Senin, 10 September 2018

Apakah wajib bertanya kepada ulama yang lebih utama dan lebih rajih ilmunya atau cukup bertanya kepada ulama siapa saja yang mudah (ditemukan)


Pertanyaan yang Masyhur di kalangan para Ushul Fiqih dalam masalah ini adalah, “Apakah boleh bertaklid kepada ulama yang tingkat keutamaannya “kurang”, karena ada ulama yang lebih utama?”

Ada 2 Pendapat dalam masalah ini (1)

  1. Sebagian Ulama (yaitu satu riwayat dalam madzhab Imam Ahmad, Ibnu Suraij Asy Syafi’i, Abu Ishaq al Isfirayini, Abul Hasan ath Thabari, pendapat yang dipilih oleh Imam al Ghazali) menyatakan bahwa meminta fatwa (al istifta’(2)) kepada ulama yang lebih utama dalam ilmu, ke wara’an, dan perilaku agamanya adalah wajib. 
Imam al Ghazali dalam al Mustashfa berkata, “Menurut pendapat saya, adalah lebih utama untuk orang yang meminta fatwa, wajib mengikuti ulama yang lebih utama. Barangsiapa berkeyakinan bahwa imam asy Syafi’i adalah ulama yang lebih pandai, dan biasanya pendapat madzhabnya adalah benar, maka orang tersebut tidak boleh mengambil pendapat lain dengan maksud mengikuti selera saja (tasyahhi)
  1. Al Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi dan kebanyakan ahli fiqih beserta Ushul Fiqih (2) mengatakan bahwa orang yang akan bertanya mengenai dibolehkan memilih ulama siapa saja yang dia kehendaki, baik tingkat keilmuan ulama yang akan ditanya itu sama dengan tingkat keilmuan ulama yang lain, ataupun lebih tinggi. Dengan kata lain, orang tersebut boleh bertaklid kepada ulama yang tingkatan ilmunya lebih rendah, meskipun ada ulama yg tingkatan ilmunya lebih tinggi. Dasarnya adalah Keumuman firman Allah, “... maka Tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui” (al Anbiya;7). Dan juga atas dasar ijma sahabat, dimana diantara sahabat ada mujtahid yang utama, dan ada juga mujtahid yang lebih rendah tingkatannya. Dan tidak ada informasi dari salah satu dari mereka, yang mewajibkan orang awam dikalangan mereka untuk berijtihad memilih mujtahid tertentu yang ada diantara mereka (para sahabat)

Dari uraian diatas, penulis Prof Dr Wahbah az Zuhaili berpendapat bahwa pendapat yang lebih rajih adalah pendapat ke 2 sesuai ijma sahabat dalam hal bolehnya memilih berbagai pendapat ulama dan bertanya kepada ulama yg dikehendaki (3)

Wallahualam

Diambil dari kitab Fiqh Islam wa Adilatuhu karya Prof Dr Wahbah az Zuhaili
Catatan kaki.
(1) Lihat At Taqrir wat Tahbir jilid 3 hal  345,  Fawatih At Rahamut jilid 2, hal 403, Asy Syairazi, al Luma’ fi Ushul Fiqh hal 68, Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, jilid 1 hal 45, ibnu Arabi, Risalah fi Ushul al Fiqh hal 32.
(2) istifta adalah bertanya tentang pendapat seorang mujtahid dalam masalah hukum tertentu dengan maksud diamalkan, baik orang yang ditanya itu adalah mujtahid itu sendiri ataupun orang yang menukilkan pendapat mujtahid tersebut meskipun antara orang tersebut dengan mujtahid ada orang yang menjadi perantara (Ahmad al Husaini, Tuhfah Ar Ra’yi as Sadid hal 239)
(3) Ibnu Abidin dalam Hasyiyah (dikutip dari kitab At Tahrim dan syarahnya) mengatakan, “Madzhab Hanafi, Maliki, dan sebagian besar Hambali, dan juga Syafi’i juga berpendapat seperti ini”. Fatwa terakhir ibnu Hajar juga menyatakan, “Pendapat yang paling shahih dikalangan madzhab Syafi’i adalah seorang Muqallid boleh memilih ulama siapa saja yang dikehendaki, meskipun ulama tersebut tingkatannya lebih rendah (al Mafdhul) dan meskipun dia meyakini kerendahan tingkatan ulama yang ditaklidi tersebut. Namun dalam keadaan demikian, orang tersebut tidak boleh berkeyakinan atau berprasangka kuat, bahwa mujtahid tersebut adalah benar, melainkan orang tersebut hendaklah berkeyakinan bahwa pendapat imam yang diikuti  itu berkemungkinan untuk benar (Hasyiyah Ibnu Abidin jilid 1 hal 45)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar