Kamis, 07 Juni 2018

Pengantar Fiqih Hutang Piutang

Oleh : Muhammad Abdul Wahab Lc.MA


 Sebelum masuk ke dalam pembahasan lebih jauh tentang fiqih muamalah yang berkaitan dengan transaksi utang-piutang, alangkah lebih baik jika kita sebagai muslim mengetahui sekaligus mengamalkan adab-adab dan etika dalam berhutang. Baik posisi kita sebagai orang yang mengutangkan maupun orang yang berutang.

Sebab, banyak sekali timbul permasalahan di tengah masyarakat yang disebabkan oleh utang-piutang yang dilakukan tanpa ilmu dan etika. Gara-gara utang, tali silaturahim terputus. Mau berkunjung ke rumah saudara batal karena takut disangka mau menagih utang. Gara-gara utang, hubungan pertemanan hancur berantakan. Gara-gara utang, warung tetangga gulung tikar. Hiroshima dan Nagasaki hancur karena bom, warung si emak dan si aki hancur karena bon.

Oleh sebab itu, wajib hukumnya bagi seorang muslim sebelum ia berutang untuk mengetahui ilmu dan adab-adabnya. Sehingga tidak melanggar rambu-rambu yang ditetapkan oleh syariat Islam yang memang dirumuskan untuk kemaslahatan umat manusia di dunia maupun di akhirat.

A. Hadits-hadits Anjuran Mengutangkan

Terdapat beberapa hadits yang menyatakan anjuran untuk memberikan pinjaman sukarela tanpa mengharapkan imbalan atau mendapatkan keuntungan. Salah satunya hadits berikut:

عن ابن مسعود أن النبي صلى الله عليه و سلم قال ما من مسلم يقرض مسلما قرضا مرتين إلا كان كصدقتها مرة.[1]

Artinya: Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda , “Tidaklah seorang muslim yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya adalah (senilai) sedekah.” (HR. Ibnu Majjah)

Pada hadits di atas Nabi Muhammad menjelaskan bahwa pahala dua kali mengutangkan sama dengan pahala satu kali sedekah. Dari situ kita pahami bahwa pahala sedekah lebih besar daripada pahala mengutangkan. Hal tersebut masuk akal karena orang yang menyedekahkan hartanya, pada umumnya tidak mengharapkan pengembalian. Ikhlas begitu saja. Sedangkan orang yang menghutangkan, tentu berharap harta yang diutangkannya itu akan dikembalikan di kemudian waktu.

Tetapi, dalam hadits yang lain Nabi menemukan kenyataan lain. Ketika Nabi melaksanakan Isra’ Mi’raj , Nabi sempat diajak jalan-jalan ke surga. Di salah satu pintu surga Nabi menemukan sebuah tulisan yang terasa agak janggal. Isi tulisan tersebut bertentangan dengan apa yang selama ini Nabi ketahui bahwa pahala sedekah lebih besar dari pahala mengutangkan. Tetapi tulisan tersebut malah menyatakan sebaliknya, Nabi pun heran dan langsung menanyakan hal tersebut kepada malaikat Jibril. Kisah selengkapnya bisa kita simak dalam hadis berikut.

عن أنس بن ما لك قال قال رسول الله رأيت ليلة أسري بي على باب الجنة مكتوبا الصدقة بعشر أمثالها والقرض بثمانية عشر فقلت يا جبريل ما بال القرض أفضل من الصدقة قال لأن السائل يسأل و عنده والمستقرض لايستقرض إلا من حاجة.

Artinya: Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah bersabda,”Aku melihat pada waktu malam di-isra’kan, pada pintu surga tertulis: sedekah dibalas sepuluh kali lipat dan qardh delapan belas kali. Aku bertanya, Wahai Jibril, mengapa qardh lebih utama dari sedekah? Ia menjawab, karena peminta, meminta sesuatu padahal ia punya, sedangkan yang meminjam tidak akan meminjam kecuali karena keperluan.” (HR. Ibnu Majjah)[2]

Dalam hadis di atas Jibril menjelaskan bahwa bisa jadi pinjaman yang kita berikan kepada orang yang sedang membutuhkan, lebih besar pahalanya daripada pahala sedekah. Karena orang yang meminjam, biasanya dalam keadaan butuh. Sehingga pinjaman yang kita berikan lebih tepat guna.

Sedangkan sedekah, bisa jadi orang yang meminta-minta sedekah itu bukan orang miskin atau sedang dalam keadaan butuh. Bahkan dalam beberapa kasus, pengemis yang meminta-minta di jalanan di kota-kota besar, yang pakaiannya terlihat lusuh, compang-camping, ada yang membawa anak kecil yang tertidur atau mungkin ‘sengaja’ dibuat tidur, ternyata di kampung halamannya punya rumah mewah lengkap dengan kolam renang. Memang pada dasarnya, beberapa pengemis di lampu merah itu tidak mengemis karena terpaksa melainkan sudah menjadi profesi dan memang passion-nya dalam bidang itu. Sehingga masuk akal jika dalam hadits di atas dikatakan bahwa pahala meminjamkan kadang-kadang lebih besar dari pahala sedekah.

Hadits selanjutnya menjelaskan secara umum anjuran untuk  meringankan beban saudara kita sesama muslim, salah satunya dengan memberikan pinjaman.

عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : من نفس عن مسلم كربة من كرب الد نيا نفس الله عنه كربة من كر ب يوم القيامة ، ومن يسرعلى مسعر فى الدنيا يسرالله عليه فى الدنيا والأخرة ، ومن ستر على مسلم في الدنيا ستر الله عليه في الدنيا والأخرة ، والله في عون العبد في عون أخيه.

Artinya: “Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, beliau bersabda: Barangsiapa yang melepaskan dari seorang musli kesusahan dunia, maka Allah akan melepaskan kesusahannya pada hari kiamat; dan barangsiapa yang memberikan kemudahan kepada oarng yang sedang mengalami kesulitan di dunia, maka Allah akan memberikan kemudahan kepadanya di dunia dan di akhirat; dan barangsiapa yang menutupi ‘aib seorang muslim di dunia, maka Allah akn menutupi ‘aibnya di dunia dan di akhirat; dan Allah akan senantiasa menolonh hambanya, selama hamba itu menolong saudaranya.” (HR. At-Tirmidzi)

Dalam hadits berikut, dijelaskan bahwa nabi pernah meminjam satu jenis unta muda, dan ketika melunasi, Rasulullah memberikan jenis unta yang lebih baik sebagai wujud rasa terima kasih kepada si pemberi pinjaman.

وعن أبي رافع قال : استلف النبي صلى الله عليه وسلم بكرا فجاءته إبل الصدقة فأمرني أن أقضي الرجل بكره ، فقلت : إني لم أجد في الإبل إلا جملا خيارا رباعيا فقال : أعطه إياه فإن من خير الناس أحسنهم قضاء.[3]

Dari Abu Rafi’ ia berkata: “Nabi berhutang seekor unta perawan, kemudian datanglah unta hasil zakat. Lalu Nabi memerintahkan kepada saya untuk membayar kepada laki-laki pemberi utang dengan unta yang sama (perawan). Saya berkata: ‘Saya tidak menemukan di dalam untu-unta hasil zakat itu kecuali unta yang berumur enam masuk tujuh tahun.’ Nabi kemudian bersabda: ‘Berikan saja unta tersebut, karena sebaik-baik manusia itu adalah orang yang paling baik dalam membayar utang.” (HR. Muslim)

B. Hadits-Hadits Anjuran Menghindari Utang

Jika hadits-hadits di atas menjelaskan anjuran bagi orang yang ingin memberikan utang, hadist-hadits berikut ini memberikan isyarat kepada kita agar sebisa mungkin menahan diri untuk berhutang. Salah satunya hadits berikut yang menjelaskan bahwa Rasulullah senantiasa berdoa kepada Allah memohon perlindungan agar tidak terlilit oleh utang.

عن عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يدعو في الصلاة: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ . فَقَالَ لَهُ قَائِلٌ : مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ مِنَ الْمَغْرَمِ ؟! فَقَالَ : إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ ، وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ [4]

Dari Aisyah r.a: bahwa Rasulullah berdo’a dalam shalat: “Ya Allah aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan terlilit hutang. Lalu ada seseorang yang bertanya: “Mengapa anda banyak meminta perlindungan dari hutang, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya seseorang apabila sedang berhutang ketika dia berbicara biasanya berdusta dan bila berjanji sering menyelisihinya.” (HR Bukhari Muslim)

Lebih dari itu, bahkan Rasulullah pernah menolak ketika diminta untuk menyalatkan salah seorang sahabat yang meninggal dunia namun masih memiliki utang yang belum terlunasi.

عَنْ جَابِرٍ قَالَ تُوُفِّـيَ رَجُلٌ، فَغَسَّلْنَاهُ وَحَنَّطْنَاهُ وَكَفَّنَّاهُ، ثُمَّ أَتَيْنَا بِهِ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَيْهِ ، فَقُلْنَا : تُصَلِّي عَلَيْهِ؟ فَخَطَا خُطًى، ثُمَّ قَالَ : أَعَلَيْهِ دَيْنٌ؟ قُلْنَا : دِينَارَانِ، فَانْصَرَفَ فَتَحَمَّلَهُمَـا أَبُوْ قَتَادَةَ، فَأَتَيْنَاهُ، فَقَالَ أَبُوْ قَتَادَةَ: الدِّيْنَارَانِ عَلَيَّ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللّٰـهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (أُحِقَّ الْغَرِيْمُ وَبَرِئَ مِنْهُمَـا الْـمَيِّتُ؟) قَالَ: نَعَمْ، فَصَلَّى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ بَعْدَ ذٰلِكَ بِيَوْمٍ: (مَا فَعَلَ الدِّينَارَانِ؟) فَقَالَ: إِنَّمَـا مَاتَ أَمْسِ، قَالَ: فَعَادَ إِلَيْهِ مِنَ الْغَدِ، فَقَالَ: لَقَدْ قَضَيْتُهُمَـا، فَقَالَ رَسُوْلُ اللّٰـهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (الْآنَ بَرَدَتْ عَلَيْهِ جِلْدُهُ).[5]

"Dari Jabir Radhiyallahu anhu ia berkata, "Seorang laki-laki meninggal dunia dan kami pun memandikan jenazahnya, lalu kami mengkafaninya dan memberinya wangi-wangian. Kemudian kami datang membawa mayit itu kepada Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kami berkata, 'Shalatkanlah jenazah ini.' Beliau melangkahkan kakinya, lalu bertanya, 'Apakah dia mempunyai tanggungan utang?' kami menjawab, 'Dua dinar.' Lalu beliau pergi. Abu Qatadah kemudian menanggung utangnya, kemudian kami datang kepada beliau lagi, kemudian Abu Qatadah berkata, 'Dua dinarnya saya tanggung." Maka Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Kamu betul akan menanggungnya sehingga mayit itu terlepas darinya? Dia menjawab, 'Ya.' Maka Rasûlullâh pun menshalatinya. Kemudian setelah hari itu Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Apakah yang telah dilakukan oleh dua dinar tersebut?' Maka Abu Qatadah berkata, "Sesungguhnya ia baru meninggal kemarin.'" Jabir berkata, 'Maka Rasûlullâh mengulangi pertanyaan itu keesokan harinya. Maka Abu Qatadah berkata, 'Aku telah melunasinya wahai Rasûlullâh!' maka Rasûlullâh bersabda, 'Sekarang barulah dingin kulitnya!

Dua hadits selanjutnya juga mengisyaratkan bahwa utang yang ditinggalkan oleh seseorang ketika dia meninggal akan menjadi salah satu perkara yang menghalanginya masuk surga.

عَنْ ثَوْبَانَ رضي الله عنه قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (مَنْ مَاتَ وَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ ثَلَاثٍ: الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ ، دَخَلَ الْجَنَّةَ).[6]

Dari Tsauban r.a: Rasulullah   bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan terbebas dari tiga hal: sombong, ghulul (khianat) dan hutang, maka dia akan masuk surga.”

وعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ)[7]

Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah bersabda, “Jiwa seorang mukmin itu tertahan oleh sebab utangnya sampai utang itu dilunasi.”

C. Adab Mengutangkan

Islam tidak hanya menganjurkan kita untuk memberikan pinjaman bagi yang membutuhkan. Lebih dari itu, Islam juga mengajarkan kita etika-etika dan akhlak mulia ketika mengutangkan. Di antaranya sebagai berikut:

1. Menunggu Sampai Mampu

Kadang-kadang, orang yang berutang tidak selamanya bisa membayar tepat waktu. Bisa jadi karena terkena musibah, ada kebutuhan yang sangat mendesak, dipecat dari pekerjaan atau alasan lainnya.

Maka, ketika itu terjadi, Islam mengajarkan kita sebagai pemberi utang untuk memberikan dia waktu tambahan sampai benar-benar mampu dan punya harta untuk membayar. Jangan sampai kita paksa-paksa padahal tidak ada sepeser pun uang yang dia punya untuk membayar. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 280:

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ

Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.”

Imam Ahmad dalam kitabnya al-Musnad, meriwayatkan hadis yang menjelaskan ganjaran bagi orang yang memberikan tambahan waktu pelunasan bagi orang yang belum mampu membayar utang sampai benar-benar mampu. Hadis tersebut adalah:[8]

عن أبي الْيَسَرِ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا، أَوْ وَضَعَ عَنْهُ، أَظَلَّهُ اللهُ فِي ظِلِّهِ - قَالَ: قَالَ مُعَاوِيَةُ - يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ

Dari Abu al-Yasar bahwasanya Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang menangguhkan (waktu pembayaran) bagi orang yang mengalami kesulitan atau merelakan (utangnya), Allah akan naungi dia di bawah naungan-Nya.” Mu’awiyah berkata, “Di saat tidak ada naungan kecuali naungan Allah.”

2. Memutihkan Utang

Pada level berikutnya, kita bukan hanya dianjurkan untuk menangguhkan waktu pelunasan bagi yang sedang dalam keadaan sulit. Tetapi lebih baik dari itu jika kita bersedia untuk merelakan utang tersebut. Ya, merelakannya begitu saja tanpa berharap untuk dikembalikan. Tentu orang yang berutang akan sangat merasa terbantu. Apalagi jika utang tersebut tidak terlalu urgent bagi kita. Dan inilah yang difirmankan oleh Allah masih dalam surat al-Baqarah ayat 280, lanjutan ayat yang kita bahas di poin sebelumnya.

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”

Di zaman Nabi Muhammad pernah ada kejadian di mana salah seorang sahabat mengalami musibah sehingga utangnya menumpuk dan tidak sanggup lagi untuk membayar. Sampai-sampai Nabi memerintahkan para sahabat yang lain untuk mengumpulkan donasi untuk membantu melunasi utangnya. Sayangnya, donasi yang terkumpul belum cukup untuk melunasi semua utangnya. Akhirnya, Nabi Muhammad memerintahkan kepada orang-orang yang diutanginya untuk mengambil pembayaran seadanya, sisanya Nabi perintahkan untuk direlakan saja.

Kejadian tersebut direkam dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri dalam kitab Shahih Muslim berikut:[9]

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: أُصِيبَ رَجُلٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ثِمَارٍ ابْتَاعَهَا، فَكَثُرَ دَيْنُهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «تَصَدَّقُوا عَلَيْهِ»، فَتَصَدَّقَ النَّاسُ عَلَيْهِ، فَلَمْ يَبْلُغْ ذَلِكَ وَفَاءَ دَيْنِهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِغُرَمَائِهِ: خُذُوا مَا وَجَدْتُمْ، وَلَيْسَ لَكُمْ إِلَّا ذَلِكَ

Dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata, “Seseorang terkena musibah di masa Rasulullah pada buah-buahan yang dibelinya. Sehingga utangnya menumpuk, kemudian Rasulullah   bersabda, ‘Bersedekahlah untuknya!’ orang-orang pun bersedekah untuknya, hanya saja sedekah yang terkumpul belum cukup untuk menutupi utangnya. Maka Rasulullah pun berkata kepada orang-orang yang diutanginya, ‘Ambillah apa yang kalian dapati, tidak ada yang lain bagi kalian kecuali itu (saja).”

3. Menagih dengan Cara yang Baik

Jika kita dianjurkan untuk menangguhkan waktu pelunasan, bahkan merelakan utang bagi yang mengalami kesulitan untuk melunasinya. Maka, jika orang itu sebetulnya mampu untuk membayar, kita tetap dianjurkan untuk menagihnya dengan cara yang baik-baik.

Tidak boleh kita tagih dengan cara yang kasar, kata-kata yang menyakitkan atau bahkan intimidasi. Karena ini akan merugikan kita di dunia maupun di akhirat. Di dunia kita rugi, karena mungkin dengan kita berlaku kasar dan menyakitkan ketika menagih, kita akan kehilangan hubungan baik selamanya dengan orang tersebut. di akhirat lebih rugi lagi. Karena yang seharusnya kita dapat pahala karena mengutangkan, pahala tersebut hangus hanya karena kita kurang ‘elegan’ dan kurang beretika ketika menagih.

Rasulullah bersabda:[10]

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ، وَإِذَا اشْتَرَى، وَإِذَا اقْتَضَى

Dari Jabir bin Abdullah r.a, bahwasanya Rasulullah   bersabda, “Allah menyayangi orang yang bermurah hati ketika menjual, ketika membeli dan ketika menagih.”

D. Adab Berutang

Jika bagi orang yang mengutangkan saja ada etika yang harus diperhatikan, apalagi bagi orang yang berutang. Karena biasanya, justru sumber permasalahan berasal dari orang yang berutang.

Terkadang orang tidak mau mengutangkan bukan karena pelit atau tidak punya uang. Tetapi dia hanya ingin terhindar dari cekcok dan konfrontasi dengan si peminjam ketika menagih utang. Sebab terkadang orang ketika ditagih bisa lebih galak daripada yang menagih. Padahal ketika berutang, wajahnya memelas seolah menjadi orang paling menderita di dunia.

Oleh karena itu, Islam juga mengajarkan kita untuk memperhatikan hal-hal berikut ketika kita berutang kepada orang lain.

1. Yakin Mampu Bayar

Islam menganjurkan, agar jangan sampai kita berutang sebelum kita yakin bahwa kita mampu untuk membayarnya di kemudian hari. Jangan sampai kita berutang tanpa perhitungan. Yang penting berutang dulu, urusan bisa melunasi atau tidak itu belakangan.

Sebab perkara utang bukanlah perkara sepele. Utang yang kita pinjam, adalah hak orang lain yang harus kita kembalikan. Menyepelekan pelunasan utang sama saja dengan menyepelekan hak orang lain. Sedangkan urusan hak antar sesama manusia adalah urusan yang tidak hanya berhenti di dunia, tetapi akan berlanjut dan diserahkan berkasnya ke pengadilan di akhirat kelak.

Rasulullah bersabda:[11]

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta manusia, (dan) ingin melunasinya, niscaya Allah akan melunaskan atasnya dan barangsiapa yang mengambil (dan) ia ingin menghilangkannya niscaya Allah menghilangkannya.” HR. Bukhari

2. Membayar dengan yang Lebih Baik

Salah satu akhlak mulia yang dicontohkan oleh Rasulullah ketika berutang adalah melunasinya dengan yang lebih baik. Rasulullah diriwayatkan pernah berutang seekor unta muda kepada salah seorang sahabat bernama Abu Rafi’.  Ketika tiba saatnya melunasi, Rasul bayar dengan unta yang lebih besar dan lebih mahal. Sebagaimana yang terekam dalam hadis berikut:[12]

عن أبي رافع قال: استلف النبي صلى الله عليه وسلم بكرا فجاءته إبل الصدقة فأمرني أن أقضي الرجل بكره ، فقلت : إني لم أجد في الإبل إلا جملا خيارا رباعيا فقال : أعطه إياه فإن من خير الناس أحسنهم قضاء.

Dari Abu Rafi’ ia berkata: “Nabi berhutang seekor unta perawan, kemudian datanglah unta hasil zakat. Lalu Nabi memerintahkan kepada saya untuk membayar kepada laki-laki pemberi utang dengan unta yang sama (perawan). Saya berkata: ‘Saya tidak menemukan di dalam untu-unta hasil zakat itu kecuali unta yang berumur enam masuk tujuh tahun.’ Nabi kemudian bersabda: ‘Berikan saja unta tersebut, karena sebaik-baik manusia itu adalah orang yang paling baik dalam membayar utang.” (HR. Muslim)

Tetapi yang harus diperhatikan adalah jangan sampai nilai tambah yang kita berikan pada saat kita melunasi, dijanjikan atau disyaratkan dan disepakati di awal. Justru itu diharamkan sebab termasuk riba.

Nilai tambah yang dianjurkan adalah yang kita berikan pada saat melunasi utang, atas inisiatif kita sendiri sebagai peminjam, yang diberikan sebagai rasa terima kasih kita kepada orang yang mengutangi, tanpa ada kesepakatan sebelumnya.

3. Tidak Menunda Pembayaran

Salah satu penyakit yang sering menjangkiti orang yang berutang adalah penyakit malas bayar. Walaupun sebetulnya mampu, tapi sering kali merasa bahwa membayar utang adalah hal yang tidak perlu diprioritaskan. Lebih baik dipakai dulu untuk jalan-jalan, beli barang favorit atau untuk hal lain yang sebetulnya tidak teralu penting. Sedangkan kewajibannya untuk membayar utang dilupakan begitu saja.

Ketika ditagih bilangnya belum ada, tetapi di media sosial tiada hari tanpa upload foto jalan-jalan, makan di restoran mahal, belanja di mall dan lain sebagainya. Dia lupa padahal orang yang diutanginya termasuk salah satu friendlist-nya.

Nabi Muhammad bahkan menyebut kelakuan orang yang menunda-nunda pembayaran utang padahal dia mampu sebagai sebuah perbuatan zalim.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ، وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَتْبَعْ (متفق عليه)[13]

Dari Abu Hurairah r.a, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: “Mengulur-ngulur waktu pembayaran hutang oleh orang yang mampu merupakan perbuatan zalim. Dan jika salah seorang di antara kalian diikutkan (dalihkan hutangnya) kepada orang yang mampu, maka hendaklah dia mengikutinya.”

4. Mencatat Utang

Agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari, Islam menganjurkan untuk mencatat utang. Bahkan, ayat terpanjang dalam al-Quran, yaitu surat al-Baqarah ayat 282 isi kandungannya adalah tentang utang dan perintah untuk mencatatnya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا ۚ وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰ أَجَلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا ۖ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. 



[1] Shahih Ibnu Hibban, kitab al-buyu’, hadits No. 5040.

[2] Sunan Ibnu Majah, Kitab ash-shadaqat, bab al-qardh, hadits No. 2431, Al-Buwaishiri mengatakan hadits ini sanadnya dhaif (al-Buwaishiri, Zawaid Ibnu Majah, bab al-qardh, hadits No. 809).

[3] Shahih Muslim, kitab al-musaqat, bab man istaslafa syaian faqadha khairan minhu, hadits no. 119

[4] Shahih Bukhari, kitab al-adzan no. 149 dan kitab al-istiqradh no. 2436, Shahih Muslim, kitab al-masajid wa mawadhi’ as-shalah no. 1353.

[5] Musnad Ahmad hal. 629/3, hadits ini di-hasan­-kan oleh Imam Nawawi (al-khulashah, hal. 931/2) dan Ibnu Muflih (al-Adab al-Syar’iyyah, hal. 104/1).

[6] Sunan at-Tirmidzi, 1572.

[7] Musnad Ahmad (II/440, 475, 508); Sunan at-Tirmidzi (no. 1078-1079); Sunan ad-Darimi (II/262); Sunan Ibnu Mâjah (no. 2413).

[8] Ahmad bin Hambal, Musnad al-Imam Ahmad, (Muassasah ar-Risalah, cet. I, 1421 H/2001 M), jil. 24, hal. 279.

[9] Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi), jil. 3, hal. 1191.

[10] Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Dar Thauq an-Najah, cet. I, 1422 H), jil. 3, hal. 57.

[11] Shahih al-Bukhari, (Dar Thauq an-Najah, cet. I, 1422 H), jil. 3, hal. 115.

[12] Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi), jil. 3, hal. 1224.

[13] Shahih Muslim, hadis No. 1564, jil. 3, hal. 1197; Shahih Bukhari,  hadis No. 2287, jil. 3, hal. 94.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar