Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokaatuh..
Apakah kebenaran dalam hal ibadah/muamalah yang bersifat furu' adalah absolut?...dan bila kita temukan ternyata pendapat kita dalam masalah ibadah / muamalah yang bersifat furu' tersebut berbeda dengan yang lain, bagaimanakah kita bersikap. Apakah kita jadi serta merta salah dalam melakukan ibadah tersebut. Berikut ada sebuah artikel tentang Ikhtilaf dalam Hukum Islam (Fiqh), tentang ibadah / muamalah yang bersifat furu'
Ikhtilaf Dalam Fiqh
Oleh : Hanif Luthfi, S.Sy
Bagi yang sering bermuamalah dengan
kitab perbandingan madzhab, pasti tidak asing dengan adanya perbedaan pendapat
diantara para ulama. Adanya ikhtilaf dalam fiqih bukanlah hal yang layak
diingkari. Hal itu terjadi sejak zaman salaf shalih dari shahabat, tabi’in,
tabi’iut tabi’in dan sampai imam madzhab, bahkan sampai sekarang ini.
Diantara contohnya adalah tentang wali
nikah, Imam Abu Hanifah menganggap wali nikah bukan rukun atau pun syarat
sahnya nikah. Seorang wanita yang sudah berakal dan baligh boleh menikahkan
dirinya sendiri dengan pria asalkan se-kufu’[1].
Imam Abu Hanifah juga berpendapat anak
yatim yang memiliki harta, tidaklah wajib baginya zakat kecuali jika harta itu
berupa harta dari hasil bumi[2], pendapat ini berbeda dengan kebanyakan ulama.
Dalam Madzhab Maliki, anjing tidaklah
najis[3]. Berbeda dengan semua mazhab ulama, bahkan madzab Syafi’i
menganggapnya sebagai najis mughalladzah.
Dalam Madzhab Syafi’i, qunut shubuh
hukumnya sunnah. Sedangkan dalam madzhab Hanafi, dianggap bid’ah[4].
Dalam Madzhab Hanbali, kotoran hewan
yang halal dimakan dagingnya tidaklah najis[5]. Misalnya, jika ada seseorang
yang shalat dan kakinya menginjak kotoran ayam, maka shalatnya tetap sah dan
tidaklah batal. Berbeda dengan Madzhab Syafi’i yang menganggapnya najis
mutawassithah.
Saling
Menghakimi
Tapi dari perbedaan pendapat itu, apakah
kita temui diantara para imam madzhab itu saling menghakimi?
Pernahkah Imam Syafi’i menghujat Imam
Abu Hanifah, lantaran berani membolehkan perzinaan dengan nikah tanpa wali,
atau telah menentang kewajiban zakat bagi anak yatim?
Pernahkah Imam Syafi’i menyalahkan
gurunya, Imam Malik, karena menganggap anjing tidak najis, sampai mengaku
mantan murid yang telah bertaubat dari ajaran gurunya?
Pernahkah Imam Syafi’i dituduh
menyebarkan kebid’ahan oleh Madzhab Hanafiyyah, karena telah menganggap qunut
shubuh itu sunnah?
Atau adakah yang menganggap ibadah
shalat Mazdhab Hanbali tidak sah karena barangkali di bajunya ada najis
mutawassithah, kotoran hewan?
Sama sekali tidak kita temui penghakiman
semacam itu. Karena para imam madzhab itu sedang berbicara hukum, bukan sedang
menjadi hakim.
Imam as-Suyuthi (w. 911 H) menyebutkan
dalam kitabnya, al-Asybah wa an-Nadza'ir:
لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
Tidak diinkari adanya perkara yang
diperselihkan, yang diinkari adalah adanya sesuatu yang disepakati[6].
Berbeda
tidak Harus Bermusuhan
Justru yang kita temukan adalah
sebaliknya. Diantara para imam madzhab itu malah saling menghormati dan saling
memuji satu sama lainnya.
Imam Syafi’i memuji Imam Abu Hanifah,
beliau mengatakan, من أراد الفقه فهو عيال على أبي حنيفة ”Siapa yang
ingin tahu ilmu fiqih, maka ia bergantung kepada Abu Hanifah”[7].
Sebagaimana Imam Malik (w. 179 H) juga
memuji Imam Abu Hanifah (w. 150 H). Diriwayatkan dari Ahmad bin as-Shabbah
bahwa Imam Syafi’i pernah bertanya kepada Imam Malik, apakah engkau pernah
melihat Imam Abu Hanifah? Imam Malik bin Anas radliyallahuanhu menjawab iya, هذا الذي لو قال عن هذه السارية: إنها ذهب لاحتج لما قال. “Inilah dia
(Imam Abu Hanifah) yang jika beliau berkata tentang tiang ini, bahwa ini adalah
emas, maka hal itupun bisa menjadi hujjah[8].
Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) memuji
Imam as-Syafi’i (w. 204 H)[9]:
وقال محمد بن هارون الزنجاني: حدثنا عبد الله بن أحمد، قلت لأبي: أي رجل كان الشافعي، فإني سمعتك تكثر من الدعاء له؟ قال: يا بني، كان كالشمس للدنيا، وكالعافية للناس، فهل لهذين من خلف، أو منهما عوض
Muhammad bin Harun az-Zanjani berkata,
Abdullah bin Ahmad berkata: Saya berkata kepada bapakku (Ahmad bin Hanbal),
siapakah Syafi’i itu, sehingga engkau banyak mendo’akannya. Ahmad bin Hanbal
berkata, wahai anakku! Dia itu seperti matahari bagi dunia, kesehatan bagi
manusia. Apakah yang bisa menggantikan kedua hal itu?.
Tak hanya dalam pujian lisan saja,
ulama’ Hanafiyyah dan Syafi’iyah mereka juga shalat di belakang ulama’ ahli
Madinah dari Madzhah Malikiyah, padahal mereka tidak membaca basmalah baik
secara pelan maupun keras[10].
Khalifah Harun ar-Rasyid menjadi Imam shalat,
beliau bekam dan tidak wudhu’ setelahnya. Abu Yusuf (w. 182 H) shalat ma’mun
kepadanya tanpa mengulangi shalat setelah itu, padahal menurut Abu Yusuf
al-Hanafi, bekam termasuk hal yang membatalkan wudhu.
Imam Ahmad bin Hanbal termasuk ulama
yang mengatakan bahwa bekam termasuk hal yang membatalkan wudhu. Beliau pernah
ditanya, bolehkah makmum kepada orang yang bekam sehingga keluar darah, dan dia
tidak wudhu’ setelahnya? Imam Ahmad menjawab: “Bagaimana saya tidak shalat di
belakang Imam Malik dan Said bin Musayyib[11]?”
Imam Syafi’i (w. 204 H) pernah shalat
shubuh di dekat kubur Abu Hanifah tanpa qunut, padahal qunut menurut Imam
Syafi’i termasuk sunnah ab’ad. Hal ini untuk menghormati Imam Abu Hanifah[12].
Fiqih
Adalah Faham Hukum
Fiqih secara bahasa berarti faham.
Secara istilah, biasanya fiqih dimaknai dengan mengetahui hukum-hukum syari’ah
yang bersifat amaliyyah yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci[13].
Tentu pelajaran ini adalah materi dasar sebelum kita memulai belajar fiqih maupun
ushul fiqih.
Titik pembahasan fiqih adalah menghukumi
perbuatan seorang hamba, baik dengan hukum taklify; seperti: wajib, sunnah,
mubah, makruh, haram, ataupun dengan hukum wadh’iy; seperti sah atau batal.
Dalam Fiqih, yang dibahas adalah
pekerjaan manusia. Untuk selanjutnya ditentukan hukumnya menurut syariat, baik
hukum wadh’iy maupun taklify. Bukan menilai subjek atau manusianya.
Fiqih menjelaskan ini hukumnya wajib,
ini hukumnya makruh, ini hukumnya sah. Bukan menghakimi orangnya, dengan
mengatakan orang ini sesat, kiyai ini telah menyimpang, Habib ini salah,
kelompok ini neo mu’tazilah, kelompok itu musyrik, dan lain sebagainya.
Bagaimana
Jika Bukan Imam Syafi’i?
Ada satu paragraf yang saya temukan di
kitab al-Umm karya Imam Syaf’i (w. 204 H). Ketika beliau menuliskan tentang bab
kesaksian Ahlu al-Ahwa’[14]:
وَالْمُسْتَحِلُّ لِنِكَاحِ الْمُتْعَةِ وَالْمُفْتِي بِهَا وَالْعَامِلُ بِهَا مِمَّنْ لَا تُرَدُّ شَهَادَتُهُ وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ مُوسِرًا فَنَكَحَ أَمَةً مُسْتَحِلًّا لِنِكَاحِهَا مُسْلِمَةً أَوْ مُشْرِكَةً لِأَنَّا نَجِدُ مِنْ مُفْتِي النَّاسِ وَأَعْلَامِهِمْ مَنْ يَسْتَحِلُّ هَذَا وَهَكَذَا الْمُسْتَحِلُّ الدِّينَارَ بِالدِّينَارَيْنِ وَالدِّرْهَمَ بِالدِّرْهَمَيْنِ يَدًا بِيَدٍ وَالْعَامِلُ بِهِ لِأَنَّا نَجِدُ مِنْ أَعْلَامِ النَّاسِ مَنْ يُفْتِي بِهِ وَيَعْمَلُ بِهِ وَيَرْوِيه، وَكَذَلِكَ الْمُسْتَحِلُّ لِإِتْيَانِ النِّسَاءِ فِي أَدْبَارِهِنَّ فَهَذَا كُلُّهُ عِنْدَنَا مَكْرُوهٌ مُحَرَّمٌ وَإِنْ خَالَفْنَا النَّاسَ فِيهِ فَرَغِبْنَا عَنْ قَوْلِهِمْ وَلَمْ يَدْعُنَا هَذَا إلَى أَنْ نَجْرَحَهُمْ وَنَقُولَ لَهُمْ إنَّكُمْ حَلَّلْتُمْ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَأَخْطَأْتُمْ لِأَنَّهُمْ يَدَّعُونَ عَلَيْنَا الْخَطَأَ كَمَا نَدَّعِيه عَلَيْهِمْ وَيَنْسِبُونَ مَنْ قَالَ قَوْلَنَا إلَى أَنَّهُ حَرَّمَ مَا أَحَلَّ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
Orang yang menganggap halal nikah
muth’ah, orang yang memfatwakannya, dan orang yang melakukan nikah muth’ah
termasuk orang yang tidak ditolak kesaksiannya. Sebagaimana kaya yang menikahi
seorang hamba sahaya, karena mengaggapnya halal baik yang muslimah ataupun musyrikah.
Karena kita temukan ada mufti dan Ulama’ yang membolehkan hal itu.
Sebagaimana (diterima kesaksiannya)
orang yang menganggap halal, menukar satu dinar dengan dua dinar atau satu
dirham dengna dua dirham dengan kontan, dan orang yang melakukannya. Karena
kita temukan ada Ulama’ yang membolehkannya, mengamalkan dan meriwayatkannya.
Sebagaimana (diterima kesaksiannya)
orang yang membolehkan mendatangi istri dari duburnya. Meskipun kita
mengharamkan hal tersebut, kita juga membenci perkataan tersebut, tapi tidak
lantas membolehkan kita untuk mencela mereka dengan mengatakan; “kalian telah
menghalalkan apa yang telah Allah ta’ala haramkan, dan kalian telah salah”.
Karena jika demikian, mereka juga
menganggap kita telah salah, telah mengharamkan apa yang telah Allah halalkan.
Imam as-Syafi’i memang telah menghukumi
haram mendatangi istri dari duburnya. Tapi tidak lantas beliau menghakimi orang
yang membolehkannya, lantas mencelanya. Ini sikap Imam as-Syafi’i, salah
seorang Fuqaha’ zaman dahulu. Lantas bagaimana dengan para syeikh atau ustadz
saat ini?
With
Us or Again Us?
Sayangnya, banyak hal yang sebenarnya
masuk dalam ranah furu’ fiqih yang sangat mungkin ada ikhtilaf dan bisa
didiskusikan, malah menjadi bahan perpecahan. Dengan mengatakan pendapat kami
lebih rajih dan lebih benar, maka harus ikuti pendapat saya. Jika tidak,
artinya menentang dakwah Islam, menyelisihi Sunnah, termasuk bid’ah yang
tercela.
Tentu kita tidak ingin terjadi
perpecahan gara-gara sesuatu yang sebenarnya masih bisa didiskusikan. Kembali
kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai pemahaman Salaf shaleh tentunya harus
dibarengi juga dengan mengikuti adab dan akhlaq Salaf.
waAllahu a’lamu bis Shawab
Footnote:
[1] Ibnu ar-Rusyd Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd
al-Qurthubi, Bidayat al-Mujtahid, (Kairo: Daar al-Hadits, 1425 H), juz 3, hal.
36
[2] Ibnu ar-Rusyd Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd
al-Qurthubi, Bidayat al-Mujtahid, , juz 2, hal. 5
[3] Wizarat al-Auqaf al-Kuwaitiyyah, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah
al-Kuwaitiyyah, (Kuwait: Daar as-Salasil, 1404 H), juz 35, hal. 129
[4] Abdurrahman bin Muhammad bin Sulaiman (w. 1078 H), Majma’ al-Anhar,
Daar Ihya at-Turats al-Arabi, juz 1, hal. 129
[5] Ibnu Quddamah Muwaffaq ad-Din Abdullah bin Ahmad bin Muhammad (w.
620 H), al-Mughni, (Kairo: Maktabah al-Qahirah, 1388 H), juz 2, hal. 65
[6] Diinkari maksudnya adalah jika ada seseorang yang menyatakan suatu
perkara adalah Ijma’, maka pernyataan itu patut dipertanyakan kebenarannya.
Ikhtilaf disini adalah ikhtilah dalam ranah fiqih yang bersifat furu’. Lihat:
As-Suyuthi Abdurrahman bin Abu Bakar Jalaluddin (w. 911 H), al-Asybah wa
an-Nadzair, (Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1411 H), hal. 158
[7] Ibnu Katsir Abu al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi Ibnu
Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, (Baerut: Maktabah al-Ma’arif, t.t), juz 10,
hal. 107
[8] Abu Bakar bin Ali bin Tsabit bin Ahmad bin Mahdi al-Khatib
al-Baghdadi (w.465 H), Tarikh Baghdad, (Bairut: Dar al-Maghrib al-Islami, 1422
H), cet. 1, Tahqih Dr. Basyar Awad Ma’ruf, Juz 13, hal. 346, lihat juga:
Abdurrahman Ra’fat al-Basya (w. 1986 M), Shuwar min Hayati at-Tabi’in, h. 493
[9] Ad-Dzahabi Al Hafidz Abu Abdillah Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin
Utsman ad-Dzahabi (w. 748 H), Siyaru A’lami an-Nubala, juz 10, hal. 45
[10] Thaha Jabir Fayyad al-Ulwani, Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam,
(al-Ma’had al-Alami li al-Fikr al-Islami), hal. 116
[11] Hal ini mengindikasikan bahwa Imam Malik dan Said bin Musayyib
memandang tidak batal wudhu’ orang yang bekam dan keluar darah.
[12] Thaha Jabir Fayyad al-Ulwani, Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam, hal.
116
[13] Abdul Wahab Khalaf (w. 1375 H), Ilmu Ushul Fiqih, (Kairo: Maktabah
ad-Dakwah), hal. 12
[14] Muhammad bin Idris as-Syafi’i (w. 204 H), al-Umm, (Baerut: Daar
al-Ma’rifat, 1410 H), juz 6, hal. 222
Tidak ada komentar:
Posting Komentar