Kamis, 21 Juni 2018

Analogi ilmu agama islam dengan dokter spesialis.

Assalamu'alaikum warrohmatullahi wabarokaatuh

Bismillahirromaanirrohiim...

Maraknya ghirah mempelajari ilmu agama islam, membuat banyak org belajar / hadir ke banyak majelis ilmu. Dari majelis yang ada di mesjid2, hingga majelis dunia maya, alias menonton ceramah di internet. Dari mendengar hingga membaca buku, maupun artikel islam.

Apakah salah belajar dengan metode seperti itu? Tentu tidak, selama nara sumber nya adalah seorang yang tepat dan ahli dalam bidangnya.

Ibaratnya kurang lebih seperti ini.

Ilmu agama islam itu dalam dunia “perkuliahan agama islam” dibagi menjadi beberapa fakultas/jurusan. Dari mulai aqidah, filsafat, hadits, tafsir, sejarah dll.

Ibarat dalam kuliah kedokteran, seorang mahasiswa akan memilih kedokteran umum, atau kedokteran gigi dll. Setelah lulus, bila ingin mendalami/mengambil spesialis, bisa memilih ke jenjang berikutnya, misalnya penyakit dalam, kemudian dilanjut ke spesialis seputar pencernaan dst.

Bila kita sedang sakit, maka bila sakitnya “biasa saja”, atau umum, maka kita ke dokter umum. Namun bila sakitnya khusus spt sakit mata, maka pastinya kita ke dokter mata.

Hampir tidak mungkin, kejadian sakit mata (misal ada pembengkakan di selaput mata), kita pergi ke dokter umum untuk minta obat. Karena selain akan “bolak balik”, kemungkinan dirujuk ke dokter mata, atau malahan obat yg dikasih tidak akan manjur.

Begitu pula dalam ilmu agama. Seringkali kita “menyamaratakan” semua Ustadz. Sering kita tidak “melihat/menanyakan” latar belakang pendidikan Ustadz kita. Apakah jurusan aqidah, atau tafsir, atau Hadits dll.

Misalnya, seorang Ustadz S1 di bidang aqidah, kemudian dia berceramah tentang materi fiqh sholat, setelah selesai ada jamaah bertanya terkait masalah thoharoh. sang Ustadz dengan cepat dan mudahnya langsung menjawab pertanyaan tersebut, padahal bidang keahlian dia adalah aqidah, bukan fiqh.

Tentu saja masalah ini tidak boleh “didiamkan” saja. Kalaupun sang Ustadz mengutip jawaban dari ulama negara lain, harus diperhatikan, kadangkala fatwa atas pertanyaan seorang jamaah negara luar, tidaklah sama dengan fatwa /jawaban dari jamaah dalam negeri, karena latar belakang/lingkungan suatu daerah tidaklah sama.

Bila kembali lagi kita analogikan dengan seorang dokter, kita tentunya tidak mau bila kita sakit mata, seharusnya dikasih obat mata (obat tetes mata), tapi karena kita berobat dokter umum, malah dikasih antibiotik sakit perut.

Oleh karenanya, sangat dianjurkan, kita sebagai pencari ilmu, cukup mengenal siapa guru/Ustadz kita. Apakah dia mengambil jurusan aqidah, atau filsafat, atau Hadits, atau tafsir dll.

Jangan paksa atau kita tanyakan permasalahan Hadits atau tafsir ayat hukum, kepada seorang Ustadz yang mengambil jurusan aqidah. Karena selain jawabannya belum tentu benar, maka kita akan membebani Ustadz tsb dgn pertanyaan yg bukan keahliannya.

Wallahua’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar