Minggu, 01 September 2013

Wajib Bertaqlid pada Ulama



By : Isnan Ansory, M. Ag -

Kira-kira apa yang dipahami seorang yang awam tatkala membaca terjemahan ayat-ayat berikut, khususnya pada potongan ayat berikut ini :

“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah. Padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.” ” (QS. Al An’am: 114). 

Bisa jadi seorang awam yang membaca beberapa ayat di atas akan menyimpulkan bahwa, dasar hukum yang berlaku dalam Islam hanyalah Al-Quran semata sebagaimana pemahaman orang-orang yang mengingkari sunnah Nabi SAW. 

“Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik.  (QS. An Nahl: 67). 


Bisa jadi ia juga akan menyimpulkan bahwa khamer atau minuman yang memambukkan hukumnya adalah halal bahkan merupakan salah satu rezeki yang baik dari Allah. 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda (QS. Ali Imron: 130). 

Bisa juga dia akan menyimpulkan bahwa memakan harta yang dihasilkan dari proses yang riba tidaklah haram jika sedikit dan tidak berlipat ganda. 

Padahal, bagi yang sedikit banyak membaca pendapat-pendapat ulama terkait ayat-ayat di atas, dapat memastikan bahwa kesimpulan-kesimpulan di atas adalah keliru. 

A. Instrumen Dalam Memahami Al-Quran

Dalam memahami ayat-ayat Al Qur’an, dibutuhkan banyak instrumen, yaitu berbagai ilmu penunjang. Maksudnya agar kita mendapatkan pemahaman yang benar, sebagaimana diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya. 

Di antaranya adalah kaedah-kaedah tafsir Al-Quran, asbabunnuzul, ilmu tentang as-saabiq dan al-laahiq, an-nasikh dan al-mansukh, dalalah al-alfadz, al-manthuq dan al-mafhum, al-‘am dan al-khas, al-muqayyad dan al-muthlaq, musthalah al-hadits dan lainnya. 

Sebagai satu contoh, terkait ayat ke-114 dari surat Al-An'am. Ayat ini seringkali dipakai (dicomot) oleh orang-orang yang mengingkari sunnah Nabi SAW untuk melegitimasi keyakinan mereka terkait sumber hukum dalam Islam. Dimana mereka mengatakan bahwa hanya Al-Quran sajalah yang dapat menjadi sumber atau standar hukum dalam Islam. Sedangkan sunnah dan sumber lainnya tidak diperlukan. Alasannya, karena Al-Quran dianggap telah merinci (mufashshal) semua masalah dan tidak memerlukan rincian lainnya. 

Padahal jika mereka ingin jujur dan konsisten dalam keyakinannya, mereka pasti akan pula menjadikan Sunnah Nabi sebagai dasar hukum yang juga dilegitimasi oleh Allah SWT dalam banyak ayat Al Qur’an, sebagaimana pula pada ijma’ dan qiyas. 

Atau jika mereka menggunakan konsep as-saabiq dan al-laahiq dalam membaca ayat di atas, pastilah kesimpulan mereka bahwa Al Qur’an telah merinci setiap masalah agama bahkan dunia akan terbantahkan dengan sendirinya. 

Allah SWT berfirman: 

“Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. 

Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. 

Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan) kerjakan. 

Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu  (QS. Al An’am: 111-114). 

Berdasarkan konsep as-saabiq (membaca korelasi sebuah ayat dengan ayat sebelumnya), kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Al-Quran yang Allah turunkan dengan terperinci adalah terkait dengan masalah ukhrawi atau masalah ghaib. 

Sedangkan untuk masalah-masalah hukum seperti shalat, zakat, haji dan lainnya, Allah tidak menurunkan penjelasannya secara rinci. Allah menugaskan rasul-Nya untuk menjelaskan rincian hukum-hukum tersebut yang selanjutnya diteruskan oleh ulama-ulama yang mewarisi ilmu para rasul. 

Allah SWT berfirman: 

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (An Nahl: 44). 

“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (An Nahl: 64). 

Di samping itu, tidaklah mungkin terjadi kontradiksi/pertentangan antara satu ayat dengan ayat lainnya, sebagaimana ketetapan Allah SWT, “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An Nisa: 82). 

Dalam konteks memahami nash-nash Al-Quran dan Al-Hadits inilah, akhirnya para ulama menetapkan bahwa wajib seorang yang awam, -yaitu orang-orang yang tidak memiliki kompetensi sebagai mujtahid serta tidak memiliki ilmu-ilmu atau perangkat-perangkat untuk berijtihad-, untuk bertanya dan mengikuti pendapat-pendapat ulama yang mumpuni dan diakui. Atau dalam literatur fiqih disebut dengan taqlid. [1]  

Bukankah dalam perkara dunia saja hal ini merupakan suatu yang lumrah terjadi. Seorang yang sakit umumnya tanpa berpikir panjang akan menuruti saran-saran dokter untuk kesembuhannya. Hal yang sama pun berlaku dalam masalah agama, bahkan dirasa lebih urgen, sebab dimensi agama mencakup dunia dan akhirat. 

Yang tentunya dibutuhkan kehati-hatian yang lebih agar amalan yang dilakukan sesuai dengan koridor yang diinginkan oleh Allah dan Rasulnya. 

B. Pengertian Taqlid

Secara bahasa kata taqlid (التَّقْلِيدُ) merupakan mashdar dari kata qallada (قَلَّدَ) yang berarti mengikatkan sesuatu dileher seseorang. [2]. 

Sedangkan secara istilah, setidaknya terdapat dua definisi berbeda terkait pengertian taqlid. 

1. Pengertian Pertama

Definisi taqlid yang diambil oleh mayoritas ulama ushul fiqih, yaitu:
قَبُول قَوْل الْغَيْرِ مِنْ غَيْرِ حُجَّةٍ

“Menerima/mengikuti perkataan orang lain yang (perkataannya) tidak bersifat hujjah.”

Seperti seorang yang awam mengikuti perkataan seorang mujtahid dalam beragama. Sedangkan jika perkataan yang diambil merupakan perkataan Rasulullah SAW atau perkataan ulama yang telah menjadi ijma’ maka ia bukanlah sebuah taqlid. Sebab perkataan-perkataan tersebut merupakan hujjah.[3] 

2. Pengertian Kedua 

الأْخْذُ بِقَوْل الْغَيْرِ مَعَ عدم مَعْرِفَةِ دَلِيلِهِ

“Mengambil perkataan/pendapat orang lain tanpa mengetahui dasar/dalil dari perkataan tersebut.” 

Seperti layaknya seorang awam atau anak kecil yang baru belajar tata cara shalat tanpa ia mengetahui dalil-dalil dari amalan yang ia lakukan. 

Definisi ini dinyatakan oleh beberapa ulama seperti imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dan imam Asy Syawkani untuk menetapkan tingkatan ittiba’ antara tingkatan ijtihad dan taqlid. Di mana mereka mengatakan bahwa ittiba’ adalah mengambil pendapat orang lain sembari ia tahu dalil yang mendasari pendapat ini.[4] 

Hanya saja menurut penulis definisi yang kedua ini mengandung kelemahan dari beberapa sisi: 

Pertama : Pendapat ini diambil oleh minoritas ulama, bahkan, sebagian ulama menyatakan bahwa telah terjadi ijma’ di antara ulama bahwa manusia terbagi dua; mujtahid dan muqallid. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Rusyd, Abu Hamid Al Ghazali dan imam Al Harawi. 

Kedua : Terlepas seseorang mengatahui dalil yang mendasari pendapat seorang mujtahid atau tidak, maka ia pada ada dasarnya tetaplah muqallid (bertaqlid) kepada mujtahid tersebut. 

Sebab meskipun ia tahu dalil pendapatnya, tetaplah ia masih tidak mampu untuk menetapkan sebuah dalil atas sebuah masalah yang dihadapi kecuali jika yang bersangkutan telah mencapai derajat mujtahid yang dibuktikan dengan pengetahuannya yang mendalam terhadap perangkat-perangkat ijtihad sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Al Ghazali ketika menjelaskan tentang syarat-syarat mujtahid : 

“Harus mengetahui lengkap dalil-dalil syar’i (madarik asy syar’) yaitu dengan mengetahui dalil-dalil yang membuahkan hukum dan mengetahui tata cara membuahkannya.

Adapun dalil yang membuahkan hukum ada empat: (1) Al Qur’an (2) As Sunnah (3) Al Ijma’ (4) Akal. Sedangkan tata cara membuahkannya dengan empat ilmu, dua ilmu pokok yaitu (1) ilmu tentang cara menetapkan dalil atas sebuah masalah (ushul fiqih) (2) ilmu bahasa Arab dan nahwu, dan dua ilmu penyempurna yaitu (1) nasikh mansukh (2) ilmu musthalah hadits.” [5]

Ketiga : Atau bisa pula dua definisi di atas disingkronkan (al jam’u wa at tawfiq) dengan menyimpulkan bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai mujtahid pada masalah yang ia dapat berijtihad di dalamnya dan ia disebut pula sebagai seorang muqallid dalam masalah yang lain. Dan ini adalah maksud dari ucapan ulama, “Sesungguhnya baik ijtihad maupun taqlid bisa saja terbagi-bagi”. [6] 

Keempat : Selain itu, jika merujuk kepada definisi pertama bahwa taqlid adalah mengikuti ucapan ulama yang pada dasarnya bukan merupakan hujjah, akan tetapi kita tahu bahwa ulama yang boleh diikuti ucapannya adalah ulama yang mempunyai kapabilitas berijtihad dan kemampuan memamahi dalil-dalil Al Qur’an dan As Sunnah secara luas, seperti empat imam mazhab; Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Dan kita ber-husnu dzan (berprasangka baik) kepada mereka bahwa pastilah pendapat-pendapat mereka didasari atas sebuah dalil.
Syaikh Waliyullah Ad Dahlawi berkata, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya mengambil mazhab 4 (dalam menjalankan agama) adalah maslahat yang besar dan berpaling darinya secara keseluruhan adalah bencana yang besar.” [7] 

أن هذه المذاهب الأربعة المدونة قد اجتمعت الأمة أو من يعتد به منها على جواز تقليدها إلى يومنا هذا وفي ذلك من المصالح ما لا يخفى لا سيما في هذه الأيام التي قصرت فيها الهمم وأشربت النفوس الهوى وأعجب كل ذي رأي برأيه

“Sesungguhnya empat mazhab yang telah terkodifikasi ini telah disepakati oleh umat akan bolehnya bertaqlid kepada mereka hingga hari ini. sebab di dalamnya terdapat kemaslahatan yang tidak diragukan lagi, apalagi di saat banyak orang kehilangan semangat (dalam menuntut ilmu), takluknya jiwa oleh hawa nafsu, dan setiap diri merasa ‘ujub (benar sendiri) dengan pendapatnya.” 

C. Dalil-dalil Wajibnya Bertaqlid kepada Ulama

Dalam kitabnya, Alla Mazhabiyyah, DR. Said Ramadhan Al Buthi menyebutkan sejumlah dalil atas wajibnya seorang yang awam bertaqlid kepada pendapat ulama yang mumpuni. 

1. Firman Allah SWT:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nahl: 43). 

Dan sudah menjadi konsensus ulama bahwa ayat tersebut memerintahkan bagi orang yang tidak mengetahui hukum dan dalil sebuah masalah untuk ittiba’ (taqlid) kepada orang yang tahu. Dan mayoritas ulama ushul fiqih berpendapat bahwa ayat tersebut adalah dalil pokok pertama tentang kewajiban orang awam untuk mengikuti orang alim yang mujtahid. 

2.  Ijma' Ulama

Sudah menjadi kesepakatan dan tanpa ada khilaf, bahwa shahabat-shahabat Rasulullah SAW berbeda-beda taraf tingkatan keilmuannya, dan tidak semuanya ahli fatwa (mujtahid).
Dan sudah jelas bahwa agama diambil dari semua shahabat, tetapi mereka ada yang mempunyai kapasitas berijtihad dan itu relatif sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah semua shahabat, serta di antaranya juga ada mustafti atau muqallid dan shahabat yang termasuk golongan ini berjumlah sangat banyak. 

Dan seorang shahabat yang menjadi mufti tidak setiap menyebutkan hukum selalu memaparkan dalilnya kepada si penanya. 

Di samping itu, Rasulullah SAW juga mengutus seorang faqih dari kalangan shahabat ke pelbagai daerah yang penduduknya tidak tahu menahu tentang hukum Islam kecuali akidah Islam dan keyakinan rukun-rukunnya saja. Dan kemudian mereka mengikuti apa saja yang difatwakan oleh shahabat tersebut dan mendorong mereka mengikutinya dalam praktik amaliyyah, ibadah, muamalah dan macam ragam urusan halal dan haram. 

Imam Ghazali dalam Al-Mustashfa bab taqlid dan meminta fatwa, mengambil dalil akan wajibnya orang awam bertaqlid, ia berkata, “Aku mengambil dalil atas hal tersebut dengan dua jalan, salah satunya adalah ijma’ shahabat. Mereka memberikan fatwa kepada orang awam dan tidak memerintahkan mereka supaya menggapai derajat ijtihad. Dan hal itu sudah maklum secara pasti serta mutawatir dari ulama dan yang awam dari mereka.”[8]

Al Amidi dalam Al Ihkam berkata, “Adapun dalil ijma’ nya, orang-orang awam di masa shahabat dan tabi’in, sebelum munculnya orang-orang yang menyelisihi, selalu meminta fatwa kepada para mujtahid dan mengikutinya dalam kaitan hukum-hukum syariat. Ulama yang mujtahid tersebut bergegas menjawab hukum tanpa menyebutkan dalilnya, dan faktanya shahabat tidak ingkar dan tidak melarang. Hal itu menjadi ijma’ akan bolehnya orang awam mengikuti mujtahid secara mutlak.” (Al Ihkam fi Ushul Al Ahkam, 2/171). 

3. Dalil Akal

Orang yang bukan ahli ijtihad apabila menemui suatu masalah fiqih, pilihannya hanya ada dua; antara berfikir dan berijtihad sendiri sembari mencari dalil yang dapat menjawabnya atau bertaqlid mengikuti pendapat mujtahid. Jika memilih yang awal, maka itu sangat tidak mungkin karena ia harus menggunakan semua waktunya untuk mencari, berfikir dan berijtihad dengan dalil yang ada untuk menjawab masalahnya, dan mempelajari perangkat-perangkat ijtihad yang akan memakan waktu lama, sehingga pekerjaan dan profesi maisyah pastilah akan terbengkalai. Klimaksnya, dunia ini akan rusak. Dan pilihan terakhirlah yang ditempuh, yaitu taqlid.[9]

Sedangkan terkait perkataan emapat imam mazhab yang melarang orang lain bertaqlid kepada mereka adalah sebagaimana yang diterangkan oleh ulama-ulama bahwa khitab larangan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang tidak mampu berijtihad dari Al Qur’an dan Al Hadits, dan bukan bagi yang tidak mampu, karena bagi mereka wajib bertaqlid agar tidak tersesat dalam menjalankan agama. [10] 

Wallahua'lam bis asshawab

Catatan Kaki :

[1] Lihat: Ibnu Rusyd Al Hafiid, Adh Dharuri fie Ushul Al Fiqh 1/94, Abu Hamid Al Ghazali, Al Mustahasfa, h. 382-383.
[2] Raudhah An Nadzir 2/449
[3] Syarh Musallam Ats Tsubut 2/400, Raudhah An Nadzir 2/450
[4] I’lam Al Muwaqqi’in 4/192, 236
[5] Al Musthashfa 1/342-343.
[6] Said Ramadhan Al Buthi, Alla Mazhabiyyah Akhtar Bid’atin Tuhaddid Asy Syariah Al Islamiyyah
[7] ‘Iqd Al Jid fi Ahkam Al Ijtihad wa At Taqlid h. 20). Dan beliau berkata dalam kitabnya, Al Inshaf fi Bayan Asbab Al Ikhtilaf, (h. 97
[8] Al Mustashfa 2/385
[9] Alla Mazhabiyyah: Akhar bid’atin Tuhaddid Asy Syariah Al Islamiyyah, h. 70-73, Takhrij Ahadits Al Luma’ h. 348.
[10] Al-Mizan Al-Kubra 1/62

Mata Kaki harus Menempel?



By : Hanif Luthfi, S.Sy.

Bukan hal yang aneh kalau sebelum shalat, pak imam mengingatkan para jamaah sambil memeriksa barisan, ”Mohon shafnya dirapat dan diluruskan”. 

Tapi pernahkan berdiri di samping Anda jamaah yang suka memepet-mepetkan kakinya ke kaki Anda? Bahkan hampir menginjak anda atau kaki jamaah lain? 

Kalau Anda pernah mengalaminya, dan agak merasa risih, terus terang Penulis juga pernah mengalaminya. Dan ternyata tidak sedikit mereka yang mengalami dipepet-pepet seperti itu.
Sampai ada seorang jamaah di satu masjid curhat kepada penulis,”Pokoknya saya tidak mau shalat di samping dia!”, katanya. ”Kenapa?” tanya Penulis. ”Kakinya itu lho, masak saya dipepet-pepet terus sampai mau diinjak. Shalat saya malah jadi tidak khusyu’.” 

Beberapa hari yang lalu, Penulis ditanya seseorang tentang hadits keharusan  saling menempelnya mata kaki, sebagai bentuk kesempurnaan shaf. Katanya haditsnya shahih diriwyatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya. Dan ternyata memang hadits inilah yang disinyalir menjadi pijakan teman-teman yang beranggapan bahwa kaki harus benar-benar nempel dengan kaki jamaah lain. 

Masalah ini mari kita bahas dengan kepala dingin, dengan merujuk ke kitab-kitab para ulama yang muktamad. Mari kita telusuri dan dengan seksama apa komentar para ulama dalam hal ini.  

A. Nash Hadits 

Tidak keliru kalau dikatakan bahwa keharusan menempel itu berdasarkan hadits-hadits yang shahih, bahkan diriwayatkan oleh Bukhari. Dan jumlahnya bukan hanya satu, tetapi cukup banyak kita temukan. 

Namun kalau kita teliti di hulunya, rata-rata semuanya kembali kepada dua di level  shahabat; yaitu riwayat Anas bin Malik dan An-Nu’man bin Basyir radhiyallahuanhuma

Sampai disini, kita semua sepakat bahwa urusan menempel ini memang ada haditsnya dan statusnya adalah hadits yang shahih. 

Tetapi apakah kalau suatu hadits itu shahih, lantas bisa langsung menjadi dipastikan hukumnya jadi wajib? Dan apakah berdosa kalau tidak diamalkan? 

Jawabnya tentu tidak sekedar bilang iya. Kita perlu lihat dulu apa dan bagaimana penjelasan dari para fuqaha dan ulama tentang urusan pengertian hadits ini. 

Sebab kajian yang ilmiyah adalah kajian yang berciri hati-hati dan tidak terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan. Mari kita bahas dahulu analisa para ulama. 

1. Hadits Riwayat Anas bin Malik 

حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ»

Dari Anas bin Malik dari Nabi Muhammad shallaAllah alaih wasallam: ”Tegakkanlah shaf kalian, karena saya melihat kalian dari belakang pundakku.” ada diantara kami orang yang menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan telapak kaki dengan telapak kakinya.(HR. Al-Bukhari)

Al-Imam Al-Bukhari mencantumkan teks hadits ini dalam kitab As-Shahih, pada Bab Merapatkan Pundak Dengan Pundak dan Telapak Kaki dengan Telapak Kaki, hal. 1/146.  

Catatan

Riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu menggunakan redaksi [القدم], sehingga Imam Bukhari pun mengawali hadits dengan judul merapatkan pundak dengan pundak dan telapak kaki dengan telapak kaki. 

2. Hadits Riwayat an-Nu’man bin Basyir 

وَقَالَ النُّعْمَانُ بْنُ بَشِيرٍ: رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ

An-Nu’man bin Basyir berkata: Saya melihat laki-laki diantara kami ada yang menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya(HR. Bukhari)

Hadits kedua ini juga diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab As-Shshahih, pada bab yang sama dengan hadits di atas.

Catatan

Hadits kedua ini mu’allaq dalam shahih Bukhari, hadits ini lengkapnya adalah: 

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ, حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا, عَنْ أَبِي الْقَاسِمِ الْجَدَلِيِّ, قَالَ أَبِي: وحَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ, أَخْبَرَنَا زَكَرِيَّا, عَنْ حُسَيْنِ بْنِ الْحَارِثِ أَبِي الْقَاسِمِ, أَنَّهُ سَمِعَ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ, قَالَ: أَقْبَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَجْهِهِ عَلَى النَّاسِ, فَقَالَ: " أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ, ثَلَاثًا وَاللهِ لَتُقِيمُنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ " قَالَ: " فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ, وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَتِهِ وَمَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِهِ

An-Nu’man bin Basyir berkata: Rasulullah menghadap kepada manusia, lalu berkata: Tegakkanlah shaf kalian!; tiga kali. Demi Allah, tegakkanlah shaf kalian, atau Allah akan membuat perselisihan diantara hati kalian. Lalu an-Nu’man bin Basyir berkata: Saya melihat laki-laki menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya, dengkul dengan dengkul dan bahu dengan bahu. 

Selain diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari, hadits-hadits ini juga diriwayatkan oleh para ulama hadits, diantaranya
  • Al-Imam Abu Daud dalam kitab Sunan-nya, 1/ 178,
  • Al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnad-nya, hal. 30/378,
  • Al-Imam Ad-Daraquthni dalam kitab Sunan-nya hal. 2/28,
  • Al-Imam Al-Baihaqi dalam kitab Sunan-nya hal. 1/123]
Catatan

Setelah Nabi memerintahkan menegakkan shaf, shahabat yang bernama An-Nu’man bin Basyir radhiyallahuanhu melihat seorang laki-laki yang menempelkan mata kaki, dengkul dan bahunya kepada temannya. 

B. Kajian dan Pembahasan Hadits 

Dalam pembahasan hadits kali ini, kita akan kemukakan dahulu komentar para ulama terkait implementasi hukum dari hadits ini. 

Memang para ulama berbeda-beda dalam memberi komentar serta menarik kesimpulan hukum. Ada yang cenderung agak galak mengharuskan kita melihat tektualnya, dan dan ada juga yang melihat maqashidnya. Kita mulai dari yang cukup ”galak” dalam memahami hadits ini. 

1. Komentar Syeikh Nashiruddin Al-Albani

Syeikh Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H) dalam kitabnya, Silsilat al-Ahadits as-Shahihah, hal. 6/77 menuliskan : 

وقد أنكر بعض الكاتبين في العصر الحاضر هذا الإلزاق, وزعم أنه هيئة زائدة على الوارد, فيها إيغال في تطبيق السنة! وزعم أن المراد بالإلزاق الحث على سد الخلل لا حقيقة الإلزاق, وهذا تعطيل للأحكام العملية, يشبه تماما تعطيل الصفات الإلهية, بل هذا أسوأ منه

Sebagian penulis zaman ini telah mengingkari adanya ilzaq (menempelkan mata kaki, dengkul, bahu) ini, hal ini bisa dikatakan menjauhkan dari menerapkan sunnah. Dia menyangka bahwa yang dimaksud dengan “ilzaq” adalah anjuran untuk merapatkan barisan saja, bukan benar-benar menempel. Hal tersebut merupakan ta’thil (pengingkaran) terhadap hukum-hukum yang bersifat alamiyyah, persis sebagaimana ta’thil (pengingkaran) dalam sifat Ilahiyyah. Bahkan lebih jelek dari itu. 

Al-Albani secara tegas memandang bahwa yang dimaksud ilzaq dalam hadits adalah benar-benar menempel. Artinya, sesama mata kaki, sesama dengkul dan sesama bahu harus benar nempel dengan orang di sampingnya. Dan itulah yang dia katakan sebagai SUNNAH Nabi.

Tak hanya berhenti sampai disitu, Al-Albani dalam bukunya juga mengancam mereka yang tidak sependapat dengan pendapatnya, sebagai orang yang ingkar kepada sifat Allah.

Maksudnya kalau orang berpendapat bahwa ilzaq itu hanya sekedar anjuran untuk merapatkan barisan, dan bukan benar-benar saling menempelkan bahu dengan bahu, dengkul dengan dengkul , dan mata kaki dengan mata kaki, sebagai orang yang muatthil. Maksudnya orang itu dianggap telah ingkar terhadap sifat Allah, bahkan keadaanya lebih jelek dari itu. 

Untuk itu pendapat Al-Albani ini didukung oleh murid-murid setianya. Dimana-mana mereka menegaskan bahwa ilzaq ini disebut sebagai sunnah mahjurah, yaitu sunnah yang telah banyak ditinggalkan oleh orang-orang. Oleh karena itu perlu untuk dihidup-hidupkan lag di masa sekarang.
Wah, pedas juga komentarnya. Kira-kira siapakah penulis abad ini yang dimaksud al-Albani ya? 

2. Syeikh Bakr Abu Zaid  :  Imam Masjid An-Nabawi Anggota Hai'at Kibar Ulama Saudi Arabia

Syeikh Bakr Abu Zaid (w. 1429 H) adalah salah seorang ulama Saudi yang pernah menjadi Imam Masjid Nabawi, dan menjadi salah satu anggota Haiah Kibar Ulama Saudi. Beliau menulis kitab yang berjudul La Jadida fi Ahkam as-Shalat(Tidak Ada Yang Baru Dalam Hukum Shalat), hal. 13.  Dalam tulisannya Syiekh Bakr Abu Zaid agak berbeda dengan pendapat Al-Albani : 

وإِلزاق الكتف بالكتف في كل قيام, تكلف ظاهر وإِلزاق الركبة بالركبة مستحيل وإِلزاق الكعب بالكعب فيه من التعذروالتكلف والمعاناة والتحفز والاشتغال به في كل ركعة ما هو بيِّن ظاهر.

Menempelkan bahu dengan bahu di setiap berdiri adalah takalluf (memberat-beratkan) yang nyata. Menempelkan dengkul dengan dengkul adalah sesuatu yang mustahil, menempelkan mata kaki dengan mata kaki adalah hal yang susah dilakukan. 

Bakr Abu Zaid melanjutkan: 

فهذا فَهْم الصحابي - رضي الله عنه - في التسوية: الاستقامة, وسد الخلل لا الإِلزاق وإِلصاق المناكب والكعاب. فظهر أَن المراد: الحث على سد الخلل واستقامة الصف وتعديله لا حقيقة الإِلزاق والإِلصاق

Inilah yang difahami para shahabat dalam taswiyah shaf: Istiqamah, menutup sela-sela. Bukan menempelkan bahu dan mata kaki. Maka dari itu, maksud sebenarnya adalah anjuran untuk menutup sela-sela, istiqamah dalam shaf, bukan benar-benar menempelkan. 

Jadi, menurut Syeikh Bakr Abu Zaid (w. 1429 H) hadits itu bukan berarti dipahami harus benar-benar menempelkan mata mata kaki, dengkul dan bahu. Namun hadits ini hanya anjuran untuk merapatkan dan meluruskan shaf. 

Haditsnya sama, tapi berbeda dalam memahaminya. Pendapat Bakr Abu Zaid ini berseberangan dengan pendapat Al-Albani. Hanya saja al-Albani cukup ”galak”, dengan mengatakan bahwa yang berbeda dengan pemahaman dia, dianggap lebih jelek daripada ta’thil/ inkar terhadap sifah Allah. 

3. Komentar Muhammad bin Shalih al-Utsaimin

Mari kita telusuri lagi pendapat yang lain, kita temui ulama besar Saudi Arabia, Syeikh Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H). Beliau ini juga  pernah ditanya tentang menempelkan mata kaki. Dan beliau pun menjawab saat itu dengan jawaban yang agak berseberangan dengan pendapat Al-Albani. 

أن كل واحد منهم يلصق كعبه بكعب جاره لتحقق المحاذاة وتسوية الصف, فهو ليس مقصوداً لذاته لكنه مقصود لغيره كما ذكر بعض أهل العلم, ولهذا إذا تمت الصفوف وقام الناس ينبغي لكل واحد أن يلصق كعبه بكعب صاحبه لتحقق المساواة, وليس معنى ذلك أن يلازم هذا الإلصاق ويبقى ملازماً له في جميع الصلاة.

Setiap masing-masing jamaah hendaknya menempelkan mata kaki dengan jamaah sampingnya, agar shaf benar-benar lurus. Tapi menempelkan mata kaki itu bukan tujuan intinya, tapi ada tujuan lain. Maka dari itu, jika telah sempurna shaf dan para jamaah telah berdiri, hendaklah jamaah itu menempelkan mata kaki dengan jamaah lain agar shafnya lurus. Maksudnya bukan terus menerus menempel sampai selesai shalat. 

Lihat : Muhammad bin Shalih al-Utsaimin; w. 1421 H, Fatawa Arkan al-Iman, hal. 1/ 311
Ternyata Syiekh Al-Utsaimin sendiri memandang bahwa menempelkan mata kaki itu bukan tujuan inti. Menempelkan kaki itu hanyalah suatu sarana bagaimaan agar shaf shalat bisa benar-benar lurus. 

Jadi menempelkan mata kaki dilakukan hanya di awal sebelum shalat saja. Dan begitu shalat sudah mulai berjalan, sudah tidak perlu lagi. Maka tidak perlu sepanjang shalat seseorang terus berupaya menempel-nempelkna kakinya ke kaki orang lain, yang membuat jadi tidak khusyu' shalatnya. 

4. Komentar Ibnu Rajab al-Hanbali

Ibnu Rajab al-Hanbali (w. 795 H) termasuk ulama besar yang menulis kitab penjelasan dari Kitab Shahih Bukhari. Ibnu Rajab menuliskan: 

حديث أنس هذا: يدل على أن تسوية الصفوف: محاذاة المناكب والأقدام.

Hadits Anas ini menunjukkan bahwa yang dimaksud meluruskan shaf adalah lurusnya bahu dan telapak kaki. lihat : Ibnu Rajab al-Hanbali; w. 795 H, Fathu al-Bari, hal.6/ 282. 

Nampaknya Ibnu Rajab lebih memandang bahwa maksud hadits Anas adalah meluruskan barisan, yaitu dengan lurusnya bahu dan telapak kaki. Komentar Ibnu Hajar (w. 852 H) 

Ibnu Hajar al-Asqalani menuliskan:

الْمُرَادُ بِذَلِكَ الْمُبَالَغَةُ فِي تَعْدِيلِ الصَّفِّ وَسَدِّ خَلَلِهِ

Maksud hadits ”ilzaq” adalah berlebih-lebihan dalam meluruskan shaf dan menutup celah. [Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal. 2/211] 

Memang disini beliau tidak secara spesifik menjelaskan harus menempelkan mata kaki, dengkul dan bahu. Karena maksud haditsnya adalah untuk berlebih-belihan dalam meluruskan shaf dan menutup celahnya. 

C. Point-Point Penting

Diatas sudah dipaparkan beberapa pemahaman ulama terkait haruskah mata kaki selalu ditempel-tempelkan dengan sesama jamaah dalam satu shaf. 

Sekarang mari kita lanjutkan dengan nalar dan penelitian kita sendiri. Pertanyaannya adalah : apakah menempelkan mata kaki itu sunnah Nabi SAW atau bukan? Dalam arti apakah hal itu merupakan contoh langsung dari Nabi SAW atau bentuk perintah yang secara nash beliau SAW menyebut : HARUS MENEMPEL, kalau tidak nanti masuk neraka?

1. Menempelkan Mata Kaki Dalam Shaf Bukan Tindakan Atau Anjuran Nabi SAW

Bukankah haditsnya jelas Shahih dalam Shahih Bukhari dan Abu Daud?
Iya sekilas memang terkesan bahwa menempelkan itu perintah beliau SAW. Tapi keshahihan hadits saja belum cukup tanpa pemahaman yang benar terhadap hadits shahih. 

Jika kita baca seksama teks hadits dua riwayat diatas, kita dapati bahwa ternyata yang Nabi SAW anjurkan adalah menegakkan shaf. Perhatikan redaksinya : 

أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ

Tegakkah barisan kalian

Itu yang beliau SAW katakan. Sama sekali beliau SAW tidak berkata, ”Tempelkanlah mata kaki kalian!”. Dan beliau juga tidak main ancam siapa yang tidak melakukannya dianggap telah kafir atau ingkar dengan sifat-sifat Allah. Yang bilang seperti itu hanya Al-Albani seorang. Para ulama sepanjang zaman tidak pernah berkata seperti itu, kecuali murid-murid pendukungnya saja.
Dan Nabi SAW sendiri dalam shalatnya juga tidak pernah melakukan hal itu. 

2. Menempelkan Mata Kaki Adalah Pemahaman Salah Satu Dari Shahabat

Coba kita baca lagi haditsnya dengan seksama. Dalam riwayatnya disebutkan:
  • [وَكَانَ أَحَدُنَا] dan salah satu dari kami
  • [رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا] saya melihat seorang laki-laki dari kami
  • [فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ] saya melihat seorang laki-laki
Meskipun dengan redaksi yang berbeda, tetapi kesemuanya merujuk pada makna bahwa ”salah satu” sahabat Nabi ada yang melakukan hal itu. Maka hal itu adalah perbuatan dari salah satu sahabat Nabi, hasil dari pemahamannya setelah mendengar perintah Nabi agar menegakkan shaf. 

Terkait ucapan atau perbuatan shahabat, Al-Amidi (w. 631 H) salah seorang pakar Ushul Fiqih menyebutkan: 

ويدل على مذهب الأكثرين أن الظاهر من الصحابي أنه إنما أورد ذلك في معرض الاحتجاج وإنما يكون ذلك حجة إن لو كان ما نقله مستندا إلى فعل الجميع لأن فعل البعض لا يكون حجة على البعض الآخر ولا على غيرهم

Menurut madzhab kebanyakan ulama’, perbuatan shahabi menjadi hujjah jika didasarkan pada perbuatan semua shahabat. Karena perbuatan sebagian tidak menjadi hujjah bagi sebagian yang lain, ataupun bagi orang lain.
Lihat  :Al-Amidi; w. 631 H, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, hal. 2/99 

Jadi, menempelkan mata kaki itu bisa menjadi hujjah jika dilakukan semua shahabat. Dari redaksi hadits, kita dapati bahwa menempelkan mata kaki dilakukan oleh seorang laki-laki pada zaman Nabi. Kita tidak tahu siapakah lelaki itu. Lantas bagaimana dengan Anas yang telah meriwayatkan hadits? 

3. Anas tidak melakukan hal itu

Jika kita baca teks hadits dari Anas bin Malik dan An-Nu’man bin Basyir di atas, sebagai dua periwayat hadits, ternyata mereka berdua hanya melihat saja. Mereka malah tidak melakukan apa yang mereka lihat. 

Kenapa?

Karena yang melakukannya bukan Rasulullah SAW sendiri. Dan para shahabat yang lain juga tidak melakukannya. Yang melakukannya hanya satu orang saja. Itupun namanya tidak pernah disebutkan alias anonim.

Hal itu diperkuat dengan keterangan Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) melanjutkan riwayat Anas bin Malik: 

وَزَادَ مَعْمَرٌ فِي رِوَايَتِهِ وَلَوْ فَعَلْتُ ذَلِكَ بِأَحَدِهِمُ الْيَوْمَ لَنَفَرَ كَأَنَّهُ بغل شموس

Ma’mar menambahkan dalam riwayatnya dari Anas; jika saja hal itu saya lakukan sekarang dengan salah satu dari mereka saat ini, maka mereka akan lari sebagaimana keledai yang lepas. [Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal. 2/211] 

Jika menempelkan mata kaki itu sungguh-sungguh anjuran Nabi, maka mereka sebagai salaf yang shalih tidak akan lari dari hal itu dan meninggalkannya. 

Perkataan Anas bin Malik, ”jika saja hal itu saya lakukan sekarang” memberikan pengertian bahwa Anas sendiri tidak melakukannya saat ini. 

4. Bukankah Itu Sunnah Taqririyyah?

Barangkali para pembela pendapat tempe-menempel matakaki itu berhujjah, jika ada suatu perbuatan yang dilakukan di hadapan Nabi SAW, sedang beliau SAW diam saja dan tidak melarangnya, maka perbuatan itu disebut sunnah taqririyyah. Jadi termasuk sunnah juga.
Jawabnya, tentu benar sekali bahwa hal itu merupakan sunnah taqririyah. Tapi perlu diingat, bahwa diamnya Nabi ketika ada suatu perbuatan dilakukan dihadapannya itu tidak berfaedah kecuali hanya menunjukkan bolehnya hal itu. 

Contoh sunnah taqririyyah adalah makan daging dhab dan ’azl yaitumengeluarkan sperma diluar kemaluan istri. Meskipun keduanya sunnah taqririyyah, tapi secara hukum berhenti sampai kita sekedar dibolehkan melakukannya. 

Dan sunnah taqririyah itu tidak pernah sampai kepada hukum sunnah yang dianjurkan, dan tentu tidak bisa menjadi kewajiban. Apalagi sampai main ancam bahwa orang yang tidak melakukannya, dianggap telah ingkar kepada sifat-sifat Allah. Ini adalah sebuah fatwa yang agak emosional dan memaksakan diri. Dan yang pasti fatwa seperti ini sifatnya menyendiri tanpa ada yang pernah mendukungnya.

Tidak bisa kita bayangkan, cuma gara-gara ada shahabat makan daging dhab dan melakukan azal, dan kebetulan memang Nabi SAW tidak melarangnya, lantas kita berfatwa seenaknya untuk mewajibkan umat Islam sedunia sepanjang zaman sering-sering makan daging biawak. Yang tidak doyan makan daging biawak divonis telah ingkar kepada sifat-sifat Allah.

5. Susah Dalam Prakteknya

Penulis kira, jika pun dianggap menempelkan mata kaki itu sebagai anjuran, tak ada diantara kita yang bisa mempraktekannya.
Jika tidak percaya, silahkan saja dicoba sendiri menempelkan mata kaki, dengkul dan bahu dalam shaf. 

D. Kesimpulan

Berangkat dari pertanyaan awal, apakah mata kaki ”harus” menempel dalam shaf shalat?
Ada dua pendapat; pertama yang mengatakan harus menempel. Ini adalah pendapat Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H). Bahkan beliau mengatakan bahwa yang mengatakan tidak menempel secara hakiki itu lebih jelek dari faham ta’thil sifat Allah. 

Pendapat kedua, yang mengatakan bahwa menempelkan mata kaki itu bukan tujuan utama dan tidak harus. Tujuan intinya adalah meluruskan shaf. Jikapun menempelkan mata kaki, hal itu dilakukan sebelum shalat, tidak terus menerus dalam shalat. Ini adalah pendapat Utsaimin. Dikuatkan dengan pendapat Bakr Abu Zaid. 

Sampai saat ini, penulis belum menemukan pendapat ulama madzhab empat yang mengharuskan menempelkan mata kaki dalam shaf shalat. 

Merapatkan dan meluruskan shaf tentu anjuran Nabi. Tapi jika dengan menempelkan mata kaki, malah shalat tidak khusyu’ dan mengganggu tetangga shaf juga tidak baik. 

Wallahu a’lam