Jumat, 14 Agustus 2020

Tafsir Surah Maryam ayat 71 - 72, apakah orang bertakwa tetap akan masuk neraka.

Bismillahirrohmaanirrohiim...

Surah Maryam (19) ayat 71 – 72

 

“Dan tidak ada seorangpun daripadamu, melainkan mendatangi Neraka itu. Hal itu bagi Rabb mu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan.[71]. Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zhalim di dalam Neraka dalam keadaan berlutut. [72]

 

Assalamu’alaikum warrohmatullahi wabarokaatuh

 

Bila kita membaca terjemahan al Quran surah Maryam ayat 71-72, maka betapa mengerikannya kondisi di akhirat nanti. Ada hadits menceritakan bahwa 1 hari di dalam Neraka serasa 1000 tahun di dunia. Maka walaupun sesaat dalam Neraka, maka betapa sengsaranya kita..

 

Untuk itu saya coba mencari tahu dibeberapa kitab tafsir, dalam hal ini tafsir Jami’ul Ahkam Al Qurthubi, dan Tafsir Ibnu Katsir.

 

Semoga bisa mencerahkan dan membuat permasalahan menjadi jelas..

 

Wallahua’lam bishowab.

 

Tafsir Al Qurthubi Jami’ al Ahkam.

 

Dikatakan:  

 

"Dan tidak ada seorang pun daripadamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan." (ayat 71)

 

Mengenai ayat ini dibahas lima masalah.

 

PERTAMA 

 

Bahwa dalam ayat ini dijelaskan mengenai sumpah. Ini ditafsirkan dalam hadits Nabi SAW, “Tidak seorangpun dari antara kaum muslimin yang ditinggal mati oleh tiga anaknya lalu ia disentuh api neraka melainkan hanya sebentar (saat melintas neraka) (HR Bukhari)

 

Az Zuhri mengatakan, “Tampaknya beliau memaksudkan ayat ini, (Dan tidak ada seorang pun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu). Demikian yang disebutkan oleh Abu Daud Ath-Thayalisi.”. Jadi sabda beliau, :”Melainkan hanya sebentar (saat melintas neraka)” adalah sebagai penafsiran yang musnad, karena menurut para ahli ilmu, bahwa makna sumpah yang disebutkan di dalam hadits ini adalah firman Allah SWT “Dan tidak ada seorang pun dari padamu melainkan mendatangi neraka itu”.

 

Pendapat lain menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan sumpah tersebut adalah firman Nya: “Demi (angin) yang menerbangkan debu yang sekuat-kuatnya, dan awan yang mengandung hujan, dan kapal-kapal yang berlayar dengan mudah, dan (malaikat-malaikat) yang membagi-bagi urusan, sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti benar.” (QS Adz Dzaariyaat [51]: 1-5). Pendapat pertama lebih populer dan maknanya berdekatan.

 

KEDUA :

 

Para ahli ilmu berbeda pendapat tentang makna Al Wuruud. Suatu pendapat menyebutkan, bahwa al Wuruud adalah masuk. Diriwayatan dari Jabir bin Abdullah, ia mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘AL Wuruud adalah ad-dukhuul (masuk). TIdak ada seorang pun yang baik maupun yang jahat kecuali akan memasukinya, lalu bagi orang yang beriman akan menjadi dingin dan keselamatan sebagaimana terhadap Ibrahim dulu. Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zhalim di neraka dalam keadaan berlutut” (Hadits ini disebutkan oleh Ibnu Katsir di dalam Tafsirnya dan Al Allusi dalam Ruh Al Ma’ani dari Riwayat Ahmad, Al Hakim At Tirmidzi, Ibnu Mundzir serta Al Hakim dan ia menshahihkannya)

 

Disebutkan di dalam Musnad Ad Darimi, dari Abdullah Bin Mas’ud, ia mengatakan, “Rasulullah SAW bersabda, “Manusia akan memasuki neraka, kemudian mereka keluar darinya berdasarkan amal perbuatan mereka. Diantara mereka ada yang hanya sekejap mata, kemudian yang seperti angin, kemudian yang seperti lompatan kuda, kemudian yang seperti penunggang binatang tunggangan, kemudian seperti orang yang berjalan cepat’.” (Atsar dari Ibnu Abbas ini disebutkan oleh Ath-Thabari dalam Jami’ Al Bayan)


Banyak ulama yang kesulitan memastikan makna al wuruud dan makna ash-shadr.

 

Segolongan ahli Ilmu mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan al wuruud ini adalah berjalan diatas titian (ash-shiraath) (disebutkan oleh Ath-Thabari didalam Jami’Al Bayan). Demikian yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Ka’b Al Ahbar dan As-sudi.

 

Diriwayatkan juga oleh As-Suddi, dari Ibnu Mas’ud, dari Nabi SAW. Dan demikian juga yang dikatakan oleh Al Hasan. Ia mengatakan, bahwa al Wuruud disini bukan bermakna masuk, seperti yang engkau mengatakan ; waradtu al bashrah walam adkhulnya (aku datang ke Basrah tapi tidak memasukinya). Jadi al Wuruud disini adalah melintas diatas titian”

 

Abu Bakar Al Anbari mengatakan, “Segolongan ahli Bahasa berpatokan pada pendapat Al Hasan ini, dan mereka berdalih dengan firman Allah Ta’ala, “Bahwasanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami, mereka itu dijauhkan dari neraka..” (QS Al Anbiya [21]; 101) (pendapat ini disebutkan oleh Ath-Thabari di dalam Jami’Al Bayan). Mereka mengatakan, “Maka tidak akan masuk neraka orang yang telah dijamin Allah untuk dijauhkan darinya”. Golongan lainnya menyanggah pendapat golongan pertama dengan menyatakan, bahwa makna firmanNya “Mereka itu dijauhkan dari neraka” adalah dijauhkan dari di adzab dan dibakar didalamnya. Mereka juga mengatakan, “Maka orang yang memasukinya lalu ia tidak menyadarinya dan tidak akan merasakan sakit mapun penderitaan, berarti dialah yang sebenarnya dijauhkan darinya”. Mereka juga berdalih dengan firman Allah Ta’ala, “Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa”. Menunjukkan selamat setelah memasukinya.

 

Dari semua penjelasan dan pendapat yang ada diatas, Al Qurthubi berpendapat, seperti disebutkan dalam Shahih Muslim, “Kemudian dibentangkan jembatan di atas Jahannam, dan berlakulah syafa’at, lalu mereka berkata, ‘Ya Allah, selamatkanlah. Selamatkanlah’.” Lalu ditanyakan kepada Rasulullah, “Ap aitu al jisr (jembatan)?”. Beliau menjawab, “Lumpur licin yang menggelincirkan, didalammya terdapat besi-besi yang kepalanya melengkung, besi-besi yang kepalanya melengkung dan dapat merobek daging dan duri-duri besi yang biasa ada di Nejed yang didalamnya terdapat duri-duri kecil yang biasa disebut sa’dan (nama tumbuhan berduri). Lalu orang yang beriman akan melewatinya seperti kedipan mata, seperti kilat, seperti angin, seperti burung, seperti kuda yang larinya sangat cepat dan seperti binatang tunggangan yang bisa berlari. Maka ada yang selamat tanpa luka, ada juga yang tercabik-cabik dan ada juga yang terpelanting ke dalam neraka Jahannam” (HR Muslim)

 

Ini dijadikan dalil oleh mereka yang mengatakan, bahwa melintasi titian adalah al wuruud yang dimaksud oleh ayat ini, jadi bukan memasukinya.

 

Segolongan ahli ilmu lainnya berpendapat, bahwa wuruud ini adalah mendatangi, melihat dan mendekati. Demikian ini karena mereka mendatangi tempat hisab (tempat perhitungan amal perbuatan) yang berada di dekat Jahannam, maka mereka dapat melihatnya pada saat penghisaban. Kemudian Allah menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa dari apa yang telah mereka lihat itu, lalu mereka diantarkan ke surga.

 

Dan membiarkan orang-orang yang zhalim” yakni diperintahkan agar mereka dibawa ke neraka. Allah Ta’ala berfirman, “Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan” (QS. Al Qashash [28]:23) yakni sampai ke tempat tersebut dan bukan memasukinya.

 

Hafsah meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan masuk neraka seorangpun dari para peserta (perang) Badar dan (perjanjian) Hudaibiyah”. Hafsah melanjutkan, “Lalu aku bertanya, “Wahai Rasulullah, lalu bagaimana dengan firman Allah Ta’ala; ‘ Dan tidak ada seorangpun daripadamu, melainkan mendatangi neraka itu’?, Maka Rasulullah SAW menjawab, “Lalu bagaimana [jangan khawatir], Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa dan membiarkan orang-orang yang zhalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut” (HR Muslim)

 

Diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Ummu Mubassyir, ia menuturkan, “Aku mendengar Nabi SAW mengatakan kepada Hafshah…….” (Al Hadits)

 

Az Zujjaz mengunggulkan pendapat ini dan menguatkannya dengan firman Allah Ta’ala; “Bahwasanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami, mereka itu dijauhkan dari neraka….” (QS Al Anbiya [21] ; 101)

 

Mujahid mengatakan, “Wuruud al mukmin an-naar (sampainya seorang mukmin ke neraka) adalah demam yang menimpa seorang mukmin sewaktu di dunia. Jadi hanya itu bagian orang beriman dari neraka, sehingga tidak memasukinya” (Atsar dari Mujahid, disebutkan oleh Ath Thabari dalam Jami’ Al Bayan)

 

Abu Hurairah meriwayatkan; “Bahwa Rasulullah SAW menjenguk orang sakit karena demam tinggi, lalu Nabi SAW berkata kepadanya, “Bergembiralah, karena Sesungguhnya Allah Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi berfirman: ‘Itu adalah api-Ku, Aku mengenakannya kepada hamba-Ku yang beriman untuk menjadi bagiannya dari neraka’ (Disebutkan oleh Ath Thabari dalam Jami’Al Bayan)

 

Riwayat ini disandarkan oleh Abu Umar, ia pun mengatakan, : dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW: Bahwa beliau menjenguk seorang yang sakit… lalu disebutkan haditsya.

Dalam hadits ini disebutkan : “Demam adalah bagian orang beriman dari neraka” (Hadits ini disebutkan oleh As Suyuthi dalam Jami’ Al Kabir ….)

 

Segolongan ahli ilmu mengatakan, :Al Wuruud adalah melihat kepadanya (melihat ke neraka) Ketika di alam kubur. Lalu Allah menyelamatkan darinya orang yang beruntung, sementara yang telah ditetapkan maka akan memasukinya, kemudian akan keluar darinya dengan syafa’at atau lainnya dari rahmat Allah Ta’ala”. Mereka berdalih dengan hadits Ibnu Umar: “Apabila seseorang dari kalian meninggal, maka akan ditampakkan padanya tempat duduknya di pagi hari dan siang hari” (al Hadits) HR Bukhari.

 

Waki’ meriwayatkan dari Syu’bah, dari seorang laki-laki, dari Ibnu Abbas, bahwa ia mengatakan tentang firman Allah Ta’ala, (Dan tidak ada seorangpun daripadamu, melainkan mendatangi neraka itu), “Ini khithab untuk orang-orang kafir.

 

Menurut Al Qurthubi dalam Tafsirnya, dari beberapa pendapat ahli ilmu diatas, pendapat ini merupakan penggabungan dari berbagai pendapat. Karena orang yang mendatanginya namun tidak tersakiti oleh kobaran dan panasnya, berarti ia telah dijauhkan dan diselamatkan darinya. Semoga Allah Ta’ala menyelamatkan kita darinya dengan fadhilah dan keutamaan-Nya, dan semoga Allah menjadikan kita termasuk di antara yang mendatanginya lalu memasukinya dengan selamat serta keluar darinya dalam keadaan beruntung.

 

Jika dikatakan: Apakah para nabi juga memasuki neraka”, Kami katakan: Kami tidak memastikan ini, tapi kami katakana, bahwa semua makhluk mendatanginya sebagaiman yang ditunjukkan oleh hadits Jabir di awal pembahasan. Jadi orang-orang yang durhaka memasukinya dengan dosa-dosa mereka, sedangkan para wali dan orang-orang Bahagia dengan syafaat mereka, jadi antara dua jenis “masuk” ini ada perbedaan.

 

KETIGA :

 

Pengecualian dalam sabda Nabi SAW : “Melainkan hanya sebentar (saat melintas neraka)” kemungkinannya merupakan pengecualian yang terputus. Yang seperti sudah dikenal dalam ungkapan orang-orang Arab. Maknanya: sama sekali tidak disentuh oleh api neraka, disini redaksinya sudah sempurna, lalu dimulai lagi dengan redaksi baru: yakni akan tetapi merupakan pelaksanaan sumpah yang memang harus dipenuhi, yaitu yang terdapat dalam firman Allah Ta’ala: “Dan tidak ada seorangpun daripadamu, melainkan mendatangi neraka itu”. Yaitu melintasi titian, atau melihat, atau memasukinya dengan selamat, sehingga dengan begitu tidak tersentuh sedikitpun. Ini berdasarkan sabda Nabi SAW : “Tidaklah meninggal tiga orang anak dari seseorang kalian lalu ia mengharapkan pahalanya, kecuali akan menjadi benteng baginya dari api neraka.” (HR Malik). Al junnah adalah perlindungan dan penutup, dan barangsiapa yang dilindungi dan ditutupi dari api neraka, maka tidak akan disentuh oleh neraka. Jika disentuh neraka berarti tidak terlindungi.

 

KEEMPAT :

 

Hadits ini menafsirkan yang pertama, karena disini disebutkan mengharapkan pahala, karena itulah Malik menjadikannya sebagai penafsirannya. Hadits kedua ini juga dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW : “Barangsiapa yang ditinggal mati oleh tiga anaknya yang belum berdosa, maka baginya adalah hijab dari neraka atau masuk surga” (HR Bukhari). Jadi Sabda beliau, “Yang belum berdosa” yang menurut para ahli ilmu, maknanya adalah belum baligh dan belum mencapai usia yang bisa dibebani oleh dosa – adalah sebagai dalil bahwa anak-anak kaum muslimin berada di surga – Wallahua’alam -, karena bila rahmat turun kepada bapak-bapak mereka, maka adalah mustahil mereka dirahmati karena orang-orang yang tidak dirahmati. Ini sudah merupakan ijma’ para ulama, bahwa anak-anak kaum muslimin berada di surga, dan tidak ada yang menyelisihi hal ini kecuali segolongan sekte Jabbariyah yang menyatakan bahwa mereka itu berada di dalam kehendak Allah. Ini pendapat yang ditinggalkan dan tertolak berdasarkan suluruh ulama hujjah yang tidak boleh diselisihi dan tidak disalahkan kecuali berdasarkan khabar-khabar ahad yang tsiqah lagi adil yang bersumber dari Nabi SAW. Dan bahwa sabda Nabi SAW : “Orang yang sengsara adalah yang sengsara didalam perut ibunya, sedangkan orang yang Bahagia adalah yang Bahagia didalam perut ibunya. Dan sesungguhnya malaikat turun, lalu menuliskan ajalnya, amal perbuatannya dan rezekinya.” (HR Al Bazzar dan Ath Thabarani)

 

Hadits ini dikhususkan, bahwa siapapun dari anak-anak kaum muslimin yang meninggal sebelum baligh, maka ia termasuk yang Bahagia dalam perut ibunya, dan ini tidak mencemari dalil hadits-hadits dan ijma’. Demikian juga sabda Nabi SAW kepada Aisyah RA, “Wahai AIsyah, sesungguhnya Allah telah menciptakan surge dan telah menciptakan para penghuninya, mereka itu masih di dalam tulang punggung bapak-bapak mereka, dan Allah telah menciptakan neraka dan telah menciptakan pula para penghuninya, dan mereka itu masih di dalam tulang punggung bapak-bapak mereka.”

 

Riwayat ini gugur, lemah lagi tertolak oleh ijma’ dan atsar-atsar. Ibnu Yahya yang meriwayatkannya adalah perawi yang dha’if, tidak dapat dijadikan hujjah. Hadits ini termasuk yang diriwayatkan sendirian sehingga tidak dapat dijadikan pedoman.

 

Syu’bah telah meriwayatkan dari Mu’awwiyah Ibnu Qarrah bin Iyas Al Mazni, dari ayahnya, dari Nabi SAW: Bahwa seorang laki-laki dari golongan Anshar ditinggal mati oleh anaknya yang masih kecil, lalu iapun bersedih karenanya, Lalu Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Tidakkah menggembirakanmu, bahwa tidaklah engkau mendatangi satu pintu pun diantara pintu-pintu surge kecuali engkau mendapatinya meminta dibukakan untukmu.” Maka mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah ini khusus baginya atau bagi kamu muslimin secara umum?” Beliau menjawab, “Bahkan ini untuk kaum muslimin secara umum” (HR Nasa’i)

 

Abu Umar mengatakan, “Ini hadits valid lagi shahih.” Yakni apa yang kami sebutkan disamping ijma’ jumhur, walaupun bertolak belakang dengan hadits Yahya.

 

Abu Umar mengatakan, “Menurutku, inti pada hadits ini dan atsar-atsar yang serupa adalah berkenaan dengan orang yang memelihara pelaksanaan kewajiban-kewajiban dan menjauhi dosa-dosa besar serta bersabar dan mengharapkan pahala dari musibah yang menimpanya. Karena pada masa itu, khithab tersebut tidak ditujukan kecuali pada orang-orang yang mayoritas kondisinya adalah sebagaimana yang kami uraikan, yaitu para sahabat RA.”

 

An Naqqasyi menceritakan dari salah seorang mereka, bahwa ia berkata, “Firman Allah Ta’ala: (Dan tidak ada seorangpun daripadamu, melainkan mendatangi neraka itu) menghapuskan firmanNya (Bahwasanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami, mereka itu dijauhkan dari neraka). (QS Al Anbiya [21] 101). Pendapat ini lemah, karena ini bukan masalah penghapusan. Kami telah menjelaskan, bahwa apabila tidak disentuh oleh api neraka berarti telah dijauhkan darinya. Dalam Riwayat disebutkan :” Pada hari Kiamat, neraka berkata kepada orang beriman, ‘Melintaslah wahai orang beriman, sesungguhnya cahayamu memadamkan kobaranku’.

 

KELIMA :

 

Firman Allah SWT ,” Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan.” Al Hatm adalah kepastian qadha’, yakni bahwa hal itu sudah meruapakan kepastian. Yakni telah ditetapkan Allah Ta’ala ataskalian. Ibnu mengatakan ,” Yakni sumpah yang wajib” (disebutkan oleh Ibny Abbas oleh Al Mawardi dalam At Tafsir)

 

Firman Allah SWT, “Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa” Yakni menyelamatkan mereka. “Dan membiarkan orang-orang yang zhalim di dalam neraka dalam keadaan belutut” Ini termasuk yang menunjukan bahwa al Wuruud adalah ad-dukhuul (masuk), karena Allah tidak menyebutkan; wa nudkhilu azh zhaalimiin (dan Kami masukan orang-orang zhalim.) Pemaknaan tentang ini telah dipaparkan tadi. Pendapat kami, bahwa pelaku dosa besar, bila ia telah memasuikinya, makai a akan disiksa sesuai dosanya kemudian ia selamat. Golongan murjiah mengatakan, “Ia tidak masuk”.  Golongan wa’idiyah mengatakan ,”Ia Kekal”. Penjelasan tentang ini telah dipaparkan di lebih dari satu tempat (kitab tafsir Jami’ul Ahkam Al Qurthubi).

 

Wallahua’lam bi showab

                                                                                                  .

Tafsir Ibnu Katsir

 

SETIAP ORANG MENDATANGI JAHANNAM KEMUDIAN ORANG-ORANG YANG BERTAKWA SELAMAT

 

Ibnu Jarir meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud, tentang firman Nya, “Dan tidak ada seorangpun diantara kamu yang tidak mendatanginya (Neraka)”, beliau mengatakan, “Jalan di atas Jahannam yang tajamnya seperti pedang. Rombongan tingkat pertama melaluinya seperti kilat, yang kedua seperti angin, yang ketiga seperti kuda berbadan kekar, dan yang keempat seperti hewan (kendaraan selain kuda) yang kekar. Kemudian mereka meniti jalan, semetnara para malaikat berkata, “Ya Allah selamatkan selamatkan.” (Ath Thabari). Keterangan ini memiliki bukti-bukti dalil didalam shahih al Bukhari dan Muslim dan lainnya dari Riwayat Anas, Abu Sa’id, Abu Hurairah, Jabir, dan sahabat sahabat RA lainnya.

 

Ahmad juga meriwayatkan dari Ummu Mubasysyir, istri Zaid bin Haritsah, ia mengatakan, Rasulullah SAW berada di dalam rumah Hafsah lalu bersabda, “Tidak akan masuk Neraka seorang yang mengikuti perang Badar dan Perjanjian Hudaibiyah.” Hafsah bertanya, bukankah Allah berfirman, “Dan tidak ada seorang pun diantara kamu yang tidak mendatanginya? (Neraka).” Rasulullah SAW menjawab, “Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa,” hingga akhir ayat. (HR Ahmad)

 

Di dalam Shahih Bukhari, dan Muslim disebutkan dari hadits az Zuhri dari Sa’id dari Abu Hurairah RA, bahwa ia mengatakan, Rasullullah SAW bersabda, “Tidak seorangpun dari kaum muslimin ditinggal mati 3 anaknya (dan ia tetap bersabar dalam keadaannya), melainkan Neraka tidak akan menyentuhnya, kecuali ia hanya mendatanginya saja (sebagai penebus sumpah Allah) (Fathul Baari, dan Muslim)

 

‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam mengatakan mengenai firman Nya, “Dan tidak ada seorangpun diantara kamu yang tidak mendatanginya (Neraka). “Ia mengatakan, kedatangan kaum muslimin adalah melewati jembatan yang melintas diatasnya (diantara dua sisi). Adapun kedatangan kaum musyrikin berarti memasukinya.

 

As-Suddi mengatakan dari Murrah dari Ibnu Mas’ud mengenai firman Nya, “Hal itu bagi Rabb mu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan. “ Ia mengatakan, pembagian yang telah ditetapkan.

Firman Nya, “Kemudian Kami akan menyelematkan orang-orang yang bertakwa.” Maksudnya, jika para makhluk seluruhnya melintasi Neraka dan terjatuhlah ke dalamnya siapa yang terjatuh diantara orang-orang kafir dan durhaka yang melakukan berbagai kemaksiatan sesuai dengna yang mereka kerjakan, maka Allah SWT menyelamatkan orang-orang mukmin yang bertakwa darinya (dari perbuatan-perbuatan tersebut), sesuai dengan amal-amal mereka. Maka mereka dapat melewati jalan itu dan kecepatan mereka sesuai dengan kadar amal amal mereka yang dikerjakan di dunia. Kemudian memberi syafa’at terhadap orang-orang mukmin yang melakukan dosa besar.

 

Para Malaikat, Nabi-Nabi, dan orang-orang yang beriman dapat memberi syafa’at. Lantas syafa’at mereka mampu mengeluarkan banyak mahkluk yang telah dilahap api Neraka kecuali bagian-bagian pada wajah mereka (yang tidak dilalap), yaitu bagian tempat sujud. Mereka dapat mengeluarkan kaum mukminin yang memiliki dosa besar itu sesuai dengan keimanan yang terdapat didalam hati mereka. Pada awalnya mereka mengeluarkan orang yang di dalam hatinya terdapat iman seberat dinar, kemudian yang berikutnya, kemudian yang berikutnya, hingga mereka mengeluarkanorang yang di dalam hatinya terdapat iman seberat kurang, kurang dan kurang dari dzarrah (partikel kecil). Kemudian Allah mengeluarkan dari Nerkaa orang yang pada suatu  hari pernah mengatakan Laa Ilaa ha Illallahu (tidak ada illah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah) meskipun dia tidak mengerjakan kebaikan sama sekali. Dan tidak ada akan kekal di dalam Neraka kecuali orang-orang yang wajib kekal, sebagaimana hal itu dinyatakan dalam hadits-hadits shahih dari Rasulullah SAW. Maka dari itu Allah SWT berfirman, “Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zhalim di dalam (Neraka) dalam keadaan berlutut.

 

Wallahua’lam bishowab

Senin, 10 September 2018

Apakah wajib bertanya kepada ulama yang lebih utama dan lebih rajih ilmunya atau cukup bertanya kepada ulama siapa saja yang mudah (ditemukan)


Pertanyaan yang Masyhur di kalangan para Ushul Fiqih dalam masalah ini adalah, “Apakah boleh bertaklid kepada ulama yang tingkat keutamaannya “kurang”, karena ada ulama yang lebih utama?”

Ada 2 Pendapat dalam masalah ini (1)

  1. Sebagian Ulama (yaitu satu riwayat dalam madzhab Imam Ahmad, Ibnu Suraij Asy Syafi’i, Abu Ishaq al Isfirayini, Abul Hasan ath Thabari, pendapat yang dipilih oleh Imam al Ghazali) menyatakan bahwa meminta fatwa (al istifta’(2)) kepada ulama yang lebih utama dalam ilmu, ke wara’an, dan perilaku agamanya adalah wajib. 
Imam al Ghazali dalam al Mustashfa berkata, “Menurut pendapat saya, adalah lebih utama untuk orang yang meminta fatwa, wajib mengikuti ulama yang lebih utama. Barangsiapa berkeyakinan bahwa imam asy Syafi’i adalah ulama yang lebih pandai, dan biasanya pendapat madzhabnya adalah benar, maka orang tersebut tidak boleh mengambil pendapat lain dengan maksud mengikuti selera saja (tasyahhi)
  1. Al Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi dan kebanyakan ahli fiqih beserta Ushul Fiqih (2) mengatakan bahwa orang yang akan bertanya mengenai dibolehkan memilih ulama siapa saja yang dia kehendaki, baik tingkat keilmuan ulama yang akan ditanya itu sama dengan tingkat keilmuan ulama yang lain, ataupun lebih tinggi. Dengan kata lain, orang tersebut boleh bertaklid kepada ulama yang tingkatan ilmunya lebih rendah, meskipun ada ulama yg tingkatan ilmunya lebih tinggi. Dasarnya adalah Keumuman firman Allah, “... maka Tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui” (al Anbiya;7). Dan juga atas dasar ijma sahabat, dimana diantara sahabat ada mujtahid yang utama, dan ada juga mujtahid yang lebih rendah tingkatannya. Dan tidak ada informasi dari salah satu dari mereka, yang mewajibkan orang awam dikalangan mereka untuk berijtihad memilih mujtahid tertentu yang ada diantara mereka (para sahabat)

Dari uraian diatas, penulis Prof Dr Wahbah az Zuhaili berpendapat bahwa pendapat yang lebih rajih adalah pendapat ke 2 sesuai ijma sahabat dalam hal bolehnya memilih berbagai pendapat ulama dan bertanya kepada ulama yg dikehendaki (3)

Wallahualam

Diambil dari kitab Fiqh Islam wa Adilatuhu karya Prof Dr Wahbah az Zuhaili
Catatan kaki.
(1) Lihat At Taqrir wat Tahbir jilid 3 hal  345,  Fawatih At Rahamut jilid 2, hal 403, Asy Syairazi, al Luma’ fi Ushul Fiqh hal 68, Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, jilid 1 hal 45, ibnu Arabi, Risalah fi Ushul al Fiqh hal 32.
(2) istifta adalah bertanya tentang pendapat seorang mujtahid dalam masalah hukum tertentu dengan maksud diamalkan, baik orang yang ditanya itu adalah mujtahid itu sendiri ataupun orang yang menukilkan pendapat mujtahid tersebut meskipun antara orang tersebut dengan mujtahid ada orang yang menjadi perantara (Ahmad al Husaini, Tuhfah Ar Ra’yi as Sadid hal 239)
(3) Ibnu Abidin dalam Hasyiyah (dikutip dari kitab At Tahrim dan syarahnya) mengatakan, “Madzhab Hanafi, Maliki, dan sebagian besar Hambali, dan juga Syafi’i juga berpendapat seperti ini”. Fatwa terakhir ibnu Hajar juga menyatakan, “Pendapat yang paling shahih dikalangan madzhab Syafi’i adalah seorang Muqallid boleh memilih ulama siapa saja yang dikehendaki, meskipun ulama tersebut tingkatannya lebih rendah (al Mafdhul) dan meskipun dia meyakini kerendahan tingkatan ulama yang ditaklidi tersebut. Namun dalam keadaan demikian, orang tersebut tidak boleh berkeyakinan atau berprasangka kuat, bahwa mujtahid tersebut adalah benar, melainkan orang tersebut hendaklah berkeyakinan bahwa pendapat imam yang diikuti  itu berkemungkinan untuk benar (Hasyiyah Ibnu Abidin jilid 1 hal 45)

Apakah boleh kita berpindah Madzhab (tidak konsisten mengikuti 1 madzhab tertentu?)

Dalam hal ini, ulama Ushul Fiqh terbagi menjadi 3 kelompok.

  1. Sebagian mereka mengatakan bahwa mengikuti salah satu Imam secara disiplin dalam semua permasalahan adalah suatu kewajiban. Hal ini karena orang yang telah memilih satu madzhab telah berkeyakinan bahwa Imam madzhab yang dianutnya itu adalah yang benar, maka dia wajib melaksanakan keyakinannya itu. 
  2. Sebagian besar (jumhur) ulama berpendapat bahwa taqlid kepada salah satu (imam) madzhab dalam semua permasalahan dan atau semua kejadian yang dialami bukanlah suatu kewajiban. Orang tersebut boleh bertaqlid kepada MUJTAHID manapun yang dia kehendaki. Kalau seandainya seseorang mengikuti salah satu Madzhab tertentu -umpamanya- Madzhab Abu Hanifah atau mazhab Syafi’i atau yang lain, maka dia tidak wajib mengikuti madzhab tersebut  secara terus menerus atau keseluruhan, melainkan ia boleh pindah ke madzhab yang lain. Alasannya adalah sesuatu akan dihukumi wajib jika memang ada perintah wajib dari Allah dan Rosul Nya. Padahal, Allah dan juga Rosul Nya tidak pernah mewajibkan seseorang untuk bermadzhab dengan salah satu imam Madzhab yang ada. Yang diwajibkan oleh Allah hanyalah mengikuti ulama secara umum, tanpa ada pengkhususan kepada salah satu dari ulama tersebut. Allah SWT berfirman, “...maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui” Al Anbiya;7
Alasan lainnya adalah bahwa orang orang yang meminta fatwa pada zaman sahabat dan Tabiin tidak ada yang mewajibkan dirinya untuk mengikuti madzhab /ulama tertentu saja, melainkan mereka akan menanyakan permasalahan kepada siapa pun yang ahli, tanpa membatasi diri kepada salah satu dari mereka. Maka dapat disimpulkan bahwa mereka semua adalah bersepakat atau ber Ijma bahwa bertaqlid hanya kepada satu Imam saja atau mengikuti mazhab tertentu dalam berbagai permasalahan, bukanlah suatu kewajiban. Selain itu, pendapat yang mengatakan bahwa mengikuti salah satu Madzhab adalah wajib, akan menyebabkan kesulitan dan kesempitan. Padahal, keberadaan mazhab yang beragam sebenarnya adalah suatu kenikmatan, anugerah, dan juga rahmat bagi umat Islam. Pendapat ini adalah pendapat yang rajin di kalangan ulama ushul Fiqh
  1. Imam al Amin dan Imam al Kamal Ibnul Hammam membuat rincian yang lebih detail dalam masalah ini. Bagi mereka, yang diwajibkan mengikuti aturan madzhab tertentu adalah ketika seseorang melakukan perbuatan dalam suatu perkara tertentu. Ketika dia mengamalkan suatu madzhab dalam satu perkara tersebut, maka dia tidak boleh bertaqlid kepada madzhab yang lain. Namun ketika dia menghadapi perkara lain dan dia tidak mengikuti madzhabnya, maka dia boleh mengikuti mazhab yang lain dalam melaksanakan perkara tersebut. Hal ini disebabkan tidak ada aturan syara’ yang mewajibkan mengikuti satu mazhab yang dianut secara disiplin dalam semua perkara. Yang diwajibkan oleh syara’ adalah mengikuti ulama siapa pun tanpa ada pengkhususan kepada salah seorang diantara mereka.

Dapat disimpulkan bahwa pendapat yang paling shahih dan rajih di kalangan ulama ushul Fiqih (1) (menurut Prof Dr Wahbah az Zuhaili) adalah tidak wajibnya konsisten dalam mengikuti mazhab tertentu, dan boleh berbeda dengan pendapat dengan imam Madzhab yg diikutinya. Hal ini disebabkan konsisten mengamalkan madzhab tertentu bukan suatu kewajiban sebagaimana yang sudah diterangkan oleh penulis buku ini.

Wallahua’lam

Catatan kaki.

(1) Mazhab Syafi’i mengatakan bahwa pendapat yang “ashah” di kalangan ulama Syafi’iyah yang hidup pada masa belakangan atau muta’akhirin seperti pendapat Syaikh Ibnu Hajar dan lainnya, adalah boleh melakukan perpindahan dari satu madzhab ke mazhab yang lain, asalkan pendapat pendapat mazhab tersebut terpelihara meskipun dengan maksud mencari kemudahan, dan baik dia berpindah madzhab selamanya atau hanya dalam satu kasus saja. Meskipun perpindahan (intiqal) itu menyebabkan fatwa, putusan hukuman, atau amalan yang dilakukan itu, berbeda dengan madzhab yang dianut, selagi perpindahan tersebut tidak menyebabkan timbulnya talfiq (pencampuran antara berbagai pendapat mazhab dalam satu masalah yang tidak ada satu madzhab pun yang membolehkan atau berpendapat demikian). (Al Fawa’id al Makiyyah fi Ma Yahtajuhu Thalabah Asy Syafi’iyyah Min al masa’il wa adh Dhawabith wal Qowa’id al Kulliyyah karya Sayyid Alawi bin Ahmad as Saqqaf hal 51 cetakan al Bab al Halabi)


Diambil dan diringkas dari buku Fiqh Islam wa Adillatuhu karya Prof Dr Wahbah Az Zuhaili.

Kamis, 21 Juni 2018

Kembali ke Al Quran dan Hadits

Bismillahirrohmaanirrohiim..

Sering kali kita mendengar slogan ataupun ungkapan “Kembai ke Alquran dan Hadits”.

Slogan ataupun himbauan yg benar namun bisa salah dalam “penerjemahan” bagi org awam.

Mengapa?

Berikut beberapa sebab mengapa “Slogan/himbauan” tersebut bisa salah tafsir di tangan org awam.
  1. Bagaimana kita memahami makna ayat di Quran dan Hadits, bila kita tidak paham Bahasa Arabnya lgs, sementara kita hanya “bermodal” kitab terjemahan. Kita tidak tau semua ayat yg semakna, ayat yg nasakh maupun mansukh, pendapat maupun ijma para ulama, asbabun Nurul/wurud dari ayat ataupun Hadits, dan masih banyak yg lainnya.
  2. Seperti diketahui, org awam itu belum paham ataupun hapal semua ayat Alquran dan Hadits. Bagaimana bisa mengambil suatu kesimpulan hukum, sementara ayat2 maupun Hadits2 yg semakna maupun bertentangan belum diketahui oleh mereka.
  3. Hampir semua ayat hukum di Quran dan Hadits, bisa menghasilkan banyak hukum yg bisa berbeda2. Apakah para “tholabul ilmi ini” sudah tau semua pendapat para ulama salaf, perbedaan pendapat tersebut?
  4. Mereka selalu mengatakan dan mencari hanya Hadits shohih yg dijadikan landasan amal. Padahal banyak ulama membolehkan Hadits dhoif selama Hadits dhoif nya memiliki banyak penguat, sehingga menjadi Hadits hasan. Atau boleh jadi Hadits dhoif nya dengan redaksi tertentu, sementara ada Hadits shohih yg semakna, namun tidak diketahui oleh tholabul ilmi tersebut.
  5. Dan masih banyak lagi alasan2 lainnya yg menjelaskan bahwa “slogan kembali kepada Quran dan Sunnah” bukanlah untuk org awam.

Kita sering “dihimbau” untuk mengambil langsung setiap “kejadian/kasus/hukum suatu perbuatan”, dengan mengambil langsung ke Quran dan Hadits. Karena, pendapat para imam pun bisa salah, mereka adalah manusia, tidak Ma’shum seperti Rosulullah SAW.

Padahal bila ditanya kepada “mereka yg menyuruh kembali ke Quran dan Hadits”, tentang pendapatnya, hampir bisa dikatakan secara pasti, bahwa pendapat mereka adalah mengikuti pendapat “ustadz2 mereka maupun tulisan-tulisan para Ustadz/guru/Imam/Ulama yang segolongan dengan mereka”. 

Artinya adalah pendapatnya juga bukan “murni berdasarkan Quran dan Hadits”, namun mengikuti “terjemahan Quran dan Hadits” dari guru mereka. Maka tidaklah selayaknya para tholabul ilmi ini mengatakan bahwa pendapat mereka adalah yang paling benar, dibandingkan pendapat orang lain.

Seringkali kita juga mendengar bahwa “hanya ada 1 pendapat yg benar”, karena kebenaran adalah 1 dan tidak berbilang. Bila kebenaran ada lebih dari 1, maka artinya pendapat tersebut tidak sesuai dengan sunnah/Quran. 

Bagaimana mungkin kita bisa mengklaim pendapat kita yang paling benar, dan kebenaran hanya ada 1? Sementara sering kali kita baca di kitab Hadits, bahwa Rosulullah SAW sering membenarkan beberapa pendapat yang berbeda dari sahabat untuk kasus yang sama.

Terakhir, pemahaman kita ataupun guru/Ustadz kita pun masih terbatas. 

Pada umumnya pendapat mereka masih “berafiliasi” kepada guru-guru mereka juga. Jarang sekali pendapat mereka bisa lepas dari “ijtihad” ulama mereka. Sementara kita tahu, bahwa ilmu Ini sangat luas,tidak sesederhana yang mereka pikirkan. 

Banyak permasalahan yang zaman dahulu tidak ada, dan sekarang ada. Jangan pernah kita kaim bahwa pendapat kita/guru kita atau ulama kita yang paling benar. Ingat salah satu definisi “sombong” adalah menolak kebenaran walaupun disampaikan oleh “musuh kita”. 

Jangan sampai kita masuk kedalam orang yang memiliki kesombongan, karena surga tidak akan menerima orang yang di hatinya ada kesombongan, walaupun seberat dzarrah.

Saling berbagi ilmu dan informasi agama adalah baik. Namun “memaksakan pendapat”, bahwa pendapat kita yang paling benar adalah tidak baik. Boleh jadi pendapat kita benar, namun belum tentu pendapat yang lain salah. Sementara boleh jadi pendapat kita salah namun belum tentu pendapat yang lain adalah benar.

Wallahua’lam

Analogi ilmu agama islam dengan dokter spesialis.

Assalamu'alaikum warrohmatullahi wabarokaatuh

Bismillahirromaanirrohiim...

Maraknya ghirah mempelajari ilmu agama islam, membuat banyak org belajar / hadir ke banyak majelis ilmu. Dari majelis yang ada di mesjid2, hingga majelis dunia maya, alias menonton ceramah di internet. Dari mendengar hingga membaca buku, maupun artikel islam.

Apakah salah belajar dengan metode seperti itu? Tentu tidak, selama nara sumber nya adalah seorang yang tepat dan ahli dalam bidangnya.

Ibaratnya kurang lebih seperti ini.

Ilmu agama islam itu dalam dunia “perkuliahan agama islam” dibagi menjadi beberapa fakultas/jurusan. Dari mulai aqidah, filsafat, hadits, tafsir, sejarah dll.

Ibarat dalam kuliah kedokteran, seorang mahasiswa akan memilih kedokteran umum, atau kedokteran gigi dll. Setelah lulus, bila ingin mendalami/mengambil spesialis, bisa memilih ke jenjang berikutnya, misalnya penyakit dalam, kemudian dilanjut ke spesialis seputar pencernaan dst.

Bila kita sedang sakit, maka bila sakitnya “biasa saja”, atau umum, maka kita ke dokter umum. Namun bila sakitnya khusus spt sakit mata, maka pastinya kita ke dokter mata.

Hampir tidak mungkin, kejadian sakit mata (misal ada pembengkakan di selaput mata), kita pergi ke dokter umum untuk minta obat. Karena selain akan “bolak balik”, kemungkinan dirujuk ke dokter mata, atau malahan obat yg dikasih tidak akan manjur.

Begitu pula dalam ilmu agama. Seringkali kita “menyamaratakan” semua Ustadz. Sering kita tidak “melihat/menanyakan” latar belakang pendidikan Ustadz kita. Apakah jurusan aqidah, atau tafsir, atau Hadits dll.

Misalnya, seorang Ustadz S1 di bidang aqidah, kemudian dia berceramah tentang materi fiqh sholat, setelah selesai ada jamaah bertanya terkait masalah thoharoh. sang Ustadz dengan cepat dan mudahnya langsung menjawab pertanyaan tersebut, padahal bidang keahlian dia adalah aqidah, bukan fiqh.

Tentu saja masalah ini tidak boleh “didiamkan” saja. Kalaupun sang Ustadz mengutip jawaban dari ulama negara lain, harus diperhatikan, kadangkala fatwa atas pertanyaan seorang jamaah negara luar, tidaklah sama dengan fatwa /jawaban dari jamaah dalam negeri, karena latar belakang/lingkungan suatu daerah tidaklah sama.

Bila kembali lagi kita analogikan dengan seorang dokter, kita tentunya tidak mau bila kita sakit mata, seharusnya dikasih obat mata (obat tetes mata), tapi karena kita berobat dokter umum, malah dikasih antibiotik sakit perut.

Oleh karenanya, sangat dianjurkan, kita sebagai pencari ilmu, cukup mengenal siapa guru/Ustadz kita. Apakah dia mengambil jurusan aqidah, atau filsafat, atau Hadits, atau tafsir dll.

Jangan paksa atau kita tanyakan permasalahan Hadits atau tafsir ayat hukum, kepada seorang Ustadz yang mengambil jurusan aqidah. Karena selain jawabannya belum tentu benar, maka kita akan membebani Ustadz tsb dgn pertanyaan yg bukan keahliannya.

Wallahua’lam