Selasa, 23 April 2013

HUKUM SESUATU YANG TIDAK DILAKUKAN RASULULLAH SAW, DAN JENISNYA


Assalamu’alaikum wr wb…

Seringkali kita mendengar dari rekan-rekan kita sesama muslim (yang berpandangan sempit dalam hal bid’ah) mengucapkan ungkapan, “Kalau seandainya baik maka para salafush-shalih akan terlebih dahulu melakukannya. Namun kenyataannya salafush-shalih tidak pernah melakukannya. Kalau baik, pasti mereka akan mendahului kita dalam mengerjakannya. Ketika mereka meninggalkannya dan tidak melakukannya—walaupun ada situasi yang menjadi sebab untuk melakukannya dan tidak ada halangan untuk melakukannya—maka hal itu menunjukkan keharamannya”.

Hal ini tentunya akan membingungkan banyak orang, terutama kalangan awam tentang kaidah bid’ah ini, dalam melakukan amalan-amalan harian yang bersifat furu’iyah, karena sudah merupakan hal lazim, bahwa disekeliling kita seringkali kita jumpai ibadah-ibadah harian (mu’ammalah harian) yang memang tidak kita temukan dalam hadits-hadits khusus seperti ibadah Maulid, Tahlilan, Mencium Mushaf, Do’a Khataman Qur’an dalam sholat Tarawih, , Mengkhususkan sholat Qiyamul-Lail pada Sepuluh Malam Terakhir bulan Ramadhan, dll.

Berikut ini ada sedikit kutipan dari buku “KONSEP BID’AH DAN TOLERANSI FIQH” yang ditulis oleh Dr ABDUL ILAH BIN HUSAIN AL ‘ARFAJ, yang isinya sangat bagus, dan Insya Allah bermanfaat bagi kita semua.

HUKUM SESUATU YANG TIDAK DILAKUKAN RASULULLAH SAW, DAN JENISNYA.

Pemahaman Sahabat tentang Makna di Balik Tidak Melakukan

Sahabat ra. tidak memahami apa yang tidak dilakukan Rasulullah saw. atau diamnya beliau saw atas suatu hal sebagai dalil bahwa hal tersebut haram. Hal yang tetap dan baku di antara mereka bahwa hal yang Rasulullah saw. diam terhadapnya, maka hal tersebut halal dan dibebaskan.

Mereka memahaminya dari nushush(teks-teksnya) terdahulu. Mereka khawatir dan segan untuk menanyakannya kepada Rasulullah saw. Sebab, Rasulullah saw. melarang banyak bertanya. Sebab, dalam banyak bertanya ada kekhawatiran-kekhawatiran berikut ini;

Pertama, mereka bertanya tentang suatu hal yang mubah, kemudian Allah swt. mengharamkannya, padahal mereka hidup dengan lapang dan senang. Rasulullah saw. bersabda,

"Kejahatan muslim yang paling besar terhadap muslim lainnya adalah seseorang bertanya tentang sesuatu yang tidak diharamkan kemudian menjadi haram disebabkan pertanyaannya itu." (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan Hakim)

Kedua, menanyakan sesuatu yang tidak wajib, kemudian Allah mewajibkan hal tersebut. Pada akhirnya mereka merasa berat. Padahal, sebelum diwajibkan, mereka dalam keadaan senang. Aisyah ra. berkata,

"Kalaulah Rasulullah saw. meninggalkan suatu amal, padahal ia ingin melakukannya, maka itu karena beliau takut kalau orang-orang ikut melakukannya dan dijadikan wajib,(HR Bukhari, Muslim, Ahmad dan Abu Dawud), seperti Rasulullah saw. meninggalkan qiyam Ramadhan karena khawatir Allah mewajibkannya kepada umat beliau. Kemudian, mereka merasa berat dan akhirnya tidak mampu melakukannya." (HR. Malik, Bukhari, Muslim, Ahmad, Nasa' i, dan Abu Daud)

Contoh lain, sabda Rasulullah saw.

"Sesungguhnya, Allah mewajibkan kepada kalian haji." Aqra' bin habis berdiri dan bertanya, "Apakah setiap tahun, ya Rasulullah?" Rasulullah saw. menjawab, "Kalau kujawab iya, maka akan wajib. Kalau wajib (setiap tahun) kalian tidak akan melakukannya!"

Dalam satu riwayat Rasulullah bersabda

"Biarkan aku dengan apa yang sudah kutinggalkan untuk kalian. Umat sebelum kalian hancur karena banyak bertanya dan banyak menentang nabinya. Kalau aku memerintahkan sesuatu, maka lakukanlah semampu kalian. Kalau aku melarang kalian dari sesuatu, maka tinggalkanlah”(HR Malik, Bukhari, Muslim, Ahmad, Nasa'i)

Kaidah diatas adalah kaidah tentang  pembatalan bagi orang yang mengatakan bahwa suatu hal yang tidak dikerjakan Rasulullah saw, menunjukkan bahwa hal yang ditinggalkan tersebut adalah haram.

Ketika turun ayat, "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah," (Ali Imran: 97), sahabat ra bertanya,

"Wahai Rasulullah, apakah setiap tahun?" Rasulullah saw. diam. Mereka bertanya lagi, "Wahai Rasulullah, apakah setiap tahun?" Kemudian beliau menjawab, "Tidak Kalau aku jawab, `Iya,' maka akan menjadi wajib." Kemudian Allah menurunkan ayat, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan." (Al-Ma'idah: 101) (HR. Tirmidzi)


At Tauqif dalam Ibadah dan Meng Qiyaskan Sesuatu Padanya1

Dalil-dalil syar'i menjelaskan bahwa upaya generalisasi pelarangan ibadah kecuali berdasarkan contoh dari Rasulullah saw, tidaklah akurat. Oleh karena itu, para ulama bersepakat dalam hal-hal berikut ini.
  1. Tidak boleh menetapkan sebuah ibadah pokok baru melebihi ibadah-ibadah yang telah dipahami melalui teks-teks dalil Al-Qur'an dan Sunah, seperti menetapkan shalat fardhu yang keenam setiap hari; puasa wajib sebulan penuh selain puasa bulan Ramadhan; atau haji ke selain tanah suci Allah di Mekah. Semua ini adalah bid'ah yang sesat karena semua ibadah bersifat tauqifiyali (berdasarkan contoh dan dalil) dan tidak boleh dibuat-buat tanpa dalil. Sebab, memperbolehkan pembuatan ibadah baru akan mengubah aturan syariat agama.
  2. Tidak boleh melakukan qiyas pada ibadah yang maknanya tidak bisa dipahami karena qiyas merupakan bagian dari upaya men-ta'lil (menentukan ‘ilat atau faktor suatu syariat). Sebab, ibadah-ibadah yang maknanya tidak bisa dipahami, tidak bisa diqiyaskan, seperti penentuan anggota yang dibasuh ketika wudhu; penetapan lima shalat fardu berikut jumlah rakaatnya; ketentuan nisab zakat wajib; jumlah putaran thawaf, sa'i (berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwa), melempar Jumrah, dan sebagainya.

Adapun ibadah far'iyah atau juz'iyah yang maknanya bisa dipahami dan mungkin dilakukan ijtihad tentang dalil disyariatkannya, ulama berbeda pendapat tentang bolehnya mengqiyaskan suatu masalah kepadanya tanpa ada contoh atau dalil yang jelas dari Rasulullah saw.

Dengan kata lain, para ulama berselisih pendapat tentang bolehnya mengqiyaskan sebuah ibadah far'iyah yang hukumnya belum diketahui kepada ibadah lain—yang maknanya bisa dipahami—yang hukumnya sudah diketahui. Sebagian besar ulama fiqh dan ushul berpendapat boleh seperti yang dijelaskan oleh beberapa contoh berikut yang menjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama.
  1. Hukum beristinja' dengan sapu tangan atau tisu. Untuk hal ini, sebagian ulama memerbolehkannya dengan diqiyaskan pada istinja' dengan batu.
  2. Menurut sebagian ulama, najis bisa menjadi suci jika berubah zat. Ini diqiyaskan pada khamar yang menjadi suci setelah berubah menjadi cuka dengan sendirinya.
  3. Melafalkan niat shalat boleh menurut sebagian ulama dengan diqiyaskan pada niat (ihram) haji dan ibadah kurban.
  4. Sujud tilawah perlu ada niat, takbir dan salam dengan diqiyaskan pada shalat.
  5. Sebagian ulama berpendapat boleh melaksanakan shalat yang memiliki sebab pada waktu-waktu yang dilarang shalat. Hal ini diqiyaskan pada sebagian shalat sunnah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. pada waktu tersebut.
  6. Boleh mengambil rukhsah (keringanan beribadah) dalam perjalanan wisata. Ini diqiyaskan pada perjalanan niaga atau bisnis.
  7. Orang yang mukim boleh menjamak shalat zuhur dan ashar karena hujan. Ini diqiyaskan pada bolehnya menjamak shalat maghrib dan isya' karena hujan.
  8. Orang yang pingsan tidak wajib mengqadha' shalat. Ini diqiyaskan pada orang gila hilang ingatan).
  9. Pahala bacaan Al-Qur'an yang dihadiahkan sampai kepada mayit.
Secara umum, banyak sekali contoh untuk hal ini dan jumlahnya hampir tidak terhitung. Dari contoh-contoh di atas, kita dapat memperhatikan bahwa jenis qiyas yang dipergunakan adalah qiyas syabh (penyerupaan).

Qiyas syabhu memiliki beberapa bentuk, diantaranya: mengikutkan hukum suatu masalah (furu') kepada hukum masalah pokok (asal) yang paling banyak memiliki keserupaan dengannya; atau mengikutkan masalah cabang kepada masalah utama karena keserupaan sifat yang diduga menjadi sebab penentuan hukum bagi masalah utama.2

Kesimpulan pembahasan tauqif dalam perkara ibadah dan meng-qiyas-kan ibadah lain dengannya adalah sebagai berikut.
  1. Ibadah furu'iyah yang illat-nya tidak bisa dipahami; juga ibadah yang hanya mengandung makna ta'abbud, tidak boleh dijadikan sebagai tempat men-qiyas-kan ibadah-ibadah yang lain.
  2. Adapun ibadah furu'iyah yang makna dan illat-nya bisa dipahami; hukum menjadikannya sebagai tempat qiyas, masih diperdebatkan oleh para ulama. Mayoritas ulama memperbolehkannya.
  3. Sangat penting bagi seorang alim apabilaia membuat sebuah pendapat dalam masalah ini, boleh meng-qiyas atau tidak, hendaklah ia selalu konsisten dengan pendapatnya dalam segala permasalahan atau perkara-perkara baru yang terjadi. Sedikitpun ia tidak boleh keluar dari pendapatnya, kecuali dengan alasan atau dalil yang bisa dibenarkan.
Contoh Perbedaan Salafush Sholih Dalam Menerapkan Hukum Perkara

Jikalau para ulama dari kalangan salafush-shalih berbeda pendapat dalam menghukumi bid'ah terhadap sebagian perkara baru, apalagi kita mendapati mereka saling menghargai satu sama lain, maka wajib bagi kita untuk tidak terburu-buru dalam menghukumi orang yang berbeda dengan kita sebagai pelaku bid'ah. Sebab, pengertian bid'ah belum menjadi kesepakatan di kalangan para ulama.

Mereka berbeda pendapat dan metode mereka—seperti yang telah disampaikan—pun berbeda-beda. Bahkan, ketika mereka bersepakat secara teori, tidak berarti mereka bersepakat dalam penerapannya. Kita masih mendapatkan mereka berbeda pendapat dalam menghukumi perkara-perkara baru yang muncul.

Berikut salah satu contoh yang paling popular tentang perbedaan pendapat dari Salafush Sholih tentang Qunut Subuh beserta pembahasannya

Membaca Doa Qunut pada Shalat Subuh

Seluruh ulama bersepakat bahwa membaca doa qunut pada setiap shalat ketika terjadi kezaliman besar menimpa kaum muslimin. Karena Rasulullah saw. pernah membaca qunut pada setiap shalat fardu - dalam riwayat lain, pada setiap shalat subuh - selama satu bulan; memohon kepada Allah swt. agar membinasakan kaum Dzakwan dan Ushayyah, karena mereka membunuh para utusan Rasulullah saw. yang ditugaskan mengajarkan Islam kepada mereka.'3

Namun, ulama berselisih pendapat tentang membaca qunut di setiap shalat subuh. Penganut mazhab Syafi'i dan Maliki menyatakannya sebagai sunah, namun mereka berpendapat tentang tempat dan cara pelaksanaannya.

Menurut mazhab Maliki, qunut dibaca pada shalat subuh sebelum ruku' pada rakaat terakhir, tanpa dikeraskan. Sedangkan menurut mazhab Syafi'i, dibaca setelah ruku' pada rakaat terakhir, dengan suara yang dikeraskan.

Adapun pendapat mazhab Hanafi dan Hambali, tidak perlu membaca qunut pada setiap shalat subuh. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah hadits riwayat Abu Malik Al-Asyja'i, bahwa ayahnya, Thariq bin Asyim ra. berkata,

"Aku shalat (subuh) di belakang Rasulullah saw. dan beliau tidak membaca qunut. Aku shalat subuh di belakang Abu Bakar ra. dan heliau tidak membaca qunut. Aku shalat subuh di belakang Umar bin Khaththab ra. dan beliau juga tidak membaca qunut. Aku shalat subuh di belakang Utsman bin Affan ra. dan beliau juga tidak membaca qunut. Aku shalat subuh di belakang Ali bin Abu Thalib ra. dan beliau juga tidak membaca qunut." Kemudian Thariq berkata, "Wahai anakku, membaca qunut pada shalat subuh adalah bid'ah." Dalam riwayat lain, "Qunut adalah perkara yang dibuat-buat." (HR. Ahmad, Nasa'i, Tirmizi, dan Ibnu Majah)

Mazhab yang menyatakan membaca qunut pada shalat subuh, Syafi'i dan Maliki, berdalil dengan hadits Anas bin Malik ra., "Rasulullah saw. tidak pernah meninggalkan qunut pada shalat subuh hingga beliau wafat." (h.r. Ahmad dan Daraquthni)4

Hadits yang menyebutkan ada pembacaan qunut pada shalat subuh dan hadits yang meniadakan, semuanya diriwayatkan dari para sahabat Rasulullah saw. Di antara mereka, ada yang menyetujui pembacaan qunut, dan ada pula yang menyatakan tidak ada qunut. Bahkan, ada seorang sahabat yang meriwayatkan kedua hadits tersebut secara sekaligus.

Berdasarkan perbedaan para sahabat tentang membaca doa qunut subuh, maka generasi tabiin dan para ulama setelah mereka juga berbeda pendapat.5

Untuk lebih jelasnya lagi ada ringkasan beberapa amalan yang dikatakan bid’ah oleh satu ulama, namun dikatakan boleh dilakukan oleh ulama yang lain.

No
Amalan yang diadakan
Fatwa Bid’ah
Fatwa Boleh
1
Berkumpul untuk ta’ziyah
Ibnu Utsaimin, Al Fauzan,Albani
Ibnu Baz, Ibnu Jabrain.
2
‘Asya’ul Walidain (acara yang dilakukan oleh keturunannya, 1 atau 2 bulan sesudah orang tua tsb meninggal spt memberi makan kpd org miskin)
Ibnu Utsaimin
Ibnu Baz, Ibnu Jabrain, Al Fauzan
3
Berzikir dengan tasbih
Al Fauzan, Albani
Ibnu Baz, Ibnu Jabrain, Ibnu Utsaimin
4
Mengulangi umrah di bulan Ramadhan
Ibnu Utsaimin
Ibnu Baz, Al Fauzan, Lajnah Daimah
5
Membaca dari mushaf dalam sholat
Albani
Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, Al Fauzan, Ibnu Jabrain
6
Bersedekap ketika berdiri setelah ruku’
Albani
Ibnu Baz, Al-Fauzan, Ibnu Utsaimin
7
Shalat qiyam pada 10 malam terakhir bulan Ramadhan
Tidak diketahui
lbnu Utsaimin, Ibnu Jabrain
8
Melebihkan dari 11 rakaat pada shalat tarawih
Albani
Ibnu Baz, Al-Fauzan, Ibnu Utsaimin, Ibnu Jabrain

Dalam buku ini ditekankan bahwa menyebutkan masalah-masalah di atas bukan dimaksudkan untuk membid'ahkan sebagian ulama. Karena membid'ahkan pada masalah-masalah tersebut bukanlah manhaj yang benar. Kita hendaknya berhati-hati dan menjauhkan diri dari membid'ahkan orang lain.

Dengan menyebutkan masalah-masalah di atas, penulis buku ini bermaksud untuk mengingatkan orang-orang yang bersikap terburu-buru dalam menjatuhkan vonis bid'ah kepada orang lain, hanya karena berbeda dengan pendapat syaikh mereka. Sebab, sikap seperti ini hanya akan berujung membid'ahkan para ulama besar. Tidak akan ada ulama yang selamat dari vonis tersebut, karena semuanya, tanpa kecuali, berbeda pendapat dalam hal-hal yang bersifat juz'iyyat.

Kesimpulan Buku
  1. Ke Bid'ah—menurut makna bahasa—adalah hal baru (muhdats) tanpa ada contoh semisal sebelumnya. Dengan makna ini, bid'ah mencakup hukum yang lima: wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram
  2. Bid'ah tercela (madzmumah)—menurut makna syar'i—adalah hal baru dalam agama yang bertentangan dengan nus hush syariah dan bertentangan dengan maqashid syariah. Hukum bid'ah seperti ini makruh dan haram.
  3. Mayoritas perselisihan ulama dalam bid'ah terbatas pada muhdatsah diniyah amaliyah (hal baru dalam agama yang bersifat aktivitas) yang tidak bertentangan dengan nushush (teks) syariah dan tidak bertentangan dengan maqashid syariah. Perselisihan seperti ini mirip dengan perselisihan dalam masalah hukum syariat yang bersifat ijtihadi, berputar antara tepat (ash-shawab) dan tidak tepat (al-khatha'), bukan antara haq dan bathil.
  4. Ulama berbeda pendapat dalam menyifati hal baru dalam agama yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Sebagian dari mereka ada yang menamainya bid'ah masyru'ah (disyariatkan), sebagian lainnya menyifatinya dengan hukum yang sesuai seperti wajib, mustahab. Dan, inilah yang benar.
  5. Kalau Rasulullah saw meninggalkan suatu perbuatan, maka hukum pasti dan perbuatan tersebut tidak wajib.
  6. Mem-bid'ah-kan suatu hal yang baru dalam agama dengan argumentasi bahwa Rasulullah saw. tidak melakukannya adalah kesalahan. Karena suatu perbuatan yang tidak dilakukan Rasulullah saw, secara sengaja, terkadang bermakna haram, seperti seorang muhrim - dalam keadaan ihram haji atau umrah - hasil buruan yang diburu untuknya. Terkadang, bermakna makruh, seperti mengusap dua sudut Ka'bah, sudut Irak dan sudut Syam. Terkadang bermakna lain (mubah), seperti memakan daging kadal. Juga terkadang mustahab (dianjurkan atau disunahkan) seperti buang air kecil sambil duduk untuk menunjukkan bahwa buang air kecil berdiri boleh.
  7. Sahabat membuat kreasi baru dalam agama semasa Rasulullah Saw hidup, kemudian Rasulullah saw. menetapkan sebagian kreasi Baru tersebut dan menolak sebagian lainnya. Hal ini menunjukkan petunjuk Nabi saw. bahwa setiap kreasi baru mempunyai hukum yang sesuai dengan keselarasannya dengan maqashid syariah, nushush umum syariah dan kaidah-kaidahnya.
  8. Sahabat ra. memilah antara muhdatsah hasanah yang dibolehkan melakukannya dan muhdatsah sayyi'ah yang diharamkan atau di-makruhkan melakukannya. Sahabat tidak menolak setiap muhdats dan setiap kreasi baru.
  9. Qiyas tidak berlaku dalam hal-hal yang tidak dipahami maknanya, sedangkan yang masih bisa dipahami maknanya, memberlakukan qiyas dalam hal ini diperselisihkan oleh ulama. Namun, sebagian besar ulama membolehkannya.
  10. Para salafush-shalih berselisih pendapat, secara tajam, dalam menilai bid'ah amaliyah; bid'ah yang bersifat aktivitas dan perbuatan. Perselisihan ini disebabkan perselisihan mereka dalam memahami nushush dan mengarahkannya. Dan, disebabkan berselisih dalam menutup pintu bid'ah agar tidak menjalar pada bid'ah lainnya. Atau, karena hal itu tidak ada di zaman sebelumnya. Atau, karena tidak mengetahui nushush syariah yang berkenaan dengannya.
  11. Ulama mudhayyiqin (berpendapat sempit dalam makna bid'ah), berselisih pendapat dalam menilai beberapa hal baru dalam agama: apakah bid'ah atau tidak? Hal ini menunjukkan bahwa dalam tatanan aplikasi, definisi bid'ah terhadap kasus-kasus di lapangan bukanlah suatu hal yang mudah.
  12. Membolehkan suatu hal baru dalam agama tidak berarti orang tersebut ahli bid'ah. Kalau setiap ulama yang membolehkan hal baru adalah ahli bid'ah, maka setiap ulama sejak zaman salaf tidak terlepas dari bid'ah.
  13. Setiap penuntut ilmu wajib menghargai perbedaan ulama dalam menghukumi hal baru dalam agama, khususnya yang bersifat aktivitas, karena tidak setiap bid'ah sesat.
Penutup.

Ketidakjelasan dalam konsep bid'ah dan definisinya menyebabkan kelompok mudhayyiqin (kelompok yang memandang sempit makna bid'ah), membid'ahkan sejumlah besar kaum muslimin. Kemudian mereka menuduh dengan tuduhan keji, berburuk sangka, menolak berinteraksi, dan bersikap acuh.

Hal yang lebih berbahaya dari itu, kaum para pemuda dari kelompok mudhayyiqin yang selalu tergesa-gesa dalam membid'ahkan sesuatu, berani menghina dan mencaci ulama yang bertentangan dengan mereka. Bahkan, sampai-sampai mengkafirkan.

Apa yang mereka lakukan sangat bertentangan dengan sabda Rasulullah saw.,

"Orang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan bangunan: satu dengan lainnya saling menguatkan." (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, Nasai, dan Tirmidzi)

"Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya: tidak menzaliminya, tidak menipunya dan tidak menghinanya." (HR Muslim, Ahmad)

Penulis buku ini mengusulkan kepada majelis–majelis ulama yang ada di setiap negara agar mengambil alih topik ini dan memberikan haknya dengan jalan membuat penelitian, dialog dan diskusi. Hal ini lebih penting dari topik lainnya yang dibahas di majelis-majelis fatwa.

Demikian adalah sebagian dari isi buku tentang Kaidah Bid’ah dan Toleransi Fiqh.
Namun karena banyaknya materi serta beragamnya dalil yang disampaikan baik oleh kalangan yang mendukung bid’ah dalam arti sempit, maupun kalangan yang mendukung bid’ah dalam arti yang luas, maka dalam hal ini saya hanya mencantumkan beberapa bagian dari isi/bab ringkasannya saja. Untuk lebih jelasnya, mungkin bisa dibaca secara langsung. Semoga bermanfaat.

Wallahua’alam.
  1.   Tauqif dalam ibadah maksudnya, melaksanakan ibadah hanya berdasarkan contoh perbuatan atau perintah Rasulullah Saw. Qiyas dalam Ibadah, artinya mengkiaskan sebuah perbuatan (Ibadah) yang tidak memiliki dalil pada ibadah lain yang memiliki dalil.
  2. Bahru al Muhith, Zarkasyi 7/53, 293: Mausu’ah al-Fiqhiyah, 4/287
  3. Hadits tentang peristiwa ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim.Ahmad, Nasa'i,Abu Daud dan Hakim, dengan matan yang tidak banyak berbeda.
  4. Hadits ini telah dihukumi shahih oleh Imam Nawawi, dalam kitab Al-Majmu' Syarhu Al-Muhazzab, 3/484.
  5. Syarhu Al-Muwattha', "Bab Doa Qunut pada Shalat Subuh". Hadits yang menyatakan qunut subuh sebagai bid'ah bisa dibaca di kitab Musannaf Ibnu Abi Syaibah, 2/46.

Rabu, 17 April 2013

Hukum mengucapkan selamat natal


Assalamu’alaikum wr wb..

Terkait dengan fenomena pengucapan selamat hari raya natal dari kaum muslimin yang marak pada saat ini, antara pengharaman dan “pembolehannya”, berikut ada dalil-dalil bagi yang melarang, dan yang membolehkannya dengan syarat-syarat tertentu. 
Semoga kita bisa semakin bijak dan mengerti sebab-sebab pelarangan maupun “pembolehan dengan syarat-syarat tertentu”

Perbedaan Pendapat tentang Mengucapkan Selamat Natal

Diantara tema yang mengandung perdebatan setiap tahunnya adalah ucapan selamat Hari Natal. Para ulama kontemporer berbeda pendapat didalam penentuan hukum fiqihnya antara yang mendukung ucapan selamat dengan yang menentangnya. Kedua kelompok ini bersandar kepada sejumlah dalil.

Meskipun pengucapan selamat hari natal ini sebagiannya masuk didalam wilayah aqidah namun ia memiliki hukum fiqih yang bersandar kepada pemahaman yang mendalam, penelaahan yang rinci terhadap berbagai nash-nash syar’i.

Ada dua pendapat didalam permasalahan ini :

     1.      Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim dan para pengikutnya seperti Syeikh Ibn Baaz, Syeikh Ibnu Utsaimin—semoga Allah merahmati mereka—serta yang lainnya seperti Syeikh Ibrahim bin Muhammad al Huqoil berpendapat bahwa mengucapkan selamat Hari Natal hukumnya adalah haram karena perayaan ini adalah bagian dari syiar-syiar agama mereka. Allah tidak meredhoi adanya kekufuran terhadap hamba-hamba-Nya. 

      Sesungguhnya didalam pengucapan selamat kepada mereka adalah tasyabbuh (menyerupai) dengan mereka dan ini diharamkan.
Berikut isi fatwa dari Ibnu Qoyyim rahimahullah…Fatwa Al Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah:
“Adapun memberi ucapan selamat (tahniah) pada syiar-syiar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, imlek, waisak, dll. pen) adalah hal yang diharamkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Misalnya memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan yang semacamnya. Jika memang orang yang mengucapkan itu bisa selamat dari kekafiran, namun itu termasuk dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan itu lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dimurkai Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya. Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut, dan dia tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia layak mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.” (Imam Ibnul Qayyim, Ahkam Ahlu Adz Dzimmah, Hal. 162. Cet. 2. 2002M-1423H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Diantara bentuk-bentuk tasyabbuh :
1. Ikut serta didalam hari raya tersebut.
2. Mentransfer perayaan-perayaan mereka ke neger-negeri islam.

Mereka juga berpendapat wajib menjauhi berbagai perayaan orang-orang kafir, menjauhi dari sikap menyerupai perbuatan-perbuatan mereka, menjauhi berbagai sarana yang digunakan untuk menghadiri perayaan tersebut, tidak menolong seorang muslim didalam menyerupai perayaan hari raya mereka, tidak mengucapkan selamat atas hari raya mereka serta menjauhi penggunaan berbagai nama dan istilah khusus didalam ibadah mereka.

2. Jumhur ulama kontemporer membolehkan mengucapkan selamat Hari Natal.

Di antaranya Syeikh Yusuf al Qaradhawi yang berpendapat bahwa perubahan kondisi global lah yang menjadikanku berbeda dengan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah didalam mengharamkan pengucapan selamat hari-hari Agama orang-orang Nasrani atau yang lainnya. Aku (Yusuf al Qaradhawi) membolehkan pengucapan itu apabila mereka (orang-orang Nasrani atau non muslim lainnya) adalah orang-orang yang cinta damai terhadap kaum muslimin, terlebih lagi apabila ada hubungan khsusus antara dirinya (non muslim) dengan seorang muslim, seperti : kerabat, tetangga rumah, teman kuliah, teman kerja dan lainnya. Hal ini termasuk didalam berbuat kebajikan yang tidak dilarang Allah swt namun dicintai-Nya sebagaimana Dia swt mencintai berbuat adil. Firman Allah swt : Artinya :

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)
Terlebih lagi jika mereka mengucapkan selamat Hari Raya kepada kaum muslimin. Firman Allah swt :
Artinya :# “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (QS. An Nisaa : 86) 


Lembaga Riset dan Fatwa Eropa juga membolehkan pengucapan selamat ini jika mereka bukan termasuk orang-orang yang memerangi kaum muslimin khususnya dalam keadaan dimana kaum muslimin minoritas seperti di Barat. Setelah memaparkan berbagai dalil, Lembaga ini memberikan kesimpulan sebagai berikut : Tidak dilarang bagi seorang muslim atau Markaz Islam memberikan selamat atas perayaan ini, baik dengan lisan maupun pengiriman kartu ucapan yang tidak menampilkan simbol mereka atau berbagai ungkapan keagamaan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam seperti salib

Sesungguhnya Islam menafikan fikroh salib, firman-Nya :
Artinya : “Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka.” (QS. An Nisaa : 157)

Kalimat-kalimat yang digunakan dalam pemberian selamat ini pun harus yang tidak mengandung pengukuhan atas agama mereka atau ridho dengannya. Adapun kalimat yang digunakan adalah kalimat pertemanan yang sudah dikenal dimasyarakat.

Tidak dilarang untuk menerima berbagai hadiah dari mereka karena sesungguhnya Nabi saw telah menerima berbagai hadiah dari non muslim seperti al Muqouqis Pemimpin al Qibthi di Mesir dan juga yang lainnya dengan persyaratan bahwa hadiah itu bukanlah yang diharamkan oleh kaum muslimin seperti khomer, daging babi dan lainnya.

Diantara para ulama yang membolehkan adalah DR. Abdus Sattar Fathullah Sa’id, ustadz bidang tafsir dan ilmu-ilmu Al Qur’an di Universitas Al Azhar, DR. Muhammad Sayyid Dasuki, ustadz Syari’ah di Univrsitas Qatar, Ustadz Musthafa az Zarqo serta Syeikh Muhammad Rasyd Ridho. (www.islamonline.net)

Adapun MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada tahun 1981 sebelum mengeluarkan fatwanya, terlebih dahulu mengemukakan dasar-dasar ajaran Islam dengan disertai berbagai dalil baik dari Al Qur’an maupun Hadits Nabi saw sebagai berikut :

A) Bahwa ummat Islam diperbolehkan untuk bekerja sama dan bergaul dengan ummat agama-agama lain dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah keduniaan.
B) Bahwa ummat Islam tidak boleh mencampur-adukkan agamanya dengan aqidah dan peribadatan agama lain.
C) Bahwa ummat Islam harus mengakui ke-Nabian dan ke-Rasulan Isa Almasih bin Maryam sebagaimana pengakuan mereka kepada para Nabi dan Rasul yang lain.
D) Bahwa barangsiapa berkeyakinan bahwa Tuhan itu lebih dari satu, Tuhan itu mempunyai anak dan Isa Almasih itu anaknya, maka orang itu kafir dan musyrik.
E) Bahwa Allah pada hari kiamat nanti akan menanyakan Isa, apakah dia pada waktu di dunia menyuruh kaumnya agar mereka mengakui Isa dan Ibunya (Maryam) sebagai Tuhan. Isa menjawab: Tidak.
F) Islam mengajarkan bahwa Allah SWT itu hanya satu.
G) Islam mengajarkan ummatnya untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat dan dari larangan Allah SWT serta untuk mendahulukan menolak kerusakan daripada menarik kemaslahatan.

Juga berdasarkan Kaidah Ushul Fikih 

”Menolak kerusakan-kerusakan itu didahulukan daripada menarik kemaslahatan-kemaslahan (jika tidak demikian sangat mungkin mafasidnya yang diperoleh, sedangkan mushalihnya tidak dihasilkan)”.


 
Untuk kemudian MUI mengeluarkan fatwanya berisi :
  1. Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa as, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan di atas.
  2. Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram.
  3. Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah Subhanahu Wata’ala dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan perayaan Natal.

Mengucapkan Selamat Hari Natal Haram kecuali Darurat

Diantara dalil yang digunakan para ulama yang membolehkan mengucapkan Selamat Hari Natal adalah firman Allah swt :

Artinya : “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah : 8)
Ayat ini merupakan rukhshoh (keringanan) dari Allah swt untuk membina hubungan dengan orang-orang yang tidak memusuhi kaum mukminin dan tidak memerangi mereka. Ibnu Zaid mengatakan bahwa hal itu adalah pada awal-awal islam yaitu untuk menghindar dan meninggalkan perintah berperang kemudian di-mansukh (dihapus).
Qatadhah mengatakan bahwa ayat ini dihapus dengan firman Allah swt :
Artinya : “Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka.” (QS. At Taubah : 5)

Adapula yang menyebutkan bahwa hukum ini dikarenakan satu sebab yaitu perdamaian. Ketika perdamaian hilang dengan futuh Mekah maka hukum didalam ayat ini di-mansukh (dihapus) dan yang tinggal hanya tulisannya untuk dibaca. Ada juga yang mengatakan bahwa ayat ini khusus untuk para sekutu Nabi saw dan orang-orang yang terikat perjanjian dengan Nabi saw dan tidak memutuskannya, demikian dikatakan al Hasan.

Al Kalibi mengatakan bahwa mereka adalah Khuza’ah, Banil Harits bin Abdi Manaf, demikian pula dikatakan oleh Abu Sholeh. Ada yang mengatakan bahwa mereka adalah Khuza’ah.

Mujahid mengatakan bahwa ayat ini dikhususkan terhadap orang-orang beriman yang tidak berhijrah. Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud didalam ayat ini adalah kaum wanita dan anak-anak dikarenakan mereka tidak ikut memerangi, maka Allah swt mengizinkan untuk berbuat baik kepada mereka, demikianlah disebutkan oleh sebagian ahli tafsir… (al Jami’ li Ahkamil Qur’an juz IX hal 311)

Dari pemaparan yang dsebutkan Imam Qurthubi diatas maka ayat ini tidak bisa diperlakukan secara umum tetapi dikhususkan untuk orang-orang yang terikat perjanjian dengan Rasulullah saw selama mereka tidak memutuskannya (ahli dzimmah).

Hak-hak dan kewajiban-kewajiban kafir dzimmi adalah sama persis dengan kaum muslimin di suatu negara islam. Mereka semua berada dibawah kontrol penuh dari pemerintahan islam sehingga setiap kali mereka melakukan tindakan kriminal, kejahatan atau melanggar perjanjian maka langsung mendapatkan sangsi dari pemerintah.

Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Janganlah kamu memulai salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian bertemu salah seorang diantara mereka di jalan maka sempitkanlah jalannya.” (HR. Muslim)

Yang dimaksud dengan sempitkan jalan mereka adalah jangan biarkan seorang dzimmi berada ditengah jalan akan tetapi jadikan dia agar berada ditempat yang paling sempit apabila kaum muslimin ikut berjalan bersamanya. Namun apabila jalan itu tidak ramai maka tidak ada halangan baginya. Mereka mengatakan : “Akan tetapi penyempitan di sini jangan sampai menyebabkan orang itu terdorong ke jurang, terbentur dinding atau yang sejenisnya.” (Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi juz XIV hal 211)

Hadits “menyempitkan jalan” itu menunjukkan bahwa seorang muslim harus bisa menjaga izzahnya dihadapan orang-orang non muslim tanpa pernah mau merendahkannya apalagi direndahkan. Namun demikian dalam menampilkan izzah tersebut janganlah sampai menzhalimi mereka sehingga mereka jatuh ke jurang atau terbentur dinding karena jika ini terjadi maka ia akan mendapatkan sangsi.

Disebutkan didalam sejarah bahwa Umar bin Khottob pernah mengadili Gubernur Mesir Amr bin Ash karena perlakuan anaknya yang memukul seorang Nasrani Qibti dalam suatu permainan. Hakim Syuraih pernah memenangkan seorang Yahudi terhadap Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib dalam kasus beju besinya.

Sedangkan pada zaman ini, orang-orang non muslim tidaklah berada dibawah suatu pemerintahan islam yang terus mengawasinya dan bisa memberikan sangsi tegas ketika mereka melakukan pelanggaran kemanusiaan, pelecehan maupun tindakan kriminal terhadap seseorang muslim ataupun umat islam.

Keadaan justru sebaliknya, orang-orang non muslim tampak mendominanasi di berbagai aspek kehidupan manusia baik pilitik, ekonomi, budaya maupun militer. Tidak jarang dikarenakan dominasi ini, mereka melakukan berbagai penghinaan atau pelecehan terhadap simbol-simbol islam sementara si pelakunya tidak pernah mendapatkan sangsi yang tegas dari pemerintahan setempat, terutama di daerah-daerah atau negara-negara yang minoritas kaum muslimin.

Bukan berarti dalam kondisi dimana orang-orang non muslim begitu dominan kemudian kaum muslimin harus kehilangan izzahnya dan larut bersama mereka, mengikuti atau mengakui ajaran-ajaran agama mereka. Seorang muslim harus tetap bisa mempertahankan ciri khas keislamannya dihadapan berbagai ciri khas yang bukan islam didalam kondisi bagaimanapun.

Tentunya diantara mereka—orang-orang non muslim—ada yang berbuat baik kepada kaum muslimin dan tidak menyakitinya maka terhadap mereka setiap muslim diharuskan membalasnya dengan perbuatan baik pula.

Al Qur’an maupun Sunah banyak menganjurkan kaum muslimin untuk senantiasa berbuat baik kepada semua orang baik terhadap sesama muslim maupun non muslim, diantaranya : surat al Mumtahanah ayat 8 diatas. Sabda Rasulullah saw,”Sayangilah orang yang ada di bumi maka yang ada di langit akan menyayangimu.” (HR. Thabrani) Juga sabdanya saw,”Barangsiapa yang menyakiti seorang dzimmi maka aku akan menjadi lawannya di hari kiamat.” (HR. Muslim)

Perbuatan baik kepada mereka bukan berarti harus masuk kedalam prinsip-prinsip agama mereka (aqidah) karena batasan didalam hal ini sudah sangat jelas dan tegas digariskan oleh Allah swt :


Artinya : “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (QS. Al Kafirun : 6)

Hari Natal adalah bagian dari prinsip-prinsip agama Nasrani, mereka meyakini bahwa di hari inilah Yesus Kristus dilahirkan. Didalam bahasa Inggris disebut dengan Christmas, Christ berarti Kristus sedangkan Mass berarti masa atau kumpulan jadi bahwa pada hari itu banyak orang berkumpul mengingat / merayakan hari kelahiran Kristus. Dan Kristus menurut keyakinan mereka adalah Allah yang mejelma.

Berbuat kebaikan kepada mereka dalam hal ini adalah bukan dengan ikut memberikan selamat Hari Natal dikarenakan alasan diatas akan tetapi dengan tidak mengganggu mereka didalam merayakannya (aspek sosial).

Pemberian ucapan selamat Natal baik dengan lisan, telepon, sms, email ataupun pengiriman kartu berarti sudah memberikan pengakuan terhadap agama mereka dan rela dengan prinsip-prinsip agama mereka. Hal ini dilarang oleh Allah swt dalam firman-Nya,

Artinya : “Jika kamu kafir Maka Sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (QS. Az Zumar : 7)

Jadi pemberian ucapan Selamat Hari Natal kepada orang-orang Nasrani baik ia adalah kerabat, teman dekat, tetangga, teman kantor, teman sekolah dan lainnya adalah haram hukumnya, sebagaimana pendapat kelompok pertama (Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Ibn Baaz dan lainnya) dan juga fatwa MUI.

Namun demikian setiap muslim yang berada diantara lingkungan mayoritas orang-orang Nasrani, seperti muslim yang tempat tinggalnya diantara rumah-rumah orang Nasrani, pegawai yang bekerja dengan orang Nasrani, seorang siswa di sekolah Nasrani, seorang pebisnis muslim yang sangat tergantung dengan pebisinis Nasrani atau kaum muslimin yang berada di daerah-daerah atau negeri-negeri non muslim maka boleh memberikan ucapan selamat Hari Natal kepada orang-orang Nasrani yang ada di sekitarnya tersebut disebabkan keterpaksaan. Ucapan selamat yang keluar darinya pun harus tidak dibarengi dengan keredhoan didalam hatinya serta diharuskan baginya untuk beristighfar dan bertaubat.
Diantara kondisi terpaksa misalnya; jika seorang pegawai muslim tidak mengucapkan Selamat Hari Natal kepada boss atau atasannya maka ia akan dipecat, karirnya dihambat, dikurangi hak-haknya. Atau seorang siswa muslim apabila tidak memberikan ucapan Selamat Natal kepada Gurunya maka kemungkinan ia akan ditekan nilainya, diperlakukan tidak adil, dikurangi hak-haknya. Atau seorang muslim yang tinggal di suatu daerah atau negara non muslim apabila tidak memberikan Selamat Hari Natal kepada para tetangga Nasrani di sekitarnya akan mendapatkan tekanan sosial dan lain sebagainya.

Artinya : “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (QS. An Nahl : 106)

Adapun apabila keadaan atau kondisi sekitarnya tidaklah memaksa atau mendesaknya dan tidak ada pengaruh sama sekali terhadap karir, jabatan, hak-hak atau perlakuan orang-orang Nasrani sekelilingnya terhadap diri dan keluarganya maka tidak diperbolehkan baginya mengucapkan Selamat Hari Natal kepada mereka.

Hukum Mengenakan Topi Sinterklas

Sebagai seorang muslim sudah seharusnya bangga terhadap agamanya yang diimplementasikan dengan berpenampilan yang mencirikan keislamannya. Allah swt telah menetapkan berbagai ciri khas seorang muslim yang membedakannya dari orang-orang non muslim.

Dari sisi bisnis dan muamalah, islam menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba yang merupakan warisan orang-orang jahiliyah. Dari sisi busana, islam memerintahkan umatnya untuk menggunakan busana yang menutup auratnya kecuali terhadap orang-orang yang diperbolehkan melihatnya dari kalangan anggota keluarganya. Dari sisi penampilan, islam meminta kepada seorang muslim untuk memelihara jenggot dan mencukur kumis.

Islam meminta setiap umatnya untuk bisa membedakan penampilannya dari orang-orang non muslim, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Bedakanlah dirimu dari orang-orang musyrik, panjangkanlah jenggot dan cukurlah kumis.” (Muttafaq Alaih)

Islam melarang umatnya untuk meniru-niru berbagai prilaku yang menjadi bagian ritual keagamaan tertentu diluar islam atau mengenakan simbol-simbol yang menjadi ciri khas mereka seperti mengenakan salib atau pakaian khas mereka.

Terkadang seorang muslim juga mengenakan topi dan pakaian Sinterklas didalam suatu pesta perayaan Natal dengan teman-teman atau bossnya, untuk menyambut para tamu perusahaan yang datang atau yang lainnya.
Sinterklas sendiri berasal dari Holland yang dibawa ke negeri kita. Dan diantara keyakinan orang-orang Nasrani adalah bahwa ia sebenarnya adalah seorang uskup gereja katolik yang pada usia 18 tahun sudah diangkat sebagai pastor. Ia memiliki sikap belas kasihan, membela umat dan fakir miskin. Bahkah didalam legenda mereka disebutkan bahwa ia adalah wakil Tuhan dikarenakan bisa menghidupkan orang yang sudah mati.

Sinterklas yang ada sekarang dalam hal pakaian maupun postur tubuhnya, dengan mengenakan topi tidur, baju berwarna merah tanpa jubah dan bertubuh gendut serta selalu tertawa adalah berasal dari Amerika yang berbeda dengan aslinya yang berasal dari Turki yang selalu mengenakan jubah, tidak mesti berbaju merah, tidak gendut dan jarang tertawa. (disarikan dari sumber : http://h-k-b-p.blogspot.com)

Namun demikian topi tidur dengan pakaian merah yang biasa dikenakan sinterklas ini sudah menjadi ciri khas orang-orang Nasrani yang hanya ada pada saat perayaan Hari Natal sehingga dilarang bagi setiap muslim mengenakannya dikarenakan termasuk didalam meniru-niru suatu kaum diluar islam, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Siapa yang meniru suatu kaum maka ia adalah bagian dari mereka.” (Muttafaq Alaih)

Tidak jarang diawali dari sekedar meniru berubah menjadi penerinaan dan akhirnya menjadi pengakuan sehingga bukan tidak mungkin bagi kaum muslimin yang tidak memiliki dasar keimanan yang kuat kepada Allah ia akan terseret lebih jauh lagi dari sekedar pengakuan namun bisa menjadikannya berpindah agama (murtad)

Akan tetapi jika memang seseorang muslim berada dalam kondisi terdesak dan berbagai upaya untuk menghindar darinya tidak berhasil maka ia diperbolehkan mengenakannya dikarenakan darurat atau terpaksa dengan hati yang tidak redho, beristighfar dan bertaubat kepada Allah swt, seperti : seorang karyawan supermarket miliki seorang Nasrani, seorang resepsionis suatu perusahaan asing, para penjaga counter di perusahaan non muslim untuk yang diharuskan mengenakan topi sinterklas dalam menyambut para tamunya dengan ancaman apabila ia menolaknya maka akan dipecat.

Wallahu A’lam
Diambil dari Artikel Eramuslim dan lainnya.