Akad salam adalah salah satu bentuk akad dalam fiqih muamalah. Salam yang
dimaksud disini bukan salam yang artinya perdamaian atau memberi salam. Salam
yang dimaksud dalam pembahasan ini terdiri dari tiga huruf : sin-lam-mim (سلم), artinya adalah penyerahan dan bukan
berarti perdamaian.
Dari kata salam inilah istilah Islam punya akar yang salah
satu maknanya adalah berserah-diri. Sedangkan kata salam yang bermakna
perdamaian terdiri dari 4 huruf, sin-lam-alif-mim (سلام).
Istilah salam (سلم) sering juga disebut
juga dengan salaf (سلف). Di kebanyakan
hadits nabawi, istilah yang nampaknya lebih banyak digunakan adalah
salaf. Namun dalam kitab fiqih, lebih sering digunakan salam.
Secara bahasa, salam (سلم) adalah al-i'tha' (الإعطاء) dan at-taslif (التسليف). Keduanya bermakna pemberian.
Ungkapan aslama ats-tsauba lil al-khayyath bermakna : dia
telah menyerahkan baju kepada penjahit. [1]
Sedangkan secara istilah syariah, akad salam sering didefinisikan oleh para
fuqaha secara umumnya menjadi
بَيْعٌ مَوْصُوفٍ فيِ الذِّمَّةِ بِبَدْلٍ يُعْطىَ
عاَجِلاً
Jual-beli barang yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan dengan imbalan
(pembayaran) yang dilakukan saat itu juga.
Dengan bahasa yang mudah, akad salam itu pada hakikatnya adalah jual-beli
dengan hutang. Tapi bedanya, yang dihutang bukan uang pembayarannya, melainkan
barangnya. Sedangkan uang pembayarannya justru diserahkan tunai.
Jadi akad salam ini kebalikan dari kredit. Kalau jual-beli kredit,
barangnya diserahkan terlebih dahulu dan uang pembayarannya jadi hutang.
Sedangkan akad salaf, uangnya diserahkan terlebih dahulu sedangkan barangnya
belum diserahkan dan menjadi hutang.
Biasanya sebelum sebuah transaksi jual-beli terjadi, ada semacam
kesepakatan awal antara penjual dan pembeli, dengan ditandai dengan semacam
uang muka sebagai jaminan.
Dibandingkan dengan uang muka atau uang jaminan, akad salam berbeda
kedudukannya dalam beberapa hal. Di dalam akad salam, jual-beli sudah resmi
terjadi dan sudah sah. Yang belum dilakukan hanya tinggal serah terima barang
yang diperjual-belikan.
Sedangkan dalam masalah uang jaminan, jual-beli belum selesai dan masih
dalam proses. Hal itu ditandai bahwa uang muka bisa saja menjadi ’hangus’, bila
pembeli tidak segera melunasi uangnya sesuai dengan waktu jatuh tempo.
Maka akad salam ini berbeda dengan uang muka atau uang jaminan.
Akad salam juga tidak sama dengan jual-beli siste ijon yang sering terjadi
antara petani dan tengkulak.
Contohnya seorang petani sudah ’menjual’ apa yang bakalan menjadi hasil
panennya kepada tengkulak, padahal belum lagi masa panen. Tanamannya itu belum
berbuah, kalau pun ada, masih berupa pentil buah. Bahkan kadang jual-beli ijon
sudah dilakukan sejak sebelum dia menanam.
Sistem ijon yang mereka lakukan itu adalah jual-beli haram, karena termasuk
jual-beli yang mengandung unsur jahalah atau ketidak-jelasan
barang yang diperjual-belikan. Tentu saja barang yang dijual tidak jelas, sebab
masih mentah di pohon, bahkan belum lagi ditanam.
Sedangkan akad jual-beli salam berbeda dengan sistem ijon yang haram itu.
Yang membedakannya bahwa dalam akad salam ini, hasil panen yang dijual harus
ditetapkan spesifikasinya sejak akad disepakati secara tepat, baik jenisnya
kualitas, kuantitas dan lainnya dan tidak boleh digantungkan pada semata-mata
hasil panen.
Sehingga apabila hasil panennya tidak sesuai dengan spesifikasi yang sudah
disepakati, hutangnya dianggap tetap belum terbayar. Petani itu wajib membayar
dengan hasil panen yang sesuai dengan spesifikasi yang sudah disepakati, bagaimana
pun caranya termasuk dengan membeli dari petani lain.
Sedangkan sistem ijon itu haram, karena barang yang dijual semata-mata apa
adanya dari hasil panen. Bila hasil panennya jelek atau tidak sesuai harapan,
maka yang membeli hasil panen itu rugi.
Sebaliknya, bila hasilnya bagus, maka boleh jadi petaninya yang rugi,
karena harga jualnya jauh lebih rendah dari harga pasar yang berlaku saat itu.
Menjual barang tertentu yang belum menjadi milik kita hukumnya haram.
Alasannya lantaran tidak ada jaminan bagi si penjual untuk bisa mendapatkan
barang itu untuk diserahkan kepada pembelinya.
Misalnya, Ahmad menjual mobil milik Budi kepada Eko. Padahal Ahmad dan Budi
tidak punya kesepakatan apa-apa tentang jual-beli mobil. Maka Ahmad tidak bisa
main jual barang milik Budi begitu saja kepada Eko. Hal itu karena sama sekali
tidak bisa memastikan apakah Budi mau menjual mobilnya ke Ahmad untuk dijual
lagi ke Eko. Maka akad ini adalah akad haram.
Dalam akad salam, barang yang diperjual-belikan bukan barang yang spesifik
dimiliki oleh seseorang, melainkan barang yang bisa dibeli dari siapa saja yang
memilikinya dan memang tersedia dalam jumlah yang banyak.
Dalam hal ini Ahmad bukan menjual mobil milik Budi, melainkan menjual mobil
dengan spesifikasi tertentu, dimana Ahmad bisa dengan mudah mendapatkannya dari
banyak sumber, tidak harus milik Budi.
Contoh lain A menjual secara salam berupa seekor sapi kepada B. A dan B
sepakat bahwa spesifikasi sapi itu misalnya sapi jenis tertentu, betina, usia 3
tahun, berat badan sekian dan seterusnya.
Akad itu menjadi haram kalau sapi yang dimaksud adalah harus sapi milik C
yang tertentu yaitu yang bernama Paijo, padahal C belum tentu menjualnya kepada
A.
Tapi akad itu menjadi halal dalam salam, karena sapinya tidak harus si
Paijo milik C, bisa sapi yang bernama siapa saja asalkan kriterianya tepat
sesuai dengan yang disepakati. Dan tentunya sapi seperti itu tersedia
dimana-mana asalkan ada uangnya.
Akad salam ditetapkan kebolehannya di dalam Al-Quran, As-Sunnah dan juga
ijma'.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم
بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya (QS. Al-Baqarah :
282)
Sedangkan dalam As-Sunnah An-Nabawiyah, dalil dengan salam ini disebutkan
dalam hadits riwayat Ibnu Abbas RA.
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ t قَالَ: قَدِمَ
اَلنَّبِيُّ r اَلْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي اَلثِّمَارِ
اَلسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ: مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي
كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ - مُتَّفَقٌ
عَلَيْه
Ibnu Abbas RA berkata bahwa ketika Nabi SAW baru tiba di Madinah,
orang-orang madinah biasa melakukan akad salam pada kurma untk satu dan dua
tahun. Maka Nabi SAW bersabda,"Siapa yang melakukan akad salam pada
kurma, maka lakukan dengan timbangan yang ditentukan dan
dalam jangka waktu yang ditentukan”. (HR. Bukhari dan Muslim)
وَعَنْ عَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى وَعَبْدِ
اَللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى tقَالا: كُنَّا نُصِيبُ اَلْمَغَانِمَ
مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ rوَكَانَ يَأْتِينَا أَنْبَاطٌ مِنْ أَنْبَاطِ
اَلشَّامِ فَنُسْلِفُهُمْ فِي اَلْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ
وَالزَّبِيبِ - وَفِي رِوَايَةٍ: وَالزَّيْتِ - إِلَى
أَجَلٍ مُسَمًّى. قِيلَ: أَكَانَ لَهُمْ زَرْعٌ؟ قَالا: مَا كُنَّا نَسْأَلُهُمْ
عَنْ ذَلِكَ
Abdurrahman bin Abza dan Abdullah bin Auf RA keduanya mengatakan,"Kami
biasa mendapat ghanimah bersama Rasulullah SAW. Datang orang-orang dari negeri
syam. Lalu kami bertransaksi secara akad salam dengan mereka dengan gandum,
jelai -dalam riwayat lain : lemak- dan kismis, dengan jangka waktu
tertentu".
Ketika ditanyakan kepada kami,"Apakah mereka itu mempunyai tanaman?”.
Jawab kedua sahabat ini,"Tidak kami tanyakan kepada mereka tentang itu”.
(HR Bukhari dan Muslim)
Ibnu Al-Abbas berkata, Aku bersaksi bahwa akad salaf (salam) yang
ditanggung hingga waktu yang ditentukan telah dihalalkan Allah dalam Kitab-Nya
dan Dia telah mengizinkannya. Kemudian beliau membaca ayat ini. (HR Asy-Syafi'i
dalam musnadnya)
Secara umum memang ada larangan jual-beli ketika barangnya belum ada,
seperti yang disebutkan dalam hadits berikut :
لاَ تَبِعْ مَالَيْسَ عِنْدَكَ
Janganlah kamu menjual barang yang tidak kamu miliki (HR. Tirmizy, Ahmad,
An-Nasai, Ibnu Majah, Abu Daud)
Namun akad salam merupakan pengecualian yang ditetapkan oleh Rasulullah
SAW, sebagaimana disebut di dalam hadits-hadits di atas.
Ibnu Al-Munzir menyebutkan bahwa semua orang yang kami kenal sebagai ahli
ilmu telah bersepakat bahwa akad salam itu merupakan akad yang dibolehkan.[2]
Akad salam ini dibolehkan dalam syariah Islam karena punya hikmah dan
manfaat yang besar, dimana kebutuhan manusia dalam bermuamalat seringkali tidak
bisa dipisahkan dari kebutuhan atas akad ini. Kedua belah pihak, yaitu penjual
dan pembeli bisa sama-sama mendapatkan keuntungan dan manfaat dengan
menggunakan akad salam.
Dengan menggunakan akad salam yang memang hukumnya halal, ada keuntungan
yang bisa diraih oleh pihak pembeli. Beberapa di antara keuntungan itu misalnya
:
a. Jaminan Mendapatkan Barang
Jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan pada
waktu yang ia inginkan.
Keuntungan seperti ini bisa terjadi dalam kasus tertentu, seperti pada saat
barang akan menjadi langka dan sulit didapat, tetapi saat itu justru dibutuhkan
orang.
Maka pembeli yang sudah melakukan akad jual-beli secara salam tentu tidak
perlu repot mencari barang yang langka itu. Sebab dia pada dasarnya sudah
membeli dan sudah memiliki barang itu, karena transaksi sudah selesai. Tinggal
menunggu pengiriman saja.
Contoh yang paling sederhana adalah membeli tiket kereta api atau pesawat
beberapa bulan sebelum musim mudik. Tiket sudah dibayar penuh dan uangnya sudah
lunas. Sedangkan barang atau jasanya belum kita nikmati. Maka pada saat musim
mudik tiba, ketika orang kelimpungan mencari tiket, kita tinggal santai saja.
b. Harga Cenderung Lebih Baik
Keuntungan kedua dengan menggunakan akad salam ini adalah kita tidak akan
jadi korban permainan harga.
Biasanya hukum pasar yang berlaku adalah ketika barang langka, maka harga
cenderung akan naik. Ketika demand tinggi sementara suplay tidak bisa memenuhi,
harga akan melambung.
Harga tiket akan naik beberapa kali lipat, baik resmi atau tidak resmi, di
musim liburan (high season). Tetapi mereka yang sudah beli tiket jauh-jauh
hari, tentu tidak perlu membayar lebih. Tiket yang mereka punya harganya pasti
jauh lebih murah.
Sedangkan di pihak penjual, akad salam ini pada momen tertentu juga bisa
menjadi pilihan yang menguntungkan. Misalnya :
a. Dapat Modal
Dengan sistem akad salam, pihak penjual bisa dapat uang segar tanpa harus
segera menyerahkan barang. Seolah-olah penjual mendapatkan modal gratisan untuk
menjalankan usahanya dengan cara-cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan
dan mengembangkan usahanya tanpa harus membayar bunga.
Dengan demikian selama belum jatuh tempo, penjual dapat menggunakan uang
pembayaran tersebut untuk menjalankan usahanya dan mencari keuntungan
sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban apapun.
Cerita menarik dari para pengusaha bisnis haji dan umrah barangkali bisa
kita jadikan salah satu contoh. Sebagaimana kita tahu bahwa tiket perjalanan
haji itu menjadi rebutan ribuan calon jamaah. Biasanya, meski perjalanan haji
baru dilaksanakan di bulan Dzulqa'dah, namun biaya harus sudah disetorkan
jauh-jauh hari sebelumnya, bahkan sampai bertahun-tahun sebelumnya.
Maka pihak penyelenggara haji dan umrah, baik pemerintah atau swasta, akan
kebanjiran uang tunai. Uang itu bisa dipakai untuk menjadi modal usaha. Bahkan
mereka yang terlalu berani menanggung resiko, uang itu malah diputar-putar dulu
untuk memodali usaha yang lain.
Setidaknya uang itu bisa didepositokan, sehingga akan ada hasil tambahan.
Tentu deposito yang digunakan harus syariah, biar tidak menjadi haram karena
memakan bunga ribawi.
b. Punya Tempo
Selain mendapat modal, pihak penjual juga memiliki keleluasaan dalam
memenuhi permintaan pembeli, karena biasanya tenggang waktu antara transaksi
dan penyerahan barang pesanan berjarak cukup lama.
Rukun jual-beli secara salam ada tiga, yaitu :
Shighat itu adalah ijab dan qabul, dimana penjual mengicpakan lafadz ijab
kepada pembeli, seperti aslamtuka (aku jual secara salam)
atau aslaftuka (aku jual secara salaf), atau dengan kata-kata
lain yang menjadi musytaq dari keduanya.[3]
Sedangkan qabul adalah jawaban dari pihak yang membeli secara salam,
seperti ucapan : qabiltu (saya terima), atau radhitu (saya
rela), atau sejenisnya yang punya makna persetujuan.[4]
Yang dimaksud dengan kedua-belah pihak adalah keberadan penjual dan pembeli
yang melakukan akad salam. Penjual sering disebut dengan musallim (مسلم), sedangkan pembeli sering disebut musallam
ilaihi (مسلم إليه). Tanpa keberadaan
keduanya, maka salah satu rukun salam tidak terpenuhi, sehingga akad itu
menjadi tidak sah.
Pada masing-masing harus terdapat syarat, yaitu syarat ahliyah atau
syarat wilayah.
Syarat ahliyah maksudnya mereka masing-masing itu adalah pemilik orang yang beragama
Islam, aqil, baligh, rasyid[5].
Sedangkan syarat wilayah, maksudnya masing-masing menjadi wali
yang mewakili pemilik aslinya dari uang atau barang, dengan penujukan yang sah
dan berkekuatan hukum sama.
Uang sering disebut juga dengan ra'sul maal (رأس المال), sedangkan barang disebut dengan musallam
fiihi (مسلم فيه).
Akad salam memastikan adanya harta yang dipertukarkan, yaitu uang sebagai
alat pembayaran dan barang sebagai benda yang diperjual-belikan.
Sebuah akad salam membutuhkan terpenuhinya syarat padatiap rukunnya, baik
yang terdapat pada uangnya atau pun pada barangnya.
Uang yang dijadikan alat pembayaran dalam akad salam diharuskan memenuhi
kriteria sebagai berikut :
Uangnya harus disebutkan dengan jelas nilainya atau kursnya. Kalau di zaman
dahulu, harus dijelaskan apakah berbentuk coin emas atau perak.
Pembayaran uang pada akad salam harus dilakukan secara tunai atau kontan
pada majelis akad salam itu juga, tanpa ada sedikitpun yang terhutang atau
ditunda.
Bila pembayarannya ditunda (dihutang) misalnya setahun, kemudian ketika
pembayaran, pemesan membayar dengan menggunakan cek atau bank garansi yang
hanya dapat dicairkan setelah beberapa bulan yang akan datang, maka akad
seperti ini terlarang dan haram hukumnya. Hal ini berdasarkan hadits berikut:
أَنَّ النَّبِيَّ r نَهَى عَنْ بَيْعِ
الكاَلِئ باِلكَالِئ
Dari Ibnu Umar RA bahwa Nabi SAW melarang jual-beli piutang dengan
piutang." (HR Ad-Daraquthny, Al Hakim dan Al Baihaqy).
Ibnul Qayyim berkata: "Allah mensyaratkan pada akad salam agar
pembayaran dilakukan dengan kontan; karena bila ditunda, niscaya kedua belah
pihak sama-sama berhutang tanpa ada faedah yang didapat. Oleh karena itu, akad
ini dinamakan dengan salam, karena adanya pembayaran di muka.
Sehingga bila pembayaran ditunda, maka termasuk ke dalam penjualan piutang
dengan piutang yang haram hukumnya.
Dalam akad salam, penjual tidak menjual ain suatu barang tertentu yang
sudah ditetapkan, melainkan yang dijual adalah barang dengan spesifikasi
tertentu.
Sebagai contoh, seorang pedagang material bangunan menjual secara salam 10
kantung semen dengan merek tertentu dan berat tertentu kepada seorang
pelanggan. Kesepakatannya pembayaran dilakukuan saat ini juga, namun penyerahan
semennya baru 2 bulan kemudian, terhitung sejak akad itu disepakati.
Walaupun saat itu mungkin saja si pedagang punya 10 kantung semen yang
dimaksud di gudangnya, namun dalam akad salam, bukan berarti yang harus
diserahkan adalah 10 kantung itu. Pedagang itu boleh saja dia menjual ke-10
kantung itu saat ini ke pembeli lain, asalkan nanti pada saat jatuh tempo 2
bulan kemudian, dia sanggup menyerahkan 10 kantung semen sesuai kesepakatan.
Sebab yang dijual bukan ke-10 kantung yang tersedia di gudang, tapi yang
dijual adalah 10 kantung yang lain, yang mana saja, asalkan sesuai spesifikasi.
Barang yang dipesan harus dijelaskan spesifikasinya, baik kualitas mau pun
juga kuantitas. Termasuk misalnya jenis, macam, warna, ukuran, dan spesifikasi
lain. Pendeknya, setiap kriteria yang diinginkan harus ditetapkan dan dipahami
oleh kedua-belah pihak, seakan-akan barang yang dimaksud ada di hadapan mereka
berdua.
Dengan demikian, ketika penyerahan barang itu dijamin 100% tidak terjadi
komplain dari kedua belah pihak.
Sedangkan barang yang tidak ditentukan kriterianya, tidak boleh
diperjual-belikan dengan cara salam, karena akad itu termasuk akad gharar
(untung-untungan) yang nyata-nyata dilarang dalam hadits berikut:
أنَّ النَّبِيَّ r نَهَى عَنْ بَيْعِ الغَرَرِ
Nabi SAW jual-beli untung-untungan." (HR Muslim)
Apabila barang itu diserahkan tunai, maka tujuan utama dari salam malah
tidak tercapai, yaitu untuk memberikan keleluasan kepada penjual untuk bekerja
mendapatkan barang itu dalam tempo waktu tertentu.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :
مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ
مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ - مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Siapa yang meminjamkan buah kurma maka harus meminjamkan dengan timbangan
yang tertentu dan sampai pada masa yang tertentu”. (HR. Bukhari dan
Muslim)
Al-Qadhi Ibnu Abdil Wahhab mengatakan bahwa salam itu adalah salaf, dimana
akad itu memang sejak awal ditetapkan untuk pembayaran di awal dengan
penyerahan barang belakangan.
Al-Karkhi dari Al-Hanafiyah menyebutkan minimal jatuh tempo yang disepakati
adalah setengah hari dan tidak boleh kurang dari itu. [6]
Ibnu Abil Hakam mengatakan tidak mengapa bila jaraknya 1 hari.
Ibnu Wahab meriwayatkan dari Malik bahwa minimal jarak penyerahan
barang adalah 2 atau 3 hari sejak akad dilakukan.
Ulama lain menyebutkan minimal batasnya adalah 3 hari, sebagai qiyas dari
hukum khiyar syarat.
Harus ditetapkan di saat akad dilakukan tentang waktu (jatuh tempo)
penyerahan barang. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW :
إلى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
Hingga waktu (jatuh tempo) yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak)
pula." (Muttafaqun 'alaih)
Para fuqaha sepakat bila dalam suatu akad salam tidak ditetapkan waktu
jatuh temponya, maka akad itu batal dan tidak sah. Dan ketidak-jelasan kapan
jatuh tempo penyerahan barang itu akan membawa kedua-belah pihak ke dalam
pertengkaran dan penzaliman atas sesama.
Jatuh tempo bisa ditetapkan dengan tanggal, bulan, atau tahun tertentu,
atau dengan jumlah hari atau minggu atau bulan terhitung sejak
disepakatinya akad salam itu.
Pada saat menjalankan akad salam, kedua belah pihak diwajibkan untuk
memperhitungkan ketersedian barang pada saat jatuh tempo. Persyaratan ini demi
menghindarkan akad salam dari praktek tipu-menipu dan untung-untungan, yang
keduanya nyata-nayata diharamkan dalam syari'at Islam.
Misalnya seseorang memesan buah musiman seperti durian atau mangga dengan
perjanjian: "Barang harus diadakan pada selain waktu musim buah durian dan
mangga", maka pemesanan seperti ini tidak dibenarkan. Selain mengandung
unsur gharar (untung-untungan), akad semacam ini juga akan menyusahkan salah
satu pihak. Padahal diantara prinsip dasar perniagaan dalam islam ialah
"memudahkan", sebagaimana disebutkan pada hadits berikut:
لا ضَرَرَ ولا ضِرَار
Tidak ada kemadharatan atau pembalasan kemadhorotan dengan yang lebih besar
dari perbuatan. (HR. Ahmad)
Ditambah lagi pengabaian syarat tersedianya barang di pasaran pada saat
jatuh tempo akan memancing terjadinya percekcokan dan perselisihan yang
tercela. Padahal setiap perniagaan yang rentan menimbulkan percekcokan antara
penjual dan pembeli pasti dilarang.
Yang dimaksud dengan barang yang terjamin adalah barang yang dipesan tidak
ditentukan selain kriterianya. Adapun pengadaannya, maka diserahkan sepenuhnya
kepada pengusaha, sehingga ia memiliki kebebasan dalam hal tersebut. Pengusaha
berhak untuk mendatangkan barang dari ladang atau persedian yang telah ada,
atau dengan membelinya dari orang lain.
Persyaratan ini bertujuan untuk menghindarkan akad salam dari unsur gharar
(untung-untungan), sebab bisa saja kelak ketika jatuh tempo, pengusaha
–dikarenakan suatu hal- tidak bisa mendatangkan barang dari ladangnya, atau
dari perusahaannya.
Ada beberapa definisi salam menurut para ulama mazhab sesuai dengan syarat
yang mereka ajukan. Setidaknya ada tiga pendapat dalam hal ini.
Sudah disebutkan bahwa menurut pendapat pertama, akad salam merupakan jual
beli yang uangnya dibayarkan sekarang sedangkan barangnya diserahkan kemudian.
Mazhab Hanafi dan Hambali yang diwakili oleh Ibnu 'Abidin menyebutkan
bahwa salam adalah (شراء آجل بعآجل),
membeli sesuatu yang diberikan kemudian dengan pembayaran sekarang.
Maksudnya, salaf adalah membeli sesuatu yang diserahkannya bukan saat akad
dilangsungkan tetapi diserahkan kemudian. Ini menjadi syarat dari akad salam.
Namun mereka menetapkan bahwa pembayarannya harus dilakukan saat itu juga,
yakni saat akad dilangsungkan.[7]
Hal senada dituliskan dalam kitab Kasysyaf Al-Qina'
(عقد موصوف في الذمة مؤجل بثمن مقبوض في مجلس العقد),
maknanya adalah akad atas pembelian sesuatu yang hanya disebutkan sifatnya dan
menjadi tanggungan di kemudian hari dengan pembayaran yang maqbudh, yakni
dilakukan saat itu juga dalam majelis akad.[8]
Adapun mazhab Asy-Syafi'i, tidak mensyaratkan penyerahan sesuatu yang
diperjual-belikan itu di kemudian hari atau saat itu juga. Yang lebih penting
adalah -menurut mereka, penyerahan uang pembayarannya dilakukan saat akad.
Pendapat kedua ini hanya mensyaratkan penyerahan uangnya yang harus saat akad,
adapun barangnya boleh langsung diserahkan ataupun bisa juga diserahkan
kemudian.
Di dalam kitab Raudhatut-Thalibin, Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan
bahwa akad salam itu adalah : (عقد على موصوف في الذمة
ببدل يعطى عاجلا). Maksudnya, salam adalah sebuah akad atas suatu benda yang
disebutkan sifatnya dalam tanggungan dengan imbalan yang dilakukan saat itu
juga.[9]
Dalam definisi ini tidak ada ketentuan bahwa barang itu harus diserahkan
kemudian atau saat itu juga. Hal inilah yang membedakan definisi mazhab
Asy-Syafi'i ini dengan kedua mazhab sebelumnya.
Sedangkan pendapat yang ketiga ini mensyaratkan barangnya diserahkan
kemudian, bukan saat akad, sedangkan uangnya tidak disyaratkan harus diserahkan
saat itu juga. Jadi intinya uang pembayarannya boleh diserahkan saat akad itu
dilangsungkan atau pun boleh juga diserahkan kemudian.
Pendapat ketiga ini dikemukakan oleh Mazhab Maliki sebagaimana tertera
dalam kitab Idhahul Masalik Ila Al-Qawa'id Al-Imam Malik.[10] Dalam kitab itu sebutkan bahwa
بيع معلوم في الذمة محصور بالصفة بعين حاضرة أو ما هو في
حكمها إلى أجل معلوم
Jual-beli barang yang diketahui dalam tanggungan yang sifatnya ditentukan,
dengan pembayaran yang hadir (saat itu juga) atau dengan pembayaran
yang berada dalam hukumnya, hingga waktu yang diketahui.
Penyebutan kalimat : dengan pembayaran yang berada dalam
hukumnya, mengisyaratkan tidak diharuskannya pembayaran itu dilakukan
saat akad, tetapi dibenarkan bila diserahkan 2 atau 3 hari kemudian setelah
akad berlangsung.
Dan penyebutan kalimat : hingga waktu yang diketahui,
mengisyaratkan keharusan penyerahan barangnya bukan saat akad tetapi diserahkan
di kemudian hari.
Wallahua'lam bishowab
Oleh Muhammad Abdul Wahab Lc.MA
[5] Rasyid sering
diartikan sebagai orang yang tidak tidak gila, bodoh, budak, idiot, mabuk,
ayan, dipaksa dan seterusnya. Lihat Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab
Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu jilid 7 hal. 160-166
Tidak ada komentar:
Posting Komentar