Oleh Muhammad Abdul Wahab Lc.MA
Pinjaman komersial adalah kebalikan dari pinjaman sosial (al-qardh
al-hasan). Di mana dalam pinjaman sosial, pemberi pinjaman tidak mengambil
nilai tambah dari utang yang diberikan. Melainkan murni untuk tujuan kebaikan,
membantu dan meringankan beban orang lain dan hanya mengharap pahala dari
Allah ﷻ.
Pinjaman sosial inilah yang menjadi prinsip transaksi utang-piutang dalam
Islam. Utang tidak boleh dijadikan sarana untuk mendapatkan keuntungan dan
nilai tambah. Pelunasan tidak boleh lebih besar daripada pinjaman. Jika
peminjam dibebankan tambahan terhadap pokok utangnya, berarti sudah keluar dari
prinsip dasar dari akad utang itu sendiri.
Pinjaman yang memberikan nilai tambah bagi pemberi utang itulah yang
kemudian kita sebut dengan pinjaman komersial atau dalam istilah fiqihnya
disebut dengan القرض الذي جرّ نفعاً (pinjaman
yang memberikan nilai tambah).
Nilai tambah dari utang ini bentuknya bisa bermacam-macam. Dilihat dari
bentuk nilai tambahnya, bentuk perjanjiannya dan lain-lain. Di mana
masing-masing memiliki hukumnya tersendiri.
A. Tambahan Pelunasan Utang yang Disyaratkan
Salah satu bentuk pinjaman komersial adalah jika ada tambahan terhadap
pokok utang yang disyaratkan di awal. Bentuk tambahan tersebut bisa berupa
materi, jasa, atau pemanfaatan suatu benda.
Jika diklasifikasikan, bentuk tambahan yang disyaratkan tersebut bisa
dibagi ke dalam beberapa jenis bentuk, di antaranya:
a. Tambahan jumlah atau ukuran pembayaran utang
tambahan jenis pertama ini merupakan jenis tambahan yang umum dipraktikkan
dalam pinjaman komersial. Contohnya, pinjam uang Rp 1000.000,- selama setahun
dengan syarat dikembalikan sejumlah Rp 1.500.000,-. Atau pinjam uang Rp
1000.000,- dengan syarat dikembalikan Rp 1000.000,- plus satu unit komputer.
Atau pinjam beras 1 kg dengan syarat dikembalikan 1 kg beras plus uang Rp
500.000,-.
Ulama sepakat tambahan jenis ini termasuk riba yang diharamkan. Sebab riba
itu pada dasarnya adalah tambahan tanpa disertai adanya imbalan. Ibnu Abdil
Barr mengatakan:
أجمع المسلمون نقلاً عن نبيهم ﷺ أن اشتراط
الزيادة في السلف ربا، ولو كان قبضة من علف أو حبة كما قال ابن مسعود: أو حبة
واحدة[1]
“Umat Islam sepakat berdasarkan apa yang disampaikan Nabi ﷺ bahwa
tambahan yang disyaratkan dalam utang adalah riba, meskipun hanya segenggam
rumput atau biji-bijian, sebagaimana Ibnu Mas’ud berkata, “(walaupun) hanya
satu biji.”
b. Tambahan berupa pemanfaatan benda
Tambahan jenis ini contohnya pinjam uang dengan syarat rumah peminjam boleh
ditinggali oleh pemberi utang dalam jangka waktu tertentu. Atau pinjam uang
dengan syarat pemberi pinjaman boleh memakai mobil si peminjam.
Hak guna benda sebagai efek dari akad utang ini diberikan tanpa adanya
imbalan apa pun. Ini bertentangan dengan kaidah الغنم
بالغرم (keuntungan yang didapat harus disertai dengan imbalan
yang dikeluarkan).
Atau bisa jadi disertai dengan imbalan, hanya saja imbalan tersebut tidak
sebanding atau di bawah harga sewajarnya. Misalkan fulan meminjamkan uang ke
tukang rental mobil, dengan syarat dia boleh menyewa mobilnya dengan harga
lebih murah dari harga sewa biasanya.
Haramnya tambahan berupa pemanfaatan benda ini diambil dari hadis Nabi
Muhammad ﷺ yang diriwayatkan oleh Anas
bin Malik berikut ini:
إذا أقرض أحدكم قرضًا فأهدى له، أو حمله على الدابة فلا
يركبها ولا يقبله، إلا أن يكون جرى بينه وبينه قبل ذلك[2]
“Jika salah seorang dari kalian mengutangkan kemudian diberikan hadiah atau
diberikan tumpangan hewan, maka janganlah menungganginya dan jangan menerima
hadiah itu, kecuali hal tersebut sebelumnya sudah menjadi kebiasaan di antara
keduanya.”
Hukum memanfaatkan barang gadaian
Bagaimana hukumnya memanfaatkan barang yang digadaikan? Apakah sepeda motor
yang digadaikan ketika berutang boleh dipakai oleh si penerima gadai? Apakah
pemanfaatan itu termasuk nilai tambah atas utang yang diharamkan? Dalam hal ini
pada umumnya ulama melarangnya, jika gadai itu sebagai bagian dari akad
utang-piutang (qardh). Sebab pemanfaatan benda itu dianggap sebagai
nilai tambah yang diterima oleh si penerima gadai atas utang yang dia berikan.
Berikut adalah pendapat para ulama empat mazhab mengenai hal tersebut:
Ibnu Abdin salah seorang ulama hanafiyyah mengatakan:
الغالب من أحوال الناس أنهم إنما يريدون عند الدفع
الانتفاع، ولولاه لما أعطى الدراهم، وهذا بمنزلة الشرط، لأن المعروف كالمشروط، وهو
مما يعين المنع، والله تعالى أعلم[3]
“Umumnya orang-orang memberikan utang dan menerima barang gadaian
motivasinya adalah agar bisa memanfaatkan barang tersebut. Andai saja tidak ada
barang gadaian itu, dia tidak akan mau meminjamkan dirhamnya. Hal ini
kedudukannya sama dengan syarat. Sebab, sesuatu yang menjadi kebiasaan dianggap
seperti sesuatu yang disyaratkan. Dan inilah yang menegaskan terlarangnya
(pemanfaatan barang gadai tersebut) wallahu ta’ala a’lam.”
Demikian juga al-Kasani dari kalangan hanafiyyah berpendapat senada dengan
Ibnu Abdin:
ليس للمرتهن أن ينتفع بالمرهون، حتى لو كان الرهن عبدًا
ليس له أن يستخدمه، وإن كان دابة ليس له أن يركبها، وإن كان ثوبًا ليس له أن
يلبسه، وإن كان دارًا ليس له أن يسكنها
“Penerima gadai tidak berhak untuk memanfaatkan barang gadai. Jika barang
gadai itu adalah seorang budak dia tidak berhak mempekerjakannya, jika berupa
seekor hewan tunggangan dia tidak boleh menungganginya, jika berupa baju dia
tidak boleh memakainya dan jika berupa rumah dia tidak boleh tinggal di
dalamnya.”[4]
Al-Qarafi dari kalangan ulama malikiyyah mengatakan
إذا شرط المرتهن منفعة الرهن، والدين قرض امتنع، لأنه
قرض للنفع[5]
“Jika penerima gadai mensyaratkan agar dia boleh memanfaatkan barang gadai,
sedangkan utangnya adalah qardh maka itu tidak boleh. Karena termasuk utang
yang mendatangkan manfaat (bagi pemberi utang).”
Dari kalangan syafi’iyyah, Al-Mawardi mengatakan:
رجل اقترض من رجل ألفًا على أن يعطيه بها رهنًا معينًا
على أن له منافع الرهن.. فهذا قرض باطل، لأّنه يجر منفعة، ورهن باطل، لأنه مشروط
في قرض باطل[6]
“Jika seseorang berutang kepada orang lain seribu dengan menyerahkan barang
gadaian dengan kesepakatan pemberi utang boleh memanfaatkan barang gadai itu,
maka utangnya batal karena mendatangkan manfaat bagi pemberi utang, dan
gadainya juga batal karena disyaratkan dalam akad utang yang bathil.”
Juga demikian halnya dengan Ibnu Qudamah, ulama kenamaan dari kalangan
hanabilah, dia mengatakan:
فإن أذن الراهن للمرتهن في الانتفاع بغير عوض، وكان دين
الرهن من قرض لم يجز، لأنه يحصل قرضًا يجر منفعة، وذلك حرام[7]
“Jika orang yang menggadaikan barang memberikan izin kepada penerima gadai
untuk memanfaatkan barang gadainya tanpa imbalan, sedangkan utangnya adalah
qardh hukumnya tidak boleh. Karena menghasilkan utang yang mendatangkan
nilai tambah bagi pemberi utang, dan itu haram.”
c. Tambahan berupa jasa atau pekerjaan
Jika dalam akad utang disyaratkan adanya tambahan pelunasan berupa jasa
atau pekerjaan, maka utang tersebut juga termasuk ke dalam utang yang
diharamkan. Contohnya, pinjam uang satu juta dengan syarat si peminjam harus
mencucikan mobil si pemberi pinjaman atau dengan syarat menjaga tokonya, dan
lain-lain.
Al-Syairazi dalam al-Muhadzdzab-nya mengatakan:
لا يجوز قرض جر منفعة، مثل أن يقرضه ألفًا على أن يبني
داره[8]
“Tidak boleh hukumnya utang yang memberikan nilai tambah (bagi pemberi
utang) seperti mengutangkan seribu dengan syarat peminjam harus membangunkan
rumahnya.”
d. Tambahan berupa kualitas yang lebih baik
Contohnya, pinjam 1 kg raskin dengan syarat dikembalikan dengan 1 kg
beras Cianjur. Atau pinjam telur ayam dengan syarat dikembalikan dengan telur
bebek. Berkaitan dengan hal ini, as-Sarakhsi salah seorang ulama dari kalangan
hanafiyyah mengatakan:
ولو رد المستقرض أجود مما قبضه، فإن كان ذلك عن شرط لم
يحل، لأنه منفعة القرض، وإن لم يكن ذلك عن شرط فلا بأس به.. وإنما يحل ذلك عند عدم
الشرط إذا لم يكن فيه عرف ظاهر، أما إذا كان يعرف أنه فعل ذلك لأجل القرض، فالتحرز
عنه أولى، لأن المعروف كالمشروط[9]
“Jika peminjam mengembalikan lebih bagus kualitasnya dari barang yang
dipinjamnya dan jika hal itu disyaratkan maka tidak boleh karena termasuk nilai
tambah dalam utang. Tetapi jika tanpa disyaratkan maka tidak apa-apa.. selama
hal itu tidak menjadi kebiasaan yang umum dilaksanakan. jika itu menjadi
kebiasaan di mana biasanya orang menerima persyaratan itu agar diberi pinjaman,
maka meninggalkannya lebih baik. Karena kebiasaan kedudukannya seperti syarat.”
B. Tambahan Pelunasan Utang yang Tidak Disyaratkan
a. Memberikan Hadiah Sebelum Melunasi Utang
Boleh, selama tidak disyaratkan dan bukan merupakan kebiasaan yang berlaku
antara peminjam dan pemberi pinjaman di mana hadiah tersebut menjadi motif
untuk mendapatkan utang. Berdasarkan hadis riwayat Abu Rafi’:
عن أبي رافع قال : استلف النبي صلى الله عليه وسلم بكرا
فجاءته إبل الصدقة فأمرني أن أقضي الرجل بكره ، فقلت : إني لم أجد في الإبل إلا
جملا خيارا رباعيا فقال : أعطه إياه فإن من خير الناس أحسنهم قضاء.[12]
Dari Abu Rafi’ ia berkata: “Nabi berhutang seekor unta perawan, kemudian
datanglah unta hasil zakat. Lalu Nabi memerintahkan kepada saya untuk membayar
kepada laki-laki pemberi utang dengan unta yang sama (perawan). Saya berkata:
‘Saya tidak menemukan di dalam untu-unta hasil zakat itu kecuali unta yang
berumur enam masuk tujuh tahun.’ Nabi kemudian bersabda: ‘Berikan saja unta
tersebut, karena sebaik-baik manusia itu adalah orang yang paling baik dalam
membayar utang.” (HR. Muslim)
Dari hadis di atas Hanafiyyah dan Syafi’iyyah ber-hujjah ketika
nabi melebihkan pelunasan utang dengan kualitas yang lebih baik, maka begitu
juga boleh hukumnya melebihkan dari sisi jumlah dalam bentuk memberikan hadiah
dan lain sebagainya. Baik pada saat pelunasan utang maupun sebelumnya. Selama
tidak disyaratkan.
2. Malikyyah & Hanabilah
Malikiyyah dan Hanabilah juga membolehkan hadiah yang diberikan kepada
pemberi utang sebelum pelunasan, dengan syarat pemberian hadiah itu tidak ada
kaitannya dengan utang tersebut. Melainkan karena
b. Memberikan Hadiah atau Tambahan pada Saat Melunasi Utang
1. Jumhur
Boleh selama tidak disyaratkan dan tidak ada kebiasaan di mana hadiah itu
biasanya menjadi motif penangguhan utang.
وقال النووي: ومذهبنا أنه يستحب الزيادة في الأداء عما
عليه، ويجوز للمقرض أخذها، سواء زاد في الصفة أو في العدد، بأن أقرضه عشرة فأعطاه
إحدى عشرة [13]
2. Pendapat Masyhur Malikiyyah & Riwayat dari Imam
Ahmad
Hadiah pada saat pelunasan tidak sah karena ada tuhmah (hal
tersebut berkaitan dengan utang. Dalilnya:
عن زرّ بن حبيش، قال: قلت لأبي بن كعب: يا أبا المنذر،
إني أريد الجهاد، فآتي العراق، فأقرض، قال: إنك بأرض الربا فيها كثير فاش،
فإذا أقرضت رجلاً، فأهدى لك هدية، فخذ قرضك، واردد هديته[14]
c. Melunasi Utang dengan Kualitas yang Lebih Baik
Ulama sepakat hukumnya boleh jika tidak disyaratkan dan bukan merupakan
sebuah kebiasaan.
C. Mensyaratkan Akad Lain Beserta Akad Qardh
Mensyaratkan gabungan Akad qardh akad lain, contoh saya
jual rumah ini dengan harga sekian, dengan syarat kasih saya pinjaman uang
sekian. Ulama sepakat akad tersebut batal. Dalilnya:
عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده أن رسول الله ص.م. قال:
لا يحلّ سلف وبيع، ولا شرطان في بيع، ولا ربح ما لم يضمن، ولا بيع ما ليس عندك[15]
Bentuk gabungan akad qardh dengan akad lain yang dilarang
dalam hadis di atas menurut Imam Ahmad adalah jika ada ketentuan yang
menguntungkan orang yang mengutangkan. Sebagai contoh saya pinjamkan kamu utang
tetapi kamu harus jual motor kamu ke saya dengan harga murah.[16]
D. Jasa Broker Utang
Ada seorang pengusaha butuh pinjaman untuk menambah modal usahanya, tetapi
dia tidak punya kenalan atau mitra yang bisa meminjamkannya uang. Kebetulan dia
punya teman yang merupakan adik dari seorang bos besar yang kaya raya.
Kemudian dia memberikan tawaran kepada temannya itu, jika dia bisa
meminjamkan uang untuknya dari bos tersebut dia akan dapat persentase sekian persen
dari utang tersebut sebagai imbalan atas jasa broker utang. Apakah transaksi
tersebut sah? Para ulama terbagi dua pendapat:
a. Malikiyyah
tidak boleh kecuali ada kebiasaan saling memberikan hadiah, atau karena
alasan lain di luar jasa broker
b. Syafi’iyyah dan Hanabilah
Boleh, karena broker tidak bertindak sebagai pemberi utang, melainkan upah
yang diambilnya adalah imbalan dari jasa mencarikan utang. Sehingga upah yang
dia ambil tidak termasuk nilai tambah atas utang. Sebab broker bukan pemberi
utang melainkan penyedia jasa.
E. Jasa Menjamin Utang
Ulama dari empat mazhab[17] sepakat tidak boleh mengambil upah
atas jasa menjamin utang orang lain sebab pada hakikatnya penjamin utang
berlaku sebagai pemberi utang bagi peminjam pertama, maka jika ia menerima upah
termasuk ke dalam nilai tambah atas utang yang diharamkan.
Wallahua'lam bishowab
[10] As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, hal.
35-36/14; Al-Hashkafi, Al-Durr Al-Mukhtar, hal. 291/5; Ibnu
Abdin, Rad dal-Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar, hal. 489/5.
[12] Shahih
Muslim, kitab al-musaqat, bab man istaslafa syaian faqadha khairan
minhu, hadits no. 119
[15] Sunan
at-Tirmidzi, Kitab al-Buyu’, hadis No. 1234, Imam at-Tirmidzi berkata
hadisnya hasan shahih.
[17] Al-baji, Al-Muntaqa, hal.
84/6; Ibnu Qudamah, Al-Mughni, hal. 441/6; Al-Mardawi, Al-Inshaf, hal.
120/5; Al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir, hal. 443/6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar