terdapat Baqiyyah bin Al-Walid, dia termasuk di antara jajaran para imam huffahz yang sangat jujur. Akan tetapi ia sering sekali melakukan tadlis (pengaburan) dari para perawi lemah (dhaif). Imam Muslim menukil riwayatnya hanya sebagai penguat saja (mutaba’ah). Sementara dia (Baqiyyah) tidak menyebutkan secara terus terang bahwa ia benar-benar telah mendengar hadis tersebut, sehingga hadis tersebut dianggap dhaif.

Para ulama berpendapat bahwa menghidupkan dua malam hari raya, baik dengan berzikir maupun ibadah-ibadah lainnya hukumnya sunnah (mustahab) sesuai dengan hadis dhaif ini, karena hadis dhaif boleh diamalkan dalam hal keutamaan-keutamaan amal sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya, Al-Adzkar.

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa qiyamullail (shalat pada malam hari) dan mengisi malam tersebut dengan ibadah adalah sesuai anjuran agama sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang mutawatir. Mendekatkan diri kepada Allah dengan cara berdoa, berzikir dan lain sebagainya adalah perkara yang dianjurkan di setiap waktu dan tempat, termasuk dua malam hari raya.

Di sini tampak jelas bahwa hadis tersebut tidaklah membawa ajaran baru, melainkan membawa sesuatu yang bersifat parsial yang sejalan dengan prinsip-prinsip Syariat dan teks-teks syar’I secara umum sehingga tidak diragukan lagi bahwa beramal dengan hadis tersebut hukumnya adalah boleh.

Kelima, Dan masih banyak dalil, mengapa hadits Dhoif bisa dan sering dijadikan landasan hukum.

Pada akhirnya, penjelasan diatas bukanlah "menyuruh" kita untuk dengan mudahnya mengamalkan semua Hadits dhoif, namun lebih mengarahkan kepada kita sebagai orang awam, agar tidak dengan mudahnya menyalahkan para ulama, bila mereka menggunakan Hadits dhoif. Kita malah dianjurkan taklid kepada para ulama yg memang ahli dibidang tersebut, dimana mereka sudah memiliki pengetahuan tentang pengambilan dalil dengan menggunakan perangkat yang sudah diajarkan atau diketahui oleh para ulama tersebut. Jangan mudah mengatakan "Hadits yang digunakan adalah Hadits dhoif". Padahal kita tidak tau dan tidak hapal diluar kepala Hadits2 semakna, perawi yg mengatakannya (sanadnya), serta biografinya dan lain sebagainya. 
Cukup kita mengetahui bahwa permasalahan shohih dan dhoif suatu Hadits memang dipelajari oleh para ulama Hadits, sementara terkait hukum dan penggunaan Hadits dhoif tsb ada ditangan ulama Fiqh. Sama juga dengan kandungan arti dari al Quran itu diketahui oleh para mufassirin.

Demikian ringkasan dari diskusi materi "Haditsnya Dhoif, tapi masih digunakan sebagai dalil hukum"

Wallahua'lam

Enif