Kamis, 20 Desember 2012

Ditinggalkansuatu perkara tidak otomatis meng indikasikan Ke Haraman nya


At Tark / Ditinggalkannya atau tidak dilakukannya sebuah perkara tidak otomatis mengindikasikan ke-haram-annya, dengan penjelasan sebagai berikut:

 
At Tark alias ditinggalkannya suatu perkara jika tidak disertai dalil yang menunjukkan bahwa perkara yang ditinggal tersebut adalah terlarang, maka At Tark seperti ini tidak dapat dijadikan Hujjah untuk larangan, cukup baginya dijadikan hujjah bahwa meninggalkan perkara tersebut adalah Masyru’ diakui oleh syara’ dan bukan sebuah kesalahan.

Seperti tentang pendapat yang menolak wiridan atau do’a setelah sholat dengan alasan hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh para Salaf as Solih. Kami berpendapat ; seandainya hal itu benar (tidak ada dari kalangan slaf as solih yang wiridan atau berdo’a sesudah solat) kenyataan itu tidak menghasilkan hukum apapun selain bahwa tidak wiridan atau berdo’a sesudah solat adalah boleh apapun kondisinya baik repot maupun longgar. Dan tidak akan berindikasi kemakruhan apalagi keharaman wiridan ba’da solat, terlebih jika memperhatikan ke-mujmal-an dalil tentang dzikir dan do’a.

 
Di dalam kitab Al Mahalli Imam Ibnu Hazm menuturkan hujjah para ulama’ Malikiyyah dan Hanafiyyah yang memakruhkan sholat dua rokaat sebelum maghrib dimana mereka berhujjah dengan pendapat Ibrohim an Nakho’i yang menyatakan ; “sesungguhnya Abu Bakar, Umar dan Utsman tidak melakukannya”. Ibnu Hazm menjawab ; “ seandainya hal itu benar, sungguh tidak ada (bisa dijadikan hujjah) dalam hal tersebut, karena mereka (para sahabat) tidak melarang melaksanakan sholat dua rokaat sebelum maghrib “. (Al Mahalli, 2/254). Terlebih jika kita memandang ke-mujmal-an dalil sholat tahiyyatul masjid.

 
Lebih jauh dalam Al Mahalli disebutkan :
وأما حديث علي، فلا حجة فيه أصلاً، لأنه ليس فيه إلا إخباره بما علم من أنه لم ير رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاهما، وليس في هذا نهي عنهما ولا كراهة لهما، فما صام عليه السلام قط شهرًا كاملاً غير رمضان وليس هذا بموجب كراهية صوم شهر كامل تطوعًا اهـ. فهذه نصوص صريحة في أن الترك لا يفيد كراهة فضلاً عن الحرمة

“ Adapun hadits Sayyidina Ali, tidak terdapat hujjah sama sekali didalamnya, karena Sayyidina Ali ra hanya menghabarkan bahwa beliau tidak pernah melihat Rosululloh Saw sholat dua rokaat (ba’da ashar. red), dan didalamnya (perkataan Sayyidina Ali) tidak ada larangan dan kemakruhan solat dua rokaat ba’da ashar. maka (bukankah) Rosululloh Saw, tidak pernah puasa sebulan penuh kecuali dibulan Romadhon, dan ini tidak menyebabkan makruhnya puasa sunnah sebulan penuh. (Al Mahalli, 2/271)


Ini adalah nash yang jelas bahwa tidak dilakukannya atau ditinggalkannya suatu perkara tidaklah otomatis mengindikasikan ke-makruh-annya, apalagi ke-haram-annya.
Sedang terhadap mereka yang menolak kaedah ini, dan menyatakan ini tidak ada dalam kaedah ushul fiqih, berikut kami sampaikan bukti-buktinya:

1. Dalam Ushul Fiqih, dalil yang menunjukkan larangan ditunjukkan dengan tiga hal :
a. Shighot Nahi (bentuk kalimat larangan) seperti :
ولا تقربوا الزنا: Dan Janganlah kalian mendekati zina
ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل : Dan Janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.
Larangan dengan sighot Nahi tsb pada asalnya berindikasi Haram namun terkadang bisa berindikasi Makruh.
b. Lafadz Tahrim : (lafazh yang menunjukkan keharaman ) seperti :
حرّمت عليكم الميتة : diharamkan atas kalian bangkai
c. Dzammul Fi’li : (adanya cela-an atas perkara tsb, atau adanya ancaman siksa bagi pelakunya), contoh :
من غش فليس منا : Barang siapa memalsukan maka ia bukan termauk golonganku.
Dari tiga hal diatas tidak kita dapati At Tark sebagai salah satunya.

2. Firman Alloh SWT dalam al qur’an :
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“ Apa yang diberikan Rosul bagimu terimalah, Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah “ (QS, Al Hasyr : 7)
Disini Alloh tidak menyatakan و ما تركه فانتهوا “dan apa yang ditinggalkan Rosul maka tinggalkanlah “. Maka At Tark tidak berindikasi terlarang.

3. Rosululloh SAW, bersabda :
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“ Apa-apa yang aku cegah atas kalian maka jauhilah (tinggalkanlah), dan apa-apa yang aku perintahkan pada kalian kerjakanlah semampu kalian “ (HR. Bukhori Muslim)
Dalam hadits diatas Rosululloh Saw tidak mengatakan :وما تركته فاجتنبوهdan apa-apa yang aku tinggalkan maka jauhilah. Lantas dari mana At Tark dijadikan kaedah larangan.

4. Para Ulama’ Ushul mendefisikan Sunnah adalah : Perkataan, Perbuatan, dan atau Ketetapan Rosululloh Saw. Dan mereka tidak mengatakan At Tark (apa yang ditinggalkan Nabi Saw) termasuk Sunnah. Karena At Tark tidak menunjukan apa-apa kecuali kebolehan tidak melakukan perkara yang ditinggalkan Nabi Saw.

5. Sumber hukum dalam Islam yang disepakati adalah Al Qur’an dan As Sunnah, sedang Jumhur ulama menambahkannya dengan Ijma’ dan Qiyas. Lantas apakah At Tark adalah salah satu dari sumber hukum Islam untuk menetapkan keharaman atau kemakruhan sesuatu? Tentu tidak.

6. Sebagaimana yang telah kami sampaikan diatas, bahwa ditinggalkannya sebuah perkara oleh Rosululloh Saw maupun para sahabat memiliki banyak kemungkinan sebagai penyebabnya. Boleh jadi para sahabat (sepeninggal Rosululloh) meninggalkan atau tidak mengerjakan sesuatu karena memang sebuah Ijma’, atau karena kesepakatan bahwa hal tersebut tidak boleh, atau karena mereka menganggap ada hal lain yang lebih baik, atau ada sebab-sebab lain. Lantas apakah perkara yang memiliki banyak kemungkinan (at tark) dapat dijadikan dalil untuk menetapkan kemakruhan atau keharaman? Fa Taammal !!!

7. At Tark adalah ashal, karena asal dari sesuatu adalah tidak ada. Maka At Tark tidak dapat membuktikan (dijadikan dalil) terlarangnya sesuatu. Fa Taammal Kay La Takhsar !!!

Catatan : Penulis tidak mengingkari orang yang meninggalkan perkara yang tidak pernah dilakukan Rosululloh Saw dengan alasan Ittiba’, bahkan hal tersebut merupakan kebaikan. Namun mengharamkan apa yang ditinggalkan atau tidak dilakukan Rosululloh Saw dan Salaf as Sholih tanpa adanya dalil yang melarangnya adalah sebuah kedustaan atas nama agama.
 
 *****
 
Selanjutnya segala apa yang ditinggalkan atau tidak dikerjakan Rosululloh Saw, sampai wafatnya beliau secara garis besar para Ulama membagi dalam dua macam :

- Perkara yang ditinggalkan Rosululloh Saw karena tidak ada hal yang mendorong untuk melakukannya, namun setelah wafatnya Rosululloh Saw didapati pendorong/penyebab yang menghendaki untuk melakukannya. Hal semacam ini pada dasarnya boleh selama tidak menyalahi dalil-dalil nash. Contoh : Penghimpunan Mushaf pada masa Kholifah Abu Bakar RA, Penambahan adzan jum’ah pada masa Kholifah Utsman RA, dan yang lain.

- Perkara yang ditinggalkan / tidak dikerjakan Rosululloh Saw padahal ada faktor yang mendorong untuk melakukannya, dalam hal ini ada dua sebab:
a. Tidak adanya kemaslahatan syar’i dalam perkara tersebut. Maka dalam hal yang demikian hukumnya terlarang.
b. Adanya madhorot yang lebih besar dari pada kemaslahatannya, seperti jamaah solat tarowih, namun ketika madhorotnya (yakni khawatir diwajibkan) hilang sehingga hanya tinggal manfaatnya, hal tersebut dapat dilakukan.

Sebelum kita sampai pada kesimpulan tentang At Tark berikut kami kutipkan sebuah kisah dari Abdulloh bin Al Mubarok yang dituturkan oleh Sayyid Al Ghummari dalam kitabnya (Husnut Tafahhumi Wad Darki Li Mas-alatit Tarki) :

قال عبد الله بن المبارك: أخبرنا سلام بن أبي مطيع عن ابن أبي دخيلة عن أبيه قال: كنت عند ابن عمر فقال: “نهى رسول الله عن الزبيب والتمر يعني أن يخلطا”. فقال لي رجل من خلفي ما قال؟ فقلت: “حرم رسول الله صلى الله عليه وسلم التمر والزبيب” فقال عبد الله بن عمر: “كذبت”! فقلت: “ألم تقل نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عنه؟ فهو حرام” فقال: “أنت تشهد بذلك؟” قال سلام كأنه يقول: ما نهى النبي صلى الله عليه وسلم فهو أدب.


Abdulloh bin Al Mubarok berkata : Telah menceritakan kepadaku Salam bin Abi Muthi’ dari Ibnu Abi Dakhilah dari ayahnya, ia berkata : “ Aku berada disisi Abdulloh bin Umar, maka ia (Ibnu Umar) berkata : “ Rosululloh melarang korma dan kismis yakni mencampur keduanya “. Maka seorang lelaki dibelakangku bertanya : “ Apa yang telah disampaikan Ibnu Umar ?” Maka aku menjawab :” Rosululloh Saw mengharamkan mencampur korma dengan kismis “. Maka Abdulloh bin Umar berkata : “ Kamu berdusta!”. Akupun bertanya : “ Bukankah anda mengatakan bahwa Rosululloh Saw melarang mencampur korma dengan kismis? Maka itu berarti haram” Ibnu Umar RA berkata : “ Apa engkau (berani) bersaksi akan hal itu ?”. Salam berkata : “ Seakan-akan Abdulloh bin Umar berkata bahwa apa yang dilarang Nabi Saw adalah adab (makruh).


Coba perhatikan sikap Abdulloh bin Umar RA salah satu Fuqoha-us Shohabah, dimana beliau menganggap dusta orang yang menafsirkan Nahi dengan Haram, padahal dalam ushul fiqih asal dari Nahi adalah Haram meskipun tidak shorih, namun terkadang Nahi juga bisa berindikasi Makruh.

 

Kesimpulan Tentang At Tark :


• Perkara yang ditinggalkan Rosululloh saw maupun para sahabat tidak otomatis menunjukkan perkara tersebut makruh atau haram,kecuali ada dalil yang menetapkan kemakruhan atau keharaman perkara tersebut.
• At Tark yakni ditinggalkan dan atau tidak dilakukannya sebuah perkara, bukanlah landasan hukum untuk memakruhkan atau mengharamkan perkara tersebut.
• Terhadap perkara baru, tidak langsung dapat divonis sesat atau haram sebelum diuji dengan dalil-dalil yang menjadi landasan agama yakni; Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
• Ungkapan “ Lau Kaana Khoiron Lasabaquunaa Ilaihi “ bukanlah sumber hukum bukan pula kaedah ushul untuk menetapkan kemakruhan atau keharaman suatu perkara. Memaksakan diri memakai ungkapan ini sebagai dasar untuk mengharamkan suatu perkara hanya akan menimbulkan fitnah bagi ajaran Islam.


Disarikan dari Kitab “ Husnu At Tafahhum Wa Al Darki Li Masalai Al Tarki “ karya Sayyid Abdulloh bin As Siddiq Al Ghumari Al husaini. Tak lupa mohon koreksi atas segala kesalahan, terima kasih sebelumnya.


Rabu, 19 Desember 2012

Kaidah-kaidah Fiqh dan Penerapannya dalam Agama dan Kehidupan

Oleh: Farid Nu’man Hasan
Mukadimah

                Ini adalah risalah kecil yang berisikan kumpulan kaidah-kaidah fiqih yang lazim digunakan para fuqaha dalam menelurkan keputusan fiqih dari sebuah peristiwa, keadaan, atau benda. Selain menggunakan Al Quran, As Sunnah, Ijma’ dan qiyas, sebagai rujukan utama, para ulama juga menggunakan kaidah-kaidah ini yang sebenarnya juga diambil dari nash-nash Al Quran dan As Sunnah. Dengan kata lain, kaidah-kaidah ini bukanlah hal yang mengada-ada dan berdiri sendiri tanpa ikatan apa pun dengan sumber pokoknya.
                Adanya kaidah ini sangat membantu para ilmuwan, dosen, mahasiswa, atau siapa saja yang menekuni bidang fiqih untuk mengantarkan mereka kepada sebuah pemahaman yang utuh, luas, dan lentur, terhadap teks-teks syariat.  Dengan memahami dan memanfaatkan kaidah-kaidah ini dengan tepat, akan menghasilkan pandangan dan sikap yang kuat, tepat, membumi dan produktif. Jangan sampai para fuqaha (juris) memiliki pendapat yang jauh dari realita objek fiqih, jauh dari kebutuhan masyarakat, dan minim referensi, sehingga mereka mengeluarkan pandangan yang menjadi bahan tertawaan dan olok-olok kaum yang membenci syariat Islam. Di sisi lain, memang rapuh untuk dijadikan pegangan.
                Oleh karenanya, tidak syak (ragu) lagi, bagi mereka yang mencoba mendalami atau paling tidak mencoba mengenal fiqih Islam, mereka harus memahami betul kaidah-kaidah fiqih.  Ibarat matematika, kaidah-kaidah fiqih adalah rumus-rumus yang membantu mengantarkan pelajar kepada jawaban dari persoalan.
                Berikut ini akan kami ketengahkan berbagai Al Qawaid Al Fiqhiyah yang ma’ruf digunakan para ulama kita dalam mengambil sikap dari sebuah permasalahan, peristiwa, atau apa saja. Semoga bermanfaat!
                                                                     * * * * *
1. Semua ibadah ritual adalah batil, kecuali yang memiliki dasar dalam syariat.
                Kaidahnya:
الأصل في العبادات البطلان حتى يقوم دليل على الأمر
            Asal dari ibadah adalah batil, sampai tegaknya dalil yang memerintahkannya”  (Lihat Imam Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’in, 1/344. 1968M-1388H. Maktabah Al Kulliyat Al Azhariyah. Syaikh Zakariya bin Ghulam Qadir Al Bakistani, Ushul Al Fiqh ‘Ala Manhaj Ahli  Al Hadits, Hal. 45, Cet. 1. 2002M-1423H.  Darul  Kharaz)
                Kaidah ini membimbing kita untuk tidak merekayasa dan mengarang amalan ibadah ritual (mahdhah) tertentu yang tidak dikenal dalam sumber-sumber pokok syariat Islam. Sebab hal itu menjadi sia-sia, bahkan dapat membawa pelakunya pada sebuah dosa.
                Kaidah ini diinspirasikan dari hadits:
عَنْ أُمِّ المُؤمِنِينَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللهُ عَنْهَا - قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ :  مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ    
Dari Ummul Mu’minin, Ummu Abdillah, ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata: “Barangsiapa yang menciptakan hal baru dalam urusan kami ini (yakni Islam), berupa apa-apa yang bukan darinya, maka itu tertolak.”   (HR. Bukhari   No. 2550, Muslim   No. 1718, Abu Daud No. 4606, Ibnu Majah No. 14,  Ahmad dalam Musnadnya No.26033, Abu Ya’la dalam Musnadnya No. 4594, Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 26, 27, Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil , 1/247,  Ad Daruquthni dalam Sunannya No. 78, Al Baihaqi dalam Sunannya No. 20158, 20323,  Al Lalika’i dalam Al I’tiqad, No. 190-191, Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 103)

Riwayat lainnya:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak kami kami perintahkan dalam agama kami maka itu tertolak.” (HR. Bukhari, beliau meriwayatkan secara mu’allaq (tanpa menyebut sanad) dalam kitab Shahihnya, Kitab Al I’tisham bil Kitab was Sunnah Bab Idza Ijtahada Al ‘Amil aw Al Hakim Fa Akhtha’a Khilafar Rasuli min Ghairi ‘Ilmin fahukmuhu Mardud. (lalu disebutkan hadits: man ‘amila ‘amalan .. dst,  dan dengan shighat  jazm (bentuk kata pasti): Qaala Rasulullah ….), Muslim   No. 1718, Ad Daruquthni dalam  Sunannya No. 81, Ahmad dalam Musnadnya No.26191)

Selanjutnya, ibadah hasil rekaan manusia disebutkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam  dengan muhdatsatul umuur (perkara-perkara baru) dan bid’ah.
Dari Irbadh bin Sariyah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘ Alaihi wa Sallam bersabda:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى بَعْدِي اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Maka, sesungguhnya barang siapa di antara kalian yang hidup setelah aku, akan melihat banyak perselisihan. Oleh karena itu, peganglah sunahku dan sunah khulafa ar rasyidin yang telah mendapatkan petunjuk, dan gigitlah dengan geraham kalian sunah itu, dan hati-hatilah dengan perkara yang baru, sesungguhnya setiap hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Ibnu Majah No. 42,  Ahmad No. 16521, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 10/114, Al Hakim, Al Mustadrak, No. 330 Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ No. 2455, Al Misykah No. 165)
Dalam riwayat lain tertulis, dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
 إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
“Sesungguhnya, sebenar-benarnya perkataan adalah kitabullah, dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruknya perkara adalah hal yang diada-adakan, dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan adalah di neraka.” (HR. An Nasa’i No. 1578, Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, No. 8441, Ibnu Khuzaimah No. 1785, dan   sanadnya shahih, Lihat Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 1578)
Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan:
فَلَيْسَ لِأَحَدِ أَنْ يَعْبُدَ اللَّهَ إلَّا بِمَا شَرَعَهُ رَسُولُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ وَاجِبٍ وَمُسْتَحَبٍّ لَا يَعْبُدُهُ بِالْأُمُورِ الْمُبْتَدَعَةِ
                “Maka, tidak boleh bagi seorang pun menyembah Allah kecuali dengan apa-apa yang telah disyariatkan oleh RasulNya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, baik berupa kewajiban atau sunah, serta tidak menyembahNya dengan perkara-perkara yang baru (Al Umur Al Mubtadi’ah) .” (Majmu’ Fatawa, 1/12. Mawqi’ Al Islam)
Murid beliau, Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan:
 ...أنه لا واجب إلا ما أوجبه الله ولا حرام إلا ما حرمه الله ولا دينا إلا ما شرعه الله
“ ... sesungguhnya tidak ada kewajiban kecuali sesuatu yang diwajibkan oleh Allah, dan tidak ada keharaman kecuali sesuatu yang diharamkan Allah, dan tidak ada agama kecuali yang Allah syariatkan. (I’lamul Muwaqi’in, 1/344)
Beliau juga mengatakan:
 ...أن الله سبحانه لا يعبد إلا بما شرعه على ألسنة رسله فإن العبادة حقه على عباده
“ ... sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah disembah kecuali dengan apa-apa yang disyariatkanNya melalui lisan para RasulNya, karena ibadah adalah hakNya atas hambaNya ..  (Ibid)

Contoh Penerapan Kaidah Ini:
-          Ada seorang atau sekelompok orang yang mengadakan ritual shalat tahajud secara khusus pada malam tertentu saja, dan tidak pada malam lainnya. Lalu ritual tersebut dilakukan terus menerus dan menjadi adat baru. Maka, menurut kaidah ini, pengkhususan ritual ini adalah batil karena telah membuat cara baru dalam tahajud. Cara pengkhususan tersebut tidak pernah ada dalam Al Quran, As Sunnah, perilaku sahabat, tabi’in, dan imam empat madzhab ahlus sunnah. Sebab, ibadah tahajud adalah ibadah mutlak yang dapat dilakukan pada malam apa saja, bukan pada malam tertentu saja. Maka, dari sudut pandang  waktu (Az Zaman), tidak dibenarkan melakukan ibadah pada waktu-waktu khusus dengan keyakinan tertentu pula, yang tidak ada contohnya dalam sumber-sumber syariat.
-          Sekelompok ibu-ibu berziarah ke tempat tertentu, yang di dalamnya terdapat kuburan seseorang yang dianggap wali. Mereka menganggap tempat itu memiliki keutamaan, sehingga mereka shalat di kuburnya, meminta pertolongan kepada penghuni kubur, dan bernazar untuknya, maka ini semua adalah bid’ah munkar, bahkan memiliki unsur syirik yang yang sangat jelas, yakni meminta-minta kepada orang mati dan  bernazar untuknya.  Maka, mengistimewakan tempat (Al Makan) tertentu tanpa memiliki dalil agama, adalah perbuatan yang membutuhkan dalil, jika tidak ada, maka itu tertolak.
-          Seorang menetapkan jumlah wirid-wirid tertentu hasil karangannya, bahwa membaca anu sebanyak 500 kali, ini 1000 kali, dan seterusnya, yang jika dibaca akan berfadhilah ini dan itu. Maka, dari sudut pandangan jumlah (Al ‘Adad) yang seperti harus juga mendatangkan dalil, jika tidak ada, maka ini merupakan perbuatan mengada-ada, dan harus ditinggalkan. Ada pun wirid ba’da shalat membaca tasbih, tahmid, dan takbir masing-masing 33 kali, atau seorang sehari semalam membaca istighfar 70 sampai 100 kali, atau membaca laa ilaha illallahu wahdahu laa syarika lahu .. sebanyak 10 kali seusai shalat maghrib, maka semua ini memiliki tuntunan dan petunjuk dalam sunah.
Dan lain sebagainya.

2.  Segala sesuatu urusan dunia dan muamalah adalah sah dan mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkan dan membatalkannya
                Kaidahnya berbunyi:
والأصل في العقود والمعاملات الصحة حتى يقوم دليل على البطلان والتحريم
            Hukum asal dalam berbagai perjanjian dan muamalat adalah sah sampai adanya dalil yang menunjukkan kebatilan dan keharamannya. (I’lamul Muwaqi’in, 1/344)
                Atau yang serupa dengan itu:
أن الأصل في الأشياء المخلوقة الإباحة حتى يقوم دليل يدل على النقل عن هذا الأصل
                Sesungguhnya hukum asal dari segala  ciptaan adalah mubah, sampai tegaknya dalil yang menunjukkan berubahnya hukum asal ini. (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, 1/64. Mawqi’ Ruh Al Islam)
                Dalil kaidah ini adalah:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah (2): 29)
                Dalil As Sunnah:
الحلال ما أحل الله في كتابه والحرام ما حرم الله في كتابه وما سكت عنه فهو مما عفا عنه
“Yang halal adalah apa yang Allah halalkan dalam kitabNya, yang haram adalah yang Allah haramkan dalam kitabNya, dan apa saja yang di diamkanNya, maka itu termasuk yang dimaafkan.” (HR. At Tirmidzi No. 1726, katanya: hadits gharib. Ibnu Majah No. 3367, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 6124. Syaikh Al Albani mengatakan: hasan. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1726. Juga dihasankan oleh Syaikh Baari’ ‘Irfan Taufiq dalam Shahih Kunuz As sunnah An Nabawiyah, Bab Al Halal wal Haram wal Manhi ‘Anhu, No. 1 )      
Kaidah ini memiliki makna yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Mereka dibebaskan untuk melakukan apa saja dalam hidupnya baik dalam perdagangan, politik, pendidikan, militer, keluarga, dan semisalnya, selama tidak ada dalil yang mengharamkan, melarang, dan mencelanya, maka selama itu pula boleh-boleh saja untuk dilakukan. Ini berlaku untuk urusan duniawi mereka. Tak seorang pun berhak melarang dan mencegah tanpa dalil syara’ yang menerangkan larangan tersebut.
Oleh karena itu, Imam Muhammad  At Tamimi Rahimahullah sebagai berikut menjelaskan kaidah itu:
أن كل شيء سكت عنه الشارع فهو عفو لا يحل لأحد أن يحرمه أو يوجبه أو يستحبه أو يكرهه
                “Sesungguhnya segala sesuatu yang didiamkan oleh Syari’ (pembuat Syariat) maka hal itu dimaafkan, dan tidak boleh bagi seorang pun untuk mengharamkan, atau mewajibkan, atau menyunnahkan, atau memakruhkan.” (Imam Muhammad At Tamimi,  Arba’u Qawaid Taduru al Ahkam ‘Alaiha, Hal. 3. Maktabah Al Misykah)
 Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan:
وهو سبحانه لو سكت عن إباحة ذلك وتحريمه لكان ذلك عفوا لا يجوز الحكم بتحريمه وإبطاله فإن الحلال ما أحله الله والحرام ما حرمه وما سكت عنه فهو عفو فكل شرط وعقد ومعاملة سكت عنها فإنه لا يجوز القول بتحريمها فإنه سكت عنها رحمة منه من غير نسيان وإهمال

Dia –Subhanahu wa Ta’ala- seandainya mendiamkan tentang kebolehan dan keharaman sesuatu, tetapi memaafkan hal itu, maka tidak boleh menghukuminya dengan haram dan membatalkannya, karena halal adalah apa-apa yang Allah halalkan, dan haram adalah apa-apa yang Allah haramkan, dan apa-apa yang Dia diamkan maka itu dimaafkan. Jadi, semua syarat, perjanjian, dan muamalah yang didiamkan oleh syariat, maka tidak boleh mengatakannya haram, karena mendiamkan hal itu merupakan kasih sayang dariNya, bukan karena lupa dan membiarkannya. (I’lamul Muwaqi’in, 1/344-345)
Contoh penerapan kaidah ini
-          Misalnya, seorang wanita ingin mengendalikan haidnya agar bisa full berpuasa Ramadhan. Lalu dia minum pil tertentu setelah konsultasi dengan dokter yang merekomendasikannya. Terbukti memang tidak ada efek samping apa pun bagi dirinya.  Hal ini, sama sekali tidak ada dalil khusus dan dalil umum yang melarangnya, dan yang dia lakukan bukanlah menghilangkan haid sama sekali, tetapi hanya mengaturnya saat itu saja, sehingga dia pun tidak dikatakan telah mengubah ciptaan Allah Ta’ala. Ditambah lagi, tidak ada dampak buruk apa pun bagi kesehatannya, sehingga tidak pula dikatakan bahwa dia sedang menciptakan dharar (kerusakan) bagi dirinya. Namun, jika terbukti berpotensi membawa dharar bagi dirinya, maka tidak boleh melakukannya, walau tidak ada dalil khusus dan umum yang melarangnya. Sebab, mencegah mudharat lebih diutamakan dibanding meraih maslahat.
-          Seseorang memakan hewan yang memang sama sekali tidak ada dalil yang menyatakannya haram. Dan, tidak ada juga korelasi apa pun yang menyebabkannya masuk dalam kategori hewan yang diharamkan. Hewan itu pun tidak membahayakan bagi kesehatan, bukan hewan yang dilarang untuk dibunuh, bukan hewan buas bercakar dan bertaring, bukan hewan yang mengganggu dan menakutkan manusia. Maka, hewan tersebut tetap halal dikonsumsi walau hewan tersebut secara penampilan ‘tidak enak’ dilihat.
-          Dan sebagainya

3.       Nilai dari perbuatan tergantung maksud-maksudnya
Kaidahnya:
الأمور بمقاصدها
                Berbagai pekara/urusan/perbuatan dinilai sesuai maksud-maksudnya. (Imam As Suyuthi’, Al Asybah wan Nazhair, Hal. 8. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Imam Tajuddin As Subki, Al Asybah wan Nazhair, 1/65. Cet. 1,  1991M-1411H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Syaikh Abdullah bin Sa’id Al Hadhrami Al Hasyari, Idhah Al Qawaid Al Fiqhiyah Lithulab Al Madrasah, Hal. 11)

                Kaidah ini berasal dari hadits terkenal:
إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه
"Sesungguhnya amal itu hanyalah beserta niat, dan setiap manusia mendapatkan apa-apa sesuai yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrahnya  kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya itu adalah kepada Allah dan RasulNya, dan barang siapa yang hijrahnya   karena dunia yang diinginkannya atau wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa-apa yang ia inginkan itu." (HR.  Bukhari  No. 45, 163, 2392, 3685, 4783, 6311, 6553,  Muslim No.  1907, At Tirmidzi  No. 1698, Abu Daud  No. 2201, Ibnu Majah No. 4227, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, No.181, 2087, 12686, 14773, Ibnu Hibban No. 388, 4868)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada penampilan kalian dan harta kalian, tetapi Dia melihat pada hati dan perbuatan kalian.” (HR. Muslim No. 2564, dari Abu Hurairah)
Hujjatul Islam, Al Imam Al Ghazali Rahimahullah mengatakan:
وَإِنَّمَا نَظَرَ إِلَى الْقُلُوبِ لأَِنَّهَا مَظِنَّةُ النِّيَّةِ ، وَهَذَا هُوَ سِرُّ اهْتِمَامِ الشَّارِعِ بِالنِّيَّةِ فَأَنَاطَ قَبُول الْعَمَل وَرَدَّهُ وَتَرْتِيبَ الثَّوَابِ وَالْعِقَابِ بِالنِّيَّةِ
                “Sesungguhnya Dia melihat kepada hati lantaran hati adalah tempat dugaan niat, inilah rahasia perhatian  Allah terhadap niat. Maka, diterima dan ditolaknya amal tergantung niatnya, dan pemberian pahala dan siksa juga karena niat.” (Ihya ‘Ulumuddin, 4/351)
                Oleh karena itu, jika ada dua orang saling membunuh, maka yang membunuh dan terbunuh keduanya masuk neraka. Hal ini lantaran keduanya sama-sama berniat untuk membunuh.
                Dari Abu Bakrah Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِل وَالْمَقْتُول فِي النَّارِ . فَقُلْتُ : يَا رَسُول اللَّهِ هَذَا الْقَاتِل فَمَا بَال الْمَقْتُول ؟ قَال : إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى قَتْل صَاحِبِهِ
                “Jika dua orang muslim masing-masing membawa pedang, maka yang membunuh dan yang terbunuh masuk neraka.” Aku (Abu Bakrah) bertanya: “Wahai Rasulullah, kalau yang membunuh iyalah, lalu kenapa yang terbunuh juga neraka?”  Beliau bersabda: “Karena dia juga berhasrat untuk membunuh saudaranya.” (HR. Bukhari No. 31,  Muslim No. 2888)
                Begitu pula orang yang menikah namun berniat tidak memberikan mahar, maka dia dinilai sebagai pezina. Begitu pula orang yang berhutang namun berniat tidak membayarnya, maka dia dinilai sebagai pencuri.
                Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ تَزَوَّجَ امْرَأَةً عَلَى صَدَاقٍ وَهُوَ يَنْوِي أَنْ لاَ يُؤَدِّيَهُ إِلَيْهَا فَهُوَ زَانٍ ، وَمَنِ ادَّانَ دَيْنًا وَهُوَ يَنْوِي أَنْ لاَ يُؤَدِّيَهُ إِلَى صَاحِبِهِ - أَحْسَبُهُ قَال - : فَهُوَ سَارِقٌ
                “Barang siapa yang menikahi wanita wajib memberikan mahar, dan dia berniat tidak membayarkan maharnya kepadanya (si wanita), maka dia adalah pezina. Dan barang siapa yang berhutang dan dia berniat tidak membayarkan kepada yang menghutanginya, maka dia pencuri.” (HR. Al Bazzar , 2/163, dan lainnya, dari Abu Hurairah. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib, No. 1806)
-          Niat berbuat baik sudah dinilai sebagai amal kebaikan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةٌ
“Barang siapa yang berhasrat melakukan kebaikan lalu dia belum mengerjakannya maka dicatat baginya satu kebaikan. “ (HR. Muslim, 1/118, dari Abu Hurairah)
Imam Al Ghazali Rahimahullah mengatakan:
فَالنِّيَّةُ فِي نَفْسِهَا خَيْرٌ وَإِنْ تَعَذَّرَ الْعَمَل بِعَائِقٍ
                “Maka, niat itu sendiri pada dasarnya sudah merupakan kebaikan, walau pun dia disibukkan oleh uzur untuk melaksanakannya.” (Ihya ‘Ulumuddin, 4/352)
-          Besar atau kecilnya perbuatan di mata Allah Ta’ala tergantung niatnya
Berkata Imam Al Ghazali:
إِنَّ النِّيَّةَ تُعَظِّمُ الْعَمَل وَتُصَغِّرُهُ ، فَقَدْ وَرَدَ عَنْ بَعْضِ السَّلَفِ : رُبَّ عَمَلٍ صَغِيرٍ تُعَظِّمُهُ النِّيَّةُ ، وَرُبَّ عَمَلٍ كَبِيرٍ تُصَغِّرُهُ النِّيَّةُ
                “Sesungguhnya niat dapat membesarkan dan mengecilkan amal. Telah diriwayatkan dari sebagian salaf: bisa jadi ada amal kecil yang menjadi besar karena niatnya, dan bisa jadi ada amal besar menjadi kecil karena niatnya.” (Al Ihya, 4/353)
                Hal ini didasarkan pada hadits:
نِيَّةُ الْمُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِهِ
“Niat seorang mu’min lebih baik dari pada amalnya.” (HR. Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir, 6/185-186, dari Sahl bin Sa’ad As Saidi. Imam Al Haitsami mengatakan: “ Rijal hadits ini mautsuqun (terpercaya), kecuali Hatim bin ‘Ibad bin Dinar Al Jursyi, saya belum melihat ada yang menyebutkan biografinya.” Lihat Majma’ Az Zawaid, 1/61)
Diriwayatkan oleh Abu Dzar Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
من أتى فراشه وهو ينوي أن يقوم يصلي من الليل فغلبته عينه حتى يصبح كتب له ما نوى
                "Barang siapa yang mendatangi pembaringannya dan dia berniat untuk melaksanakan shalat malam, lalu dia tertidur hingga pagi, maka dia tetap mendapatkan apa yang diniatkannya." (HR. Ibnu Majah No. 1344, An Nasa'i No. 1787. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 1344)
                Begitu pula orang yang berniat ingin shalat berjamaah di masjid, tetapi sesampainya di sana dia tertinggal jamaah, maka Allah Ta'ala tetap memberikannya nilai pahala berjamaah. Hal ini dengan syarat dia tidak menyengaja untuk berlambat-lambat menuju masjid.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ رَاحَ فَوَجَدَ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا أَعْطَاهُ اللَّهُ جَلَّ وَعَزَّ مِثْلَ أَجْرِ مَنْ صَلَّاهَا وَحَضَرَهَا لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَجْرِهِمْ شَيْئًا
“Barang siapa yang berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu ia pergi ke mesjid (untuk berjamaah) dan dia lihat jamaah sudah selesai, maka ia tetap mendapatkan seperti pahala orang yang hadir dan berjamaah, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.”   (HR. An Nasa'i No. 855, Abu Daud No. 564, Ahmad No. 8590, Al Hakim No. 754, katanya shahih sesuai syarat Imam Muslim. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami' No. 6163)
Contoh penerapannya
-          Ada seorang gadis diperkosa, lalu dia melakukan perlawanan sekuat tenaga. Sehingga dia berhasil melukai pelaku dengan alat apa pun yang ada di sekitarnya, bahkan pelaku itu tersungkur sampai mati. Maka, gadis tersebut tidak dikatakan membunuh, sebab dia melakukan itu untuk membela diri dan melindungi kehormatannya, bukan  bermaksud dan berniat untuk membunuh orang tersebut.
-          Seorang ikut berjihad di medan tempur melawan pasukan kafir. Namun yang dia inginkan dari pertempuran itu adalah harta rampasan perang semata, bukan meraih kemuliaan jihad itu sendiri dan syahid dijalan Allah ‘Azza wa Jalla. Maka, di akhirat dia akan dibangkitkan sesuai niatnya itu.
-          Ada seorang kafir bersyahadat, tetapi dia melakukannya karena tuntutan skenario dalam sebuah drama, bukan karena kesadaran untuk mengucapkannya dan masuk Islam. Maka, kalimat syahadatnya itu sama sekali tidak berpengaruh apa-apa bagi aqidahnya.

4.       Niat dan tujuan yang baik tidak merubah sarana yang haram, kecuali memiliki dalil
Kaidahnya:
الغاية لا تبرر الوسيلة إلا بدليل
Tujuan (yang baik) tidaklah membuat baik sarana (yang haram) kecuali dengan adanya dalil. (Syaikh Walid bin Rasyid  bin Abdul Aziz bin Su’aidan, Tadzkir Al Fuhul bitarjihat Masail Al Ushul, Hal. 3. Lihat juga Talqih Al Ifham Al ‘Aliyah, 3/23)
Tujuan dan niat yang mulia tidak boleh dijalankan dengan sarana yang haram, dan sarana haram itu tetap haram walau dipakai untuk niat dan tujuan yang baik.
Dalilnya:
وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ                                                      
                Dan janganlah kamu mencampurkan antara haq dan batil, dan kamu menyembunyikan yang hak itu padahal kamu tahu. (QS. Al Baqarah (2): 42)                                                                                                                                                                                           Contoh penerapan kaidah ini:
-         Seseorang memperhatikan aurat wanita dengan niat tafakur atas ciptaan Allah Ta’ala. Mentafakuri ciptaan Allah Ta’ala adalah perbuatan mulia, tapi sarananya dengan memandangi hal yang Allah Ta’ala haramkan, maka sarana tersebut tetap haram tidak berubah menjadi halal walau niatnya baik.
-         Seseorang ikut bermain judi dengan niat silaturrahim dan mendakwahi   bandar judi, lalu jika memang uangnya akan dipakai untuk sedekah. Silaturrahim, berdakwah, dan sedekah adalah amal shalih bernilai tinggi, namun jika semua dilakukan memakai sarana yang haram yaitu ikut berjudi bersama manusia yang ingin didakwahi. Maka, berjudi tetaplah haram walau memiliki niat untuk mendakwahi mereka.
Namun ada pengecualian bagi hal-hal yang dibolehkan oleh dalil. Seperti berniat mengalahkan musuh ketika jihad dengan cara menebang pepohonan mereka. Hal ini pernah dilakukan nabi ketika perang Khaibar, padahal menebang pohon merupakan larangan ketika berperang. Ini terjadi karena hal itu dipandang sebagai salah satu strategi mengalahkan musuh.
Berniat mendamaikan dua orang yang bertengkar dengan cara berbohong, maka berbohong saat itu diperbolehkan. Dari Ummu Kultsum, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِي خَيْرًا أَوْ يَقُولُ خَيْرًا

Bukanlah pendusta orang yang mendamaikan di antara manusia, maka dengan itu dia mengharapkan kebaikan atau mengatakan kebaikan. (HR. Bukhari No. 2692)
Dan kasus semisalnya.
5.       Apa saja yang mengantarkan kepada keharaman maka itu haram juga   
Kaidahnya berbunyi:
وما أدى إلى الحرام فهو حرام
Apa saja yang dapat terlaksananya perbuatan haram, maka itu juga haram. (Imam Izzuddin bin Abdussalam, Qawaid Al Ahkam fi Mashalihil Anam, 2/184. Syaikh Zakariya bin Ghulam Qadir Al Bakistani, Ushul Al Fiqh ‘Ala Manhaj Ahlil Hadits, Hal.  114)
Jadi, perbuatan apa pun yang dapat mengantarkan pelakunya kepada perkara haram, maka perbuatan tersebut menjadi haram juga.
Syaikh Zakariya bin Ghulam Al Bakistani menjelaskan:
كما لو أدى فعل نافلة إلى ترك فريضة كالذي يصلي بالليل طويلاً وينام عن صلاة الفجر ، فإنه لا يشرع له قيام الليل إذا كان ذلك سببا لتركه صلاة الفجر . أو أدى فعل مباح إلى فعل محرم ، كما لو إذا خلى وحده ارتكب المحرمات ، فإنه لا يشرع له أن يخلوا لوحده إذا كان ذلك سبباً للوقوع في الحرام أو أدى فعلٌ إلى الإحتيال على أمر محرم فهو محرم
                Sebagaimana seandainya seorang melakukan shalat sunah yang membuat tertinggalnya shalat wajib. Seperti seorang yang shalat malam begitu lama, namun dia tertidur dari shalat subuhnya. Atau melaksanakan perbuatan mubah yang mengantarkannya kepada perbuatan haram, seperti seseorang yang menyepi sendirian lalu dia melakukan perbuatan yang diharamkan, maka tidak disyariatkan dia menyendiri jika hal itu menjadi sebab terjatuhnya pada perbuatan haram, atau  menghayalkan  perkara yang haram maka itu juga haram. (Ibid)

                Dalil kaidah ini adalah firmanNya Ta’ala:

وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا
                Dan janganlah kamu dekati zina karena itu adalah perbuatan keji dan sejelek-jeleknya jalan. (QS. Al Isra (17): 32)

                Ayat ini tidak mengatakan: Laa tazni ... (jangan kamu berzina), tetapi ayat ini melarang lebih jauh dari itu yakni melarang jalan yang mendekati  perzinaan. Jadi, perbuatan apa saja yang mengantarkan seseorang pada perzinaan, seperti bicara, telepon, sms, dan chatting esek-esek, atau interaksi dengan lawan jenis secara bebas, maka ini semua merupakan jalan yang menuju perzinaan yang diharamkan. Awal dan akhirnya adalah haram.

                Syahidul Islam, Sayyid Quthb Rahimahullah Ta’ala berkata:

ومن ثم يأخذ الإسلام الطريق على أسبابه الدافعة ، توقياً للوقوع فيه . . يكره الاختلاط في غير ضرورة . ويحرم الخلوة . وينهى عن التبرج بالزينة . ويحض على الزواج لمن استطاع ، ويوصي بالصوم لمن لا يستطيع ...

                Oleh karena itu, Islam mengambil cara pencegahan terhadap sebab-sebabnya, sebagai penangkal terjatuhnya ke dalam hal tersebut ... membenci  bercampur (ikhtilath) pada kondisi bukan darurat, dan mengharamkan khalwat, dan melarang tabarruj (wanita bersolek secara tidak patut, pen). Dan, menganjurkan untuk menikah bagi yang mampu, dan mewasiatkan untuk berpuasa bagi yang tidak mampu ... (Fi Zhilalil Quran, 5/17. Mawqi’ At Tafasir)

Contoh penerapan kaidah ini:

-          Seorang laki-laki yang hendak ke pasar atau mall, bertujuan untuk “cuci mata” melihat aurat wanita. Maka, perjalanan  ke tempat-tempat ini yang pada dasarnya adalah boleh-boleh saja, akan menjadi terlarang untuk dilakukan sebab itu menjadi jalan bagi orang tersebut mewujudkan keinginannya melihat yang haram-haram.

-          Membunuh diri adalah haram bahkan salah satu dosa besar. Maka, perilaku apa pun yang mendekatkan seseorang pada kecelakaan bagi jiwanya maka itu juga diharamkan. Dari sinilah di antara sekian banyak alasan diharamkannya rokok, narkoba, dan sejenisnya.