A. Pengertian Qardh (Akad Utang-Piutang)
a. Bahasa
Qardh berasal dari bahasa Arab yang berarti memotong (قطع),
kata qardh digunakan untuk makna pinjaman karena seolah-seolah
peminjam memotong bagian harta dari si pemberi pinjaman.[1]
b. Istilah
Sedangkan secara istilah, para ulama dari masing-masing mazhab memiliki
redaksi yang variatif ketika mendefinisikan makna qardh secara
istilah.
1. Hanafiyah
Kalangan ulama hanafiyyah mendefinisikan qardh sebagai
berikut:
عقد مخصوص يرد مال مثلي لآخر ليرد مثله
“Akad tertentu atas penyerahan harta yang bersifat mitsli kepada orang lain
agar orang tersebut mengembalikan dengan nilai yang sama.” [2]
Dari pengertian di atas, dipahami bahwa harta yang boleh dipinjamkan dengan
akad qardh adalah yang bersifat mitsliy. Maksudnya,
harta yang memiliki padanan yang memiliki nilai yang sama. Contohnya
benda-benda yang ditimbang atau ditakar seperti emas, beras dan lain-lain.
Sehingga satu liter beras yang dipinjam dengan satu liter beras yang
dikembalikan tidak memiliki perbedaan nilai asalkan dari jenis yang sama.
Berbeda dengan harta yang bersifat qimiy yaitu benda yang
tidak memiliki padanan yang memiliki nilai yang persis sama. Seperti hewan,
yang mana hewan yang dipinjam dengan hewan yang dikembalikan tidak selalu
memiliki nilai yang persis sama.
Dari definisi di atas juga dapat disimpulkan bahwa qardh tidak
sama dengan wadi’ah (titipan) ataupun hibah (pemberian).
Karena pada wadi’ah yang dikembalikan adalah barang yang sama
dengan barang pada saat dititipkan.
Ketika kita menitipkan motor ke tetangga misalnya, pada saat kita
ambil kembali, motor yang diserahkan adalah motor yang sama. Tidak mungkin
menitipkan motor Ninja tetapi yang dikembalikan motor Vespa. Itu namanya bukan
akad titip, tetapi tukar tambah.
Sedangkan pada akad qardh, barang yang dikembalikan bukan
barang yang sama persis dengan barang pada saat dipinjam, melainkan barang lain
yang senilai. Maka ketika pinjam uang, kita tidak harus mengembalikan uang
dengan nomor seri yang persis sama dengan uang pada saat kita pinjam.
Qardh juga berbeda dengan hibah. Di mana dalam akad qardh harta
yang diambil dikembalikan, sedangkan dalam akad hibah hal
tersebut tidak terjadi. Karena yang namanya hibah prinsipnya
adalah memberi tanpa pamrih, bukan meminjamkan dengan harapan dikembalikan.
2. Malikiyyah
Ulama Malikiyyah menjelaskan bahwa qardh adalah:
دفع متموّل في مثله غير معجّل لنفع آخذه فقط
“Menyerahkan harta (untuk dikembalikan) dengan yang semisalnya di kemudian
waktu untuk kemanfaatan orang yang mengambil (peminjam) saja.” [3]
Dari definisi di atas Malikiyyah memberikan penjelasan bahwa pengembalian
barang dalam akad qardh dilakukan di kemudian waktu, tidak pada
saat yang sama dengan saat kita meminjam, karena kalau langsung dikembalikan
tidak lagi dinamakan pinjaman tetapi tukar menukar atau barter.
Dalam definisi di atas, Malikiyyah juga memberikan batasan bahwa yang
disebut dengan qardh adalah yang hanya dilakukan demi
kemanfaatan si peminjam saja, bukan si pemberi pinjaman atau keduanya
sekaligus. Karena qardh semacam itu termasuk ke dalam qardh
fasid.
3. Syafi’iyyah
Ar-Ramli dari kalangan ulama syafi’iyyah mendefinisikan qardh adalah:
تمليك الشيء برد بدله
“Penyerahan kepemilikan suatu benda dengan ketentuan dikembalikan gantinya
kemudian.” [4]
Deifinisi Syafi’iyyah di atas sedikit agak berbeda dengan pengertian qardh menurut
Hanafiyyah. Dalam definisi Hanafiyyah, istilah yang digunakan adalah mitsl (barang
yang semisal). Sedangkan dalam definisi Syafi’iyyah, menggunakan istilah badal (barang
pengganti).
4. Hanabilah
Al-Mardawi, salah seorang ulama Hanabilah memberikan pengertian bahwa yang
dimaksud dengan qardh adalah:
دفع مال لمن ينتفع به ويرد بدله
“Menyerahkan harta kepada orang yang memanfaatkan dengan ketentuan ia
mengembalikan gantinya.” [5]
B. Dasar Hukum
Pinjaman sosial (al-qardh al-hasan) memiliki dasar hukum dalam
syariat Islam, baik dari al-quran, sunnah maupun ijma’.
a. Al-Quran
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا
فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ
وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan
melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (Al-Baqarah: 254)
Dalam ayat di atas Allah ﷻ memberikan anjuran untuk
melakukan qardh hasan (pinjaman yang baik). Maksudnya adalah
pinjaman yang diberikan untuk tujuan kebaikan, membantu dan hanya mengharap
pahala dari Allah ﷻ, bukan pinjaman untuk memperoleh
keuntungan.[6]
Maka kemudian muncul istilah al-qardh al-hasan diambil
dari ayat di atas. Yang berarti pinjaman untuk tujuan sosial, tanpa
mengaharapkan imbalan berupa bunga atau yang lainnya.
b. Sunnah
Terdapat beberapa hadits yang menyatakan anjuran untuk memberikan pinjaman
sukarela tanpa mengharapkan imbalan atau mendapatkan keuntungan. Salah satunya
hadits berikut, yang menjelaskan pahala dari memberi pinjaman.
عن ابن مسعود أن النبي صلى الله عليه و سلم قال ما من
مسلم يقرض مسلما قرضا مرتين إلا كان كصدقتها مرة.[7]
Artinya: Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda , “Tidaklah
seorang muslim yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya
adalah (senilai) sedekah.” (HR. Ibnu Majjah)
Pada hadits di atas Nabi Muhammad ﷺ menjelaskan bahwa pahala
dua kali menghutangkan sama dengan pahala satu kali sedekah. Dari situ kita
pahami bahwa pahala sedekah lebih besar daripada pahala menghutangkan. Hal
tersebut masuk akal karena orang yang menyedekahkan hartanya, pada umumnya
tidak mengharapkan pengembalian. Ikhlas begitu saja. Sedangkan orang yang
menghutangkan, tentu berharap harta yang dihutangkannya itu akan dikembalikan
di kemudian waktu.
Tetapi, dalam hadits yang lain Nabi menjelaskan bisa jadi pinjaman yang
kita berikan kepada orang yang sedang membutuhkan, lebih besar pahalanya daripada
pahala sedekah. Karena orang yang meminjam, biasanya dalam keadaan butuh.
Sehingga pinjaman yang kita berikan sangat berguna bagi dia.
Sedangkan sedekah, bisa jadi orang yang kita berikan sedekah tidak terlalu
membutuhkan. Bahkan dalam beberapa kasus pengemis yang meminta-minta di jalanan
di kota-kota besar, yang pakaiannya terlihat lusuh, compang-camping, ada yang
membawa anak kecil yang tertidur atau mungkin ‘sengaja’ dibuat tidur, ternyata
di kampung halamannya dia punya rumah mewah lengkap dengan kolam renang. Memang
pada dasarnya, beberapa pengemis di lampu merah itu tidak mengemis karena
terpaksa melainkan sudah menjadi profesi dan memang passion-nya di
situ.
Sehingga masuk akal jika dalam hadits berikut dikatakan bahwa pahala
meminjamkan kadang-kadang lebih besar dari pahala sedekah.
عن أنس بن ما لك قال قال رسول الله صلى الله علبه و سلم
رأ يت ليلة أسري بي على باب الجنة مكتوبا الصدقة بعشر أمثالها والقرض بثمانية عشر
فقلت يا جبريل ما با ل القرض أفضل من الصدقة قال لأن السائل يسأل و عنده والمستقرض
لايستقرض إلا من حاجة.
Artinya: Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah bersabda,” aku melihat
pada waktu malam di-isra’kan, pada pintu surga tertulis: sedekah dibalas
sepuluh kali lipat dan qardh delapan belas kali. Aku bertanya, Wahai Jibril,
mengapa qardh lebih utama dari sedekah? Ia menjawab, karena peminta, meminta
sesuatu padahal ia punya, sedangkan yang meminjam tidak akan meminjam kecuali
karena keperluan.” (HR. Ibnu Majjah)[8]
Hadits selanjutnya menjelaskan secara umum anjuran untuk meringankan
beban saudara kita sesama muslim, salah satunya dengan memberikan pinjaman.
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : من نفس
عن مسلم كربة من كرب الد نيا نفس الله عنه كربة من كر ب يوم القيامة ، ومن يسرعلى
مسعر فى الدنيا يسرالله عليه فى الدنيا والأخرة ، ومن ستر على مسلم في الدنيا ستر
الله عليه في الدنيا والأخرة ، والله في عون العبد في عون أخيه.
Artinya: “Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, beliau bersabda: Barangsiapa
yang melepaskan dari seorang musli kesusahan dunia, maka Allah akan melepaskan
kesusahannya pada hari kiamat; dan barangsiapa yang memberikan kemudahan kepada
oarng yang sedang mengalami kesulitan di dunia, maka Allah akan memberikan
kemudahan kepadanya di dunia dan di akhirat; dan barangsiapa yang menutupi ‘aib
seorang muslim di dunia, maka Allah akn menutupi ‘aibnya di dunia dan di
akhirat; dan Allah akan senantiasa menolonh hambanya, selama hamba itu menolong
saudaranya.” (HR. At-Tirmidzi)
Dalam hadits berikut, dijelaskan bahwa nabi pernah meminjam satu jenis
unta, dan ketika melunasi, Rasulullah ﷺ memberikan jenis unta yang
lebih baik sebagai wujud rasa terima kasih kepada si pemberi pinjaman.
وعن أبي رافع قال : استلف النبي صلى الله عليه وسلم بكرا
فجاءته إبل الصدقة فأمرني أن أقضي الرجل بكره ، فقلت : إني لم أجد في الإبل إلا
جملا خيارا رباعيا فقال : أعطه إياه فإن من خير الناس أحسنهم قضاء.[9]
Dari Abu Rafi’ ia berkata: “Nabi berhutang seekor unta perawan, kemudian
datanglah unta hasil zakat. Lalu Nabi memerintahkan kepada saya untuk membayar
kepada laki-laki pemberi utang dengan unta yang sama (perawan). Saya berkata:
‘Saya tidak menemukan di dalam untu-unta hasil zakat itu kecuali unta yang
berumur enam masuk tujuh tahun.’ Nabi kemudian bersabda: ‘Berikan saja unta
tersebut, karena sebaik-baik manusia itu adalah orang yang paling baik dalam
membayar utang.” (HR. Muslim)
c. Ijma’
Seluruh umat Islam seantero jagat telah sepakat bahwa al-qardh
al-hasan dibolehkan dan merupakan perbuatan baik.[14]
C. Perbedaan Qardh dan Dain
Dalam bahasa Indonesia kata utang punya makna yang umum, mencakup semua
jenis utang atau pinjaman. Tetapi, kalau kita perhatikan di dalam bahasa Arab,
ada dua istilah yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya
sama-sama utang, tetapi dalam fiqih muamalah keduanya memiliki pengertian yang
berbeda. Istilah yang dimaksud adalah dain dan qardh.
Mengetahui perbedaan antara kedua istilah ini menjadi penting, karena
masing-masing memiliki konsekuensi hukum yang berbeda sehingga kalau keliru
mengatakan apakah suatu utang itu termasuk qardh atau dain maka
kesimpulan hukumnya pun akan berbeda.
Perbedaan mendasar antara qardh dan dain adalah
bahwasanya dain memiliki pengertian lebih umum daripada qardh. Hal
ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abdin ketika mendefinisikan dain:[15]
ما وجب في الذمة بعقد أو استهلاك وما صار في ذمته
باستقراضه
Tanggungan wajib yang dipikul seseorang, yang disebabkan oleh adanya akad,
atau akibat dari menghabiskan/merusakkan (barang orang lain), atau karena
pinjaman.
Artinya, menurut pengertian di atas dain itu mencakup
segala jenis utang baik akibat dari suatu akad atau transaksi, seperti jual beli
yang dilakukan secara kredit, akad sewa yang upahnya diakhirkan dan lain-lain.
Atau akibat dari menghabiskan atau merusakkan barang orang, misalnya secara
tidak sengaja kita memecahkan kaca rumah orang, maka kaca yang pecah itu
menjadi tanggungan atau utang kita. Termasuk juga tanggungan karena akad qardh (utang
piutang).
Maka, dain lebih umum daripada qardh. Sebab dain mencakup
segala jenis utang karena sebab apapun. Sedangkan qardh adalah
utang yang memang terjadi karena akad pinjaman atau utang-piutang.
Sebagai contoh untuk membedakan dain dan qardh,
misalnya kita membeli sepeda motor secara kredit kepada sebuah perusahaan leasing, maka
selama kredit kita belum lunas, kita punya utang kepada perusahan tersebut.
Utang di sini dalam bahasa fiqihnya adalah dain, bukan qardh. Karena
utang di sini bukan akibat dari akad pinjaman, melainkan dari akad jual-beli.
Sedangkan jika kita meminjam uang kepada bank, misalnya. Utang itu bisa
disebut dain, bisa juga disebut qardh. Maka
semua qardh adalah dain, tetapi tidak
semua dain adalah qardh.
Jual Beli Kredit Vs. Riba
Di dalam sistem jual beli secara kredit, biasanya harga kredit lebih mahal
daripada harga tunai. Contohnya, harga tunai sepeda motor adalah Rp
10.000.000,-, sedangkan jika dicicil selama empat tahun harganya Rp
17.000.000,- .
Jika diperhatikan seolah-olah sistem jual beli kredit ini mirip dengan
sistem riba dalam pinjaman berbunga. Di mana semakin lama masa pelunasannya,
semakin bertambah pula jumlah yang harus dibayarkan. Sehingga dianggap jual beli
kredit termasuk akad ribawi.
Padahal, ada perbedaan mendasar di antara keduanya. Akad jual beli kredit
bukan akad qardh (utang-piutang), melainkan akad bai’ (jual
beli). Utang cicilan motor dalam akad jual beli kredit bukan utang qardh melainkan dain, sebab
akad awalnya adalah jual beli bukan akad utang-piutang.
Sehingga kalau pun ada selisih harga antara harga tunai dan harga kredit
tidak bisa dikatakan riba. Karena riba adalah tambahan atas utang (qardh).
Sedangkan akad jual beli kredit bukan akad qardh.
D. Hukum Taklifi
Secara prinsip, qardh hukumnya sunnah bagi si muqridh (pemberi
pinjaman), berdasarkan dalil-dalil anjuran untuk meringankan beban orang lain
yang sedang membutuhkan baik dia muslim ataupun non muslim, sebab berbuat baik
di dalam Islam tidak terbatas kepada yang sesama muslim saja, kepada orang
kafir pun kita dianjurkan untuk berbuat baik seperti sedekah, memberi makan dan
tentu saja meminjamkan harta (qardh).
Sedangkan bagi si muqhtaridh (peminjam) hukumnya boleh (mubah).[16] Berbeda dengan meminta-minta yang
mana hukumnya makruh. Sebab jika dikatakan makruh, nyatanya Nabi sendiri pernah
melakukannya, sebagaimana disebutkan di dalam hadits yang menceritakan bahwa
Nabi pernah meminjam unta kepada Abu Rafi’. Seandainya meminjam itu makruh,
tentu Nabi tidak akan melakukannya.
Ditambah lagi secara prinsip, meminjam berbeda dengan meminta, karena orang
yang meminjam tentu berniat untuk mengembalikan. Sedangkan orang yang meminta,
dari awal memang niatnya ingin mendapatkan ‘gratisan’.
Namun di luar itu al-qardhul hasan bisa menjadi wajib,
makruh atau bahkan haram. Menjadi wajib di mana misalkan si peminjam dalam
keadaan darurat dan sangat membutuhkan dan si pemberi pinjaman dalam keadaan
punya harta. Bisa makruh, jika si pemberi pinjaman tahu bahwa peminjam akan
memakai harta pinjamannya untuk hal-hal yang makruh. Dan bisa haram jika
peminjam menggunakan pinjamannya untuk hal-hal yang diharamkan dan si pemberi
pinjaman mengetahui hal tersebut.[17]
E. Rukun Qardh
Menurut jumhur ulama rukun qardh ada tiga, yaitu shigah,
dua orang yang melakukan akad (al-‘aqidan) dan objek akad (ma’qud
‘alaih).
a. Shigah
Shigah adalah kata-kata yang diucapkan oleh pihak-pihak akad yang menunjukkan
maksud dari akad tersebut. hal ini menjadi penting agar tidak terjadi kerancuan
dan kesalahpahaman di antara pihak-pihak yang melakukan akad.
Maka dalam akad qardh kata-kata yang diucapkan harus
menunjukkan pengertian qardh baik secara eksplisit, misalnya
secara tegas mengatakan saya pinjamkan kamu uang ini, ataupun secara tidak
langsung contohnya, saya berikan uang ini untukmu, tetapi nanti kamu harus
kembalikan. Walaupun memakai kata memberi, tetapi maksudnya adalah meminjamkan
karena ada kewajiban harus mengembalikan.
Jangan sampai kita meminjamkan harta kepada orang lain dengan menggunakan
kata-kata yang ambigu dan multi tafsir. Contohnya, seorang suami membeli mobil
baru, kemudian dia berkata kepada istrinya, “Kamu pakai saja!”, kata-kata
tersebut tidak jelas maksudnya, apakah memberi, atau hanya meminjamkan. Maka
hal ini harus dihindari, jangan sampai menjadi bom waktu yang berpotensi
menimbulkan konflik dan perselisihan di kemudian hari.
b. ‘Aqidan (Dua Pihak yang Melangsungkan Akad)
c. Ma’qud ‘Alaih (Objek Akad)
F. Qardh, Apakah Akad Tabarru’ atau Mu’awadhah?
Akad tabarru’ maksudnya adalah akad sosial atau non
komersial, di mana tidak terjadi pertukaran harta, melainkan hanya terjadi satu
arah seperti hibah, wakaf dan wasiat. Dalam akad tabarru’ yang
diharapkan bukanlah keuntungan di dunia, melainkan murni untuk mendapatkan pahala
dari Allah ﷻ.
Sedangkan mu’awadhah adalah akad pertukaran harta, di mana
biasanya si pelaku akad mengharapkan adanya manfaat atau keuntungan dari
transaksi tersebut (profit-oriented). seperti akad jual-beli, bagi
hasil, sewa-menyewa dan lain-lain.
Menariknya, akad qardh ini ternyata dipandang oleh para
ulama berada di antara dua jenis akad tersebut. qardh bukan
murni akad tabarru’ sebab ada kewajiban mengembalikan, berbeda
dengan hibah atau wasiat. Tetapi juga tidak bisa dikatakan murni akad mu’awadhah sebab
pada prinsipnya, qardh adalah pinjaman yang sifatnya sosial
tanpa mengharapkan adanya keuntungan seperti dalam jual-beli.
Ulama Hanafiyyah[18] dan Malikiyyah[19] berpendapat bahwa qardh pada
mulanya adalah akad tabarru’ namun pada akhirnya yaitu pada
saat pelunasan, menjadi akad mu’awadhah (تبرع
ابتداء معاوضة انتهاء).
G. Pengaruh Fluktuasi
Nilai Tukar Uang terhadap Utang
Mata uang yang kita gunakan sebagai alat transaksi pada hari ini, memang
agak dilematis ketika dikaitkan dengan aturan utang dalam fiqih muamalah,
apalagi jika utang itu berlangsung hingga bertahun-tahun lamanya.
Mengapa demikian? Kita tahu bahwa mata uang (currency) yang kita
gunakan selalu mengalami penurunan nilai tukar[20] dari waktu ke waktu atau yang biasa
disebut dengan inflasi. Hal tersebut menyebabkan uang semakin lama semakin
tidak berharga.
Ketika masih duduk di bangku sekolah dasar dulu, penulis masih ingat,
setiap pergi sekolah biasanya diberi jatah uang saku sekitar dua sampai lima
ratus rupiah. Uang itu kalau dipakai untuk jajan cireng atau cilok, biasanya
tidak habis, masih ada sisanya. Karena harga satu cireng atau cilok pada waktu
itu hanya lima puluh sampai seratus rupiah saja.
Bayangkan kalau anak sekolah jaman sekarang diberi uang saku dua ratus
rupiah. Jangankan untuk jajan, untuk bayar parkir saja tukang parkirnya pasti
menolak. Dipakai untuk beli gorengan pun, cuma dapat bungkus plastiknya saja.
Maka seandainya seseorang punya utang satu juta di tahun 1990 dan baru bisa
dilunasi di tahun 2017, berapa yang harus dia bayar? Dalam aturan fiqihnya,
utang tidak boleh ada tambahan, antara yang dipinjam dan yang dikembalikan,
jumlah nominalnya harus sama. Utang satu juta harus dibayar satu juta juga
tanpa memperhitungkan adanya inflasi. Jika tidak, maka utang itu menjadi riba
yang diharamkan.
Tetapi di sisi lain, hal tersebut dianggap tidak adil dan merugikan bagi si
pemberi pinjaman. Karena uang satu juta yang dipinjam dua puluh tujuh tahun
yang lalu, nilai tukarnya sudah jauh berbeda dengan uang satu juta pada saat
dia melunasi.
Oleh sebab itu, hal ini menjadi masalah yang serius dan menjadi perdebatan
panjang di kalangan para ulama, mengingat bahwa fenomena inflasi yang terjadi
pada mata uang yang kita gunakan sekarang, tidak terjadi atau paling tidak,
terjadi dengan kadar yang minimal pada dinar dan dirham yang digunakan sebagai
alat tukar di masa Rasulullah ﷺ.
Bangsa Arab di zaman Rasulullah ﷺ atau bahkan sebelum
Rasulullah hidup, menggunakan alat tukar berupa emas dan perak dalam bentuk
dinar dan dirham. Walaupun sebetulnya baik dinar maupun dirham keduanya bukan
produk bangsa Arab sendiri, melainkan diadopsi dari peradaban di sekitarnya.
Dinar berasal dari bangsa Romawi sedangkan dirham dari bangsa Persia.
Karena sifatnya yang mempunyai nilai asli yang melekat pada fisiknya (nilai
intrinsik), dinar dan dirham memiliki nilai yang relatif stabil. Walapun
terjadi fluktuasi, namun tidak terlalu signifikan. Berbeda halnya dengan uang
kertas yang kita gunakan hari ini, di mana fluktuasi nilainya bisa terjadi
dalam level yang sangat tinggi dan secara drastis apalagi pada saat krisis
moneter seperti yang terjadi pada tahun 1998.
Pada tahun tersebut nilai rupiah merosot secara drastis. Di pertengahan
tahun 1997 nilai rupiah masih Rp 2.300 per dollar AS, kemudian di awal tahun
1998 turun secara drastis menjadi Rp 17.000 per dollar AS. Itu artinya nilai
rupiah turun lebih dari tujuh kali lipat. Dengan kata lain, jika uang satu juta
rupiah di tahun 1997 sebelum krisis moneter bisa digunakan untuk membeli tujuh
unit komputer, maka setelah terjadi krisis untuk membeli satu unit pun belum
tentu cukup.
Dan jika itu dikaitkan dengan transaksi utang-piutang, tentu ini menjadi
masalah. Apakah tetap harus membayar dengan nominal yang sama dengan pada saat
meminjam, atau dengan nilai mata uang pada saat melunasi setelah mengalami
inflasi?
Jika memperhitungkan inflasi, maka uang pelunasannya akan lebih besar. Dan
ini yang dinamakan riba, di mana uang pelunasan lebih besar daripada uang yang
dipinjam.
a. Tambahan Pelunasan Utang Karena Inflasi Apakah Termasuk Riba?
Tetapi apakah betul tambahan pada pelunasan utang yang disebabkan inflasi
termasuk riba, atau ini adalah hal yang lain yang diperbolehkan dan tidak
termasuk riba? Bagaimana para ulama memandang fenomena ini?
Melacak pendapat ulama klasik dari empat mazhab mengenai hal ini memang
agak susah karena pada waktu mereka hidup belum menggunakan uang kertas seperti
halnya sekarang. Namun jika diteliti lebih jauh ternyata ada jenis uang yang
digunakan dahulu yang karakteristiknya hampir mirip dengan uang kertas. Di
antaranya adalah fulus.
Fulus adalah uang logam yang biasanya terbuat dari tembaga. Pada awal
kemunculannya fulus hanya dipakai sebagai uang secondary atau
pelengkap dari emas dan perak. Di mana pada awalnya fulus memiliki
nilai rendah dan hanya digunakan untuk membeli barang-barang murah yang tidak
mencapai nilai satu dinar atau dirham.
Lalu kemudian pemakaian fulus sebagai alat tukar berkembang pada tahun
784-791 H. Bahkan nilai fulus pernah mengalami kenaikan, dimana pada awalnya 1
dinar sama dengan 480 fulus, pada tahun 630 H nilai fulus naik
secara drastis sehingga 1 dinar sama dengan 18 fulus.[21]
Kesamaan karakter antara uang kertas dan fulus adalah
keduanya sama-sama memiliki nilai ekstrinsik yang lebih besar dari pada nilai
intrinsiknya. Di samping itu, keduanya juga mengalami fluktuasi nilai yang
signifikan. Sehingga untuk mengetahui sejauh mana pengaruh inflasi uang kertas
dalam utang-piutang, lebih dahulu kita telusuri bagaimana para ulama memandang
fenomena fluktuasi nilai tukar pada fulus yang berlaku saat
itu.
b. Pendapat para ulama tentang pengaruh naik-turunnya nilai tukar uang
terhadap utang
Di dalam kitab-kitab fiqihnya para ulama membahas hal ini dengan
istilah غلاء ورخص النقود (naik-turunnya
nilai tukar uang). Dalam hal ini para ulama membedakan antara uang yang terbuat
dari emas dan perak atau yang sering disebut dengan naqdain dengan
uang yang terbuat dari logam lain seperti tembaga atau yang disebut
dengan fulus.
1. Uang Emas dan Perak (النقود الخلقية)
Pada jenis uang yang pertama, yaitu yang terbuat dari emas dan perak (naqdain)
para ulama sepakat bahwa orang yang berutang wajib mengembalikan dengan nominal
yang sama pada saat meminjam. Tidak boleh ada tambahan. Dengan mengabaikan
naik-turunnya nilai tukar uang tersebut.
Maka, uang yang terbuat dari emas dan perak kalau pun terjadi kenaikan atau
penurunan nilai, hal itu tidak berpengaruh apapun pada transaksi utang-piutang.
Jumlah uang emas atau perak yang dipinjam harus sama jumlahnya dengan yang
dibayarkan saat melunasi. Satu dinar dibayar satu dinar, satu dirham dibayar
satu dirham. Tidak boleh lebih.
2. Uang selain Emas dan Perak (النقود
الاصطلاحية)
Namun berbeda halnya jika berbicara mengenai uang selain yang terbuat dari
emas dan perak yang tidak mempunyai nilai intrinsik (النقود
الاصطلاحية). Melainkan mempunyai nilai karena kesepakatan masyarakat atau
pengakuan dari pemerintah sebagai alat tukar seperti mata uang yang kita
gunakan sekarang.
Dalam hal ini para ulama terbagi ke dalam tiga pendapat tentang apakah yang
wajib dibayar oleh peminjam ketika uang itu mengalami kenaikan atau penurunan
nilai tukar.
a) Jumhur Ulama
Mayoritas ulama di antaranya Abu Hanifah[22], pendapat masyhur dari
malikiyyah[23], syafi’iyyah[24] dan hanabilah[25] berpendapat bahwa naik-turunnya
nilai tukar uang selain emas dan perak (fulus) tidak berpengaruh dalam
pelunasan utang. Uang yang dibayar saat pelunasan harus sama jumlahnya dengan
uang pada saat dipinjam tanpa memperhitungkan naik-turunnya nilai tukar uang tersebut.
Jumhur mendasari pendapatnya ini dengan alasan bahwa transakasi utang (qardh)
yang sah adalah jika pengembaliannya dalam bentuk barang yang sejenis dan
senilai (mitsl) dengan barang yang diutangkan. Sehingga barang
yang diutangkan itu harus jelas sifat dan ukurannya agar bisa dikembalikan
dengan barang yang memiliki sifat dan ukuran yang sama. Ketentuan ini berlaku
agar transaksi utang-piutang (qardh) tidak memenuhi unsur riba
fadhl yang diharamkan.
Oleh karena itu kemudian jumhur menganggap bahwa uang itu termasuk ke dalam
barang mitsliyyat yang harus dikembalikan dengan jumlah yang
sama dengan pada saat diutangkan terlepas dari naik-turunnya nilai tukar uang
tersebut. Sama halnya dengan barang-barang mitsliyyat yang
lain seperti beras, telur dan lain-lain.
Jika seseorang misalnya berhutang beras 1 kg pada saat harganya Rp 10.000,
kemudian dikembalikan dua bulan kemudian di mana harganya sudah naik menjadi Rp
12.000, maka dia tetap wajib mengembalikan beras dengan berat yang sama dengan
pada saat berutang yaitu 1 kg. Walapun pada saat pengembalian, harganya sudah
mengalami kenaikan. Demikian halnya juga berlaku pada uang. Tidak boleh ada
perbedaan jumlah antara yang diutangkan dengan yang dibayarkan, walaupun sudah
mengalami inflasi.
Alasan kedua, menurut jumhur ulama turunnya nilai mata uang akibat inflasi
tidak dianggap sebagai kerugian yang harus ditanggung oleh yang berutang.
Melainkan hal tersebut terjadi secara alami tanpa kuasa dari kedua belah pihak
baik yang berutang maupun yang mengutangkan. Maka orang yang mengutangkan
uangnya kepada orang lain harus siap menanggung resiko jika di kemudian waktu
uang tersebut mengalami inflasi sehingga nilai tukarnya menjadi turun.
b) Abu Yusuf
Pendapat Abu Yusuf, salah seorang murid Imam Abu Hanifah rupanya
bertolak-belakang dengan jumhur termasuk gurunya sendiri. Dia memandang bahwa
jika terjadi naik-turun pada nilai tukar uang selain emas dan perak (fulus),
maka yang wajib dibayarkan ketika berutang adalah nilai uang pada saat utang
itu dilunasi. Jika nilai uangnya turun (inflasi) maka secara otomatis
pelunasannya menjadi lebih besar. Sebaliknya, jika nilai uangnya naik
(deflasi), pelunasannya menjadi lebih kecil.
Sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Abdin dalam Majmu’ah ar-Rasail-nya[26]:
وفي المنتقى إذا غلت الفلوس قبل القبض أو رخصت قال أبو
يوسف: قولي وقول أبي حنيفة في ذلك سواء وليس له غيرها، ثم رجع أبو يوسف وقال عليه
قيمتها من الدراهم يوم وقع البيع ويوم وقع القبض
“Di dalam al-Muntaqa, ketika nilai fulus itu naik atau turun sebelum serah
terima (pelunasan utang), Abu Yusuf berkata, “Pendapatku dengan pendapat Abu
Hanifah dalam hal ini sama, yaitu orang yang berutang tidak wajib membayar kecuali
sejumlah uang yang dia pinjam.” Kemudian Abu Yusuf merubah pendapatnya dan
mengatakan bahwa orang yang berhutang itu wajib membayar pelunasannya sesuai
dengan nilai fulus pada saat pembayaran dalam akad jual beli atau pada saat
pelunasan utang.”
Sebagai contoh, seseorang meminjam uang Rp 1.000.000,- dengan kesepakatan
akan dilunasi tahun depan. Tapi kemudian sesaat sebelum jatuh tempo terjadi
krisis moneter yang menyebabkan inflasi sehingga nilai mata uang turun tiga
kali lipat. Maka, berdasarkan pendapat Abu Yusuf, orang itu harus membayar
utangnya tiga kali lipat lebih besar sesuai dengan tingkat inflasi yang terjadi
yaitu senilai Rp 3.000.000,-.
Contoh lain, misalkan seseorang sedang bangun rumah, kemudian dia membeli
semen ke toko tetangganya sebanyak 50 sak senilai Rp 500.000,-. pada saat itu,
harga semen Rp 10.000,-/sak. Tetapi, karena budget-nya kurang, dia
tidak bisa membayar semen tersebut secara tunai. Dia berjanji akan membayarnya
bulan depan. Namun ternyata di bulan berikutnya, sebelum jatuh tempo, harga
semen naik menjadi Rp 20.000,-/sak. Maka, berdasarkan pendapat Abu Yusuf utang
yang wajib dia bayar adalah seharga semen pada saat melunasi yaitu sejumlah Rp
1.000.000,- (50 sak × Rp 20.000,-).
c) Pendapat Syadz dari Malikiyyah
Sedangkan pendapat ketiga, yaitu pendapat yang tidak masyhur dari
kalangan Malikiyyah membedakan antara fluktuasi yang terjadi dalam level yang
tinggi dengan naik-turun nilai tukar uang yang sifatnya rendah. Jika kenaikan
atau penurunannya dalam tingkat tinggi, maka hal itu berpengaruh pada pelunasan
utang. Sehingga yang dibayar adalah sejumlah uang dengan nilai tukar pada waktu
pelunasan. Sedangkan jika naik-turunnya sedikit, dianggap tidak berpengaruh,
sehingga tetap yang wajib dibayarkan adalah nominal yang sama dengan nominal
uang yang dipinjam.[27]
c. Ganti Rugi Karena Inflasi (Ta’widh) Vs. Riba
Yang harus kita pahami dari pendapat Abu Yusuf dan pendapat syadz dari
Malikiyyah yang membolehkan tambahan pelunasan utang karena sebab inflasi
adalah bahwa prinsip tambahan ini berbeda dengan tambahan yang sifatnya riba.
Tambahan pelunasan utang akibat inflasi, dianggap sebagai ganti rugi atas
turunnya nilai tukar uang yang diutangkan karena tergerus oleh inflasi.
Yang mana, ganti rugi tersebut dibebankan kepada orang yang berutang. Sebab,
orang berutang dalam hal ini berlaku sebagai yad dhaman atau
pihak yang wajib menjamin harta yang dipinjamnya kembali ke tangan pemberi
pinjaman dengan nilai yang sama persis dengan pada saat harta itu dipinjam,
bagaimanapun keadaanya.
Kemudian, uang yang sudah tergerus nilai tukarnya oleh inflasi dianggap
sudah tidak sepadan (mitsl) dengan uang pada saat diutangkan. Untuk itu,
ketika melunasi, uang yang dibayarkan haruslah memperhitungkan tingkat inflasi
yang terjadi, agar uang yang dipinjam dan uang pelunasan memiliki nilai yang
sama. Dan hal ini dianggap lebih adil bagi kedua belah pihak.
Prinsip ganti rugi ini, berbeda dengan tambahan yang bersifat riba. Sebab
tambahan akibat inflasi tidak diperjanjikan di awal dengan nilai tambahan yang
ditentukan. Melainkan tambahan tersebut dihitung pada saat melunasi, dengan
menghitung tingkat inflasi yang terjadi pada saat itu. Jika inflasi itu
terjadi, maka dihitung berapa tingkat inflasinya. Tetapi jika tidak terjadi,
maka tidak ada tambahan yang dibayarkan. Berbeda halnya dengan riba, di mana
tambahannya diperjanjikan di awal dengan jumlah tertentu yang disepakati.
Maka jika ada orang yang menganggap dan memahami bahwa pendapat Abu Yusuf
dan pendapat syadz dari Malikiyyah ini membolehkan riba, tentu
salah kaprah. Sebab prinsip riba yang diharamkan dengan ganti rugi karena
adanya inflasi konsepnya berbeda, sebagaimana sudah dijelaskan di atas.
Wallahua'lam
Ust Muhammad Abdul Wahab Lc.MA
[2] Muhammad Amin
al-Kurdi, Tanwir al-Abshar bi Hamisy Radd al-Muhtar ‘ala al-Dur
al-Mukhtar li Ibni Abidin, hal. 286/5.
[8] Sunan Ibnu
Majah, Kitab ash-shadaqat, bab al-qardh, hadits No. 2431,
Al-Buwaishiri mengatakan hadits ini sanadnya dhaif (al-Buwaishiri, Zawaid
Ibnu Majah, bab al-qardh, hadits No. 809).
[10] Shahih
Bukhari, kitab al-adzan no. 149 dan kitab al-istiqradh no.
2436, Shahih Muslim, kitab al-masajid wa mawadhi’ as-shalah no.
1353.
[11] Musnad Ahmad hal.
629/3, hadits ini di-hasan-kan oleh Imam Nawawi (al-khulashah, hal.
931/2) dan Ibnu Muflih (al-Adab al-Syar’iyyah, hal. 104/1).
[13] Musnad Ahmad (II/440,
475, 508); Sunan at-Tirmidzi (no. 1078-1079); Sunan
ad-Darimi (II/262); Sunan Ibnu Mâjah (no. 2413).
[16] Ulaisy, Minahul
Jalil, hal. 401/5, Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj, hal.
220/4, Ibnu Qudamah, al-Mughni, hal. 429/6.
[20] Nilai tukar uang
adalah kemampuan uang untuk dapat ditukarkan dengan suatu barang (daya beli
uang). Misalnya uang Rp. 500,00 hanya dapat ditukarkan dengan sebuah permen,
sedangkan Rp. 10.000,00 dapat ditukarkan dengan semangkuk bakso.
[25] Lihat: Kasysyaf
al-Qina’ ‘an Matn al-Iqna’, hal. 315/3; Al-Mughni ma’a asy-Syarh
al-Kabir, hal. 365/4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar