Oleh: Farid Nu’man Hasan
Pertanyaan:
Apakah
memang berbeda pola pengambilan kaidah hukum antara "mazhab ahlu
hadits" dengan "madzhab ahlu fiqh"?, Karena dalam banyak kasus, sering
terjadi perbedaan hukum antara Ustadz / ulama ahlu hadits dengan
Ustadz/ulama ahlu fiqh.
Mungkin
bisa ustadz berkenan, bisa dijelaskan dasar-dasar yang membuat mereka
berbeda dalam mengambil kesimpulan hukum (antara ulama ahlu fiqh dengan
ahlu hadits). (Abu Amar)
Jawaban:
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa ashhabihi wa man waalah, wa ba’d:
Pada
dasarnya, pada sisi sumber pokoknya tidak ada perbedaan antara para
ulama dalam menyimpulkan hukum pada sebuah permasalahan.
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Majmu’ Al Fatawa, 3/6) sumber-sumber dalam pengambilan hukum adalah (secara ringkas):
- Al Quran, telah disepakati oleh para imam dan seluruh kaum muslimin, tak ada yang menentangnya kecuali orang sesat
- Sunah , yang tidak bertentangan dengan zhahir ayat Al Quran, tetapi menafsirkan Al Quran, seperti jumlah shalat, jumlah rakaat, nishab zakat, manasik haji, Umrah, dan hukum-hukum lainnya.
- Ijma’ (kesepakatan), ini disepakati umumnya kaum muslimin dari kalangan ahli fiqih, ahli hadits, sufi, ahli kalam. Sedangkan ahli bid’ah seperti mu’tazilah dan syi’ah menolaknya. Sebagian ulama mengatakan ijma’ hanya bisa terjadi pada masa sahabat saja, ada pula yang mengatakan, bisa pada masa sahabat dan tabi’in.
- Qiyas (analogi) terhadap nash dan Ijma’, ini diakui oleh mayoritas ahli fiqih, bahkan kaum rasionalis berlebihan dalam menggunakannya, sampai mereka membantah nash. Sedangkan kaum zhahiri (tekstualis) menolaknya.
- Al Istish-hab, hukum asal dari sesuatu selama belum ada ketetapan yang merubahnya, yang halal adalah halal selamanya jika tidak ada alasan yang merubah statusnya, begitu pula yang haram.
- Al Mashalih Mursalah, yaitu pendapat seorang mujtahid bahwa sebuah perbuatan memiliki manfaat yang kuat dan nash syara’ tidak melarangnya. Para fuqaha berbeda pendapat kebolehan menggunakan metode ini. (selesai dari Imam Ibnu Taimiyah)
Sementara ulama lain menambahkan dengan Al Istihsan (perbuatan yang dipandang baik), Al ‘Urf (tradisi), Asy Syar’u man qablana (syariat orang terdahulu), Al Qaul Ash Shahabiy (pendapat sahabat), Al ‘Amal ahlul Madinah (perbuatan penduduk Madinah) dan Dzari’ah (menolak yang mubah untuk menghindar keharaman).
Point
satu sampai tiga (Al Quran, As Sunnah, dan Ijma’) yang disebutkan Imam
Ibnu Taimiyah, telah disepakati oleh semua ulama dari berbagai disiplin
ilmu. Ada pun point lain setelahnya diperselisihkan oleh mereka,
sebagaimana dirinci dalam berbagai kitab Ushul Fiqh. Nah,
perbedaan mereka dalam penerimaan terhadap sumber-sumber selain tiga
point itu, berdampak pada perbedaan hasil hukum yang mereka ijtihadkan.
Perbedaan itu terjadi walau dengan sesama ahli fiqih.
Ingin saya tegaskan di sini, dahulu para ulama yang concern
dengan hadits, mereka juga perhatian dan memahami fiqih dengan baik.
Sebagaimana para ahli fiqih juga sangat perhatian dengan hadits. Oleh
karena itu nama-nama seperti Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Al Bukhari,
Imam At Tirmidzi, atau yang setelah mereka seperti Imam Ibnu Hazm, Imam
An Nawawi, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Ibnu Hajar, dan banyak lagi, mereka adalah lautan dalam ilmu hadits, tetapi mereka juga bintangnya para fuqaha (ahli fiqih).
Juga
nama-nama seperti Imam Asy Syafi’i, Imam Al Auza’i, Imam Al Laits bin
Sa’ad, dan lainnya, mereka adalah lautan dalam ilmu fiqih, tetapi mereka
juga bintangnya para ahli hadits.
Bahkan
Imam Sufyan bin ‘Uyainah mengancam akan memukul dengan pelepah kurma,
orang yang belajar hadits tetapi tidak memahami fiqih, atau orang yang
belajar fiqih tetapi tidak memahami ilmu hadits. Sebab, bagaimana
mungkin seorang belajar fiqih tanpa mendalami hadits, sebab dari
hadits-lah berbagai permasalahan fiqih paling banyak dibahas. Dan,
bagaimana mungkin pula seorang belajar hadits tanpa mendalami fiqih
hadits tersebut, bagaikan seorang memiliki barang berharga tetapi tidak
mengerti nilai, harga, dan kegunaan barang tersebut. Oleh karenanya, seharusnya ahli fiqih dan ahli hadits bukanlah dua kelompok yang di posisikan vis a vis
(saling berbenturan), namun mereka adalah satu kesatuan yang saling
menguatkan. Jika pun nantinya tetap ada perbedaan, maka itu merupakan
bagian dari keragaman yang memang tidak bisa dihindarkan dalam
kehidupan.
Kenyataan
hari ini, tak bisa diingkari, seakan keduanya adalah hal terpisah. Ahli
fiqih ada di sebuah lembah, ahli hadits ada di lembah lain.
Sampai-sampai dianggap bahwa para ahli hadits adalah orang yang miskin
fiqihnya dan berbahaya mengambil ilmu fiqih dari mereka. Mereka dianggap
kelompok yang gegabah dalam memahami fiqih, hanya dari hadits tanpa
menimbang berbagai variabel lain, padahal untuk melahirkan keputusan fiqih mesti melihat dari berbagai sisi (holistik), seperti kaidah, maqashid-nya, kondisi dan kebiasaan masyarakat. Sebaliknya,
sebagaian menganggap bahwa para ahli fiqih adalah orang bodoh dalam
hadits, maka curigailah kekuatan dalil dan argumentasinya, karena mereka bagaikan
pencari kayu bakar di malam hari (maksudnya, tidak bisa membedakan
antara hadits shahih dan dhaif, bagaikan pencari kayu bakar yang tidak
bisa membedakan mana kayu bakar mana rumput basah). Lalu, masing-masing
pihak punya pendukung fanatiknya. Jika
mengutip fiqih mereka lebih suka mengambil dari Syaikh Al Qaradhawi,
Syaikh Sayyid Sabiq, Syaikh Musthafa Az Zarqa’, Syaikh Wahbah Az
Zuhaili, Syaikh Ibnu Baaz, Syaikh ‘Utsaimin, Syaikh Shalih Fauzan, dan
fuqaha lainnya. Jika mengutip hadits manusia yang lain lebih tenang
mengutip dari Syaikh Al Albani, Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Syaikh Abdul
Qadir Al Arnauth, Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Syaikh Abdul Fatah Abu
Ghuddah, Syaikh Habiburrahman Al A’zhami, dan muhaddits kontemporer
lainnya. Namun kita yakin dan percaya, bahwa para
ulama ini adalah manusia yang juga mempelajari fiqih dan hadits
sekaligus, hanya saja nama mereka sudah terlanjur dikenal di masyarakat
sebagai ahli fiqih saja, atau ahli hadits saja, padahal tidak demikian.
Dan, seharusnya memang jangan sampai diposisikan dua pihak adalah pihak
yang selalu berseberangan.
Kita
berharap –walaupun sangat sulit mencari yang mumpuni dikeduanya- paling
tidak masih bisa memadukan kedua kelompok ini. Syaikh Muhammad Al
Ghazali Rahimahullah menganologikan hubungan antara ahli hadits
dan ahli fiqih, bagaikan pemiliki barang bangunan dan tukang bangunan.
Pemilik bangunan adalah pihak yang paling tahu barang mana yang paling
bagus, kuat, dan layak dipakai, sedangkan tukang bangunan yang paling
tahu memanfaatkan barang-barang bangunan untuk jadi apa, di bentuk
bagaimana, dan seterusnya, sehingga layak dihuni dan indah dipandang.
Itulah ahli hadits – si pemilik barang bangunan- dan ahli fiqih –si
tukang bangunannya.
Bisa juga diumpamakan
seperti tukang sayur yang paling tahu kualitas sayur dan berbagai bahan
makanan, dengan juru masak yang paling tahu bagaimana mengolah sayur
dan bahan makanan tersebut menjadi makanan lezat dan sehat. Itulah ahli
hadits dan ahli fiqih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar