At Tark / Ditinggalkannya atau tidak dilakukannya sebuah perkara tidak otomatis mengindikasikan ke-haram-annya, dengan penjelasan sebagai berikut:
At
Tark alias ditinggalkannya suatu perkara jika tidak disertai dalil yang
menunjukkan bahwa perkara yang ditinggal tersebut adalah terlarang,
maka At
Tark seperti ini tidak dapat dijadikan Hujjah untuk larangan, cukup
baginya dijadikan hujjah bahwa meninggalkan perkara tersebut adalah
Masyru’ diakui oleh syara’ dan bukan sebuah kesalahan.
Seperti tentang pendapat yang menolak wiridan atau do’a setelah sholat dengan alasan hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh para Salaf as Solih. Kami berpendapat ; seandainya hal itu benar (tidak ada dari kalangan slaf as solih yang wiridan atau berdo’a sesudah solat) kenyataan itu tidak menghasilkan hukum apapun selain bahwa tidak wiridan atau berdo’a sesudah solat adalah boleh apapun kondisinya baik repot maupun longgar. Dan tidak akan berindikasi kemakruhan apalagi keharaman wiridan ba’da solat, terlebih jika memperhatikan ke-mujmal-an dalil tentang dzikir dan do’a.
Di
dalam kitab Al Mahalli Imam Ibnu Hazm menuturkan hujjah para ulama’
Malikiyyah dan Hanafiyyah yang memakruhkan sholat dua rokaat sebelum
maghrib dimana mereka berhujjah dengan pendapat Ibrohim an
Nakho’i yang menyatakan ; “sesungguhnya
Abu Bakar, Umar dan Utsman tidak melakukannya”. Ibnu Hazm menjawab ; “
seandainya hal itu benar, sungguh tidak ada (bisa dijadikan hujjah)
dalam hal tersebut, karena mereka (para sahabat) tidak melarang
melaksanakan sholat dua rokaat sebelum maghrib “. (Al Mahalli, 2/254).
Terlebih jika kita memandang ke-mujmal-an dalil sholat tahiyyatul
masjid.
Lebih jauh dalam Al Mahalli disebutkan :
وأما حديث علي، فلا حجة فيه أصلاً، لأنه ليس فيه إلا إخباره بما علم من أنه لم ير رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاهما، وليس في هذا نهي عنهما ولا كراهة لهما، فما صام عليه السلام قط شهرًا كاملاً غير رمضان وليس هذا بموجب كراهية صوم شهر كامل تطوعًا اهـ. فهذه نصوص صريحة في أن الترك لا يفيد كراهة فضلاً عن الحرمة
وأما حديث علي، فلا حجة فيه أصلاً، لأنه ليس فيه إلا إخباره بما علم من أنه لم ير رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاهما، وليس في هذا نهي عنهما ولا كراهة لهما، فما صام عليه السلام قط شهرًا كاملاً غير رمضان وليس هذا بموجب كراهية صوم شهر كامل تطوعًا اهـ. فهذه نصوص صريحة في أن الترك لا يفيد كراهة فضلاً عن الحرمة
“
Adapun hadits Sayyidina Ali, tidak terdapat hujjah sama sekali
didalamnya, karena Sayyidina Ali ra hanya menghabarkan bahwa beliau
tidak pernah melihat Rosululloh Saw sholat dua rokaat (ba’da ashar.
red), dan didalamnya (perkataan Sayyidina Ali) tidak ada
larangan dan kemakruhan solat dua rokaat ba’da ashar. maka (bukankah)
Rosululloh Saw, tidak pernah puasa sebulan penuh kecuali dibulan
Romadhon, dan ini tidak menyebabkan makruhnya puasa sunnah sebulan
penuh. (Al Mahalli, 2/271)
Ini
adalah nash yang jelas bahwa tidak dilakukannya atau ditinggalkannya
suatu perkara tidaklah otomatis mengindikasikan ke-makruh-annya, apalagi
ke-haram-annya.
Sedang terhadap mereka yang menolak kaedah ini, dan menyatakan ini tidak ada dalam kaedah ushul fiqih, berikut kami sampaikan bukti-buktinya:
Sedang terhadap mereka yang menolak kaedah ini, dan menyatakan ini tidak ada dalam kaedah ushul fiqih, berikut kami sampaikan bukti-buktinya:
1. Dalam Ushul Fiqih, dalil yang menunjukkan larangan
ditunjukkan dengan tiga hal :
a. Shighot Nahi (bentuk kalimat larangan) seperti :
ولا تقربوا الزنا: Dan Janganlah kalian mendekati zina
ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل : Dan Janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.
Larangan dengan sighot Nahi tsb pada asalnya berindikasi Haram namun terkadang bisa berindikasi Makruh.
b. Lafadz Tahrim : (lafazh yang menunjukkan keharaman ) seperti :
حرّمت عليكم الميتة : diharamkan atas kalian bangkai
c. Dzammul Fi’li : (adanya cela-an atas perkara tsb, atau adanya ancaman siksa bagi pelakunya), contoh :
من غش فليس منا : Barang siapa memalsukan maka ia bukan termauk golonganku.
Dari tiga hal diatas tidak kita dapati At Tark sebagai salah satunya.
2. Firman Alloh SWT dalam al qur’an :
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“ Apa yang diberikan Rosul bagimu terimalah, Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah “ (QS,
Al Hasyr : 7)
Disini Alloh tidak menyatakan و ما تركه فانتهوا “dan apa yang ditinggalkan Rosul maka tinggalkanlah “. Maka At Tark tidak berindikasi terlarang.
3. Rosululloh SAW, bersabda :
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“
Apa-apa yang aku cegah atas kalian maka jauhilah (tinggalkanlah), dan
apa-apa yang aku perintahkan pada kalian kerjakanlah semampu kalian “
(HR. Bukhori Muslim)
Dalam hadits diatas Rosululloh Saw tidak mengatakan :وما تركته
فاجتنبوهdan apa-apa yang aku tinggalkan maka jauhilah. Lantas dari mana At Tark dijadikan kaedah larangan.
4.
Para Ulama’ Ushul mendefisikan Sunnah adalah : Perkataan, Perbuatan,
dan atau Ketetapan Rosululloh Saw. Dan mereka tidak mengatakan At Tark
(apa yang ditinggalkan Nabi Saw) termasuk Sunnah. Karena At Tark tidak menunjukan apa-apa kecuali kebolehan tidak melakukan perkara yang ditinggalkan Nabi Saw.
5. Sumber hukum dalam Islam yang disepakati adalah Al Qur’an dan As Sunnah, sedang Jumhur ulama menambahkannya dengan Ijma’ dan Qiyas. Lantas apakah At Tark adalah salah satu dari sumber hukum Islam untuk menetapkan keharaman atau kemakruhan sesuatu? Tentu tidak.
6.
Sebagaimana yang telah kami sampaikan diatas, bahwa ditinggalkannya
sebuah perkara oleh Rosululloh Saw maupun para sahabat memiliki banyak
kemungkinan sebagai penyebabnya. Boleh jadi para sahabat
(sepeninggal Rosululloh) meninggalkan atau tidak mengerjakan sesuatu
karena memang sebuah Ijma’, atau karena kesepakatan bahwa hal tersebut
tidak boleh, atau karena mereka menganggap ada hal lain yang lebih baik,
atau ada sebab-sebab lain. Lantas apakah perkara yang memiliki banyak
kemungkinan (at tark) dapat dijadikan dalil untuk menetapkan kemakruhan
atau keharaman? Fa Taammal !!!
7.
At Tark adalah ashal, karena asal dari sesuatu adalah tidak ada. Maka
At Tark tidak dapat membuktikan (dijadikan dalil) terlarangnya sesuatu. Fa Taammal Kay La Takhsar !!!
Catatan
: Penulis tidak mengingkari orang yang meninggalkan perkara yang tidak
pernah dilakukan Rosululloh Saw dengan alasan Ittiba’, bahkan
hal tersebut merupakan
kebaikan. Namun mengharamkan apa yang ditinggalkan atau tidak dilakukan
Rosululloh Saw dan Salaf as Sholih tanpa adanya dalil yang melarangnya
adalah sebuah kedustaan atas nama agama.
*****
Selanjutnya
segala apa yang ditinggalkan atau tidak dikerjakan Rosululloh Saw,
sampai wafatnya beliau secara garis besar para Ulama membagi dalam dua
macam :
-
Perkara yang ditinggalkan Rosululloh Saw karena tidak ada hal yang
mendorong untuk melakukannya, namun setelah wafatnya Rosululloh Saw
didapati pendorong/penyebab yang menghendaki untuk melakukannya. Hal
semacam ini pada dasarnya
boleh selama tidak menyalahi dalil-dalil nash. Contoh : Penghimpunan
Mushaf pada masa Kholifah Abu Bakar RA, Penambahan adzan jum’ah pada
masa Kholifah Utsman RA, dan yang lain.
-
Perkara yang ditinggalkan / tidak dikerjakan Rosululloh Saw padahal ada
faktor yang mendorong untuk melakukannya, dalam hal ini ada dua sebab:
a. Tidak
adanya kemaslahatan syar’i dalam perkara tersebut. Maka dalam hal yang demikian hukumnya terlarang.
b. Adanya madhorot yang lebih besar dari pada kemaslahatannya, seperti jamaah solat tarowih, namun ketika madhorotnya (yakni khawatir diwajibkan) hilang sehingga hanya tinggal manfaatnya, hal tersebut dapat dilakukan.
b. Adanya madhorot yang lebih besar dari pada kemaslahatannya, seperti jamaah solat tarowih, namun ketika madhorotnya (yakni khawatir diwajibkan) hilang sehingga hanya tinggal manfaatnya, hal tersebut dapat dilakukan.
Sebelum kita sampai pada kesimpulan tentang At Tark berikut kami kutipkan sebuah kisah dari Abdulloh bin Al Mubarok yang dituturkan oleh Sayyid Al Ghummari dalam
kitabnya (Husnut Tafahhumi Wad Darki Li Mas-alatit Tarki) :
قال عبد الله بن المبارك: أخبرنا سلام بن أبي مطيع عن ابن أبي دخيلة عن أبيه قال: كنت عند ابن عمر فقال: “نهى رسول الله عن الزبيب والتمر يعني أن يخلطا”. فقال لي رجل من خلفي ما قال؟ فقلت: “حرم رسول الله صلى الله عليه وسلم التمر والزبيب” فقال عبد الله بن عمر: “كذبت”! فقلت: “ألم تقل نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عنه؟ فهو حرام” فقال: “أنت تشهد بذلك؟” قال سلام كأنه يقول: ما نهى النبي صلى الله عليه وسلم فهو أدب.
Abdulloh
bin Al Mubarok berkata : Telah menceritakan kepadaku Salam bin Abi
Muthi’ dari Ibnu Abi Dakhilah dari ayahnya, ia berkata : “ Aku berada
disisi Abdulloh bin Umar, maka ia (Ibnu Umar) berkata : “ Rosululloh
melarang korma dan kismis yakni mencampur keduanya “. Maka
seorang lelaki dibelakangku bertanya : “ Apa yang telah disampaikan Ibnu
Umar ?” Maka aku menjawab :” Rosululloh Saw mengharamkan mencampur
korma dengan kismis “. Maka Abdulloh bin Umar berkata : “ Kamu
berdusta!”. Akupun bertanya : “ Bukankah anda mengatakan bahwa
Rosululloh Saw melarang mencampur korma dengan kismis? Maka itu berarti
haram” Ibnu Umar RA berkata : “ Apa engkau (berani) bersaksi akan hal
itu ?”. Salam berkata : “ Seakan-akan Abdulloh bin Umar berkata bahwa
apa yang dilarang Nabi Saw adalah adab (makruh).
Coba
perhatikan sikap Abdulloh bin Umar RA salah satu Fuqoha-us Shohabah,
dimana beliau menganggap dusta orang yang menafsirkan Nahi dengan Haram, padahal dalam ushul fiqih asal dari Nahi adalah Haram meskipun tidak shorih, namun terkadang Nahi juga bisa berindikasi Makruh.
Kesimpulan Tentang At Tark :
• Perkara yang ditinggalkan Rosululloh saw maupun para sahabat tidak otomatis menunjukkan perkara tersebut makruh atau haram,kecuali ada dalil yang menetapkan kemakruhan atau keharaman perkara tersebut.
•
At Tark yakni ditinggalkan dan atau tidak dilakukannya sebuah perkara,
bukanlah landasan hukum untuk memakruhkan atau mengharamkan perkara tersebut.
•
Terhadap perkara baru, tidak langsung dapat divonis sesat atau haram
sebelum diuji dengan dalil-dalil yang menjadi landasan agama yakni; Al
Qur’an, As Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
• Ungkapan “ Lau Kaana Khoiron Lasabaquunaa Ilaihi “ bukanlah
sumber hukum bukan pula kaedah ushul untuk menetapkan kemakruhan atau
keharaman suatu perkara. Memaksakan diri memakai ungkapan ini sebagai
dasar untuk mengharamkan suatu perkara hanya akan menimbulkan fitnah
bagi ajaran Islam.
Disarikan
dari Kitab “ Husnu At Tafahhum Wa Al Darki Li Masalai Al Tarki “ karya
Sayyid Abdulloh bin As Siddiq Al Ghumari Al husaini. Tak lupa mohon
koreksi atas segala kesalahan, terima kasih sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar