Kamis, 15 Mei 2014

Mau Ikut Nabi apa Ikut Ulama?

Sampai saat ini, saya pribadi masih ngga nyambung dan sulit memahami beberapa kawan yang dengan sangat kuat meyakini bahwa tidak madzhab itu sumbu perpecahan umat dengan banyaknya perbedaan pendapat. Dan yang harus dilakukan adalah kembali ke al-Quran dan Sunnah.

Padahal sama sekali tidak ada satu pun ulama madzhab yang mengarang hukum; mereka semua adalah prototype manusia paling waro’, shalih dan takut dalam membuat hukum sendiri setelah generasi-generasi terbaik Islam (Masa Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ al-Tabi’in). dan tidak mungkin mereka semua mengambil hukum seenak hati dan nafsunya saja, tapi justru mereka mengambil itu semua dari al-Quran dan Sunnah, tidak yang lainnya. Dan memang itu yang mereka lakukan.

Sayangnya, yang mengatakan madzhab sebagai sumber perpecahan itu tidak pernah belajar sejarah madzhab dan imam-imamnya. Mungkin terlalu naif buat mereka untuk mempelajari perkataan manusia yang ‘tidak makshum’ nan mulia itu, atau sudah terlanjur gengsi. Seandainya mereka mempelajarinya dengan dada yang lapang, niscaya mereka cinta kepada sang imam-imam madzhab.

Justru karena mereka buta madzhab dan perbedaan pendapat itulah yang akhirnya membuat mereka menjadi sangat naïf dalam ber-syariah dan tentu rentan perpecahan. Memaksakan orang lain ikut sesuai pendapatnya, dan mencaci serta menjauhi mereka yang berbeda bahkan tidak segan melabeli dengan label buruk.

Jadi sejatinya siapa yang menjadi sumbu perpecahan? Para Imam madzhab dan pengikutnya atau yang memaksakan kehendaknya di-amin-I oleh yang lain tapi tidak bisa?

Kita sudah banyak contohnya dalam hal bahwa ulama madzhablah pelopor persatuan dalam perbedaan pendapat mereka. Imam Malik tidak mau memaksakan pendapatnya yang terangkum dalam kitab al-Muwaththo’ untuk jadi regulasi hukum Abbasiyah. Karena itu pasti menjadi masalah di tengah masyarakat yang tidak terbiasa dengan pendapat Malikiyah di Baghdad.

Imam Ibnu Mas’ud juga tidak mencemooh sayyidan Utsman bin Affan, dan justru menjadi makmum sholatnya. Padahal beliau beranggapan qashar bagi musafir sedang sayyidina Utsman tidak.

Tidak pula kita mendengar sejarahnya ada pengikut Imam Laits bin Sa’d yang datang ke Madinah untuk menghina pengikut Imam Malik, dan juga sebaliknya.

Ikut Nabi atau Ikut Ulama?

Ini yang buruk, beberapa kawan jika mendapati orang lain beramal sesuai madzhab, tapi –menurut pemahamannya yang lemah- itu menyelisih hadits Nabi, ia langsung mengumpat:

“Ente mau Ikut Hadits Nabi apa ikut ulama madzhab? Siapa yang pantas diikuti?”

Umpatan seperti ini jelas merendahkan derajat seorang ulama yang punya kapasitas tinggi sebagai orang yang mengerti syariah. Ini seperti menuduh ikan tidak bisa berenang. Apa mereka kira ulama madzhab itu tidak mengerti hadits?

Bagaimana bisa seorang Imam madzhab tidak mengerti hadits? Toh untuk jadi seperti itu (imam madzhab) tidak mungkin kecuali mereka hapal lebih dari ratusan ribu hadits dengan maqshud-nya pula. Karena seorang mujtahid, pastilah ia seorang muhaddits (ahli hadits)

Jelas ini penghinaan yang nyata dari seorang yang bodoh syariah, yang hanya mengaji sabtu-ahad kepada ulama madzhab yang kapasitasnya jauh di atas mereka semua; mengerti ayat Quran beserta madlul-nya, paham hadits beserta manthuq-nya, dan paling mengerti bahasa Arab beserta kaidah-kaidahnya.

Kita memang WAJIB mengikut Nabi, tapi lewat jalur mana kita memahaminya? Apa mampu otak yang lemah ini memahami segitu banyak hadits? Sedang bahasa Arab hanya baru bisa, ana-anta-akhi-ukhti?

Ikut Abu Bakr, Umar, Utsman atau Ikut Nabi?

Ini yang lebih parah! Dalam beberapa masalah, beberapa kawan justru mengumpat sahabat ketika terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengikuti ijtihad Umar dalam suatu masalah (Tarawih 20 rokaat misalnya) yang itu tidak ada riwayat dari Nabi lalu ia katakan dengan pongah:

“Nabi tidak pernah melakukan itu! Mau ikut Umar apa ikut Nabi?”

Dalam masalah adzan Jumat 2 kali yang merupakan Ijtihad sahabat Utsman bin Affan. Karena tidak puas dengan pendapat ini, ia pun mengumpat lagi:

“Nabi tidak pernah melakukan itu! Mau ikut Ustman apa ikut Nabi?”

Seakan-akan bahwa apa yang dilakukan sayyidina Umar dan sayyidina Ustman itu menyelisih sunnah Nabi saw. Dan bukan seakan-akan, pernyataan yang kental dengan denagn umpatan itu jelas memberika arti bahwa sahabat tidak mengikuti Nabi, berbeda dengan Nabi.

Sahabat Tidak Mengikut Nabi?

Bagaimana bisa? Padahal mereka lah orang terdekat dengan Nabi saw, hidup bersama, selalu menemani, menyaksikan wahyu turun, mendengarkan hadits langsung, hidup berdampingan dengan Nabi saw. Tentu mereka paling mengerti maqhashid syariah yang turun dari langit melalui lisan Nabi saw. Lalu ada anak kemarin sore mengatakan: “Mau ikut Nabi apa ikut Umar/Utsman?”

Tentu jelas ini bentuk men-diskredit-kan kapasitas seorang sahabat sebagai ‘sahabat’ Nabi saw. Men-diskredit-kan sama dengan menghina dan penghinaan kepada para sahabat jelas dosa besar bahkan bisa menjurus ke-kufuran dalam Islam.

لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِى فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ

Janganlah kalian mencaci maki para sahabatku! Demi Dzat yg jiwaku ditangan-Nya, seandainya seseorang menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka ia tak akan dapat menandingi satu mud atau setengahnya dari apa yg telah diinfakkan para sahabatku.' [HR. Muslim]

Nah, jadi siapa yang menghina sahabat sekarang?

Mereka mengisi hari-hari mereka dengan teriakan keras menghujat para penghina sahabat Nabi saw, tapi malah dengan pongah mereka termasuk kelompok yang mereka sendiri hujat, mereka sendiri menghina sahabat. Menghujat penghina sahabat tapi malah menanamkan benih kebencian dan diskreditisasi sahabat dalam hati dengan bangga. Nau’udzu billah.

Abu Bakr dan Umar Menyelisih Nabi saw?

Kita ingat bagaimana pencapaian sayyidna Abu Bakr yang memerangi kaum pembangkat zakat yang Nabi saw tidak melakukan itu ketika masih hidup. Begitu juga wacana beliau tentang pembukuan al-Quran [tadwiin ul Qur’an], Apa kemudian ada sahabat lain menolak ikut berperang lalu mengumpat seperti anak-anak sekarang?

“Mau ikut khalifah Abu Bakr yang tidak makshum atau ikut Nabi?”

Sayangnya kita tidak menemukan ada riwayat seperti ini dalam kitab-kitab ulama syariah dan ulama sejarah. Termasuk juga inisiatif khalifah yang lain. Lalu dari mana mereka punya umpatan itu? Mencontoh siapa mereka kalau sahabat saja tidak melakukan?

Kita tahu bahwa ketika Nabi masih hidup, Nabi menghukumi talak tiga sekaligus dalam satu majlis atau satu kali perkataan itu tidak dihukumi sebagai talak tiga, tapi tetap talak satu. Jadi talak itu harus terpisah agar terhitung lebih dari satu.

 Tapi ketika sayyidina Umar menjabat khalifah, di tahun ke-3 hijrah beliau memfatwakan hal yang berbeda dengan Nabi saw, bahwa talak tiga sekaligus itu terjadi walaupun diucapkan sekali.

Beliau fatwakan seperti itu karena melihat banyak dari para suami ketika itu yang gegabah dan seenaknya dalam mentalak istrinya dengan talak tiga, namun tetap mau kembali setelahnya. Akhirnya beliau hukum sebagai talak tiga sebagai jera bagi para lelaki agar hati-hati.

Dan semua sahabat ketika itu tidak ada yang mengingkari, yang akhirnya fatwa beliau menjadi ijma’ Sukuti. Dan tidak ada juga sahabat yang mengumpat:

“Mau ikut Umar yang tidak makshum, atau ikut Nabi saw?”

Sama sekali, tidak ada riwayat umpatan ‘alay’ seperti ini.

Wallahu a’lam


Ahmad Zarkasih, Lc

Nikah Sunnah Nabi, Kok Banyak Ulama Membujang?

Berbicara tentang masalah pernikahan berarti kita sedang membicarakan sebuah tema yang selalu hangat untuk dibahas. Sebuah tema yang selalu menjadi topik utama pembicaraan para remaja. Hal tersebut tidaklah salah, bahkan sah-sah saja karena para remaja memang sedang memasuki usia matang untuk menikah. Tidak ketinggalan, Rasulullah SAW pun ikut menghangatkan tema ini dengan sabdanya:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ؛ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. (متفق عليه)

“Wahai para pemuda…! Siapa saja diantara kalian yang telah mampu maka hendaklah dia menikah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, dan siapa yang belum mampu maka hendaklah dia berpuasa karena puasa itu adalah penekan nafsu syahwat. (Muttafaqun ‘Alaihi).

Menikah Adalah Sunnah Nabi

Teringat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh dua pakar hadits terkemuka Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dari sahabat Anas ibn Malik tentang tiga orang sahabat Nabi SAW yang datang menemui para istri Nabi SAW dan menanyakan tentang ibadah beliau.

Ketika mereka diberitahukan perihal ibadah Nabi SAW seakan-akan mereka masih menganggap kecil ibadah-ibadah yang telah mereka kerjakan selama ini. Mengapa? Karena Nabi SAW saja yang sudah mendapat jaminan ampunan dari Allah SWT baik dosa yang terdahulu maupun dosa yang belum dilakukan, masih terus beribadah dengan sungguh-sungguh. Sedang mereka yang belum mendapat jaminan ampunan, maka logikanya mereka seharusnya beribadah dengan lebih keras dan sungguh-sungguh lagi.

Lantas kira-kira apa yang ada dibenak mereka? laki-laki pertama mengatakan: “Saya akan shalat sepanjang malam dan tidak akan tidur”. Yang kedua lantas menimpali: “Adapun saya, saya akan puasa terus menerus”. Kemudian yang ketiga berujar: “Adapun saya, saya akan meninggalkan wanita dan tidak akan menikah”.

Kemudian datanglah Rasulullah SAW dan bersabda: “Kalian berbicara begini dan begini padahal aku adalah yang seorang yang paling takut kepada Allah SWT dan paling bertaqwa kepadanya, akan tetapi aku shalat dan juga tidur, aku puasa dan aku juga berbuka (tidak puasa), dan aku juga menikahi wanita, siapa saja yang tidak suka terhadap sunnahku maka dia bukan termasuk dariku (umatku)”. (Muttafaqun ‘Alaihi).

Menikah, Kenikmatan Yang Bernilai Ibadah

Islam tidaklah seperti agama yang dianut oleh para hewan berwujud manusia yang selalu menuhankan syahwat dan hawa nafsunya. Islam juga bukan agama yang mengajarkan kemunafikan dengan berbalut suci baju kerahiban. Suci dalam kepura-puraan dan hewan dalam wujud dan perbuatan.

Inilah islam, agama sempurna yang semua ajarannya bersumber dari wahyu tuhan semesta alam.  Menikah …! Ya itulah solusinya. Kenikmatan yang bernilai ibadah. Solusi syar’i untuk menyalurkan syahwat insani.

Islam sangat memperhatikan fitrah suci manusia. Tidak mengajarkan pemeluknya untuk mengumbar syahwatnya, tidak pula memerintahkan membuang jauh syahwat yang memang sudah menjadi fitrah manusia. Islam sangat menganjurkan bagi mereka yang telah mampu agar segera menikah.

Pernikahan…! Di dalamnya ada ketenangan. Di dalamnya ada kebahagiaan. Ada suami, imam gagah dengan mahkota qawwamah. Ada istri, sosok yang  menebarkan sakinahdalam rumah tangga. Juga ada anak-anak yang menjadi penyejuk mata.

Lantas, Kenapa Banyak Ulama Tidak Menikah…???

Satu hal yang perlu saya pertegas disini bahwa yang dimaksud banyak bukanlah mayoritas. Banyak dalam bahasa arab bisa dikatakan sebagai jama’Jama’ artinya lebih dari dua.Jama’ artinya dimulai dari tiga dan juga masuk di dalamnya bilangan-bilangan setelahnya.

Perlu kita ketahui bahwa tidak menikah adalah pilihan yang sangat berat. Konsekuensi dari pilihan itu adalah tiadanya sosok istri yang memberikan ketenangan jiwa dan pelayanan baginya. Tiadanya anak-anak penyejuk mata yang berarti juga menjadikan putus nasabnya. Juga ada nafsu syahwat yang harus dikekangnya agar tidak menjadikan dirinya bermaksiat kepada tuhannya.

Tidak Ada Hadits Shahih Tentang Keutamaan Membujang

Memang ada hadits-hadits yang bertebaran dikalangan masyarakat tentang keutamaan membujang. Tapi inilah perkataan seorang pakar hadits yang keilmuannya telah diakui umat islam. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah di dalam kitab al-Manar al-Munif fii ash-Shahih Wa adh-Dha’if :

أحاديث مدح العزوبة كلها باطل

“Hadits-hadits yang memuji untuk membujang semuanya bathil”.

Antara Menuntut Ilmu Dan Menikah

Tidak ada yang meragukan bahwa menikah merupakan sunnah Nabi SAW. Di sisi yang lain menuntut ilmu merupakan amalan yang sangat mulia. Bahkan Rasulullah SAW dalam hadits-hadits beliau banyak memuji para penuntut ilmu. Salah satu hadits tersebut adalah sabda beliau SAW:

{فضل العالم على العابد كفضل القمر على سائر الكواكب وإن العلماء ورثة الأنبياء وإن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما وإنما ورثوا العلم فمن أخذه أخذ بحظ وافر} (رواه أبو داود والترمذي).

“Keutamaan seorang yang berilmu di banding ahli ibadah (yang tidak berilmu) seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang-bintang, sungguh para ulama adalah ahli waris para nabi, sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham, akan tetapi mewariskan ilmu, siapa yang mengambilnya maka hendaklah mengambil bagian yang banyak”. (HR.Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Itulah kemuliaan ilmu. Warisan para nabi wang diwariskan kepada para ulama. Tiada yang menyamai tingkatan kenabian, akan tetapi ilmu lah yang berada di bawah tingkat kenabian tersebut.

Para ulama bagaikan matahari yang dengan sinar ilmunya mereka menerangi gelap kebodohan dunia. Mereka bagaikan bintang yang menjadi petunjuk bagi umat manusia. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Nabi SAW mengatakan kepada Ali ibn Abi Thalib jika dia menjadi sebab seorang saja mendapat petunjuk maka hal itu lebih baik baginya dibanding unta merah. Dalam riwayat yang lain dikatakan lebih baik dari dunia dan seluruh isinya.

Sebuah Hadits Nabi SAW Sebagai  Bahan Renungan

Imam al-Hakim meriwayatkan dalam kitab al-Mustadrak juga Imam al-Haitsami dalam kitab Majma’ az-Zawa’id sebuah hadits dari sahabat al-Aswad ibn Khalaf dari Nabi SAW. Ketika beliau merengkuh Hasan kemudian beliau menciumnya. Ketika para sahabat menemuinya, beliau bersabda:

{إن الولد مخبلة مجهلة مجبنة} (رواه البزار)

“Sesungguhnya anak adalah (penyebab) kekikiran, kebodohan dan kepengecutan”. (HR.al-Bazzar)


Az-Zamakhsari dalam kitab al-Fa’iq mengatakan bahwa: “Maksudnya adalah anak menjadikan bapaknya kikir karena dia menahan hartanya untuk diberikan pada anaknya, menjadi sibuk dengan anaknya dari menuntut ilmu, menjadi pengecut karena takut dibunuh dan menelantarkan anaknya”.

Kisah Salah Seorang Ulama

Abu Bakar an-Naisaburi berkata kepada Yusuf al-Qawwas: “Kamu tahu seorang yang shalat selama empat puluh tahun dan tidak pernah tidur malam? Setiap hari cuma memakakan lima butir (kurma)? Shalat shubuh dengan wudhu shalat isya’? orang tersebut adalah saya sebelum mengenal Ummu Abdirrahman. Apa yang saya katakan kepada seorang yang menikahkanku?” Kemudian dia berkata: “Saya tidak menginginkan kecuali kebaikan”.

Wahai Para Penuntut Ilmu…!

Sebuah nasehat berharga dari Umar ibn Khathab yang wajib kita renungkan adalah perkataan beliau:
تفقّهوا قبلَ أَن تسودوا

“Menjadilah faqih (dengan menuntut ilmu) sebelum menjadi pemimpin”.

Sebuah nasehat yang sangat luar biasa yang menunjukkan pentingnya menuntut ilmu. Bahkan sebagian ulama menafsirkan perkataan Umar ibn Khathab tersebut dengan anjuran menununtut ilmu sebelum menikah. Loh kok bisa? Bisa. Karena pada hakekatnya seorang suami juga harus menjadi pemimpin rumah tangganya yang otomatis dia akan sibuk dan perhatiannya terhadap ilmu pun akan berkurang.

Perkataan-Perkataan Para Ulama Yang Perlu Kita Ketahui

Disini saya akan mencoba untuk menukil perkataan-perkataan para ulama yang cukup menarik untuk kita ketahui. Imam al-Khathib al-Baghdadi menjelaskan dalam kitab al-Jami’ Lii Akhlaqi ar-Rawi Wa Aadabi as-Sami’: “Dianjurkan agar penuntut ilmu membujang sampai batas yang memungkinkan baginya, karena kesibukannya dalam menunaikan hak-hak suami istri dan mencari penghidupan akan menghalanginya untuk menuntut ilmu”.

Bahkan Imam Sufyan at-Tsauri mengatakan: ”Siapa yang telah menikah berarti dia telah mengarungi samudra, jika telah lahir seorang anak maka dengan itu perahunya hancur”. Maksudnya seorang yang telah menikah dan juga telah dikaruniai anak maka otomatis waktunya untuk mencari ilmu akan berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali.

Imam Ibnul Jauzi dalam kitab Shaid al-Khathir berkata: “Saya memilih bagi penuntut ilmu yang masih pemula agar menghindari untuk menikah sesuai kemampuannya, bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal tidak menikah sehingga umur beliau mencapai empat puluh tahun”.

Sebuah hal yang mencengangkan datang dari sebuah ungkapan salah seorang ulama:
ذُبِحَ العلمُ بين أفخاذِ النساءِ

“Ilmu itu telah disembelih diantara paha para wanita”.

Artinya kenikmatan menikahi seorang wanita terkadang dapat menjadikan seseorang berhenti untuk menuntut ilmu. Ungkapan yang lain menyebutkan: “Ilmu itu telah hilang dalam paha para wanita”.

Perlu kita ingat bahwa para ulama pada masa itu harus melakukan perjalanan melintasi kota atau bahkan melintasi negara untuk menuntut ilmu. Maka jelas berkeluarga pada saat itu dapat menghambat dan menghalangi mereka untuk menuntut ilmu. Hal tersebut mungkin agak berbeda dengan zaman kita sekarang.

Para Ulama Mengharamkan Yang Dihalalkan Allah?

Mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah SWT merupakan dosa yang sangat besar. Bahkan hal tersebut sudah menjadi bentuk kesyirikan kepada Allah SWT. Lantas benarkah para ulama  berani mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah SWT? Bahkan Allah SWT berfirman:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ})المائدة: 87(

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian, dan janganlah kalian melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (QS.al-Maidah : 87)

Benarkah para ulama tersebut sudah jatuh ke dalam larangan ayat di atas? Tunggu dulu! Jangan sekali-kali kita menyimpulkan sesuatu semau kita sendiri!

Imam asy-Syathibi dalam kitab al-I’thisham menjelaskan terkait ayat di atas. Ada beberapa hal menurut beliau yang perlu kita ketahui terkait pengharaman yang halal. Dan gambaran dari hal tersebut ada rinciannya.

Yang pertama: Pengharaman hakiki. Dan pengharaman jenis inilah yang dilakukan oleh orang-orang kafir seperti dalam masalah al-Bahirah dan as-Sa’ibah yang telah Allah SWT terangkan dalam al-Qur’an.

Yang kedua: Hanya sebatas meninggalkan dan tidak ada tujuan untuk mengharamkan. Hal tersebut juga terjadi pada Rasulullah SAW yang meninggalkan memakan adh-Dhabb (kadal padang pasir/ biawak). Beliau bersabda:
{إنه لم يكنْ بأرضِ قومي، فأجدُنِي أعافُهُ} (رواه الجماعة إلا الترمذي)

“Sesengguhnya dia tidak ada di negri kaumku, sehingga aku mendapati diriku tidak menyukainya”. (HR.Jama’ah kecuali at-Tirmidzi)

Tidak Menikah Adalah Pilihan?

Tidak menikah adalah pilihan sebagian ulama berdasarkan ijtihad mereka dengan mempertimbangkan berbagai hal dan mashlahatnya. Tidak menikah bukanlah madzhab sebagian ulama yang kemudian mereka mengajak orang-orang untuk mengikuti mereka. Hal tersebut tidak akan pernah kita temukan dalam kitab-kitab para ulama. Bahkan tidak ada seorang ulama pun yang mengharamkan pernikahan dan mengajak orang lain untuk tidak menikah.

Pilihan untuk tidak menikah merupakan pengorbanan sebagian ulama demi memfokuskan diri mereka terhadap ilmu agama yang memang sangat dibutuhkan oleh umat islam. Hal tersebut berdasarkan ijtihad mereka dengan mempertimbangkan berbagai hal dan maslahatnya juga keadaan diri mereka, lingkungan mereka dan kondisi umat islam secara keseluruhan serta kebutuhan mereka terhadap ilmu agama.

Siapa Saja Ulama Yang Tidak Menikah?

Dalam hal ini banyak ulama yang mengorbankan diri mereka untuk tidak menikah demi berkhidmah pada umat islam dalam hal menuntut dan mengajarkan ilmu agama. Hanya saja pada tulisan ini saya hanya akan menyebutkan beberapa nama di antara mereka yang memang namanya sudah sangat masyhur di kalangan umat islam. Sebut saja Imam ibnu Jarir ath-Thabari, Imam an-Nawawi, begitu juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Apakah Mereka Tidak Berhasrat Kepada Wanita?

Ketika mendengar pertanyaan ini, saya jadi teringat dengan kisah seorang yang sangat luar biasa. Seorang yang oleh para ulama dianggap sebagai khulafaurrasyidin yang kelima. Ya, dialah Umar ibn Abdul Aziz.

Lantas apa hubungan pertanyaan di atas dengan kisah Umar ibn Abdul Aziz? Saya akan mencoba untuk menjawabnya. Ketika Umar ibn Abdul Aziz diamanahi untuk menjadi seorang khalifah maka beliau menganggap hal tersebut sebagai amanah dan tanggung jawab yang sangat berat, sampai-sampai beliau mengatakan kepada istrinya bahwa sudah tidak ada waktu lagi buat istrinya. Beliau merasa waktu beliau sudah habis untuk mengurus urusan kaum muslimin yang sudah diamanahkan kepada dirinya.

Akan tetapi istri beliau Fathimah binti Abdul Malik adalah wanita sholehah yang lebih memilih untuk bersabar dan terus mendampingi suaminya Umar ibn Abdul Aziz. Dan pengakuan istrinya ketika Umar ibn Abdul Aziz sudah wafat bisa menjadi pelajaran buat kita semua. “Umar ibn Abdul Aziz tidak pernah mandi besar baik karena janabah atau mimpi basah sejak dia diangkat menjadi khalifah sampai dia meninggal”.

Ilmu Adalah Warisan Para Nabi

Lantas adakah sesuatu yang lebih besar dibandingkan ilmu yang merupakan warisan para nabi?  Maka urusan wanita bagi para ulama dibandingkan dengan ilmu merupakan hal yang kecil.

Kebutuhan umat terhadap ilmu agama sangat besar. Maka sangatlah wajar jika ulama (ahli waris nabi) merasa mendapatkan amanah yang begitu besar untuk berkhidmah bagi umat islam. Begitu besarnya amanah dan tanggung jawab yang mereka emban menjadikan urusan wanita menjadi sangat kecil. Bahkan

Itulah pengorbanan para penuntut ilmu. Maka pantaslah jika Allah SWT meninggikan derajat mereka. Allah SWT berfirman:
{يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ}(الحجرات : 11)

"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.  (QS.al-Mujadilah : 11)

Wallahu A’lam Bish showab


Ali Shodiqin

Kamis, 08 Mei 2014

Memahami Sunnah Nabi

Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuh...

Seringkali kita mendengar perkataan..kita harus mengikuti sunnah nabi, ibadah maupun muammalah kita belum sesuai dengan sunnah nabi dsb...namun kita belum memahami benar apa arti yang sebenarnya dari sunnah itu sendiri.

Berikut ada artikel tentang sunnah, yang cukup ringkas, dan jelas tentang makna sunnah. Apakah sunnah hanya terbatas perbuatan nabi, maupun perkataannya atau ada yang lainnya.

Semoga artikel ini bermanfaat.

Perbedaan Makna Sunnah dari Berbagai Sudut Pandang

1. Makna Sunnah dari Segi Bahasa

Makna kata 'sunnah' secara bahasa punya banyak arti, di antaranya adalah:
  • At-Thariqah (metode)
  • Al-'Aadah (kebiasaan)
  • As-Sirah (sejarah/riwayat/kehidupan)
Maka jangan mudah salah paham dulu kalau mendengar ungkapan bahwa menikah adalah sunnah para nabi. Maksudnya adalah bahwa para nabi itu punya kebiasaan atau kehidupan dengan cara menikah dengan wanita, tidak hidup membujang seperti yang dipahami oleh saudara kita yang Kristiani.

Para nabi punya sunnah menikah, artinya mereka semua menikah dan hidup berumah tangga, beranak dan punya keturunan.

Dan bukan berarti menikah itu hukumnya sunnah, seperti istilah yang digunakan oleh para ahli fiqih. Sebab hukum menikah menurut para ahli fiqih bukan hanya sunnah, melainkan ada lima hukumnya.
Menikah itu hukumnya bisa wajib, bisa sunnah, bisa mubah, bisa makruh dan bisa juga haram. Itu adalah hukum menikah dalam pandangan para ulama fiqih yang memang kapasitasnya sebagai ahli hukum.

2. Sunnah Menurut Ahli Fiqih

Para ahli fiqih punya istilah sunnah yang mereka definisikan dengan beberapa batasan.

Sebagian ahli fiqih mengatakan bahwa sunnah itu adalah sebuah perbuatan yang bila dikerjakan akan mendatangkan pahala dan bila tidak dikerjakan tidak mendatangkan dosa bagi pelakunya.

Lihat kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah jilid 1 halaman 67, juga kitab Ibnu Abidin jilid 1 halaman 70.

Sementara sebagian ahli fiqih lainnya membuat batasan bahwa sunnah adalah perbuatan yang selalu dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, namun tidak sampai menjadi kewajiban karena tidak ada dalil yang menunjukkan atas kewajibannya.

Bisa kita baca dalam kitab Ibnu Abidin jilid 1 halaman 80 dan 404. Juga kitab Jawahirul Iklil jilid 1 halaman 73.

Ulama lain mendefinisikan sebagai metode dalam beragam yang tidak sampai difardhukan atau diwajibkan. Lihat kitab Kasyful Asrar oleh Al-Bazdawi jilid-jilid halaman 302.

3. Sunnah Menurut Ilmu Ushul (Ushuliyyin)

Yang dimaksud dengan sunnah adalah salah satu sumber hukum Islam. Kedudukannya setelah Al-Quran. Sering juga disebut dengan istilah sunnah nabi atau sunnah nabawiyah.

Pengertiannya adalah segala yang dinisbahkan kepadaNabi Muhammad SAW baik berupa perbuatan, perkataan dan taqrir. Sehingga kita mengenal ada sunnah fi'liyah, sunnah qauliyah dan sunnah taqririyah.

Dalam pengertian ini, sunnah itu merupakan muradif (sinonim) dari istilah hadits nabawi. Jelas berbeda dengan pengertian sunnah menurut para fuqaha ilmu fiqih.

Para ulama fiqih menyebut sunnah dalam kapasitas sifat atas suatu hukum. Misalnya hukumnya puasa Senin Kamis itu sunnah. Sedangkan menurut ulama ushul, sunnah itu adalah benda, yaitu kitab hadits yang berisi perkataan, perbuatan dan taqrir dari nabi Muhammad SAW.

Titik Temu Antara Semuanya

Kalau ada ungkapan bahwa kita harus berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah SAW, maka ungkapan ini harus kita pahami sebagai hadits nabi SAW, yang merupakan sumber dari sumber-sumber syariah Islam.

Maka ungkapan ini menjadi benar, tentu saja. Sebab kita memang harus menjadi hadits nabi SAW sebagai sumber dalam menjalankan agama Islam.

Namun pengertianya akan menjadi tidak selalu tepat kalau ditempatkan bukan pada tempatnya. Misalnya, ada orang yang mengatakan bahwa shalat qabilyah dan ba'diyah itu harus kita pegang teguh, bahkan wajib dilaksanakan. Sebab nabi Muhammad SAW selalu mengerjakannya.

Nah, di sini akan terlihat jelas bedanya. Shalat qabliyah dan ba'diyah itu memang selalu dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, namun bukan berarti hukumnya wajib. Para ulama tidak pernah menghukumi kedua jenis shalat itu sebagai kewajiban, meski merupakan pekerjaan yang tidak pernah ditinggalkan oleh nabi SAW.

Mengapa demikian?

Kita tahu bahwa ternyata tidak semua pekerjaan yang dilakukanoleh nabi SAW, hukumnya menjadiwajib. Ada yang hukumnya memang wajib, tapi ada juga yang hukumnya sunnah, bahkan ada yang hukumnya mubah, makruh hingga sampai ke haram.

Lho sunnah nabi kok haram?

Ya, bisa saja sunnah nabi menjadi haram. Sebab sunnah nabi itu maksudnya adalah perbuatan nabi. Dan ada beberapa perbuatan nabi yang hukumnya haram dikerjakan oleh umatnya.

Misalnya berpuasa wishal, yaitu puasa yang bersambung terus beberapa hari tanpa berbuka. Nabi Muhammad SAW diriwayatkan secara shahih telah melakukannya, namun beliau melarang umatnya untuk melakukannya.

Contoh lain adalah beristeri lebih dari empat wanita secara bersamaan. Beliau diriwayatkan beristerikan 9 orang, atau ada yang bilang 11 orang. Jelas sekali riwayat itu sampai kepada kita dan kita semua sepakat membenarkannya.

Namun jelas juga hukumnya bagi umat Islam tentang keharaman beristri lebih dari 4 orang wanita. Walau pun nabi Muhammad SAW malah beristeri lebih dari empat orang.

Selain itu ada juga perbuatan yang menjadi wajib bagi nabi Muhammad SAW, namun bagi ummatnya malah tidak wajib. Misalnya shalat witir di malam hari (tahajjud). Sebagai umatnya, kita tidak diwajibkan untuk melakukannya, hukumnya buat kita hanya sunnah. Sedangkan buat nabi Muhammad SAW, hukumnya wajib.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc