Sebelum masuk ke
dalam pembahasan lebih jauh tentang fiqih muamalah yang berkaitan dengan
transaksi utang-piutang, alangkah lebih baik jika kita sebagai muslim
mengetahui sekaligus mengamalkan adab-adab dan etika dalam berhutang. Baik
posisi kita sebagai orang yang mengutangkan maupun orang yang berutang.
Sebab, banyak sekali timbul permasalahan di tengah
masyarakat yang disebabkan oleh utang-piutang yang dilakukan tanpa ilmu dan
etika. Gara-gara utang, tali silaturahim terputus. Mau berkunjung ke rumah
saudara batal karena takut disangka mau menagih utang. Gara-gara utang,
hubungan pertemanan hancur berantakan. Gara-gara utang, warung tetangga gulung
tikar. Hiroshima dan Nagasaki hancur karena bom, warung si emak dan si aki
hancur karena bon.
Oleh sebab itu, wajib hukumnya bagi seorang muslim sebelum
ia berutang untuk mengetahui ilmu dan adab-adabnya. Sehingga tidak melanggar
rambu-rambu yang ditetapkan oleh syariat Islam yang memang dirumuskan untuk
kemaslahatan umat manusia di dunia maupun di akhirat.
A. Hadits-hadits Anjuran Mengutangkan
Terdapat beberapa hadits yang menyatakan anjuran untuk
memberikan pinjaman sukarela tanpa mengharapkan imbalan atau mendapatkan
keuntungan. Salah satunya hadits berikut:
عن ابن مسعود أن
النبي صلى الله عليه
و سلم قال
ما من مسلم يقرض
مسلما قرضا مرتين إلا
كان كصدقتها مرة.[1]
Artinya: Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda ,
“Tidaklah seorang muslim yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali
yang satunya adalah (senilai) sedekah.” (HR. Ibnu Majjah)
Pada hadits di atas Nabi Muhammad ﷺ menjelaskan bahwa pahala dua kali mengutangkan sama
dengan pahala satu kali sedekah. Dari situ kita pahami bahwa pahala sedekah
lebih besar daripada pahala mengutangkan. Hal tersebut masuk akal karena orang
yang menyedekahkan hartanya, pada umumnya tidak mengharapkan pengembalian.
Ikhlas begitu saja. Sedangkan orang yang menghutangkan, tentu berharap harta
yang diutangkannya itu akan dikembalikan di kemudian waktu.
Tetapi, dalam hadits yang lain Nabi menemukan kenyataan
lain. Ketika Nabi melaksanakan Isra’ Mi’raj , Nabi sempat diajak jalan-jalan ke
surga. Di salah satu pintu surga Nabi menemukan sebuah tulisan yang terasa agak
janggal. Isi tulisan tersebut bertentangan dengan apa yang selama ini Nabi
ketahui bahwa pahala sedekah lebih besar dari pahala mengutangkan. Tetapi
tulisan tersebut malah menyatakan sebaliknya, Nabi pun heran dan langsung
menanyakan hal tersebut kepada malaikat Jibril. Kisah selengkapnya bisa kita
simak dalam hadis berikut.
عن أنس بن ما
لك قال قال رسول
الله ﷺ رأيت ليلة
أسري بي على باب
الجنة مكتوبا الصدقة بعشر
أمثالها والقرض بثمانية عشر
فقلت يا جبريل ما
بال القرض أفضل من
الصدقة قال لأن السائل
يسأل و عنده والمستقرض
لايستقرض إلا من حاجة.
Artinya: Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah
bersabda,”Aku melihat pada waktu malam di-isra’kan, pada pintu surga tertulis:
sedekah dibalas sepuluh kali lipat dan qardh delapan belas kali. Aku bertanya,
Wahai Jibril, mengapa qardh lebih utama dari sedekah? Ia menjawab, karena
peminta, meminta sesuatu padahal ia punya, sedangkan yang meminjam tidak akan
meminjam kecuali karena keperluan.” (HR. Ibnu Majjah)[2]
Dalam hadis di atas Jibril menjelaskan bahwa bisa jadi
pinjaman yang kita berikan kepada orang yang sedang membutuhkan, lebih besar
pahalanya daripada pahala sedekah. Karena orang yang meminjam, biasanya dalam
keadaan butuh. Sehingga pinjaman yang kita berikan lebih tepat guna.
Sedangkan sedekah, bisa jadi orang yang meminta-minta
sedekah itu bukan orang miskin atau sedang dalam keadaan butuh. Bahkan dalam
beberapa kasus, pengemis yang meminta-minta di jalanan di kota-kota besar, yang
pakaiannya terlihat lusuh, compang-camping, ada yang membawa anak kecil yang
tertidur atau mungkin ‘sengaja’ dibuat tidur, ternyata di kampung halamannya
punya rumah mewah lengkap dengan kolam renang. Memang pada dasarnya, beberapa
pengemis di lampu merah itu tidak mengemis karena terpaksa melainkan sudah
menjadi profesi dan memang passion-nya dalam bidang itu. Sehingga masuk akal
jika dalam hadits di atas dikatakan bahwa pahala meminjamkan kadang-kadang
lebih besar dari pahala sedekah.
Hadits selanjutnya menjelaskan secara umum anjuran
untuk meringankan beban saudara kita
sesama muslim, salah satunya dengan memberikan pinjaman.
عن أبي هريرة عن
النبي صلى الله عليه
وسلم قال : من نفس
عن مسلم كربة من
كرب الد نيا نفس
الله عنه كربة من
كر ب يوم القيامة
، ومن يسرعلى
مسعر فى الدنيا يسرالله
عليه فى الدنيا والأخرة
، ومن ستر
على مسلم في الدنيا
ستر الله عليه في
الدنيا والأخرة ، والله
في عون العبد في
عون أخيه.
Artinya: “Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, beliau bersabda:
Barangsiapa yang melepaskan dari seorang musli kesusahan dunia, maka Allah akan
melepaskan kesusahannya pada hari kiamat; dan barangsiapa yang memberikan
kemudahan kepada oarng yang sedang mengalami kesulitan di dunia, maka Allah
akan memberikan kemudahan kepadanya di dunia dan di akhirat; dan barangsiapa
yang menutupi ‘aib seorang muslim di dunia, maka Allah akn menutupi ‘aibnya di
dunia dan di akhirat; dan Allah akan senantiasa menolonh hambanya, selama hamba
itu menolong saudaranya.” (HR. At-Tirmidzi)
Dalam hadits berikut, dijelaskan bahwa nabi pernah meminjam
satu jenis unta muda, dan ketika melunasi, Rasulullah ﷺ memberikan jenis unta yang lebih baik sebagai wujud rasa
terima kasih kepada si pemberi pinjaman.
وعن أبي رافع قال
: استلف النبي صلى الله
عليه وسلم بكرا فجاءته
إبل الصدقة فأمرني أن
أقضي الرجل بكره ،
فقلت : إني لم أجد
في الإبل إلا جملا
خيارا رباعيا فقال : أعطه
إياه فإن من خير
الناس أحسنهم قضاء.[3]
Dari Abu Rafi’ ia berkata: “Nabi berhutang seekor unta
perawan, kemudian datanglah unta hasil zakat. Lalu Nabi memerintahkan kepada
saya untuk membayar kepada laki-laki pemberi utang dengan unta yang sama
(perawan). Saya berkata: ‘Saya tidak menemukan di dalam untu-unta hasil zakat itu
kecuali unta yang berumur enam masuk tujuh tahun.’ Nabi kemudian bersabda:
‘Berikan saja unta tersebut, karena sebaik-baik manusia itu adalah orang yang
paling baik dalam membayar utang.” (HR. Muslim)
B. Hadits-Hadits Anjuran Menghindari Utang
Jika hadits-hadits di atas menjelaskan anjuran bagi orang
yang ingin memberikan utang, hadist-hadits berikut ini memberikan isyarat
kepada kita agar sebisa mungkin menahan diri untuk berhutang. Salah satunya
hadits berikut yang menjelaskan bahwa Rasulullah ﷺ
senantiasa berdoa kepada Allah ﷻ
memohon perlindungan agar tidak terlilit oleh utang.
عن عائشة رضي الله
عنها أن النبي صلى
الله عليه وسلم كان
يدعو في الصلاة: اللَّهُمَّ
إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ
الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ . فَقَالَ لَهُ قَائِلٌ
: مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ مِنَ
الْمَغْرَمِ ؟! فَقَالَ : إِنَّ
الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ
فَكَذَبَ ، وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ
[4]
Dari Aisyah r.a: bahwa Rasulullah berdo’a dalam shalat: “Ya
Allah aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan terlilit hutang. Lalu ada
seseorang yang bertanya: “Mengapa anda banyak meminta perlindungan dari hutang,
wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya seseorang apabila sedang
berhutang ketika dia berbicara biasanya berdusta dan bila berjanji sering
menyelisihinya.” (HR Bukhari Muslim)
Lebih dari itu, bahkan Rasulullah ﷺ pernah menolak ketika diminta untuk menyalatkan salah
seorang sahabat yang meninggal dunia namun masih memiliki utang yang belum
terlunasi.
عَنْ جَابِرٍ قَالَ تُوُفِّـيَ
رَجُلٌ، فَغَسَّلْنَاهُ وَحَنَّطْنَاهُ وَكَفَّنَّاهُ، ثُمَّ أَتَيْنَا بِهِ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَيْهِ ، فَقُلْنَا : تُصَلِّي
عَلَيْهِ؟ فَخَطَا خُطًى، ثُمَّ
قَالَ : أَعَلَيْهِ دَيْنٌ؟ قُلْنَا : دِينَارَانِ،
فَانْصَرَفَ فَتَحَمَّلَهُمَـا أَبُوْ قَتَادَةَ، فَأَتَيْنَاهُ،
فَقَالَ أَبُوْ قَتَادَةَ: الدِّيْنَارَانِ
عَلَيَّ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللّٰـهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
(أُحِقَّ الْغَرِيْمُ وَبَرِئَ مِنْهُمَـا الْـمَيِّتُ؟) قَالَ: نَعَمْ، فَصَلَّى
عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ بَعْدَ
ذٰلِكَ بِيَوْمٍ: (مَا فَعَلَ الدِّينَارَانِ؟)
فَقَالَ: إِنَّمَـا مَاتَ أَمْسِ، قَالَ:
فَعَادَ إِلَيْهِ مِنَ الْغَدِ، فَقَالَ:
لَقَدْ قَضَيْتُهُمَـا، فَقَالَ رَسُوْلُ اللّٰـهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
: (الْآنَ بَرَدَتْ عَلَيْهِ جِلْدُهُ).[5]
"Dari Jabir Radhiyallahu anhu ia berkata, "Seorang
laki-laki meninggal dunia dan kami pun memandikan jenazahnya, lalu kami
mengkafaninya dan memberinya wangi-wangian. Kemudian kami datang membawa mayit
itu kepada Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kami berkata, 'Shalatkanlah
jenazah ini.' Beliau melangkahkan kakinya, lalu bertanya, 'Apakah dia mempunyai
tanggungan utang?' kami menjawab, 'Dua dinar.' Lalu beliau pergi. Abu Qatadah
kemudian menanggung utangnya, kemudian kami datang kepada beliau lagi, kemudian
Abu Qatadah berkata, 'Dua dinarnya saya tanggung." Maka Rasûlullâh
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Kamu betul akan menanggungnya sehingga
mayit itu terlepas darinya? Dia menjawab, 'Ya.' Maka Rasûlullâh pun
menshalatinya. Kemudian setelah hari itu Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, 'Apakah yang telah dilakukan oleh dua dinar tersebut?' Maka
Abu Qatadah berkata, "Sesungguhnya ia baru meninggal kemarin.'" Jabir
berkata, 'Maka Rasûlullâh mengulangi pertanyaan itu keesokan harinya. Maka Abu
Qatadah berkata, 'Aku telah melunasinya wahai Rasûlullâh!' maka Rasûlullâh
bersabda, 'Sekarang barulah dingin kulitnya!
Dua hadits selanjutnya juga mengisyaratkan bahwa utang yang
ditinggalkan oleh seseorang ketika dia meninggal akan menjadi salah satu
perkara yang menghalanginya masuk surga.
عَنْ ثَوْبَانَ رضي الله عنه
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (مَنْ مَاتَ وَهُوَ
بَرِيءٌ مِنْ ثَلَاثٍ: الْكِبْرِ
وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ ، دَخَلَ الْجَنَّةَ).[6]
“Dari Tsauban r.a: Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam
keadaan terbebas dari tiga hal: sombong, ghulul (khianat) dan hutang, maka dia
akan masuk surga.”
وعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ
بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ)[7]
“Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah ﷺ bersabda, “Jiwa seorang
mukmin itu tertahan oleh sebab utangnya sampai utang itu dilunasi.”
C. Adab Mengutangkan
Islam tidak hanya menganjurkan kita untuk memberikan
pinjaman bagi yang membutuhkan. Lebih dari itu, Islam juga mengajarkan kita
etika-etika dan akhlak mulia ketika mengutangkan. Di antaranya sebagai berikut:
1. Menunggu Sampai Mampu
Kadang-kadang, orang yang berutang tidak selamanya bisa
membayar tepat waktu. Bisa jadi karena terkena musibah, ada kebutuhan yang
sangat mendesak, dipecat dari pekerjaan atau alasan lainnya.
Maka, ketika itu terjadi, Islam mengajarkan kita sebagai
pemberi utang untuk memberikan dia waktu tambahan sampai benar-benar mampu dan
punya harta untuk membayar. Jangan sampai kita paksa-paksa padahal tidak ada
sepeser pun uang yang dia punya untuk membayar. Allah ﷻ berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 280:
وَإِنْ
كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ
إِلَى مَيْسَرَةٍ
“Dan jika (orang yang berhutang itu)
dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.”
Imam Ahmad dalam kitabnya al-Musnad, meriwayatkan hadis yang
menjelaskan ganjaran bagi orang yang memberikan tambahan waktu pelunasan bagi
orang yang belum mampu membayar utang sampai benar-benar mampu. Hadis tersebut
adalah:[8]
عن أبي الْيَسَرِ، أَنَّ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ أَنْظَرَ
مُعْسِرًا، أَوْ وَضَعَ عَنْهُ،
أَظَلَّهُ اللهُ فِي ظِلِّهِ
- قَالَ: قَالَ مُعَاوِيَةُ - يَوْمَ
لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ
Dari Abu al-Yasar bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa
yang menangguhkan (waktu pembayaran) bagi orang yang mengalami kesulitan atau
merelakan (utangnya), Allah akan naungi dia di bawah naungan-Nya.” Mu’awiyah
berkata, “Di saat tidak ada naungan kecuali naungan Allah.”
2. Memutihkan Utang
Pada level berikutnya, kita bukan hanya dianjurkan untuk
menangguhkan waktu pelunasan bagi yang sedang dalam keadaan sulit. Tetapi lebih
baik dari itu jika kita bersedia untuk merelakan utang tersebut. Ya, merelakannya
begitu saja tanpa berharap untuk dikembalikan. Tentu orang yang berutang akan
sangat merasa terbantu. Apalagi jika utang tersebut tidak terlalu urgent bagi
kita. Dan inilah yang difirmankan oleh Allah ﷻ
masih dalam surat al-Baqarah ayat 280, lanjutan ayat yang kita bahas di poin
sebelumnya.
وَإِنْ
كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ
إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَنْ تَصَدَّقُوا
خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan jika (orang yang berhutang itu)
dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan
menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui.”
Di zaman Nabi Muhammad ﷺ
pernah ada kejadian di mana salah seorang sahabat mengalami musibah sehingga
utangnya menumpuk dan tidak sanggup lagi untuk membayar. Sampai-sampai Nabi
memerintahkan para sahabat yang lain untuk mengumpulkan donasi untuk membantu
melunasi utangnya. Sayangnya, donasi yang terkumpul belum cukup untuk melunasi
semua utangnya. Akhirnya, Nabi Muhammad ﷺ
memerintahkan kepada orang-orang yang diutanginya untuk mengambil pembayaran
seadanya, sisanya Nabi perintahkan untuk direlakan saja.
Kejadian tersebut direkam dalam hadis yang diriwayatkan oleh
Abu Sa’id al-Khudri dalam kitab Shahih Muslim berikut:[9]
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ،
قَالَ: أُصِيبَ رَجُلٌ فِي
عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ثِمَارٍ ابْتَاعَهَا،
فَكَثُرَ دَيْنُهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«تَصَدَّقُوا عَلَيْهِ»، فَتَصَدَّقَ النَّاسُ
عَلَيْهِ، فَلَمْ يَبْلُغْ ذَلِكَ
وَفَاءَ دَيْنِهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لِغُرَمَائِهِ: خُذُوا مَا وَجَدْتُمْ،
وَلَيْسَ لَكُمْ إِلَّا ذَلِكَ
Dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata, “Seseorang terkena
musibah di masa Rasulullah ﷺ
pada buah-buahan yang dibelinya. Sehingga utangnya menumpuk, kemudian
Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Bersedekahlah untuknya!’
orang-orang pun bersedekah untuknya, hanya saja sedekah yang terkumpul belum
cukup untuk menutupi utangnya. Maka Rasulullah ﷺ
pun berkata kepada orang-orang yang diutanginya, ‘Ambillah apa yang kalian
dapati, tidak ada yang lain bagi kalian kecuali itu (saja).”
3. Menagih dengan Cara yang Baik
Jika kita dianjurkan untuk menangguhkan waktu pelunasan,
bahkan merelakan utang bagi yang mengalami kesulitan untuk melunasinya. Maka,
jika orang itu sebetulnya mampu untuk membayar, kita tetap dianjurkan untuk
menagihnya dengan cara yang baik-baik.
Tidak boleh kita tagih dengan cara yang kasar, kata-kata
yang menyakitkan atau bahkan intimidasi. Karena ini akan merugikan kita di
dunia maupun di akhirat. Di dunia kita rugi, karena mungkin dengan kita berlaku
kasar dan menyakitkan ketika menagih, kita akan kehilangan hubungan baik
selamanya dengan orang tersebut. di akhirat lebih rugi lagi. Karena yang
seharusnya kita dapat pahala karena mengutangkan, pahala tersebut hangus hanya
karena kita kurang ‘elegan’ dan kurang beretika ketika menagih.
Rasulullah ﷺ
bersabda:[10]
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: رَحِمَ اللَّهُ
رَجُلًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ،
وَإِذَا اشْتَرَى، وَإِذَا اقْتَضَى
Dari Jabir bin Abdullah r.a, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda, “Allah ﷻ menyayangi orang yang bermurah hati ketika menjual, ketika
membeli dan ketika menagih.”
D. Adab Berutang
Jika bagi orang yang mengutangkan saja ada etika yang harus
diperhatikan, apalagi bagi orang yang berutang. Karena biasanya, justru sumber
permasalahan berasal dari orang yang berutang.
Terkadang orang tidak mau mengutangkan bukan karena pelit
atau tidak punya uang. Tetapi dia hanya ingin terhindar dari cekcok dan
konfrontasi dengan si peminjam ketika menagih utang. Sebab terkadang orang
ketika ditagih bisa lebih galak daripada yang menagih. Padahal ketika berutang,
wajahnya memelas seolah menjadi orang paling menderita di dunia.
Oleh karena itu, Islam juga mengajarkan kita untuk
memperhatikan hal-hal berikut ketika kita berutang kepada orang lain.
1. Yakin Mampu Bayar
Islam menganjurkan, agar jangan sampai kita berutang sebelum
kita yakin bahwa kita mampu untuk membayarnya di kemudian hari. Jangan sampai
kita berutang tanpa perhitungan. Yang penting berutang dulu, urusan bisa
melunasi atau tidak itu belakangan.
Sebab perkara utang bukanlah perkara sepele. Utang yang kita
pinjam, adalah hak orang lain yang harus kita kembalikan. Menyepelekan
pelunasan utang sama saja dengan menyepelekan hak orang lain. Sedangkan urusan
hak antar sesama manusia adalah urusan yang tidak hanya berhenti di dunia,
tetapi akan berlanjut dan diserahkan berkasnya ke pengadilan di akhirat kelak.
Rasulullah ﷺ
bersabda:[11]
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى
الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ
- صلى الله عليه وسلم
- قَالَ مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ
النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى
اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ
أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ
اللَّهُ
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang mengambil
harta manusia, (dan) ingin melunasinya, niscaya Allah akan melunaskan atasnya
dan barangsiapa yang mengambil (dan) ia ingin menghilangkannya niscaya Allah
menghilangkannya.” HR. Bukhari
2. Membayar dengan yang Lebih Baik
Salah satu akhlak mulia yang dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ ketika berutang adalah
melunasinya dengan yang lebih baik. Rasulullah ﷺ
diriwayatkan pernah berutang seekor unta muda kepada salah seorang sahabat
bernama Abu Rafi’. Ketika tiba saatnya
melunasi, Rasul bayar dengan unta yang lebih besar dan lebih mahal. Sebagaimana
yang terekam dalam hadis berikut:[12]
عن أبي رافع قال:
استلف النبي صلى الله
عليه وسلم بكرا فجاءته
إبل الصدقة فأمرني أن
أقضي الرجل بكره ،
فقلت : إني لم أجد
في الإبل إلا جملا
خيارا رباعيا فقال : أعطه
إياه فإن من خير
الناس أحسنهم قضاء.
Dari Abu Rafi’ ia berkata: “Nabi berhutang seekor unta
perawan, kemudian datanglah unta hasil zakat. Lalu Nabi memerintahkan kepada
saya untuk membayar kepada laki-laki pemberi utang dengan unta yang sama
(perawan). Saya berkata: ‘Saya tidak menemukan di dalam untu-unta hasil zakat
itu kecuali unta yang berumur enam masuk tujuh tahun.’ Nabi kemudian bersabda:
‘Berikan saja unta tersebut, karena sebaik-baik manusia itu adalah orang yang
paling baik dalam membayar utang.” (HR. Muslim)
Tetapi yang harus diperhatikan adalah jangan sampai nilai
tambah yang kita berikan pada saat kita melunasi, dijanjikan atau disyaratkan
dan disepakati di awal. Justru itu diharamkan sebab termasuk riba.
Nilai tambah yang dianjurkan adalah yang kita berikan pada
saat melunasi utang, atas inisiatif kita sendiri sebagai peminjam, yang
diberikan sebagai rasa terima kasih kita kepada orang yang mengutangi, tanpa
ada kesepakatan sebelumnya.
3. Tidak Menunda Pembayaran
Salah satu penyakit yang sering menjangkiti orang yang
berutang adalah penyakit malas bayar. Walaupun sebetulnya mampu, tapi sering
kali merasa bahwa membayar utang adalah hal yang tidak perlu diprioritaskan.
Lebih baik dipakai dulu untuk jalan-jalan, beli barang favorit atau untuk hal
lain yang sebetulnya tidak teralu penting. Sedangkan kewajibannya untuk
membayar utang dilupakan begitu saja.
Ketika ditagih bilangnya belum ada, tetapi di media sosial
tiada hari tanpa upload foto jalan-jalan, makan di restoran mahal, belanja di
mall dan lain sebagainya. Dia lupa padahal orang yang diutanginya termasuk
salah satu friendlist-nya.
Nabi Muhammad ﷺ
bahkan menyebut kelakuan orang yang menunda-nunda pembayaran utang padahal dia
mampu sebagai sebuah perbuatan zalim.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَطْلُ الْغَنِيِّ
ظُلْمٌ، وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ
عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَتْبَعْ (متفق
عليه)[13]
Dari Abu Hurairah r.a, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda:
“Mengulur-ngulur waktu pembayaran hutang oleh orang yang mampu merupakan
perbuatan zalim. Dan jika salah seorang di antara kalian diikutkan (dalihkan
hutangnya) kepada orang yang mampu, maka hendaklah dia mengikutinya.”
4. Mencatat Utang
Agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian
hari, Islam menganjurkan untuk mencatat utang. Bahkan, ayat terpanjang dalam
al-Quran, yaitu surat al-Baqarah ayat 282 isi kandungannya adalah tentang utang
dan perintah untuk mencatatnya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ
بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ
كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ
كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا
عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ
وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ
وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا
يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ
فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ
الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ
لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ
فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ
مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ
يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ
الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا
فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ
الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا
ۚ وَلَا تَسْأَمُوا
أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰ
أَجَلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ
عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ
وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا ۖ
إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً
حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا
ۗ وَأَشْهِدُوا إِذَا
تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ
كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ
وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ ۗ
وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ
اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ
شَيْءٍ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa
yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu
orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang
seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik
kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih
adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah
itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa
bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika
kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.
[1] Shahih Ibnu Hibban, kitab al-buyu’, hadits No. 5040.
[2] Sunan Ibnu Majah, Kitab ash-shadaqat, bab al-qardh,
hadits No. 2431, Al-Buwaishiri mengatakan hadits ini sanadnya dhaif
(al-Buwaishiri, Zawaid Ibnu Majah, bab al-qardh, hadits No. 809).
[3] Shahih Muslim, kitab al-musaqat, bab man istaslafa
syaian faqadha khairan minhu, hadits no. 119
[4] Shahih Bukhari, kitab al-adzan no. 149 dan kitab
al-istiqradh no. 2436, Shahih Muslim, kitab al-masajid wa mawadhi’ as-shalah
no. 1353.
[5] Musnad Ahmad hal. 629/3, hadits ini di-hasan-kan oleh
Imam Nawawi (al-khulashah, hal. 931/2) dan Ibnu Muflih (al-Adab al-Syar’iyyah,
hal. 104/1).
[6] Sunan at-Tirmidzi, 1572.
[7] Musnad Ahmad (II/440, 475, 508); Sunan at-Tirmidzi (no.
1078-1079); Sunan ad-Darimi (II/262); Sunan Ibnu Mâjah (no. 2413).
[8] Ahmad bin Hambal, Musnad al-Imam Ahmad, (Muassasah
ar-Risalah, cet. I, 1421 H/2001 M), jil. 24, hal. 279.
[9] Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya
at-Turats al-‘Arabi), jil. 3, hal. 1191.
[10] Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Dar
Thauq an-Najah, cet. I, 1422 H), jil. 3, hal. 57.
[11] Shahih al-Bukhari, (Dar Thauq an-Najah, cet. I, 1422
H), jil. 3, hal. 115.
[12] Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi),
jil. 3, hal. 1224.
[13] Shahih Muslim, hadis No. 1564, jil. 3, hal. 1197;
Shahih Bukhari, hadis No. 2287, jil. 3,
hal. 94.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar