Senin, 10 September 2018

Apakah wajib bertanya kepada ulama yang lebih utama dan lebih rajih ilmunya atau cukup bertanya kepada ulama siapa saja yang mudah (ditemukan)


Pertanyaan yang Masyhur di kalangan para Ushul Fiqih dalam masalah ini adalah, “Apakah boleh bertaklid kepada ulama yang tingkat keutamaannya “kurang”, karena ada ulama yang lebih utama?”

Ada 2 Pendapat dalam masalah ini (1)

  1. Sebagian Ulama (yaitu satu riwayat dalam madzhab Imam Ahmad, Ibnu Suraij Asy Syafi’i, Abu Ishaq al Isfirayini, Abul Hasan ath Thabari, pendapat yang dipilih oleh Imam al Ghazali) menyatakan bahwa meminta fatwa (al istifta’(2)) kepada ulama yang lebih utama dalam ilmu, ke wara’an, dan perilaku agamanya adalah wajib. 
Imam al Ghazali dalam al Mustashfa berkata, “Menurut pendapat saya, adalah lebih utama untuk orang yang meminta fatwa, wajib mengikuti ulama yang lebih utama. Barangsiapa berkeyakinan bahwa imam asy Syafi’i adalah ulama yang lebih pandai, dan biasanya pendapat madzhabnya adalah benar, maka orang tersebut tidak boleh mengambil pendapat lain dengan maksud mengikuti selera saja (tasyahhi)
  1. Al Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi dan kebanyakan ahli fiqih beserta Ushul Fiqih (2) mengatakan bahwa orang yang akan bertanya mengenai dibolehkan memilih ulama siapa saja yang dia kehendaki, baik tingkat keilmuan ulama yang akan ditanya itu sama dengan tingkat keilmuan ulama yang lain, ataupun lebih tinggi. Dengan kata lain, orang tersebut boleh bertaklid kepada ulama yang tingkatan ilmunya lebih rendah, meskipun ada ulama yg tingkatan ilmunya lebih tinggi. Dasarnya adalah Keumuman firman Allah, “... maka Tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui” (al Anbiya;7). Dan juga atas dasar ijma sahabat, dimana diantara sahabat ada mujtahid yang utama, dan ada juga mujtahid yang lebih rendah tingkatannya. Dan tidak ada informasi dari salah satu dari mereka, yang mewajibkan orang awam dikalangan mereka untuk berijtihad memilih mujtahid tertentu yang ada diantara mereka (para sahabat)

Dari uraian diatas, penulis Prof Dr Wahbah az Zuhaili berpendapat bahwa pendapat yang lebih rajih adalah pendapat ke 2 sesuai ijma sahabat dalam hal bolehnya memilih berbagai pendapat ulama dan bertanya kepada ulama yg dikehendaki (3)

Wallahualam

Diambil dari kitab Fiqh Islam wa Adilatuhu karya Prof Dr Wahbah az Zuhaili
Catatan kaki.
(1) Lihat At Taqrir wat Tahbir jilid 3 hal  345,  Fawatih At Rahamut jilid 2, hal 403, Asy Syairazi, al Luma’ fi Ushul Fiqh hal 68, Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, jilid 1 hal 45, ibnu Arabi, Risalah fi Ushul al Fiqh hal 32.
(2) istifta adalah bertanya tentang pendapat seorang mujtahid dalam masalah hukum tertentu dengan maksud diamalkan, baik orang yang ditanya itu adalah mujtahid itu sendiri ataupun orang yang menukilkan pendapat mujtahid tersebut meskipun antara orang tersebut dengan mujtahid ada orang yang menjadi perantara (Ahmad al Husaini, Tuhfah Ar Ra’yi as Sadid hal 239)
(3) Ibnu Abidin dalam Hasyiyah (dikutip dari kitab At Tahrim dan syarahnya) mengatakan, “Madzhab Hanafi, Maliki, dan sebagian besar Hambali, dan juga Syafi’i juga berpendapat seperti ini”. Fatwa terakhir ibnu Hajar juga menyatakan, “Pendapat yang paling shahih dikalangan madzhab Syafi’i adalah seorang Muqallid boleh memilih ulama siapa saja yang dikehendaki, meskipun ulama tersebut tingkatannya lebih rendah (al Mafdhul) dan meskipun dia meyakini kerendahan tingkatan ulama yang ditaklidi tersebut. Namun dalam keadaan demikian, orang tersebut tidak boleh berkeyakinan atau berprasangka kuat, bahwa mujtahid tersebut adalah benar, melainkan orang tersebut hendaklah berkeyakinan bahwa pendapat imam yang diikuti  itu berkemungkinan untuk benar (Hasyiyah Ibnu Abidin jilid 1 hal 45)

Apakah boleh kita berpindah Madzhab (tidak konsisten mengikuti 1 madzhab tertentu?)

Dalam hal ini, ulama Ushul Fiqh terbagi menjadi 3 kelompok.

  1. Sebagian mereka mengatakan bahwa mengikuti salah satu Imam secara disiplin dalam semua permasalahan adalah suatu kewajiban. Hal ini karena orang yang telah memilih satu madzhab telah berkeyakinan bahwa Imam madzhab yang dianutnya itu adalah yang benar, maka dia wajib melaksanakan keyakinannya itu. 
  2. Sebagian besar (jumhur) ulama berpendapat bahwa taqlid kepada salah satu (imam) madzhab dalam semua permasalahan dan atau semua kejadian yang dialami bukanlah suatu kewajiban. Orang tersebut boleh bertaqlid kepada MUJTAHID manapun yang dia kehendaki. Kalau seandainya seseorang mengikuti salah satu Madzhab tertentu -umpamanya- Madzhab Abu Hanifah atau mazhab Syafi’i atau yang lain, maka dia tidak wajib mengikuti madzhab tersebut  secara terus menerus atau keseluruhan, melainkan ia boleh pindah ke madzhab yang lain. Alasannya adalah sesuatu akan dihukumi wajib jika memang ada perintah wajib dari Allah dan Rosul Nya. Padahal, Allah dan juga Rosul Nya tidak pernah mewajibkan seseorang untuk bermadzhab dengan salah satu imam Madzhab yang ada. Yang diwajibkan oleh Allah hanyalah mengikuti ulama secara umum, tanpa ada pengkhususan kepada salah satu dari ulama tersebut. Allah SWT berfirman, “...maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui” Al Anbiya;7
Alasan lainnya adalah bahwa orang orang yang meminta fatwa pada zaman sahabat dan Tabiin tidak ada yang mewajibkan dirinya untuk mengikuti madzhab /ulama tertentu saja, melainkan mereka akan menanyakan permasalahan kepada siapa pun yang ahli, tanpa membatasi diri kepada salah satu dari mereka. Maka dapat disimpulkan bahwa mereka semua adalah bersepakat atau ber Ijma bahwa bertaqlid hanya kepada satu Imam saja atau mengikuti mazhab tertentu dalam berbagai permasalahan, bukanlah suatu kewajiban. Selain itu, pendapat yang mengatakan bahwa mengikuti salah satu Madzhab adalah wajib, akan menyebabkan kesulitan dan kesempitan. Padahal, keberadaan mazhab yang beragam sebenarnya adalah suatu kenikmatan, anugerah, dan juga rahmat bagi umat Islam. Pendapat ini adalah pendapat yang rajin di kalangan ulama ushul Fiqh
  1. Imam al Amin dan Imam al Kamal Ibnul Hammam membuat rincian yang lebih detail dalam masalah ini. Bagi mereka, yang diwajibkan mengikuti aturan madzhab tertentu adalah ketika seseorang melakukan perbuatan dalam suatu perkara tertentu. Ketika dia mengamalkan suatu madzhab dalam satu perkara tersebut, maka dia tidak boleh bertaqlid kepada madzhab yang lain. Namun ketika dia menghadapi perkara lain dan dia tidak mengikuti madzhabnya, maka dia boleh mengikuti mazhab yang lain dalam melaksanakan perkara tersebut. Hal ini disebabkan tidak ada aturan syara’ yang mewajibkan mengikuti satu mazhab yang dianut secara disiplin dalam semua perkara. Yang diwajibkan oleh syara’ adalah mengikuti ulama siapa pun tanpa ada pengkhususan kepada salah seorang diantara mereka.

Dapat disimpulkan bahwa pendapat yang paling shahih dan rajih di kalangan ulama ushul Fiqih (1) (menurut Prof Dr Wahbah az Zuhaili) adalah tidak wajibnya konsisten dalam mengikuti mazhab tertentu, dan boleh berbeda dengan pendapat dengan imam Madzhab yg diikutinya. Hal ini disebabkan konsisten mengamalkan madzhab tertentu bukan suatu kewajiban sebagaimana yang sudah diterangkan oleh penulis buku ini.

Wallahua’lam

Catatan kaki.

(1) Mazhab Syafi’i mengatakan bahwa pendapat yang “ashah” di kalangan ulama Syafi’iyah yang hidup pada masa belakangan atau muta’akhirin seperti pendapat Syaikh Ibnu Hajar dan lainnya, adalah boleh melakukan perpindahan dari satu madzhab ke mazhab yang lain, asalkan pendapat pendapat mazhab tersebut terpelihara meskipun dengan maksud mencari kemudahan, dan baik dia berpindah madzhab selamanya atau hanya dalam satu kasus saja. Meskipun perpindahan (intiqal) itu menyebabkan fatwa, putusan hukuman, atau amalan yang dilakukan itu, berbeda dengan madzhab yang dianut, selagi perpindahan tersebut tidak menyebabkan timbulnya talfiq (pencampuran antara berbagai pendapat mazhab dalam satu masalah yang tidak ada satu madzhab pun yang membolehkan atau berpendapat demikian). (Al Fawa’id al Makiyyah fi Ma Yahtajuhu Thalabah Asy Syafi’iyyah Min al masa’il wa adh Dhawabith wal Qowa’id al Kulliyyah karya Sayyid Alawi bin Ahmad as Saqqaf hal 51 cetakan al Bab al Halabi)


Diambil dan diringkas dari buku Fiqh Islam wa Adillatuhu karya Prof Dr Wahbah Az Zuhaili.

Kamis, 21 Juni 2018

Kembali ke Al Quran dan Hadits

Bismillahirrohmaanirrohiim..

Sering kali kita mendengar slogan ataupun ungkapan “Kembai ke Alquran dan Hadits”.

Slogan ataupun himbauan yg benar namun bisa salah dalam “penerjemahan” bagi org awam.

Mengapa?

Berikut beberapa sebab mengapa “Slogan/himbauan” tersebut bisa salah tafsir di tangan org awam.
  1. Bagaimana kita memahami makna ayat di Quran dan Hadits, bila kita tidak paham Bahasa Arabnya lgs, sementara kita hanya “bermodal” kitab terjemahan. Kita tidak tau semua ayat yg semakna, ayat yg nasakh maupun mansukh, pendapat maupun ijma para ulama, asbabun Nurul/wurud dari ayat ataupun Hadits, dan masih banyak yg lainnya.
  2. Seperti diketahui, org awam itu belum paham ataupun hapal semua ayat Alquran dan Hadits. Bagaimana bisa mengambil suatu kesimpulan hukum, sementara ayat2 maupun Hadits2 yg semakna maupun bertentangan belum diketahui oleh mereka.
  3. Hampir semua ayat hukum di Quran dan Hadits, bisa menghasilkan banyak hukum yg bisa berbeda2. Apakah para “tholabul ilmi ini” sudah tau semua pendapat para ulama salaf, perbedaan pendapat tersebut?
  4. Mereka selalu mengatakan dan mencari hanya Hadits shohih yg dijadikan landasan amal. Padahal banyak ulama membolehkan Hadits dhoif selama Hadits dhoif nya memiliki banyak penguat, sehingga menjadi Hadits hasan. Atau boleh jadi Hadits dhoif nya dengan redaksi tertentu, sementara ada Hadits shohih yg semakna, namun tidak diketahui oleh tholabul ilmi tersebut.
  5. Dan masih banyak lagi alasan2 lainnya yg menjelaskan bahwa “slogan kembali kepada Quran dan Sunnah” bukanlah untuk org awam.

Kita sering “dihimbau” untuk mengambil langsung setiap “kejadian/kasus/hukum suatu perbuatan”, dengan mengambil langsung ke Quran dan Hadits. Karena, pendapat para imam pun bisa salah, mereka adalah manusia, tidak Ma’shum seperti Rosulullah SAW.

Padahal bila ditanya kepada “mereka yg menyuruh kembali ke Quran dan Hadits”, tentang pendapatnya, hampir bisa dikatakan secara pasti, bahwa pendapat mereka adalah mengikuti pendapat “ustadz2 mereka maupun tulisan-tulisan para Ustadz/guru/Imam/Ulama yang segolongan dengan mereka”. 

Artinya adalah pendapatnya juga bukan “murni berdasarkan Quran dan Hadits”, namun mengikuti “terjemahan Quran dan Hadits” dari guru mereka. Maka tidaklah selayaknya para tholabul ilmi ini mengatakan bahwa pendapat mereka adalah yang paling benar, dibandingkan pendapat orang lain.

Seringkali kita juga mendengar bahwa “hanya ada 1 pendapat yg benar”, karena kebenaran adalah 1 dan tidak berbilang. Bila kebenaran ada lebih dari 1, maka artinya pendapat tersebut tidak sesuai dengan sunnah/Quran. 

Bagaimana mungkin kita bisa mengklaim pendapat kita yang paling benar, dan kebenaran hanya ada 1? Sementara sering kali kita baca di kitab Hadits, bahwa Rosulullah SAW sering membenarkan beberapa pendapat yang berbeda dari sahabat untuk kasus yang sama.

Terakhir, pemahaman kita ataupun guru/Ustadz kita pun masih terbatas. 

Pada umumnya pendapat mereka masih “berafiliasi” kepada guru-guru mereka juga. Jarang sekali pendapat mereka bisa lepas dari “ijtihad” ulama mereka. Sementara kita tahu, bahwa ilmu Ini sangat luas,tidak sesederhana yang mereka pikirkan. 

Banyak permasalahan yang zaman dahulu tidak ada, dan sekarang ada. Jangan pernah kita kaim bahwa pendapat kita/guru kita atau ulama kita yang paling benar. Ingat salah satu definisi “sombong” adalah menolak kebenaran walaupun disampaikan oleh “musuh kita”. 

Jangan sampai kita masuk kedalam orang yang memiliki kesombongan, karena surga tidak akan menerima orang yang di hatinya ada kesombongan, walaupun seberat dzarrah.

Saling berbagi ilmu dan informasi agama adalah baik. Namun “memaksakan pendapat”, bahwa pendapat kita yang paling benar adalah tidak baik. Boleh jadi pendapat kita benar, namun belum tentu pendapat yang lain salah. Sementara boleh jadi pendapat kita salah namun belum tentu pendapat yang lain adalah benar.

Wallahua’lam

Analogi ilmu agama islam dengan dokter spesialis.

Assalamu'alaikum warrohmatullahi wabarokaatuh

Bismillahirromaanirrohiim...

Maraknya ghirah mempelajari ilmu agama islam, membuat banyak org belajar / hadir ke banyak majelis ilmu. Dari majelis yang ada di mesjid2, hingga majelis dunia maya, alias menonton ceramah di internet. Dari mendengar hingga membaca buku, maupun artikel islam.

Apakah salah belajar dengan metode seperti itu? Tentu tidak, selama nara sumber nya adalah seorang yang tepat dan ahli dalam bidangnya.

Ibaratnya kurang lebih seperti ini.

Ilmu agama islam itu dalam dunia “perkuliahan agama islam” dibagi menjadi beberapa fakultas/jurusan. Dari mulai aqidah, filsafat, hadits, tafsir, sejarah dll.

Ibarat dalam kuliah kedokteran, seorang mahasiswa akan memilih kedokteran umum, atau kedokteran gigi dll. Setelah lulus, bila ingin mendalami/mengambil spesialis, bisa memilih ke jenjang berikutnya, misalnya penyakit dalam, kemudian dilanjut ke spesialis seputar pencernaan dst.

Bila kita sedang sakit, maka bila sakitnya “biasa saja”, atau umum, maka kita ke dokter umum. Namun bila sakitnya khusus spt sakit mata, maka pastinya kita ke dokter mata.

Hampir tidak mungkin, kejadian sakit mata (misal ada pembengkakan di selaput mata), kita pergi ke dokter umum untuk minta obat. Karena selain akan “bolak balik”, kemungkinan dirujuk ke dokter mata, atau malahan obat yg dikasih tidak akan manjur.

Begitu pula dalam ilmu agama. Seringkali kita “menyamaratakan” semua Ustadz. Sering kita tidak “melihat/menanyakan” latar belakang pendidikan Ustadz kita. Apakah jurusan aqidah, atau tafsir, atau Hadits dll.

Misalnya, seorang Ustadz S1 di bidang aqidah, kemudian dia berceramah tentang materi fiqh sholat, setelah selesai ada jamaah bertanya terkait masalah thoharoh. sang Ustadz dengan cepat dan mudahnya langsung menjawab pertanyaan tersebut, padahal bidang keahlian dia adalah aqidah, bukan fiqh.

Tentu saja masalah ini tidak boleh “didiamkan” saja. Kalaupun sang Ustadz mengutip jawaban dari ulama negara lain, harus diperhatikan, kadangkala fatwa atas pertanyaan seorang jamaah negara luar, tidaklah sama dengan fatwa /jawaban dari jamaah dalam negeri, karena latar belakang/lingkungan suatu daerah tidaklah sama.

Bila kembali lagi kita analogikan dengan seorang dokter, kita tentunya tidak mau bila kita sakit mata, seharusnya dikasih obat mata (obat tetes mata), tapi karena kita berobat dokter umum, malah dikasih antibiotik sakit perut.

Oleh karenanya, sangat dianjurkan, kita sebagai pencari ilmu, cukup mengenal siapa guru/Ustadz kita. Apakah dia mengambil jurusan aqidah, atau filsafat, atau Hadits, atau tafsir dll.

Jangan paksa atau kita tanyakan permasalahan Hadits atau tafsir ayat hukum, kepada seorang Ustadz yang mengambil jurusan aqidah. Karena selain jawabannya belum tentu benar, maka kita akan membebani Ustadz tsb dgn pertanyaan yg bukan keahliannya.

Wallahua’lam

METODE DALAM MEMAHAMI HADIS NABAWI

Bismillahirrohmannirrohiim..

Seringkali kita mendengar suatu hadits, lalu langsung dikeluarkan hukum/makna dari hadits tersebut. Apakah itu halal, haram, atau sunnah.. 

Padahal, dalam memahami suatu hadits, dibutuhkan banyak perangkat untuk bisa diambil kesimpulan hukum dari hadits tersebut.

Berikut ada sebuah ringkasan dari buku Syaikh Yusuf Qorodhowi, terkait bagaimana memahami Hadits Nabawi (Diambil dari buku Bagaimana Memahami Hadits Nabi SAW)

1.  Memahami Hadis Sesuai Petunjuk Al-Qur’an

Untuk memahami sunnah dengan baik, jauh dari penyimpangan, pemalsuan, dan pentakwilan yang keliru, kita harus memahaminya sesuai dengan petunjuk al-qur’an, yaitu bingkai tuntunan-tuntunan illahi yang kebenarannya dan keadilan bersifat pasti.


Adalah tidak mungkin as Sunnah (hadits) itu berlawanan dengan Al Quran. Jadi bila kita menemukan suatu Hadits yang isinya (Secara lahiriah) bertentangan dengan Al Quran, maka akan ada 2 kemungkinan. Pertama adalah Hadits tersebut bisa dipastikan Dhoif ataupun Maudhu, atau kemungkinan ke dua adalah, bahwa hadits tersebut bersifat maknawi / pemahaman kita belumlah tepat.

Contoh terkait masalah ini adalah hadits berikut ini

"Perempuan yang mengubur hidup-hidup bayi perempuannya dan si bayi yang terkubur hidup-hidup, kedua-duanya di neraka" (HR Abu Dawud dan Ibn Hibban serta Thabrani)

Hadits diatas bertentangan dengan Surah At Takwir, "...dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah ia dibunuh?" (At Takwir 8-9)


Berikut ada 2 pendapat (dari Hadits) bahwa orang kafir yang masih kecil belum baligh tidak akan diadzab di Neraka.
Pendapat Pertama
Pada hari kiamat akan didatangkan orang yang tuli, tidak bisa mendengar sama sekali, orang yang dungu, orang yang pikun, dan orang yang hidup di masa tidak ada dakwah nabi. Orang yang tuli beralasan, ‘Ya Allah, Islam datang sementara aku tidak mendengar apapun’. Orang yang dungu beralasan, ‘Ya Allah, Islam datang, sementara anak-anak kecil melempariku dengan kotoran (mempermainkan aku)’. Orang yang pikun beralasan, ‘Ya Allah, Islam datang sementara aku tidak bisa memahami apapun’. Orang yang hidup di masa tidak ada dakwah nabi beralasan, ‘Ya Allah, belum pernah ada rasul yang diutus untuk kami’. Kemudian Allah mengadakan perjanjian dengan mereka yakni mereka harus menaati perintah Allah. Kemudian Allah perintahkan kepada mereka agar masuk ke dalam neraka.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, andaikan mereka mau masuk neraka, pasti api neraka itu langsung  dingin dan tidak membahayakan.” (HR. Ahmad dan Thabrani. Ibnul Qoyim menyatakan sanadnya sahih bersambung, dan dishahihkan Al-Albani dalam As-Shahihah, no. 1434).
Dalam riwayat lain dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Siapa (di antara orang-orang tersebut) yang memasuki neraka, maka neraka akan menjadi dingin dan tidak membahayakan. Namun siapa yang enggan masuk, maka akan dilemparkan ke neraka.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi ‘Ashim, Al-Baihaqi, dan dishahihkan Al-Albani)
Kedua, mereka semua di surga. Berdasarkan hadis, kisah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi diajak seseorang melakukan perjalanan dan melihat beberapa hal ghaib yang Allah tunjukkan. Salah satunya, beliau melihat ada seseorang yang dikelilingi banyak anak kecil. Kemudian beliau bertanya tentang orang itu, dan dijawab,
“Orang tua di bawah pohon adalah Ibrahim. Sedangkan anak-anak kecil yang ada di sekitarnya adalah anak-anak umat manusia (yang mati sebelum baligh).”

Yang dimaksud “anak-anak umat manusia” mencakup anak-anak kaum muslimin dan anak orang kafir yang mati sebelum baligh. Karena mereka semua belum mendapatkan beban syariat. Allah berfirman:
Kami tidak akan menyiksa (hamba) sampai Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isra’: 15

Intinya, karena mereka belum baligh. Karena itu, pendapat yang kuat, mereka di surga.
Juga terkait dengan hadits orang tua Rosul SAW, "... Sesungguhnya Ayahku dan Ayahmu, kedua-duanya di neraka" (Al Hadits).

Bagaimana mungkin Ayah kandung Rosulullah di neraka, sementara ayah beliau adalah tergolong ahlu Fatroh (masa senggang, belum mendapatkan risalah/diturunkan nabi). Tentu bertentangan dengan Qur'an "...dan Kami (Allah) tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang Rasul" (Al Isra 15), "....dan sekiranya Kami binasakan mereka dengan suatu adzab, sebelum Al Quran diturunkan, tentulah mereka akan berkata; 'Ya Tuhan kami, mengapa tidak Engkau utus seorang Rasul kepada kami, sehingga kami dapat mengikuti ayat-ayat Engkau, sebelum kami menjadi hina dan rendah?'" (Thoha;134)

Sedangkan pada saat itu, untuk bangsa Arab, tak seorang Rasul pun telah diutus kepada mereka. (Sebagaimana diketahui, nabi terakhir sebelum Rasulullah SAW, yaitu nabi Isa, diturunkan untuk bangsa Yahudi).

Terkait "ayah" dalam hadits nabi, mayoritas ulama mengatakan yang dimaksud "ayah" adalah paman beliau yaitu Abu Tholib, karena dapat dilihat di surah Al Baqoroh ayat 133 isinya, "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan ayah-ayahmu, Ibrahim, Isma'il dan Ishaq. Yaitu Tuhan yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada Nya"

Di ayat tersebut jelas dikatakan bahwa Isma'il adalah paman Ya'qub. Namun Al Quran menyebutnya sebagai (salah seorang dari) ayah-ayahnya.

2.  Menghimpun Hadis-Hadis Yang Setema

Upaya memahami sunnah, menurut Yusuf Qardhawi, dapat dilakukan dengan menghimpun hadis-hadis  shahih yang berkaitan dengan tema tertentu. Setelah penghimpunan hadis-hadis setema, langkah berikutnya adalah mengembalikan kandungannya yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengaitkan yang mutlaq dengan yang muqayyad dan menafsirkan yang ‘am dengan yang khos.

Contoh ke 1 yang diangkat oleh Yusuf Qardhawi untuk memperjelas upaya ini adalah tema tentang hukum memakai sarung sampai di bawah mata kaki. 


Langkah pertama adalah mengemukakan beberapa hadis tentang celaan terhadap orang yang mengenakan sarung sampai di bawah mata kaki. Kemudian menyebutkan hadis-hadis yang berkaitan dengan orang-orang yang mengenakan sarung sampai dibawah mata kaki. Kemudian menyebutkan hadis-hadis  yang berkaitan dengan orang-orang yang mengenakan sarung sampai di bawah mata kaki tanpa dibarengi kesombongan. Selanjutnya ia menampilkan hadis-hadis yang menjelaskan tentang celaan terhadap orang yang menjulurkan sarung atau pakaiannya karena kesombongan. [HR  Muttafaq alaih dari Abu Hurairah, juga Abdullah bin Umar.]

Disamping itu, Yusuf Qardhawi juga mengungkapkan penjelasan-penjelasan dari berbagai ulama, di antaranya Ibn Hajar dan al-Nawawi. Pada akhirnya menyimpulkan dengan membawa hadis-hadis yang dholalahnya muthlaq pada hadis yang dholalahnya muqayyad, bahwa ancaman terhadap perbuatan menjulurkan sarung itu terbatas kepada orang yang melakukannya karena kesombongan dan kebanggaan diri saja. Jika menjulurkan sarung karena adat kebiasaan maka tidak termasuk sasaran ancaman. Yang menjadi perhatian agama, dalam hal ini, adalah niat dan motivasi batiniah yang berada di balik perbuatan lahiriyah. Hal yang sangat ditentang oleh agama adalah kesombongan, kebanggaan diri, keangkuhan, sikap merendahkan orang lain, dan penyakit-penyakit jiwa lainnya. Di samping itu, urusan model dan bentuk pakaian terkait dengan tradisi dan kebiasaan manusia, yang seringkali berbeda-beda sesuai perbedaan iklim antara panas dan dingin, antara kaya dan miskin, antara yang mampu dan tidak, jenis pakaian, tingkat kehidupan, dan berbagai pengaruh lainnya. [Yusuf Qardhawi, Pengantar Studi Hadis, terj. Agus Suyadi, Bandung: Pustaka Setia, 2007 hlm 178-179]


Contoh ke 2, agar lebih jelas (karena mungkin masih ada yang menganggap hadits tentang isbal ini kurang pas).

Pada Bab "Pertanian", Imam Bukhari mengeluarkan hadits dalam shohihnya, "Tidak akan masuk (alat) ini ke rumah suatu kaum, kecuali Allah pasti memasukkan kehinaan kedalam nya."

Pengertian lahiriah hadits ini, mengisyaratkan bahwa Rasulullah SAW, tidak menyukai pekerjaan bertani, sebab akan mengakibatkan kehinaan bagi para pekerja nya. 

Padahal bila kita melihat hadits yang lain (yang setema), akan kita temukan hadits berikut ini,

"Tak Seorangpun Muslim menanam suatu tanaman, kecuali buahnya yang dimakan orang lain, menjadi sedekah baginya (yakni bagi yang menanam). Demikian pula apa yang dicuri darinya, yang dimakan burung, dan yang diambil oleh orang lain, semuanya itu menjadi sedekah bagi si penanam" (HR Muslim).

Kita bisa lihat, bahwa Rasulullah tidak "men cela" Pekerjaan Petani (bercocok tanam), karena diberitahukan sedekah yang akan diterima oleh si Penanam.

Jadi yang menjadi pertanyaan, lalu Hadits yang melarang menyimpan "alat pertanian" yang diriwayatkan oleh Bukhari (Hadits dari Abu Umamah) bagaimana menafsirkannya?

Al Hafizh (Ibn Hajar) dalam Fath Al Bari, menjelaskan bahwa hadits Abu Umamah (tentang penyimpanan alat membajak/Pertanian) adalah, tentang kecaman terhadap adanya alat pembajak tanah, khusus apabila seseorang disibuk kan dengannya, sedemikian sehingga mengabaikan salah satu perintah agama (misalnya perintah jihad yang wajib) atau meskipun tidak mengabaikan suatu perintah wajib, namun ia melampaui batas dalam penggunaannya.

Sebagai penjelas/penguat penafsiran hadits diatas adalah hadits berikut ini.

"Apabila kalian telah berdagang dengan cara 'inah',  atau mengikuti ekor-ekor sapi dan merasa puas dengan bertani, seraya mengabaikan jihad, maka pastilah Allah akan menimpakan atas diri kalian kehinaan yang tak akan dicabut Nya lagi, sampai kalian kembali kepada (perintah) agama kalian" (HR Abu Dawud dan Ahmad)

Hadits diatas secara jelas telah menjelaskan maksud dari kehinaan karena berpuas diri dengan bercocok tanam saja, lalu tenggelam dalam kesibukan pertanian dan pekerjaan-pekerjaan yang hanya mementingkan diri sendiri, sehingga mengabaikan perintah agama yang lain yang hukumnya juga wajib.

3.      Menggabungkan Atau Mentarjih Hadis-Hadis Yang Bertentangan

Pada prinsipnya, nash-nash syariat yang benar tidak mungkin  bertentangan. Sebab, tidak mungkin suatu kebenaran bertentangan dengan kebenaran yang lainnya. Bilapun ada pertentangan, itu bukan lahirnya (hanya tampak luarnya saja bertentangan). Namun secara makna tidak bertentangan.


Sebelum mengambil kesimpulan dari suatu hadits, yang pertama dilakukan mengumpulkan hadits-hadits semakna, digabungkan, kemudian baru di Tarjihkan. Hadits yang dikumpulkan statusnya bukanlah hadits Maudhu'.

Contoh hadisnya adalah hadis tentang Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi yang mengharamkan seorang wanita melihat laki-laki sekalipun laki-laki itu buta. Hadis tersebut bertentangan dengan hadis Aisyah dan Fatimah binti Qais yang keduanya dinilai shahih:

Artinya: “Dari Ummu Salamah, katanya, Aku dan Maimunah bersama Rasulullah SAW. Lalu Ibnu Ummu Maktum datang. Waktu itu telah turun perintah tentang hijab. Rasulullah berkata kepada kami, ‘berhijablah kalian dihadapan nya!’ kami bertanya,’ ya Rasulullah, bukankah dia buta, tidak bisa melihat dan mengenali kami?’ Nabi SAW menjawab,’apakah kalian berdua juga buta. Bukankah kalian dapat melihatnya?” (Sunan Abu Dawud, no. 4114 dan Sunan at-Tirmidzi, no 1779. Menurut at-Tirmidzi hadis ini Hasan Shahih. Menurut Syekh Al Al-Bani, hadis ini dhaif)

Hadis ini-sekalipun dipandang sahih oleh at-tirmidzi-dalam sanadnya terdapat Nabhan, maula Ummu Salamah. Ia seorang yang tidak dikenal identitasnya (majhul) dan tidak dianggap terpercaya (tsiqqah), kecuali oleh Ibnu Hibban. Adz-Dzahabi dalam Al-Mughni memasukkanyya ke dalam perawi yang dhaif.

Hadis ini bertentangan dengan hadis Al-Bukhari dan Muslim, yang membolehkan seorang wanita melihat wanita yang bukan muhrim nya.

Artinya: “dari aisyah, katanya, Nabi menutupiku dengan selendangnya ketika aku sedang melihat orang-orang Habasyah sedang bermain di masjid” (H.R. Bukhari dan muslim)

            Al-Qadhi Iyadh berkata, “hadis ini membolehkan wanita melihat pekerjaan yang dilakukan kaum laki-laki yang bukan mahram. Adapun yang tidak disukai adalah memandang bagian-bagian tubuh yang indah dan menikmatinya.” Hal ini dikuatkan oleh hadis Al-Bukhari dan Muslim dari Fatimah Binti Qais bahwa Nabi SAW berkata kepadanya, ketika dia diceraikan oleh suaminya:

 “Tinggallah selama masa iddahmu di rumah Ibn Ummu Maktum. Ia seorang buta. Oleh karena itu, engkau dapat menanggalkan bajumu karena ia tidak melihat” (Shahih Muslim, no. 3770, maktabah syamilah)

Sebelumnya, beliau pernah menyarankan kepadanya untuk melewati masa iddahnya di rumah ummu Syarik, kemudian beliau berkata,”Ia adalah seorang wanita yang sering dikunjungi sahabat. Sebaiknya engkau tinggal di rumah Ibn Ummu Maktum”

         Dalam mengomentari hadis Ummu salamah di atas, Imam Al-Qurthubi berkata,”kalau kita mengandalkan kesahihannya, hal itu menunjukkan sikap keras Rasulullah atas istri-istrinya dalam menjaga kehormatan mereka, sebagaimana dalam masalah hijab, oleh karena itu, yang menjadi pegangan adalah makna hadis sahih bahwa Nabi SAW memerintahkan Fatimah binti Qais untuk melewati masa iddah di rumah Ummu Maktum. Ini berarti dilakukannya jalan penggabungan antara hadis yang lemah dengan yang shahih.

            Al-Qurthubi berkomentar: sebagian ulama menjadikan hadis ini sebagai dalil bahwa wanita boleh melihat bagian tubuh laki-laki, sebagaimana yang boleh dilihat laki-laki atas wanita, seperti kepala, tempat menggantungkan anting-anting. Sementara bagian yang termasuk aurat tetap tidak boleh.

4.  Memahami Hadis Sesuai Latar Belakang, Situasi, Kondisi, Dan Tujuan

Dalam pandangan Yusuf al-Qardhawi, jika kondisi telah berubah, dan tidak ada illat (alasan/latar belakang) lagi, maka hukum yang bersinggungan dengan suatu nash akan gugur. Demikian juga dengan hadis yang berlandaskan suatu kebiasaan bersifat temporer yang berlaku pada masa Nabi dan mengalami perubahan pada masa kini, maka yang dipegangi adalah maksud yang dikandungnya dan bukanlah pengertian harfiyah.

Contohnya:

أنتم أعلم بأمر دنياكم ...الحديث رواه مسلم

"Kalian lebih mengerti urusan kalian" (HR Muslim)


Hadis ini tidak tepat apabila dimaknai, untuk urusan dunia Rasul menyerahkan sepenuhnya kepada umat Islam,  karena  dalam berbagai bidang: ekonomi, sosial,politik dll. Rasul telah memberikan garis yang jelas.  Hadis ini harus dipahami  menurut sebab khusus yang menyertainya, yakni bahwa untuk urusan penyerbukan kurma, maka para petani Madinah memang lebih ahli ketimbang  Rasul. Maksud hadis Nabi terhadap keahlian profesi ataupun keahlian lainnya. Jadi, para petani lebih mengetahui tentang dunia pertanian daripada mereka yang bukan petani. Para pedagang lebih mengetahui dunia perdagangan daripada para petani. Petunjuk Nabi tentang penghargaan terhadap keahlian profesi atau bidang keahlian itu bersifat universal. [Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual: Tela’ah Ma’ani Al-Hadis Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal, Dan Local, Jakarta: Bulan Bintang, 1994, Hlm 58]

Contoh lainnya, seperti hadis:

لا تسافر امر أة إلا معها محرم  رواه البخاري ومسلم

"Tidak boleh seorang perempuan bepergian jauh kecuali ada seorang mahrom bersamanya" (HR Bukhari dan Muslim)


Hadis ini kurang tepat kalau dimaknai setiap perempuan (kapan dan dimanapun) tidak boleh bepergian sendiri, ia harus disertai mahram.  Illat hadis ini sesungguhnya ialah kekhawatiran akan terjadi fitnah dan bahaya bagi perempuan yang bepergian sendiri dengan melewati  padang pasir serta banyaknya penyamun diperjalanan.  

Kondisi saat ini tentulah sudah berubah untuk beberapa tempat/negara, juga waktu-waktunya.

Kita ketahui, misalnya untuk bepergian dari Jakarta ke Surabaya, menggunakan pesawat terbang, hanya butuh waktu 1.15 menit. Bepergian dari Jakarta dengan pesawat terbang, tentulah tidak seorang diri. Pasti dengan banyak orang (1 pesawat bisa berisi 100 orang lebih), ditemani crew pesawat terbang dan banyak orang lainnya. Perjalanan dari Rumah, di pagi hari jam 8, naik Taksi atau Bis, pasti dengan banyak orang. Mungkin kondisi akan sedikit berbeda bila bepergian di malam hari jam 12 malam, dimana jalan sudah sepi dll. Mungkin diperlukan Mahrom.

Ada hadits lain yang shohih juga, namun isinya "seakan-akan" bertentangan, yaitu, 

"Akan datang masanya ketika seorang  perempuan penunggan unta pergi dari (kota Hirah) menuju Ka'bah, tanpa seorang suami bersamanya" (HR Bukhari).

Terlihat jelas dalam hadits diatas, bahwa ada suatu masa, dimana kondisi aman, perempuan bisa bepergian seorang diri (ke Mekkah), Karena itu ketika kondisi telah aman dan kekhawatiran telah sirna, tidaklah mengapa perempuan  bepergian sendiri.

Kita dalam memahami Hadis Sesuai Latar Belakang, Situasi, Kondisi, Dan Tujuan, juga bisa mengikuti Metode Sabahat dan Tabi'in dalam mempertimbangkan semua "Illah di balik Nash-nash serta kondisi yang melingkupinya.

Contoh berikut ini bisa menjelaskan bahwa para Sahabat pun  dalam menerapkan suatu Hadits, tergantung masa nya..


- Dulu di jaman Nabi SAW, beliau membagi-bagi tanah Khaibar untuk para pejuang (sebagai hasil dari harta rampasan perang). Namun pada saat di jaman Umar RA, beliau tidak mau membagi-bagi tanah rampasan perang di Iraq,. Ia berpendapat, sebaiknya tanah-tanah itu tetap dibiarkan di tangan para pemiliknya semula, lalu menetapkan pajak tertentu (kharaj) atas mereka. Agar hal itu menjadi penghasilan tetap bagi generasi-generasi Muslim yang datang kemudian. 

Ibnu Qudamah menjelaskan terkait permasalahan diatas, bahwa Nabi SAW membagi-bagi tanah Khaibar pada masa-masa awal terbentuknya masyarakat islam dan mengingat adanya keperluan yang mendesak. Maka cara itulah  yang sesuai dengan maslahat umum. Sedangkan di masa-masa setelah itu, lebih diperlukan pewakafan tanah-tanah yang ditaklukan demi maslahat waktu itu. Maka itulah yang wajib dilakukan (Ibn Qudamah, Al Mughni, 2/598)

- Sikap Utsman RA mengenai unta-unta yang terlepas dari tangan Pemilik.
Di Jaman Nabi SAW, unta-unta yang terlepas, dibiarkan saja tidak boleh ditangkap.  beliau bersabda, "Apa urusanmu dengannya? Biarkanlah ia dengan kemampuannya untuk mencari air dan memakan dedaunan. sampai ia ditemukan kembali oleh pemiliknya" (Muttafaq 'Alaih).

Hal tersebut tetap berlangsung hingga di jaman Umar RA. Namun dijaman Khalifah Utsman RA, beliau memerintahkan untuk ditangkap, kemudian diumumkan di depan khalayak ramai (untuk mengetahui siapa pemilikinya), kemudian dijual (bila hingga saat itu tidak diketahui pemiliknya). Uang akan tetap disimpan, hingga kemudian sang pemilik datang, barulah uang hasil penjualan Untanya diberikan kepada pemiliknya. (Al Muwattho, 3:129).   

Ali bin Abu Tholib RA juga menyetujuinya, hanya saja menurut beliau (pada saat beliau menjabat sebagai Khalifah), Unta tidak langsung dijual, hanya dipelihara oleh negara,  dan biaya pemeliharaan diambil dari baitul Maal, sampai pemiliknya datang, dan diserahkan kepada nya.

Dari contoh diatas dapat kita lihat, sahabat sendiri, "menerjemahkan" hadits, kadangkala tidak "harfiah", namun dilihat dari Illat hadits tersebut, dan korelasinya di jaman berikutnya (yang berlaku saat itu)

5.  Membedakan Antara Sarana Yang Berubah Dan Tujuan Yang Tetap

Untuk menghindari kesalahan dalam memahami hadis, harus dapat membedakan sarana dan sasaran atau tujuan.  Kesalahan  terbanyak biasanya  menganggap sama keduanya.  Tujuan  itulah yang seharusnya menjadi tuntunan kita bukan sarana, yang setiap waktu dapat berubah.

Contohnya:

خير ما تداويتم به الحجامة.  رواه احمد وغيره

Hadis ini memberitahukan bahwa sebaik-baik obat ialah berbekam (HR Ahmad, Thabrani, Al Hakim).  Berbekam  ini merupakan sarana, jadi ketika telah ditemukan obat yang lebih baik, berbekam tidak lagi dianggap yang terbaik, dan ini tidak menyalahi hadis. 


Juga Hadits berikut ini, "Penting kanlah al Habbah as Sauda (jintan hitam), sebab ia adalah obat bagi semua penyakit selain maut" (HR Bukhari)

Menurut Yusuf al-Qardhawi, resep yang disebutkan dalam hadis ini bukanlah “roh” dari pengobatan Nabi. Roh-nya adalah memelihara kesehatan dan kehidupan manusia, keselamatan tubuh, kekuatan serta haknya untuk beristirahat jika lelah, dan berobat jika sakit. Berobat tidak bertentangan dengan keimanan pada takdir ataupun tawakkal kepada Allah.

Berikut contoh yang lain terkait etika makan dan minum.

"Apabila seseorang dari kalian selesai makan, maka janganlah ia mengusap (membersihkan) jari tangannya, sampai ia telah menjilatinya....dan seterusnya" (HR Bukhari, Muslim)

"Aku melihat Rasulullah SAW, makan dengan 3 jari tangannya, dan selepas itu, beliau menjilatinya" (HR Muslim)

Dari Jabir RA, bahwa Rasulullah SAW memerintahkan agar (kami) menjilati jari tangan dan piring. Dan Beliau bersabda, "Kalian tidak tahu, di dalam bagian makanan kalian yang manakah, tersembunyi berkahnya" (HR Muslim). Dan masih banyak hadits semakna lainnya.

Bila mengikuti "lafadz / tekstual hadits" diatas, maka orang-orang yang makan menggunakan "sendok" akan dianggap "menyelisihi sunnah". Yang tidak menjilati jari tangannya, dan bahkan tidak "menjilati" piringnya setelah selesai makan, juga "menyelisihi sunnah"

Padahal dijaman sekarang, dan di benua lain (di luar Arab), bahwa kondisinya berbeda. Dari mulai menu makanannya berbeda, adat istiadat berbeda, jenis makanan berbeda dan lain-lain.

Sebenarnya yang dimaksud dari hadits mengenai "etika makan", bahwa "ruh as sunnah" tersebut adalah kesederhanaan dan sikap rendah hati beliau Nabi SAW. Penghargaannya terhadap makanan, karunia dari Allah SWT yang telah diberikan kepada beliau, serta bagaimana beliau SAW berusaha untuk tidak "menyia-nyiakan" makanan alias tidak mau terjadi hal yang Mubadzir dalam makanan (tidak ada yang terbuang, semua habis dimakan), walaupun itu sekedar secuil roti yang tersisa (tidak boleh tersisa sedikitpun).

Itulah pendidikan kejiwaan , akhlak dan ekonomi sekaligus, yang apabila di praktek kan oleh kaum Muslim, tentunya kita takkan menyaksikan sisa-sisa makanan yang dibuang begitu saja ke keranjang sampah setiap kali selesai makan. 

Artinya, bahwa sarana itu selalu berubah dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat yang lain. Bahkan sarana itu mesti berubah. Apabila hadis menentukan sarana tertentu, hal ini dimaksudkan untuk menjelaskan suatu realita, bukan untuk mengikat kita dengannya, ataupun menutup kita dengan sarana lainnya. [Yusuf al-Qardhawi, Pengantar Studi Hadis, Op. Cit, hlm 220]

6.   Membedakan Antara Ungkapan Yang Haqiqah Dan Majaz [Yusuf al-Qardhawi, Kaifa Nata’amal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Ma’alim Wa Dhawabith, op. cit, hlm 155]

Bahasa arab seringkali menggunakan ungkapan dalam bentuk majaz (kiasan, metafor). Dalam ilmu balaghah dinyatakan bahwa ungkapan dalam bentuk majaz, lebih berkesan ketimbang dalam dalam bentuk hakiki (biasa). Adapun rasul yang mulia adalah seorang penutur bahasa arab yang paling menguasai balaghah. Ucapan-ucapannya adalah bagian dari yang diwahyukan maka tidak mengherankan jika dalam hadis-hadis nya, beliau banyak menggunakan majaz, untuk mengungkapkan maksud beliau dengan cara yang mengesankan.

Pengertian majaz disini mencakup majaz lughawi, ‘aqli, isti’arah, kinayah, dan berbagai ungkapan lainnya yang tidak menunjukkan makna sebenarnya secara langsung, tetapi hanya dapat dipahami dengan berbagai macam pendekatan indikasi yang menyertainya, baik yang bersifat tekstual maupun kontekstual.

Dalam keadaan tertentu, adakalanya pemahaman berdasarkan majaz merupakan suatu keharusan. Jika tidak dipahami dalam makna majaz, artinya akan menyimpang dari makna yang akan dimaksud dan akan menjerumuskan dalam kekeliruan. Ketika Rasulullah SAW berkata kepada istri-istrinya:

Artinya: “yang paling cepat menyusul ku diantara kalian-sepeninggal ku- adalah yang paling panjang tangannya” [HR muslim no. 6470, juz 7 hlm 144]

Mereka mengira yang dimaksud adalah orang yang tangannya paling panjang. Karena itu, seperti yang dikatakan Aisyah R.A; mereka saling mengukur, siapa diantara mereka yang tangannya paling panjang. Bahkan, menurut beberapa riwayat, mereka mengambil sebatang bambu untuk mengukur tangan siapakah yang paling panjang?

Padahal, Rasulullah SAW tidak bermaksud seperti itu. Yang dimaksud dengan sabda beliau” tangan yang paling panjang” ialah yang paling baik dan dermawan. Sabda Nabi SAW ini memang sesuai dengan fakta di kemudian hari. Di antara istri-istri beliau yang paling cepat meninggal dunia-setelah beliau-adalah Zainab binti Jahsy R.A. ia dikenal sebagai wanita yang sangat terampil, bekerja dengan kedua tangannya dan suka bersedekah.


Berikut satu contoh hadits lagi, 

"Tinggallah bersama ibumu itu, sebab surga berada di bawah telapak kakinya" (HR Ahmad dan Nasa'i)

Tentulah makna surga dibawah telapak kaki ibu, bukan semata-mata secara harfiah, kita akan mendapatkan surga dibawah kaki nya. Seakan-akan Surga itu kecil, sehingga hanya se-ukuran kaki ibu kita. 

Maka dalam memahami hadits diatas, yaitu, bahwa berbakti kepada ibu dan bersikap tulus dalam menyatuninya dan merawatnya, merupakan pintu yang selebar-lebarnya menuju surga-surga yang penuh dengan kenikmatan hidup.


7.   Membedakan Yang Ghaib Dan Yang Nyata [Yusuf qardhawi, Pengantar Studi Hadis, Op. Cit, hlm 269]

Jika melihat kandungan hadis, ada banyak hadis-hadis yang berbicara tentang hal-hal ghaib. Diantaranya, mengenai makhluk-makhluk yang tidak dapat di indra, alam kubur, kehidupan akhirat termasuk mizan, masyar, hisab. Hadis-hadis yang berkualitas sahih mengenai hal semacam ini, bagi Syaikh Yusuf Qardhawi  tetaplah wajib diterima. Tidak dibenarkan menolak hadis-hadis tersebut hanya karena tidak bisa dialami oleh manusia (pengalaman empiris). Selama masih dalam batas kemungkinan menurut akal, tetaplah bisa diterima.

Contohnya:

Artinya: “Di surga terdapat sebuah pohon yang jika seorang pengendara melewati dibawahnya selama seratus tahun, maka tidak cukup untuk menempuhnya” [Shahih Bukhari, no. 3251,  juz 11]

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan muslim dari Sahl bin sa’d, Abu Said  dan Abu Hurairah. Al-Bukhari juga meriwayatkan dari Anas. Karena itu, ketika menafsirkan firman Allah: وَظِلٍّ مَمْدُودٍ (dalam naungan yang terbentang luas QS al-waqi’ah: 30), Ibn Katsir menyebutkan bahwa hadis itu benar-benar berasal dari rosulullah SAW; bahkan termasuk hadis mutawatir yang dipastikan keshahihannya menurut penilaian para pakar hadis.

Secara lahiriyah, seratus tahun yang dimaksud dalam hadis di atas adalah menurut ukuran dunia. Dan tidak ada yang mengetahui perbandingan antara waktu didunia dan waktu disisi Allah, selain Allah SWT. Dalam Al-qur’an disebutkan:

Artinya: “dan sesungguhnya satu hari di sisi Tuhanmu seperti seribu tahun dalam perhitungan”(QS. Al-Hajj: 47)

Apabila hadis tersebut shahih, kita hanya dapat berkata dengan penuh keyakinan, “kami percaya dan membenarkannya” sambil meyakini bahwa di akhirat ada aturan tersendiri yang berbeda dengan tatanan di dunia.

8.  Memastikan Makna Kata-Kata Dalam Hadis

Memastikan makna dan konotasi kata-kata sangat penting dalam memahami sebuah hadis. Sebab, konotasi kata-kata tertentu adakalanya berubah dari suatu masa ke masa lainnya, dari suatu lingkungan ke lingkungan lainnya.

Contohnya ialah pemaknaan kata kata

تصوير dan   مصور

Yang banyak  ditemukan dalam teks-teks hadis shahih, yang maksudnya  ialah menggambar dan penggambar  yang ada bayang-bayangnya, dan sekarang dikenal dengan kata memahat dan pemahat.  Padahal   dengan berkembangnya bahasa, saat ini kata tashwir dan mushawwir, yang dalam hadis  akan diancam dengan ancaman yang sangat pedih itu diartikan  memotret dan memotret /fotografer.

Karena  itu kata-kata  tersebut tidak boleh dimaknai sebagaimana makna yang berkembang sekarang, tetapi harus dikembalikan pada makna aslinya. Teknologi fotografi ini belum ada dan tidak dikenal pada masa Nabi, maka tidak mungkin ditujukan pada ahli foto. Jadi, memasukkan ancaman kepada ahli foto tidaklah tepat. Dan inilah yang membuat Yusuf al-Qardhawi berhati-hati dalam memastikan makna suatu kata tertentu dalam hadis.

Wallahua’lam bishowab

Jumat, 08 Juni 2018

KEDUA ORANGTUA RASULULLAH MASUK NERAKA? (ORANG-ORANG YANG TIDAK TERJANGKAU OLEH RISALAH PARA NABI SEHINGGA TIDAK BERSYARIAT)



Diantara pendapat pendapat ekstrem yang dilontarkan kaum Salafi Kontemporer adalah mereka berani menuduh kafir terhadap kedua orangtua Rasulullah SAW. Padahal kedua orangtua beliau termasuk Ahlul Fatrah. Keduanya belum dapat dipastikan kemusyrikan dan kekufurannya. Ahli Fatrah terbagi dalam 3 klasifikasi, sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang ulama (Imam As Suyuthi) ;

Golongan Pertama : Golongan yang jelas kemusyrikannya dan tetap bertahan dalam keyakinannya. Seperti Amr Bin Luhayyi, yang memperkenalkan dan menyebarkan penyembahan berhala di Jazirah Arab. Rasulullah SAW berkomentar tentangnya, “Sungguh aku melihat neraka Jahannam saling berbenturan antara yang satu dengan yang lain ketika kalian melihatku terlambat. Dan, aku melihat Amr bin Luhayyi didalamnya. Dialah yang menganjurkan melepaskan unta betina (untuk persembahan, yaitu unta betina yang sudah melahirkan 10 kali dan semuanya betina yang dibebaskan, sehingga tidak boleh dikendarai dan tidak diminum susunya. Lihat Jami’ Al Hadits 8/452)

Golongan Kedua : Satu golongan yang diantaranya menyatakan akidah tauhid dan mengikuti agama Ibrahim yang suci, seperti Qiss bin Sa’idah dan Zaid bin Amr bin Nufail. (Shohih Al Bukhari, I/406 no 1154)

Golongan ketiga : Golongan yang tidak menyekutukan Allah SWT dan tidak pula dinyatakan bertauhid. Golongan ini seperti halnya kedua orangtua Rasulullah SAW. Allah lebih bijak untuk tidak menyiksa mereka karena tidak mengirim utusan kepada mereka.

Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam FirmanNya, “Akan tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang Rasul (Al Israa; 15)

Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman, “Agar engkau memberi peringatan kepada suatu kaum yang nenek moyangnya belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai” (Yasin;6)

Tidak ada taklif dengan akal atau naluri, sebagaimana hal ini banyak dipropagandakan sebagian kaum Salafi Kontemporer dan Mu’tazilah.

Pendapat Para Ulama Mengenai Kedua Orang Tua Rasulullah.

Jumhur ulama dan para ulama Madzhab Hambali terbagi dalam 4 kelompok dalam menjawab permasalahan ini yaitu :

Pendapat Pertama ; Kedua orangtua Rasulullah selamat dari neraka karena keduanya Ahlul Fatrah.

Pendapat ini didukung oleh mayoritas madzhab Syafi’i, Al Asy’ari dan disetujui sejumlah ulama Madzhab Hambali. Argumentasinya berdasarkan firman Allah SWT QS Al Israa;15,

Juga dalam ayat lain, Allah SWT berfirman, “Agar engkau memberi peringatan kepada suatu kaum yang nenek moyangnya belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai” (Yasin;15)

Dan dalam surah al Qashash, “Tetapi (Kami utus engkau) sebagai rahmat dari Tuhanmu, agar engkau memberi peringatan kepada kaum (Quraisy) yang tidak didatangi oleh pemberi peringatan sebelum engkau, agar mereka mendapat pelajaran” (Al Qashash;46)

Begitu pula dalam Surat Saba’, “Dan Kami tidak pernah memberikan kepada mereka kitab-kitab yang mereka baca dan Kami tidak pernah mengutus seorang pemberi peringatan kepada mereka sebelum engkau (Muhammad)” (Saba’; 44)

Mengeluarkan kedua orangtua Rasulullah SAW dari daftar golongan Ahlul Fatrah harus berdasarkan dalil yang pasti dan bukan asumsi semata. Inilah pernyataan para ulama Madzhab Hambali. Al Allamah Mar’i bin Yusuf Al Karami Al Hambali dalam Bahjah An Nazhirin wa Ayat Al Mustadilin dalam tema Fi Ahl Al Fatrah, ia berkata, “Apabila kaidah ini telah dirumuskan para ulama Madzhab Asy’ari (Asya’irah) sedemikian rupa dan ayat al Quran tegas menyatakannya, maka dipastikan bahwa poros akidah haruslah berdasarkan kesepakatan Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Orang-orang yang hidup pada masa Nabi Isa AS, dan orang-orang Arab sebelumnya tidak disiksa (Selama bukan masuk Ahlu Fatrah golongan ke 1). Karena para nabi yang diutus untuk Bani Israil tidak diutus kepada bangsa Arab. Dengan demikian, bangsa Arab pada masa para nabi tersebut termasuk Ahlul Fatrah.

Diantara orang-orang yang berpendapat bahwa Ahlul Fatrah akan selamat dari neraka adalah Al Qadhi Abu Ya’la dalam Al Mu’tamad, dimana Allah berfirman, “Akan tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul” (Al Israa;15)


BANTAHAN TERHADAP HADITS-HADITS YANG MENYATAKAN BAHWA KEDUA ORANG TUA ROSULULLAH TIDAK SELAMAT DARI NERAKA

Mereka menjawab bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan, yang menyatakan bahwa kedua orang tua Rasulullah SAW Tidak Selamat dari Neraka dengan menyatakan bahwa hadits-hadits tersebut adalah hadits ahad (hadits-hadits yang tidak mutawatir) tidak dapat dikonfrontasikan dengan dalil quran yang bersifat pasti (Qoth’i), sedangkan hadits-hadits tersebut masih bersifat asumtif

Diantara hadits-hadits yang dimaksud adalah yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah RA,  ia berkata, 'Pada suatu kesempatan, Rosulullah SAW mengunjungi makam Sang Bunda lalu menangis hingga membuat orang-orang di sekelilingnya ikut menangis'. Kemudian beliau bersabda "Aku telah memohon izin kepada Tuhanku untuk memohonkan ampunan kepadanya, namun Dia tidak mengizinkannya. Aku juga memohon kepada-Nya untuk mengunjungi makamnya, maka Dia mengizinkannya. Karena itu, hendaklah kalian berziarah kubur karena bisa mengingatkan pada kematian.’ (HR Muslim)

Riwayat ini tidak mengindikasikan bahwa Sang Bunda termasuk penghuni neraka. Al-Barzanji Rahimahullah berkata, "Istighfar merupakan bagian dari dosa, sedangkan dosa bagian dari taklif sehingga tiada taklif tiada dosa, dan tiada istighfar.

Imam As-Suyuthi berkata, "Adapun hadits, Bundaku bersama bunda kalian" diriwayatkan oleh Al-Hakim, dalam Mustadrak-nya, dan ia berkata, "Hadits ini shahih." Sebagaimana kita tahu bahwa Al-Mustadrak, terlalu mudah menyatakan keshahihan suatu hadits. Dalam ilmu hadits ditegaskan, bahwa hadits tafarudnya (bersendirian dalam meriwayatkan) Al-Hakim tidak bisa diterima keshahihannya. Kemudian Al-Hafizh Adz-Dzahabi dalam Mukhtasar Al-Mustadrak, ketika meriwayatkan hadits ini dan mengutip pendapat AI-Hakim yang menyatakan shahih, maka ia berkomentar tentangnya, “Kukatakan, 'Demi Allah, Utsman bin Umair dianggap dhaif oleh Ad-Daruquthni." Adz-Dzahabi pun menjelaskan kedhaifan hadits tersebut dan mengucapkan sumpah atasnya. Apabila dalam masalah ini hanya terdapat hadits-hadits dhaif, untuk mempertimbangkan hadits-hadits lainnya mendapat ruang. 1

Adapun hadits yang diriwayatkan Imam Muslim melalui Tsabit dari Anas bin Malik RA, yang menyebutkan, “bahwa seorang lelaki bertanya, ‘Wahai Rosulullah, kemanakah ayahku? Beliau menjawab, “Di Neraka”. Ketika lelaki itu menunduk, maka beliau memanggilnya, seraya berkata sebagai berikut 'Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka'.(HR Muslim)

Hadits ini mengandung dalil yang asumtif, yang mungkin memiliki pengertian lain. Bisa jadi,
kata “Inna abi (Sesungguhnya ayahku)”, yang dimaksud adalah paman beliau Abu Thalib. Karena masyarakat Arab biasa memanggil atau menyebut paman dengan kata, Abu (ayah). Hal ini sebagaimana disebutkan penggunaannya dalam Al-Quran menjawab, “Mereka menjawab ‘Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Isma’il, dan Ishak’ (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami (hanya) berserah diri kepada-Nya.' (Al-Baqarah: 133).

Dalam ayat ini dinyatakan bahwa Isma’il sebagai ayah beliau, padahal pada kenyataannya Ismail adalah paman beliau, yaitu Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim

Dengan demikian, dikatakan bahwa bisa jadi jawaban dari Rasulullah SAW ketika ditanya seorang Badui, "Aina abi (kemana ayahku)” dan beliau menjawab, 'Sesungguhnya ayahmu dan ayahku di neraka’, seraya beliau berpaling dan raut kesedihan nampak pada beliau. Lalu bertanya lagi ‘Ulangilah pertanyaanmu itu kepadaku.’ Ketika si Badui itu mengulangi pertanyaannya, maka beliau menjawab, "Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka,” maka bisa jadi yang dimaksud dengan ayahku dalam riwayat ini adalah Abu Thalib, Sang paman. Karena masyarakat Arab terbiasa menyebut paman sebagai ayah, Terlebih lagi jika Sang Paman memiliki kedekatan beliau dalam mendidik, mengasuh, mengasihi dan bahkan membela beliau.


Kedua kemungkinan ini sangatlah kuat, Inilah pendapat vang didukung sejumlah ulama. Jika terdapat kemungkinan yang kuat, maka tidak sah penggunaannya sebagai dalil. Dua kemungkinan yang di maksud adalah:

Pertama: Ayah yang disebutkan dalam hadits dalam bab ini adalah Sang Paman.2

Kedua: Ayah yang disebutkan dalam hadits dalam bab ini adalah dengan pengertian jauh.3

Adapun mengenai redaksi hadits, meskipun hadits tersebut pada dasarnya shahih, akan tetapi dalam riwayat yang lebih bisa dipertanggungjawabkan dibanding hadits ini dan sesuai dengan kriteria Imam Al Bukhari dan Muslim, Imam As Suyuthi berkata, “Pada dasarnya redaksi hadits ini yang menyebutkan, “Inna abi wa abaka fi an Nar (sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka)”, penyebutannya tidak disepakatai para perawi. Redaksi ini diriwayatkan oleh Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas bin Malik RA, yang merupakan sanad yang digunakan oleh Imam Muslim. Redaksi ini bertentangan dengan riwayat Ma’mar dan Tsabit, yang tidak menyebutkan kata, “Inna abi wa abak fi an Nar”. Akan tetapi beliau berkata kepadanya, “Apabila kamu melewati sebuah kuburan orang kafir, maka sampaikanlah kabar gembira kepadanya dengan neraka”

Dengan demmikian, riwayat ini tidak menunjukkan pengertian ayahanda beliau sama sekali.

Kesimpulan pendapat mereka, bahwa hadits tersebut shahih, akan tetapi redaksinya yang demikian itu yang dikatakan terdapat dalam Imam Muslim tidak dapat dipertanggungjawabkan. Karena redaksi yang sebenarnya menyebutkan, “Setiap kali kalian melewati sebuah kuburan orang kafir, maka sampaikanlah kabar gembira kepadanya dengan neraka.” Semua bukti-bukti menunjukan dan menguatkannya.

Pendapat Kedua, Tentang Kedua Orang tua Rosulullah yang hidup kembali berkat doa Beliau sehingga keduanya Beriman terhadap Dakwah Beliau.

Rasulullah SAW mendapat anugerah banyak mukjizat yang kasat mata, yang diantaranya; Terbelahnya bulan, menjadikan binatang-binatang dan pepohonan serta bebatuan dapat berbicara, memancarkan air dari jari jemari, menyembuhkan orang-orang ncacat, dan juga mampu menghidupkan orang yang sudah meninggal dunia.

Imam Asy Syafi’i berkata, “Allah SWT tidak melimpahkan anugerah kepada seorang nabi pun sebagaimana yang nDia anugerahkan kepada Rasulullah SAW. Kemudian seseorang bertanya kepadanya, “Nabi Isa AS mendapat anugerah dapat menghidupkan kembali orang yang sudah meninggal dunia?” Ia menjawab, “Dia telah menganugerahkan kepada Muhammad SAW dapat menjadikan batang kurma dapat meratap dalam tangisan hingga beliau mendengar suaranya, dan itu lebih besar dari yang itu. (Al Mawahib Al Laduniyyah hlm 277). Ratapan tangis batang kurma menurut Imam Asy Syafi’i jauh lebih berat dibandingkan menhidupkan orang yang sudah meninggal dunia.


Dalam buku buku tentang Ad Dala’il (bukti-bukti) dan Asy-Syama’il (karakter-karakter), maka akan mendapati kenyataan bahwa Rasululllah dapat menghidupkan orang yang sudah meninggal dunia dengan izin Allah SWT yang diantaranya :

-         Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dalam Adalail An Nubuwwah, bahwa Rosullah menyerukan kepada seorang lelaki untuk masuk Islam. Lelaki itu berkata, “Aku tidak mau beriman kepadamu hingga engkau dapat menghidupkan putriku kembali.”. Rasulullah berkata, “Tunjukannlah kuburnya kepadaku.” Lalu lelaki itu menunjukkan kubur putrinya kepada beliau. Kemudian Rasulullah berseru, “Wahai si Fulanah” Sang Putri yang dipanggil menjawab, “Labbaik wa sa’daik (Kupenuhi panggilanmu demi kebahagiaanmu)”. Rasulullah berkata, “Apakah kamu senang untuk kembali ke dunia?”. Sang Putri menjawab, “Tidak demi Allah, wahai Rasulullah. Sungguh aku mendapati Allah SWT lebih baik dibandingkan kedua orangtuaku dan aku mendapati akhirat lebih baik dibandingkan dunia”.

-          Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim, yang menyebutkan, “Bahwa Jabir menyembeli seekor kambing, lalu memasaknya hingga lumat dan memberinya kuah dalam sebuah mangkok besar. Kemudian ia menghidangkannya kepada Rasulullah. Orang-orang pun makan dna Rasulullah berkata, “Makanlah kalian dan janganlah meremukkan tulangnya.” Kemudian beliau mengumpulkan tulang-tulang tersebut seraya meletakkan tangan suci beliau diatasnya. Beliau segera berdoa dengan suatu doa hingga berdirillah seekor kambing yang mengibaskan kedua telingannya”

Para Ulama Madzhab Hambali dan Ahli Hadits yang berpendapat bahwa Rasulullah Mampu Menghidupkan kembali Kedua Orangtuannya.

Allah SWT berkenan menghidupkan kembali kedua orangtua Rasulullah SAW sebagai penghormatan terhadap beliau dan mukjizatnya, dan kamipun mempercayainya. Hal ini sebagaimana diriwaytkan sejumlah ulama, diantaranya; Ath Thabarani, Al Hambali, Al Khathib,  Al Baghdadi, Ibnu Syahin Al Hambali, Ad Daruquthni, dna Ibnu Asakir dengan sanad Dhaif Jiddan (Sangat lemah).

Akan tetapi riwayat ini diperkuat oleh sebagian ualam seperti Imam As Suyuthi dan Al Hafizh As Sakhawi, karena menganggap hasan perkataan Ibnu Nashiruddin.

Imam As Suyuthi berkata, “Sesungguhnya Allah SWT Menghidupkan kembali kedua orangtua beliau hingga keduanya beriman kepada beliau. Inilah rumusan yang didukung semumlah besar pakar hadits dan para huffazh serta lainnya. Diantara mereka adalah Ibnu Syahin, Al Hafizh Abu Bakar Al Khathib al Baghdadi, As Suhaili, Al Qurthubi, Al Muhibb Ath Thabari, Al Allamah Nashiruddin bin Al Munir dan lainnya. Dalam masalah tersebut, mereka berargumen dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Syahin dalam An Nasikih wa Al Mansukh, Al Khathib Al Baghdadi dalam As Saiq wa Al Lahiq, Ad Daruquthni, Ibnu Asakir, dimana keduanya meriwayatkannya dalam Ghara’ib Malik, dengan sanad Dhoif dari Sayyidah Aisyah RA, ia berkata, “Pada suatu kesempatan, kami menunaikan ibadah haji wadda’ bersama Rasulullah SAW. Kemudian beliau melewati dataran tinggi di Hajun sambil menangis sedih. Lalu beliau turun dan terdiam menjauh dariku selama beberapa lama. Kemudian beliau kembali mendekatku dengan senyum ceria. Lalu aku bertanya kepada beliau tentangnya. Beliau menjawab, “Aku pergi ke kuburan Ibuku lalu aku memohon kepada Allah SWT agar berkenan menghidupkannya kembali. Dia pun berkenan menghidupkannya lalu beriman kepadaku. Lalu Allah mengembalikannya seperti semula”

Hadits diatas Dhoif menurut kesepakatan ulama hadits. Adapula yang menyatakan bahwa hadits tersebut maudhu’. Namun pendapat yang benar adalah dhoif dan bukan hadits maudhu’ atau palsu (Lihat Al Hawi 2/218)

Imam Al Qurthubi berkata, “Tiada pertentangan antara hadits tentang menghidupkan kembali kedua orangtua beliau dan hadits larangan beristighfar. Karena hadits tentang menghidupkan kedua oranagtua beliau muncul setelah hadits beristighfar bagi keduanya. Hal itu berdasarkan hadits Sayyidah Aisyah RA yang menyebutkan bahwa peristia itu terjadi dalam haji Wada’. Karena itu, Ibnu Syahin menjadikannya sebagai penasakh riwayat sebelumnya” (Al Hawi 2/213)

Pendapat Ketiga; Kedua Orangtua Rasulullah tidak selamat dari Neraka dan Tidak Masuk Surga

Para pendukung pendapat kelompok ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Al Baihaqi, An Nawawi, Ath Thabari, dan Ibnu Katsir (Lihat Fath al Alim fi Najat Abawai An Nabi, hal 20 karya Syaikh Abdul Aziz bin Arafah As Sulaimani al Hambali, guru besar di lembaga pendidikan Ash Shaulatiyah di Makkah).

Mereka berargumen dengan kedua hadits shahih, yang diriwayatkan Imam Muslim. Padahal Ibnu Taimiyah berkata bahwa ahlu Fathroh selamat dari neraka. Ibnu Taimiyah berkata, “Seseorang tidak dinyatakan kafir hingga ditetapkan hujjah di hadapannya dimana Rasulullah SAW telah menyampaikan risalah Nya kepadanya.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Firman Allah SWT, “Agar tidak ada alasan bagi Manusia untuk membantah Allah setelah Rasul-rasul itu diutus. Allah Mahaperkasa Mahabijaksana” (An Nisaa;165)

Dalam Ayat lain Allah SWT berfirman, “Akan tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul” (Al Israa;15) (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah)

Poin yang dapat menghindarkan perbedaan pendapat dengan mereka adalah kenyataannya bahwa kedua orangtua Rasulullah termasuk Ahlul Fatroh dan keduanya tidak mendapati misi dakwah. Adapun status Ahlul Fatroh, maka mereka adalah orang-orang yang selamat dari neraka karena tidak mendapat misi dakwah. Disamping itu, ketetapan hukum yang menyatakan bahwa kedua nya masuk neraka meskipun dengna argumen yang sama tentunya terjadi kontradiksi dan menetapkan hukum yang tidak rasional sehingga tidak bisa diterima. Terlebih lagi kita semua bersepakat bahwa tidak ada taklif dengan akal dan naluri.

Pendapa Keempat : Tawaqquf atau Berhenti Memperdebatkannya dengan Menyerahkan urusan mereka kepada Allah. (pendapat yang lebih dekat dengan pendapat Imam Ahmad bin Hambal)

Kami tidak mendapatkan teks yang jelas dan tegas dari imam Ahmad bin Hambal berkaitan dengan kedua orangtua Rasulullah SAW. Akan tetapi ia menghentikan perdebatan tentang masalah-masalah yang serupa dengan masalah kedua orangtua Rasulullah. Hal ini memungkinkan kita mengenal pendapatnya mengenai keduanya. Di antara masalah-masalah tersebut adalah :

Pendapat mengenai Sayyidah Khadijah binti Khuwailid RA sebelum pengutusan Rasulullah SAW

Pendapat mengenai anak-anak orang musyrik yang meninggal dunia ketika masih kecil.

Al Khalal meriwayatkan dengan sanadnya dari Hambal bin Ishaq, ia berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdillah mengenai orang yang meyakini bahwa Rasulullah memeluk agama kaumnya sebelum pengutusannya?” Ia menjawab, “Ini merupakan perkataan yang buruk. Orang yang melontarkan perkataan ini harus diwaspadai dan janganlah bergaul dengannya...” Aku bertanya lagi, “Ia juga meyakini bahwa Khadijah juga demikian ketika Rasulullah menikahinya pada masa Jahiliyah” Imam Ahmad menjawab, “Adapun Khadijah, maka aku tidak berkomentar sama sekali. Dia merupakan orang pertama yang beriman kepada beliau dari kaum perempuan. Kemudian kondisi yang berkembang di masyarakat atas pendapat tersebut dari orang-orang yang melontarkannya, maka dia tidaklah bahagia. Subhanallah Subhanallah, sungguh berat pendapat tersebut –dia berargumen dengan riwayat yang tidak aku hafal- dan menyebutkan pula tentang sang Bunda ketika melahirkan beliau, dia melihat cahaya.

Bukankah sang Bunda melihat cahaya ini ketika melahirkan beliau, dan sebelum beliau diutus, dia suci dan bersih dari penyembahan berhala. Bukankah beliau tidak mengkonsumsi sembelihan yang dipersembahkan untuk berhala.” Lalu ia berkata, “Berhati-hatilah terhadap orang yang berpendapat demikian, karena pendapat mereka tidak mengantarkan pada kebaikan. (As Sunnah, Al Khallal, I/196)

Perhatikanlah bagaimana Imam Ahmad bin hambal tidak berkomentar terhadap orang-orang yang hidup sebelum pengutusan (bi’tsah) Rasulullah SAW. Ia berkata, “Adapun Khadijah, maka aku tidak berkomentar sama sekali.” Lalu bagaimana dikatakan bahwa perkataan dalam permasalah tersebut dikatakan sebagai pendapat tercela, sebagaimana dilontarkan kaum Mu’tazillah. Syaikh Abu Al Hasan Ali bin Ismail Al Asy’ari RA dari Ahlu Sunnah (Tafsir Ibnu Katsir 3/41)

Meskipun banyak hadits-hadits yang diriwayatkan menyatakan bahwa putra-putri orang-orang musyrik selamat dari neraka tanpa melalui ujian pada hari Kiamat, dan juga hadits-hadits yang menyatakan bahwa mereka di neraka4 , lalu mengapa mereka meninggalkannya dan menggunakan hadits Ahlul Fatroh! Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Riwayat riwayat tersebut shahih secara keseluruhan dan perawinya juga para perawi hadits Shohih –meskipun demikian riwayat-riwayat tersebut tidak digunakan -. Az Zuhri berkata, “Ada diantara hadits-hadits itu yang diriwayatkan dengan sanad sanadnya (Lihat dar’u At Ta’arudh 4/925)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun tetapnya hukum kufur di akhirat bagi anak-anak tersebut, maka Imam Ahmad terkadang diam tentangnya dan tidak memberikan jawaban. Tidak jarang pula ia mengembalikan mereka pada pengetahuan Allah SWT. Sepertin perkataannya, “Allah Maha Mengetahui dengan apa yang mereka kerjakan”. Inilah jawaban terbaiknya.

Al Hafizh Abu Al Fadhl bin Hajar Al Asqolani berkata, “Keyakina terhadap keduanya, bahwa keduanya akan patuh ketika menjawab berbagai pertanyaan berdasarkan dua riwayat; Pertama, hadits yang diriwayatkan al Hakim dalam Al Mustadrak nya, dan dianggap shohih olehnya dari Abdullah bin Mas’ud RA, Ia berkata, “Seorang pemuda dari kaum Anshor dimana tiada seorangpun yang paling banyak bertanya kepada Rasulullah SAW dibandingkannya. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau mengetahui bahwa kedua orangtuamu di neraka? Beliau menjawab, ‘Apa yang kumintakan kepada Tuhanku untuk keduanya, maka Dia mengabulkannya. Sunggu aku akan berdiri pada Hari Kiamat di tempat yang terpuji’(HR Ahmad dalam Al Musnadnya I/398 no 3787)

Hadits ini mengindikasikan bahwa Rasulullah memohon kebaikan bagi keduanya ketika beliau menempati tempat yang terpuji; yaitu dengan memberi syafaat kepada keduanya, lalu keduanya cenderung untuk taat ketika diuji, sebagaimana Ahlul Fatroh lainnya diuji. Tidak diragukan lagi bahwa ketika beliau menempati tempat yang terpuji, maka dikatakan kepada beliau, “Mohonlah, niscaya diberi. Dan berilah syafaat, maka engkap dapat memberi syafaat.” Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam hadits-hadits shahih, dimana apabila memohon kepada Nya, maka Dia mengaburlkannya.

Kedua, Hadits yang diriwayatkan ibnu Jarir dalam Tafsirnya, dari Abdullah bin Abbas RA, mengenai firman Allah SWT, “Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia  Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi Puas (Adh Dhuha;5)

Ia berkata, “Diantara kepuasan Muhammad SAW adalah hendaknya tiada seorangpun dari anggota keluarga beliau masuk neraka...” sampai disin penjelasan Ibnu Hajar Al Asqolani.

Wallahua’lam

Diringkas dari Kitab Antara MADZHAB HAMBALI dengan SALAFI KONTEMPORER

Catatan Kaki;

1Al Hawi, Al Munawi (2/213). Di antara hadit-hadits dhoif tersebut adalah diriwayatkan oleh Al Bazaar, dari Al-Buraidah. Ia berkata, “Ketika itu kami bersama Rasulullah SAW. Ketika kami sampai di Waddan atau di pemakaman, beliau memohon agar dapat memberi syafaat kepada Ibunda beliau –aku yakin beliau berkata demikian- lalu Jibril AS memukul dada beliau seraya berkata, “Janganlah engkau memohonkan ampun bagi orang yang meninggal dunia dalam keadaan musyrik,” Al-Bazzar berkata, “Tiada yang meriwayatkan hadits ini dengan sanad ini, kecuali Muhammad bin Jabir dari Sammak bin Harb. “Al Haitsami berkata, “Aku tidak melihat adanya periwayatan Muhammad bin Jabir ini dan Imam Ahmad bin Hambal dan lainnya menganggapnya dhaif” Lihat : Majma’ Az-Zawa’id (1/139)

2. Imam As-Suyuti berkata, "Pendapat yang lebih bisa dipertanggungjawabkan dalam bab ini  menyimpulkan dua poin penting; Pertama, yang dimaksud dengan ayah tersebut adalah Abu Thalib, dan itu telah popular dan banyak beredar pada masa Rasolullah. Karena itu, orang-orang kafir Quraisy itu sering berkata kepada Abu Thalib. "Katakan kepada putramu (maksudnya, Muhammad SAW) agar tidak mencela tuhan-tuhan kami. Abu Thalib pernah berkata kepada mereka ketika orang-orang kafir Quraisy itu berkata kepadanya, "Serahkanlah putramu itu kepada kami, agar kami dapat membunuhnya dan ambillah anak ini sebagai gantinya, "Kuberikan putraku kepada kalian agar kalian dapat membunuhnya dan aku bersedia mengambil anak laki-laki kalian sebagai gantinya untuk kuasuh”.  Ketika Abu Thalib berdagang ke Syam bersama Rasulullah. Buhaira mendekatinya ketika berteduh seraya berkata, “Siapa anak ini?” Abu Thalib menjawab, "Huwa ibni” (la adalah anak laki-lakiku” Buhaira berkata, “Tidak sebaiknya ayah anak ini masih hidup." Dalam riwayat ini ditegaskan bahwa Abu Thalib menyebut Rasulullah sebagai anak laki-lakinya, dan penyebutan tersebut telah popular dan diketahui masyarakat Arab karena ia adalah paman beliau, sejak kecil. Abu Thalib senantiasa menjaga dan melindungi, serta menolong beliau (lihat Al Hawi 2/216)

3. Penulis tidak sependapat dengan pernyataan bahwa semua nenek moyang Rosulullah SAW selamat dari neraka, kerna pendapat semacam ini membutuhkan dalil yang jelas

4. Mengapa kaum Salafi kontemporer bersikap ekstrem terhadap masalah kedua orangtua Rasulullah SAW dan bersikap lunak dalam masalah putra-putri orang-orang musyrik, padahal permasalahannya satu dan haditsnya juga sama