Diantara pendapat pendapat ekstrem yang
dilontarkan kaum Salafi Kontemporer adalah mereka berani menuduh kafir terhadap
kedua orangtua Rasulullah SAW. Padahal kedua orangtua beliau termasuk Ahlul
Fatrah. Keduanya belum dapat dipastikan kemusyrikan dan kekufurannya. Ahli
Fatrah terbagi dalam 3 klasifikasi, sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang
ulama (Imam As Suyuthi) ;
Golongan Pertama : Golongan yang jelas kemusyrikannya dan tetap bertahan
dalam keyakinannya. Seperti Amr Bin Luhayyi, yang memperkenalkan dan
menyebarkan penyembahan berhala di Jazirah Arab. Rasulullah SAW berkomentar
tentangnya, “Sungguh aku melihat neraka Jahannam saling berbenturan antara yang
satu dengan yang lain ketika kalian melihatku terlambat. Dan, aku melihat Amr
bin Luhayyi didalamnya. Dialah yang menganjurkan melepaskan unta betina (untuk
persembahan, yaitu unta betina yang sudah melahirkan 10 kali dan semuanya
betina yang dibebaskan, sehingga tidak boleh dikendarai dan tidak diminum
susunya. Lihat Jami’ Al Hadits 8/452)
Golongan Kedua : Satu golongan yang diantaranya menyatakan akidah
tauhid dan mengikuti agama Ibrahim yang suci, seperti Qiss bin Sa’idah dan Zaid
bin Amr bin Nufail. (Shohih Al Bukhari, I/406 no 1154)
Golongan ketiga : Golongan yang tidak menyekutukan Allah SWT dan
tidak pula dinyatakan bertauhid. Golongan ini seperti halnya kedua orangtua
Rasulullah SAW. Allah lebih bijak untuk tidak menyiksa mereka karena tidak
mengirim utusan kepada mereka.
Hal ini sebagaimana yang disebutkan
dalam FirmanNya, “Akan tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus
seorang Rasul (Al Israa; 15)
Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman,
“Agar engkau memberi peringatan kepada suatu kaum yang nenek moyangnya belum
pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai” (Yasin;6)
Tidak ada taklif dengan akal atau
naluri, sebagaimana hal ini banyak dipropagandakan sebagian kaum Salafi
Kontemporer dan Mu’tazilah.
Pendapat
Para Ulama Mengenai Kedua Orang Tua Rasulullah.
Jumhur ulama dan para ulama Madzhab
Hambali terbagi dalam 4 kelompok dalam menjawab permasalahan ini yaitu :
Pendapat Pertama ; Kedua
orangtua Rasulullah selamat dari neraka karena keduanya Ahlul Fatrah.
Pendapat ini didukung oleh mayoritas
madzhab Syafi’i, Al Asy’ari dan disetujui sejumlah ulama Madzhab Hambali.
Argumentasinya berdasarkan firman Allah SWT QS Al Israa;15,
Juga dalam ayat lain, Allah SWT
berfirman, “Agar engkau memberi peringatan kepada suatu kaum yang nenek
moyangnya belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai” (Yasin;15)
Dan dalam surah al Qashash, “Tetapi
(Kami utus engkau) sebagai rahmat dari Tuhanmu, agar engkau memberi peringatan
kepada kaum (Quraisy) yang tidak didatangi oleh pemberi peringatan sebelum engkau,
agar mereka mendapat pelajaran” (Al Qashash;46)
Begitu pula dalam Surat Saba’, “Dan Kami
tidak pernah memberikan kepada mereka kitab-kitab yang mereka baca dan Kami
tidak pernah mengutus seorang pemberi peringatan kepada mereka sebelum engkau (Muhammad)”
(Saba’; 44)
Mengeluarkan kedua orangtua Rasulullah
SAW dari daftar golongan Ahlul Fatrah harus berdasarkan dalil yang pasti dan
bukan asumsi semata. Inilah pernyataan para ulama Madzhab Hambali. Al Allamah
Mar’i bin Yusuf Al Karami Al Hambali dalam Bahjah An Nazhirin wa Ayat Al
Mustadilin dalam tema Fi Ahl Al Fatrah, ia berkata, “Apabila kaidah ini telah
dirumuskan para ulama Madzhab Asy’ari (Asya’irah) sedemikian rupa dan ayat al
Quran tegas menyatakannya, maka dipastikan bahwa poros akidah haruslah
berdasarkan kesepakatan Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Orang-orang yang hidup pada
masa Nabi Isa AS, dan orang-orang Arab sebelumnya tidak disiksa (Selama bukan
masuk Ahlu Fatrah golongan ke 1). Karena para nabi yang diutus untuk Bani Israil
tidak diutus kepada bangsa Arab. Dengan demikian, bangsa Arab pada masa para
nabi tersebut termasuk Ahlul Fatrah.
Diantara orang-orang yang berpendapat
bahwa Ahlul Fatrah akan selamat dari neraka adalah Al Qadhi Abu Ya’la dalam Al
Mu’tamad, dimana Allah berfirman, “Akan tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum
Kami mengutus seorang rasul” (Al Israa;15)
BANTAHAN
TERHADAP HADITS-HADITS YANG MENYATAKAN BAHWA KEDUA ORANG TUA ROSULULLAH TIDAK
SELAMAT DARI NERAKA
Mereka
menjawab bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan, yang menyatakan bahwa kedua
orang tua Rasulullah SAW Tidak Selamat dari Neraka dengan menyatakan bahwa
hadits-hadits tersebut adalah hadits ahad (hadits-hadits yang tidak mutawatir)
tidak dapat dikonfrontasikan dengan dalil quran yang bersifat pasti (Qoth’i),
sedangkan hadits-hadits tersebut masih bersifat asumtif
Diantara
hadits-hadits yang dimaksud adalah yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu
Hurairah RA, ia berkata, 'Pada suatu
kesempatan, Rosulullah SAW mengunjungi makam Sang Bunda lalu menangis hingga
membuat orang-orang di sekelilingnya ikut menangis'. Kemudian beliau bersabda
"Aku telah memohon izin kepada Tuhanku untuk memohonkan ampunan kepadanya,
namun Dia tidak mengizinkannya. Aku juga memohon kepada-Nya untuk mengunjungi
makamnya, maka Dia mengizinkannya. Karena itu, hendaklah kalian berziarah kubur
karena bisa mengingatkan pada kematian.’ (HR Muslim)
Riwayat ini
tidak mengindikasikan bahwa Sang Bunda termasuk penghuni neraka. Al-Barzanji
Rahimahullah berkata, "Istighfar merupakan bagian dari dosa, sedangkan
dosa bagian dari taklif sehingga tiada taklif tiada dosa, dan tiada istighfar.
Imam
As-Suyuthi berkata, "Adapun hadits, Bundaku bersama bunda kalian" diriwayatkan oleh Al-Hakim, dalam Mustadrak-nya, dan ia berkata, "Hadits
ini shahih." Sebagaimana kita tahu bahwa Al-Mustadrak, terlalu mudah
menyatakan keshahihan suatu hadits. Dalam ilmu hadits ditegaskan, bahwa hadits
tafarudnya (bersendirian dalam meriwayatkan) Al-Hakim tidak bisa diterima
keshahihannya. Kemudian Al-Hafizh Adz-Dzahabi dalam Mukhtasar Al-Mustadrak,
ketika meriwayatkan hadits ini dan mengutip pendapat AI-Hakim yang menyatakan
shahih, maka ia berkomentar tentangnya, “Kukatakan, 'Demi Allah, Utsman bin Umair
dianggap dhaif oleh Ad-Daruquthni." Adz-Dzahabi pun menjelaskan kedhaifan
hadits tersebut dan mengucapkan sumpah atasnya. Apabila dalam masalah ini hanya
terdapat hadits-hadits dhaif, untuk mempertimbangkan hadits-hadits lainnya mendapat
ruang. 1
Adapun hadits
yang diriwayatkan Imam Muslim melalui Tsabit dari Anas bin Malik RA, yang
menyebutkan, “bahwa seorang lelaki bertanya, ‘Wahai Rosulullah, kemanakah
ayahku? Beliau menjawab, “Di Neraka”. Ketika lelaki itu menunduk, maka beliau
memanggilnya, seraya berkata sebagai berikut 'Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di
neraka'.(HR Muslim)
Hadits ini
mengandung dalil yang asumtif, yang mungkin memiliki pengertian lain. Bisa
jadi,
kata “Inna abi
(Sesungguhnya ayahku)”, yang dimaksud adalah paman beliau Abu Thalib. Karena
masyarakat Arab biasa memanggil atau menyebut paman dengan kata, Abu (ayah).
Hal ini sebagaimana disebutkan penggunaannya dalam Al-Quran menjawab, “Mereka
menjawab ‘Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Isma’il,
dan Ishak’ (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami (hanya) berserah diri
kepada-Nya.' (Al-Baqarah: 133).
Dalam ayat ini
dinyatakan bahwa Isma’il sebagai ayah beliau, padahal pada kenyataannya Ismail
adalah paman beliau, yaitu Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim
Dengan demikian,
dikatakan bahwa bisa jadi jawaban dari Rasulullah SAW ketika ditanya seorang
Badui, "Aina abi (kemana ayahku)” dan beliau menjawab, 'Sesungguhnya
ayahmu dan ayahku di neraka’, seraya beliau berpaling dan raut kesedihan nampak
pada beliau. Lalu bertanya lagi ‘Ulangilah pertanyaanmu itu kepadaku.’ Ketika
si Badui itu mengulangi pertanyaannya, maka beliau menjawab, "Sesungguhnya
ayahku dan ayahmu di neraka,” maka bisa jadi yang dimaksud dengan ayahku dalam
riwayat ini adalah Abu Thalib, Sang paman. Karena masyarakat Arab terbiasa menyebut
paman sebagai ayah, Terlebih lagi jika Sang Paman memiliki kedekatan beliau
dalam mendidik, mengasuh, mengasihi dan bahkan membela beliau.
Kedua
kemungkinan ini sangatlah kuat, Inilah pendapat vang didukung sejumlah ulama.
Jika terdapat kemungkinan yang kuat, maka tidak sah penggunaannya sebagai
dalil. Dua kemungkinan yang di maksud adalah:
Pertama: Ayah
yang disebutkan dalam hadits dalam bab ini adalah Sang Paman.2
Kedua: Ayah
yang disebutkan dalam hadits dalam bab ini adalah dengan pengertian jauh.3
Adapun
mengenai redaksi hadits, meskipun hadits tersebut pada dasarnya shahih, akan
tetapi dalam riwayat yang lebih bisa dipertanggungjawabkan dibanding hadits ini
dan sesuai dengan kriteria Imam Al Bukhari dan Muslim, Imam As Suyuthi berkata,
“Pada dasarnya redaksi hadits ini yang menyebutkan, “Inna abi wa abaka fi an
Nar (sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka)”, penyebutannya tidak
disepakatai para perawi. Redaksi ini diriwayatkan oleh Hammad bin Salamah dari
Tsabit dari Anas bin Malik RA, yang merupakan sanad yang digunakan oleh Imam
Muslim. Redaksi ini bertentangan dengan riwayat Ma’mar dan Tsabit, yang tidak
menyebutkan kata, “Inna abi wa abak fi an Nar”. Akan tetapi beliau berkata
kepadanya, “Apabila kamu melewati sebuah kuburan orang kafir, maka sampaikanlah
kabar gembira kepadanya dengan neraka”
Dengan
demmikian, riwayat ini tidak menunjukkan pengertian ayahanda beliau sama
sekali.
Kesimpulan
pendapat mereka, bahwa hadits tersebut shahih, akan tetapi redaksinya yang
demikian itu yang dikatakan terdapat dalam Imam Muslim tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Karena redaksi yang sebenarnya menyebutkan, “Setiap kali
kalian melewati sebuah kuburan orang kafir, maka sampaikanlah kabar gembira
kepadanya dengan neraka.” Semua bukti-bukti menunjukan dan menguatkannya.
Pendapat Kedua, Tentang Kedua Orang tua Rosulullah
yang hidup kembali berkat doa Beliau sehingga keduanya Beriman terhadap Dakwah
Beliau.
Rasulullah SAW
mendapat anugerah banyak mukjizat yang kasat mata, yang diantaranya;
Terbelahnya bulan, menjadikan binatang-binatang dan pepohonan serta bebatuan
dapat berbicara, memancarkan air dari jari jemari, menyembuhkan orang-orang
ncacat, dan juga mampu menghidupkan orang yang sudah meninggal dunia.
Imam Asy
Syafi’i berkata, “Allah SWT tidak melimpahkan anugerah kepada seorang nabi pun
sebagaimana yang nDia anugerahkan kepada Rasulullah SAW. Kemudian seseorang
bertanya kepadanya, “Nabi Isa AS mendapat anugerah dapat menghidupkan kembali
orang yang sudah meninggal dunia?” Ia menjawab, “Dia telah menganugerahkan
kepada Muhammad SAW dapat menjadikan batang kurma dapat meratap dalam tangisan
hingga beliau mendengar suaranya, dan itu lebih besar dari yang itu. (Al
Mawahib Al Laduniyyah hlm 277). Ratapan tangis batang kurma menurut Imam Asy
Syafi’i jauh lebih berat dibandingkan menhidupkan orang yang sudah meninggal
dunia.
Dalam buku
buku tentang Ad Dala’il (bukti-bukti) dan Asy-Syama’il (karakter-karakter),
maka akan mendapati kenyataan bahwa Rasululllah dapat menghidupkan orang yang
sudah meninggal dunia dengan izin Allah SWT yang diantaranya :
- Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dalam Adalail An
Nubuwwah, bahwa Rosullah menyerukan kepada seorang lelaki untuk masuk Islam.
Lelaki itu berkata, “Aku tidak mau beriman kepadamu hingga engkau dapat
menghidupkan putriku kembali.”. Rasulullah berkata, “Tunjukannlah kuburnya
kepadaku.” Lalu lelaki itu menunjukkan kubur putrinya kepada beliau. Kemudian
Rasulullah berseru, “Wahai si Fulanah” Sang Putri yang dipanggil menjawab,
“Labbaik wa sa’daik (Kupenuhi panggilanmu demi kebahagiaanmu)”. Rasulullah
berkata, “Apakah kamu senang untuk kembali ke dunia?”. Sang Putri menjawab,
“Tidak demi Allah, wahai Rasulullah. Sungguh aku mendapati Allah SWT lebih baik
dibandingkan kedua orangtuaku dan aku mendapati akhirat lebih baik dibandingkan
dunia”.
-
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim, yang menyebutkan, “Bahwa
Jabir menyembeli seekor kambing, lalu memasaknya hingga lumat dan memberinya
kuah dalam sebuah mangkok besar. Kemudian ia menghidangkannya kepada
Rasulullah. Orang-orang pun makan dna Rasulullah berkata, “Makanlah kalian dan
janganlah meremukkan tulangnya.” Kemudian beliau mengumpulkan tulang-tulang
tersebut seraya meletakkan tangan suci beliau diatasnya. Beliau segera berdoa
dengan suatu doa hingga berdirillah seekor kambing yang mengibaskan kedua
telingannya”
Para Ulama
Madzhab Hambali dan Ahli Hadits yang berpendapat bahwa Rasulullah Mampu
Menghidupkan kembali Kedua Orangtuannya.
Allah SWT
berkenan menghidupkan kembali kedua orangtua Rasulullah SAW sebagai penghormatan
terhadap beliau dan mukjizatnya, dan kamipun mempercayainya. Hal ini
sebagaimana diriwaytkan sejumlah ulama, diantaranya; Ath Thabarani, Al Hambali,
Al Khathib, Al Baghdadi, Ibnu Syahin Al Hambali, Ad Daruquthni, dna Ibnu Asakir dengan sanad Dhaif Jiddan (Sangat
lemah).
Akan tetapi riwayat ini diperkuat oleh sebagian ualam seperti Imam As Suyuthi dan Al Hafizh As Sakhawi, karena menganggap hasan perkataan Ibnu Nashiruddin.
Imam As
Suyuthi berkata, “Sesungguhnya Allah SWT Menghidupkan kembali kedua orangtua
beliau hingga keduanya beriman kepada beliau. Inilah rumusan yang didukung
semumlah besar pakar hadits dan para huffazh serta lainnya. Diantara mereka
adalah Ibnu Syahin, Al Hafizh Abu Bakar Al Khathib al Baghdadi, As Suhaili, Al
Qurthubi, Al Muhibb Ath Thabari, Al Allamah Nashiruddin bin Al Munir dan lainnya.
Dalam masalah tersebut, mereka berargumen dengan hadits yang diriwayatkan oleh
Ibnu Syahin dalam An Nasikih wa Al Mansukh, Al Khathib Al Baghdadi dalam As
Saiq wa Al Lahiq, Ad Daruquthni, Ibnu Asakir, dimana keduanya meriwayatkannya
dalam Ghara’ib Malik, dengan sanad Dhoif dari Sayyidah Aisyah RA, ia berkata,
“Pada suatu kesempatan, kami menunaikan ibadah haji wadda’ bersama Rasulullah
SAW. Kemudian beliau melewati dataran tinggi di Hajun sambil menangis sedih.
Lalu beliau turun dan terdiam menjauh dariku selama beberapa lama. Kemudian
beliau kembali mendekatku dengan senyum ceria. Lalu aku bertanya kepada beliau
tentangnya. Beliau menjawab, “Aku pergi ke kuburan Ibuku lalu aku memohon
kepada Allah SWT agar berkenan menghidupkannya kembali. Dia pun berkenan
menghidupkannya lalu beriman kepadaku. Lalu Allah mengembalikannya seperti
semula”
Hadits diatas
Dhoif menurut kesepakatan ulama hadits. Adapula yang menyatakan bahwa hadits
tersebut maudhu’. Namun pendapat yang benar adalah dhoif dan bukan hadits maudhu’
atau palsu (Lihat Al Hawi 2/218)
Imam Al
Qurthubi berkata, “Tiada pertentangan antara hadits tentang menghidupkan
kembali kedua orangtua beliau dan hadits larangan beristighfar. Karena hadits
tentang menghidupkan kedua oranagtua beliau muncul setelah hadits beristighfar
bagi keduanya. Hal itu berdasarkan hadits Sayyidah Aisyah RA yang menyebutkan
bahwa peristia itu terjadi dalam haji Wada’. Karena itu, Ibnu Syahin
menjadikannya sebagai penasakh riwayat sebelumnya” (Al Hawi 2/213)
Pendapat Ketiga; Kedua Orangtua Rasulullah tidak
selamat dari Neraka dan Tidak Masuk Surga
Para pendukung
pendapat kelompok ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Al Baihaqi, An
Nawawi, Ath Thabari, dan Ibnu Katsir (Lihat Fath al Alim fi Najat Abawai An
Nabi, hal 20 karya Syaikh Abdul Aziz bin Arafah As Sulaimani al Hambali, guru
besar di lembaga pendidikan Ash Shaulatiyah di Makkah).
Mereka
berargumen dengan kedua hadits shahih, yang diriwayatkan Imam Muslim. Padahal
Ibnu Taimiyah berkata bahwa ahlu Fathroh selamat dari neraka. Ibnu Taimiyah
berkata, “Seseorang tidak dinyatakan kafir hingga ditetapkan hujjah di
hadapannya dimana Rasulullah SAW telah menyampaikan risalah Nya kepadanya.
Hal ini
sebagaimana disebutkan dalam Firman Allah SWT, “Agar tidak ada alasan bagi
Manusia untuk membantah Allah setelah Rasul-rasul itu diutus. Allah Mahaperkasa
Mahabijaksana” (An Nisaa;165)
Dalam Ayat
lain Allah SWT berfirman, “Akan tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami
mengutus seorang rasul” (Al Israa;15) (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah)
Poin yang
dapat menghindarkan perbedaan pendapat dengan mereka adalah kenyataannya bahwa
kedua orangtua Rasulullah termasuk Ahlul Fatroh dan keduanya tidak mendapati
misi dakwah. Adapun status Ahlul Fatroh, maka mereka adalah orang-orang yang
selamat dari neraka karena tidak mendapat misi dakwah. Disamping itu, ketetapan
hukum yang menyatakan bahwa kedua nya masuk neraka meskipun dengna argumen yang
sama tentunya terjadi kontradiksi dan menetapkan hukum yang tidak rasional
sehingga tidak bisa diterima. Terlebih lagi kita semua bersepakat bahwa tidak
ada taklif dengan akal dan naluri.
Pendapa Keempat : Tawaqquf atau Berhenti
Memperdebatkannya dengan Menyerahkan urusan mereka kepada Allah. (pendapat yang
lebih dekat dengan pendapat Imam Ahmad bin Hambal)
Kami tidak
mendapatkan teks yang jelas dan tegas dari imam Ahmad bin Hambal berkaitan
dengan kedua orangtua Rasulullah SAW. Akan tetapi ia menghentikan perdebatan
tentang masalah-masalah yang serupa dengan masalah kedua orangtua Rasulullah.
Hal ini memungkinkan kita mengenal pendapatnya mengenai keduanya. Di antara
masalah-masalah tersebut adalah :
Pendapat
mengenai Sayyidah Khadijah binti Khuwailid RA sebelum pengutusan Rasulullah SAW
Pendapat
mengenai anak-anak orang musyrik yang meninggal dunia ketika masih kecil.
Al Khalal
meriwayatkan dengan sanadnya dari Hambal bin Ishaq, ia berkata, “Aku bertanya
kepada Abu Abdillah mengenai orang yang meyakini bahwa Rasulullah memeluk agama
kaumnya sebelum pengutusannya?” Ia menjawab, “Ini merupakan perkataan yang
buruk. Orang yang melontarkan perkataan ini harus diwaspadai dan janganlah bergaul
dengannya...” Aku bertanya lagi, “Ia juga meyakini bahwa Khadijah juga demikian
ketika Rasulullah menikahinya pada masa Jahiliyah” Imam Ahmad menjawab, “Adapun
Khadijah, maka aku tidak berkomentar sama sekali. Dia merupakan orang pertama
yang beriman kepada beliau dari kaum perempuan. Kemudian kondisi yang
berkembang di masyarakat atas pendapat tersebut dari orang-orang yang
melontarkannya, maka dia tidaklah bahagia. Subhanallah Subhanallah, sungguh
berat pendapat tersebut –dia berargumen dengan riwayat yang tidak aku hafal-
dan menyebutkan pula tentang sang Bunda ketika melahirkan beliau, dia melihat
cahaya.
Bukankah sang
Bunda melihat cahaya ini ketika melahirkan beliau, dan sebelum beliau diutus,
dia suci dan bersih dari penyembahan berhala. Bukankah beliau tidak
mengkonsumsi sembelihan yang dipersembahkan untuk berhala.” Lalu ia berkata,
“Berhati-hatilah terhadap orang yang berpendapat demikian, karena pendapat mereka
tidak mengantarkan pada kebaikan. (As Sunnah, Al Khallal, I/196)
Perhatikanlah
bagaimana Imam Ahmad bin hambal tidak berkomentar terhadap orang-orang yang
hidup sebelum pengutusan (bi’tsah) Rasulullah SAW. Ia berkata, “Adapun
Khadijah, maka aku tidak berkomentar sama sekali.” Lalu bagaimana dikatakan
bahwa perkataan dalam permasalah tersebut dikatakan sebagai pendapat tercela,
sebagaimana dilontarkan kaum Mu’tazillah. Syaikh Abu Al Hasan Ali bin Ismail Al
Asy’ari RA dari Ahlu Sunnah (Tafsir Ibnu Katsir 3/41)
Meskipun
banyak hadits-hadits yang diriwayatkan menyatakan bahwa putra-putri orang-orang
musyrik selamat dari neraka tanpa melalui ujian pada hari Kiamat, dan juga
hadits-hadits yang menyatakan bahwa mereka di neraka4 , lalu mengapa
mereka meninggalkannya dan menggunakan hadits Ahlul Fatroh! Imam Ahmad bin
Hambal berkata, “Riwayat riwayat tersebut shahih secara keseluruhan dan
perawinya juga para perawi hadits Shohih –meskipun demikian riwayat-riwayat
tersebut tidak digunakan -. Az Zuhri berkata, “Ada diantara hadits-hadits itu
yang diriwayatkan dengan sanad sanadnya (Lihat dar’u At Ta’arudh 4/925)
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun tetapnya hukum kufur di akhirat bagi anak-anak
tersebut, maka Imam Ahmad terkadang diam tentangnya dan tidak memberikan
jawaban. Tidak jarang pula ia mengembalikan mereka pada pengetahuan Allah SWT.
Sepertin perkataannya, “Allah Maha Mengetahui dengan apa yang mereka kerjakan”.
Inilah jawaban terbaiknya.
Al Hafizh Abu
Al Fadhl bin Hajar Al Asqolani berkata, “Keyakina terhadap keduanya, bahwa
keduanya akan patuh ketika menjawab berbagai pertanyaan berdasarkan dua
riwayat; Pertama, hadits yang diriwayatkan al Hakim dalam Al Mustadrak nya, dan
dianggap shohih olehnya dari Abdullah bin Mas’ud RA, Ia berkata, “Seorang
pemuda dari kaum Anshor dimana tiada seorangpun yang paling banyak bertanya
kepada Rasulullah SAW dibandingkannya. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah
engkau mengetahui bahwa kedua orangtuamu di neraka? Beliau menjawab, ‘Apa yang
kumintakan kepada Tuhanku untuk keduanya, maka Dia mengabulkannya. Sunggu aku
akan berdiri pada Hari Kiamat di tempat yang terpuji’(HR Ahmad dalam Al
Musnadnya I/398 no 3787)
Hadits ini
mengindikasikan bahwa Rasulullah memohon kebaikan bagi keduanya ketika beliau
menempati tempat yang terpuji; yaitu dengan memberi syafaat kepada keduanya,
lalu keduanya cenderung untuk taat ketika diuji, sebagaimana Ahlul Fatroh
lainnya diuji. Tidak diragukan lagi bahwa ketika beliau menempati tempat yang
terpuji, maka dikatakan kepada beliau, “Mohonlah, niscaya diberi. Dan berilah
syafaat, maka engkap dapat memberi syafaat.” Hal ini sebagaimana diriwayatkan
dalam hadits-hadits shahih, dimana apabila memohon kepada Nya, maka Dia
mengaburlkannya.
Kedua, Hadits
yang diriwayatkan ibnu Jarir dalam Tafsirnya, dari Abdullah bin Abbas RA,
mengenai firman Allah SWT, “Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi Puas
(Adh Dhuha;5)
Ia berkata,
“Diantara kepuasan Muhammad SAW adalah hendaknya tiada seorangpun dari anggota
keluarga beliau masuk neraka...” sampai disin penjelasan Ibnu Hajar Al
Asqolani.
Wallahua’lam
Diringkas dari
Kitab Antara MADZHAB HAMBALI dengan SALAFI KONTEMPORER
Catatan Kaki;
1Al Hawi, Al Munawi (2/213).
Di antara hadit-hadits dhoif tersebut adalah diriwayatkan oleh Al Bazaar, dari
Al-Buraidah. Ia berkata, “Ketika itu kami bersama Rasulullah SAW. Ketika kami
sampai di Waddan atau di pemakaman, beliau memohon agar dapat memberi syafaat
kepada Ibunda beliau –aku yakin beliau berkata demikian- lalu Jibril AS memukul
dada beliau seraya berkata, “Janganlah engkau memohonkan ampun bagi orang yang
meninggal dunia dalam keadaan musyrik,” Al-Bazzar berkata, “Tiada yang
meriwayatkan hadits ini dengan sanad ini, kecuali Muhammad bin Jabir dari
Sammak bin Harb. “Al Haitsami berkata, “Aku tidak melihat adanya periwayatan
Muhammad bin Jabir ini dan Imam Ahmad bin Hambal dan lainnya menganggapnya
dhaif” Lihat : Majma’ Az-Zawa’id (1/139)
2. Imam
As-Suyuti berkata, "Pendapat yang lebih bisa dipertanggungjawabkan dalam
bab ini menyimpulkan dua poin penting; Pertama, yang dimaksud dengan
ayah tersebut adalah Abu Thalib, dan itu telah popular dan banyak beredar pada
masa Rasolullah. Karena itu, orang-orang kafir Quraisy itu sering berkata
kepada Abu Thalib. "Katakan kepada putramu (maksudnya, Muhammad SAW) agar
tidak mencela tuhan-tuhan kami. Abu Thalib pernah berkata kepada mereka ketika
orang-orang kafir Quraisy itu berkata kepadanya, "Serahkanlah putramu itu
kepada kami, agar kami dapat membunuhnya dan ambillah anak ini sebagai
gantinya, "Kuberikan putraku kepada kalian agar kalian dapat membunuhnya dan
aku bersedia mengambil anak laki-laki kalian sebagai gantinya untuk kuasuh”. Ketika Abu Thalib berdagang ke Syam bersama
Rasulullah. Buhaira mendekatinya ketika berteduh seraya berkata, “Siapa anak
ini?” Abu Thalib menjawab, "Huwa
ibni” (la adalah anak laki-lakiku” Buhaira berkata, “Tidak sebaiknya
ayah anak ini masih hidup." Dalam riwayat ini ditegaskan bahwa Abu Thalib
menyebut Rasulullah sebagai anak laki-lakinya, dan penyebutan tersebut telah
popular dan diketahui masyarakat Arab karena ia adalah paman beliau, sejak kecil.
Abu Thalib senantiasa menjaga dan melindungi, serta menolong beliau (lihat Al
Hawi 2/216)
3. Penulis
tidak sependapat dengan pernyataan bahwa semua nenek moyang Rosulullah SAW
selamat dari neraka, kerna pendapat semacam ini membutuhkan dalil yang jelas
4. Mengapa
kaum Salafi kontemporer bersikap ekstrem terhadap masalah kedua orangtua
Rasulullah SAW dan bersikap lunak dalam masalah putra-putri orang-orang
musyrik, padahal permasalahannya satu dan haditsnya juga sama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar