Rabu, 19 Desember 2012

Kisah Alqomah dan Tsa'labah

Oleh: Farid Nu’man Hasan

Pertanyaan:

Assalamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh
                Pak Ustadz, hadits tentang kisah Tsa’labah dan Alqamah itu shahih tidak ya? (Hamba Allah)

Jawaban:

Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.
                Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was  Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘ala Aalihi wa Ashhabihi wa man waalah, wa ba’d:

                Kisah Tsa’labah tersebut memang sangat terkenal dan sering disampaikan para penceramah, khususnya ketika membicarakan sifat bakhil, kadang dalam konteks yang lain. Haditsnya sebagai berikut:

حدثنا أبو يزيد القراطيسي ثنا أسد بن موسى ثنا الوليد بن مسلم ثنا معان بن رفاعة عن علي بن يزيد عن القاسم عن أبي أمامة أن ثعلبة بن  حاطب الأنصاري : أتى رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال يا رسول الله أدع الله أن يرزقني الله قال : ويحك يا ثعلبة قليل تؤدي شكره خير من كثير لا تطيقه ثم رجع إليه فقال : يا رسول الله أدع الله أن يرزقني مالا قال ويحك يا ثعلبة أما تريد أن تكون مثل رسول الله صلى الله عليه و سلم ؟ والله لو سألت أن يسيل لي الجبال ذهبا وفضة لسالت ثم رجع إليه فقال : يا رسول الله أدع الله أن يرزقني مالا والله لئن أتاني الله مالا لأوتين كل ذي حق حقه فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : اللهم ارزق ثعلبة مالا فاتخذ غنما فنمت كما ينمو الدود حتى ضاقت عنها أزقة المدينة فتنحى بها وكان يشهد الصلاة مع رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم يخرج إليها ثم نمت حتى تعذرت عليه مراعي المدينة فتنحى بها فكان يشهد الجمعة مع رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم يخرج إليها ثم نمت فتنحى بها فترك الجمعة والجماعات فيتلقى الركبان ويقول ماذا عندكم من الخبر ؟ وما كان من أمر الناس ؟ فأنزل الله عز و جل على رسوله صلى الله عليه و سلم { خذ من أموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها } قال : فاستعمل رسول الله صلى الله عليه و سلم على الصدقات رجلين رجل من الأنصار ورجل من بني سليم وكتب لهما سنة الصدقة وأسنانها وأمرهما أن يصدقا الناس وإن يمرا بثعلبة فيأخذا من صدقة ماله ففعلا حتى ذهبا إلى ثعلبة فأقرآه كتاب رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال : صدقا الناس فإذا فرغتما فمرا بي ففعلا فقال : والله ما هذه إلا أخية الجزية فانطلقا حتى لحقا رسول الله صلى الله عليه و سلم وأنزل الله عز و جل على رسوله صلى الله عليه و سلم { ومنهم من عاهد الله لئن آتانا من فضله } إلى قوله { يكذبون } قال : فركب رجل من الأنصار قريب لثعلبة راحلة حتى أتى ثعلبة فقال ويحك يا ثعلبة هلكت أنزل الله عز و جل فيك القرآن كذا فأقبل ثعلبة ووضع التراب على رأسه وهو يبكي ويقول : يا رسول الله يا رسول الله فلم يقبل منه رسول الله صلى الله عليه و سلم صدقته حتى قبض الله رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم أتى أبا بكر رضي الله عنه بعد رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال : يا أبا بكر قد عرفت موقعي من قومي ومكاني من رسول الله صلى الله عليه و سلم فاقبل مني فأبى أن يقبله ثم أتى عمر رضي الله عنه فأبى أن يقبل منه ثم أتى عثمان رضي الله عنه فأبى أن يقبل منه ثم مات ثعلبة في خلافة عثمان رضي الله عنه

Telah bercerita kepada kami Abu Yazid Al Qarathisy, bercerita kepada kami Asad bin Musa, bercerita kepada kami Al Walid bin Muslim, bercerita kepada kami Mu’aan bin Rifa’ah, dari Ali bin Yazid, dari Al Qasim, dari Abu Umamah, bahwa Tsa’labah  bin Hathib Al Anshari mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata:

“Ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar aku diberikan harta.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda: Celaka engkau wahai Tsa’labah! Sedikit yang engkau syukuri itu lebih baik dari harta banyak yang engkau tidak sanggup mensyukurinya.” Kemudian Tsa’labah kembali kepadanya, dan berkata: “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar saya diberikan harta.”   Nabi bersabda:   “Apakah engkau tidak suka menjadi seperti Nabi Allah? Demi yang diriku di tangan-Nya, seandainya aku mau gunung-gunung mengalirkan perak dan emas, niscaya akan mengalir untukku.

Kemudian ia (Tsa’labah) berkata: “Demi Dzat yang mengutusmu dengan benar, seandainya engkau meminta kepada Allah agar aku dikaruniai harta (yang banyak) sungguh aku akan memberikan haknya  kepada yang berhak menerimanya.”

Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdo’a: “Ya Allah, berikankanlah harta kepada Tsa’labah.” Kemudian ia mendapatkan seekor kambing, lalu kambing itu tumbuh beranak, sebagaimana tumbuhnya ulat. Kota Madinah terasa sempit baginya.

Sesudah itu, Tsa’labah menjauh dari Madinah dan tinggal di satu lembah. Karena kesibukannya, ia hanya berjama’ah pada shalat  zhuhur dan ‘ashar saja, dan tidak pada shalat-shalat lainnya. Kemudian kambing itu semakin banyak, maka mulailah ia meninggalkan shalat berjama’ah sampai shalat Jum’at juga ia tinggalkan.

Suatu saat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya kepada para Shahabat: “Apa yang dilakukan Tsa’labah?” Mereka menjawab: “Ia mendapatkan seekor kambing, lalu kambingnya bertambah banyak sehingga kota Madinah terasa sempit baginya.”

Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam mengutus dua orang untuk mengambil zakatnya seraya bersabda: “Pergilah kalian ke tempat Tsa’labah dan tempat fulan dari Bani Sulaiman, ambillah zakat mereka berdua.” Lalu keduanya pergi mendatangi Tsa’labah untuk meminta zakatnya. Sesampainya disana dibacakan surat dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dengan serta merta Tsa’labah berkata: “Apakah yang kalian minta dari saya ini, pajak atau semisalnya? Aku  mengerti apa sebenarnya yang kalian minta ini!”

Lalu keduanya pulang dan menghadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tatkala beliau melihat kedua-nya (pulang tidak membawa hasil), sebelum mereka berbicara, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Celaka engkau, wahai Tsa’labah! Lalu turun ayat:

“Dan di antara mereka ada yang telah berikrar kepada Allah: ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih.’ Maka, setelah Allah mem-berikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).” (QS. At Taubah (9): 75-76)

Setelah ayat ini turun, Tsa’labah datang kepada Nabi  Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ia mohon agar diterima zakatnya.

Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam langsung menjawab: “Allah telah melarangku menerima zakatmu.” Hingga Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat, beliau tidak mau menerima sedikit pun dari zakatnya. Dan Abu Bakar, ‘Umar, serta ‘Utsman pun tidak menerima zakatnya di masa kekhilafahan mereka. Tsa’labah wafat pada masa kekhilafahan Utsman bin ‘Affan. 

                                                                 * * * * *
Kisah ini diriwayatkan oleh:
- Imam Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush Shahabah No. 1310
- Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No.  4357
- Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 7873
- Imam Abu Bakar Asy Syaibani dalam Al Aahad wal Matsani No. 687
- Imam Ibnu Jarir Ath Thabari dalam Jami’ul Bayan, No. 16987
- Imam Ibnu Abi Hatim Ar Razi dalam Tafsirnya No. 10638
- Imam Al Qurthubi dalam Al Jami’ Li Ahkam Al Quran, 8/208
- Imam Al Baghawi dalam Ma’alim At Tanzil, 4/76
- Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 4/183-184
- Imam Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 11/207-208
- Imam Abul Husein Abdul Baqi bin Qani’, Mu’jam Ash Shahabah, No. 127
- Dan lainnya.

                Kisah ini tidak sah dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebab diriwayatkan oleh beberapa rawi yang dhaif, yakni:

1.       Mu’aan bin Rifa’ah  As Sulami

Mayoritas imam jarh wa ta’dil mendhaifkannya. Yahya mengatakan: dhaif. Ar Razi dan As Sa’di mengatakan: laisa bihujjah (bukan hujjah). Ibnu Hibban mengatakan: “haditsnya tidak serupa dengan hadits-hadits yang kuat maka mesti ditinggalkan.” Al Azdi mengatakan: “haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah.” (Imam Ibnul Jauzi, Adh Dhu’afa wal Matrukin, No. 3353. Lihat juga Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 3/36)

Al Jauzajaani mengatakan: bukan hujjah. Ya’qub bin Sufyan mengatakan: layyinul hadits – lemah haditsnya. Imam Ibnu Hibban mengatakan: munkarul hadits. Ibnu ‘Adi mengatakan: “kebanyakan hadits darinya tidak bisa diikuti.”  (Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 10/182)

Imam Ibnu Hajar mengatakan: “Saya telah membaca tulisan Adz Dzahabi, bahwa Mu’aan wafat sekitar bersamaan dengan Al Auza’i, dan dia (Mu’aan) adalah pemilik hadits yang tidak teliti (mutqin).” (Ibid. Lihat juga Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, No. 8619)

Abu Hatim mengatakan: haditsnya boleh ditulis tapi tidak bisa dijadikan hujjah. Yahya mengatakan: dhaif.  (Imam Adz Dzahabi, Al Kasyif No.  5513)

Hanya sedikit yang mentsiqahkan, Duhaim mengatakan: tsiqah. (Ibid), begitu pula Ali bin Al Madini. (Imam Adz Dzahabi, Al Mughni fi Adh Dhuafa, No. 6309), Imam Ahmad mengatakan: laa ba’sa bihi – tidak apa-apa. (Imam Ibnu Al Mubarrad, Bahr Ad Dam, Hal. 152), Muhammad bin ‘Auf dan Abu Daud mengatakan: tidak apa-apa. (Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahzib, 10/182)

Lalu bagaimana menilai  Mu’aan bin Rifa’ah ini? Di tengah badai kritikan baginya namun ada pula yang memujinya. Kaidahnya adalah: jarh mufassar muqaddamun ‘ala ta’dilil ‘aam – kritikan yang terperinci lebih diutamakan dibanding pujian yang masih umum. Maka, dia tetap seorang perawi yang dhaif, sebab kritikan (jarh) yang diterimanya telah dirinci sebagaimana rincian Ibnu Hibban,ada pun pujiannya (ta’dil) masih bersifat umum. Wallahu A’lam

2.       Ali bin Yazid Abu Abdul Malik

Imam An Nasa’i mengatakan: matrul hadits – haditsnya ditinggalkan.  Imam Bukhari mengatakan: munkarul hadits – haditsnya munkar. (Imam Al Muqrizi, Al Mukhtashar Al Kamil fi Adh Dhuafa, No. 1338, Lihat juga Al ‘Uqaili dalam Adh Dhuafa, No. 1259)

Imam Ad Daruquthni memasukannya dalam kitabnya Adh Dhuafa wa Matrukin. (No. 408), selain itu beliau juga didhaifkan oleh Imam Ahmad, Imam Abu Hatim,  dan Imam Abu Zur’ah. (Imam Abdurrahman bin Abi Hatim, Al Jarh wa At Ta’dil, No. 1142)

Imam Ibnu Hazm mengatakan: “Mu’aan bin Rifa’ah, Al Qasim bin Abdurrahman, dan Ali bin Yazid, semuanya adalah dhaif.” (Al Muhalla, 11/208)

             Oleh karena itu, segenap para ulama pun telah mendhaifkan hadits ini.

               Imam Ibnu Hazm mengatakan: “Hadza Baathil, li anna tsa’labah badriy ma’ruuf-  hadits ini batil, karena Tsa’labah adalah dikenal sebagai Ahli Badar. ” (Lihat Al Muhalla, 11/208)

                Imam Ibnu Hajar mengatakan: “Dhaif jiddan – lemah sekali.” (Takhrij Ahadits Al Kasyaaf, Hal. 77), juga didhaifkan oleh Imam As Suyuthi. (Asbabun Nuzul,  Hal. 121), Imam Al ‘Iraqi. (Takhrij Ahadits Al Ihya’, 3/338), Imam Al Qurthubi. (Al Jami’ Li Ahkamil Quran, 8/210)

                Syaikh Ali Hasyisy mengatakan dhaif jiddan. (Lihat Silsilah Al Ahadits Al Wahiyah, Hal. 248, No. 158), Syaikh Al Albani juga mengatakan: dhaif jiddan. (As Silsilah Adh Dhaifah No. 1607)

Catatan:
                Hadits ini selain dhaif riwayatnya, tapi juga buruk secara makna, yakni telah menjadikan salah satu sahabat nabi yang mulia, bernama Tsa’labah bin Haathib seorang Ahli Badar dan golongan Anshar, sebagai sosok yang durhaka. Hal ini merupakan tuduhan yang berat kepadanya, dan dusta terhadapnya. Padahal Ahli Badar telah Allah Ta’ala maafkan dan diampuni dosa-dosanya, dan dijamin masuk surga, sebagaimana diriwayatkan oleh hadits-hadits shahih. 

                Dari Jabir Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَنْ يَدْخُلَ النَّارَ رَجُلٌ شَهِدَ بَدْرًا وَالْحُدَيْبِيَةَ
               
Tidak akan pernah masuk ke  neraka seorang yang ikut perang Badar dan Hudaibiyah. (HR. Ahmad No. 15297, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan. Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 15297. Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 33894, Syaikh Al Albani mengatakan: shahih.  Lihat As Silsilah Ash Shahihah No. 2160)

                Dahulu ada sahabat nabi, Hatib bin Abi Baltha’ah Radhiallahu ‘Anhu  dan dia seorang Ahli Badar, yang telah membocorkan rahasia negara ketika menjelang penaklukan kota Mekkah (Fathul Makkah). Beliau mengirim utusan seorang wanita untuk membawa surat ke Mekkah kepada sanak familinya perihal penaklukan itu. Namun Rasulullah mengetahui rencana Hatib ini, Beliau mengutus Ali, Az Zubeir, dan Miqdad untuk mengejar utusan tersebut, dan akhirnya terkejar.

                Para sahabat pun marah kepada Hatib bin Abi Baltha’ah, bahkan Umar mengatakan: “Ya Rasulullah, Da’ni adhribu ‘unuqa haadzal munaafiq – Ya Rasulullah, biarkan saya memenggal leher si munafiq ini.”

                Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَكُونَ قَدْ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ
                Dia telah ikut perang Badar, apakah engkau tidak tahu bahwa barang kali Allah Ta’ala telah memandang Ahli Badar, lalu Dia berkata: lakukan apa yang kalian mau, kalian telah Aku ampuni. (HR. Bukhari No. 3007 dan Muslim No. 2494)      

                Demikian mulia kedudukan Ahli Badar, dan Tsa’labah bin Haathib juga termasuk Ahli Badar.

Selain itu, riwayat ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala menolak amal shalih dan maaf hambaNya. Ini juga bertentangan  dengan sifat Allah Ta’ala sebagai Al Ghafur (Maha Pengampun) dan Ar Rahim (Maha Penyayang).

                Kemudian riwayat ini juga mengandung makna bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak memaafkan Tsa’labah sampai dirinya wafat. Ini jelas bertentangan dengan akhlak Beliau yang asyidda’u ‘alal kuffar wa ruhama’u bainahum – keras terhadap orang kafir dan berkasih sayang terhadap mereka (orang-orang mukmin/para sahabatnya).

                Maka, hendaknya kita –khususnya para penceramah-  hati-hati menyebarkan kisah ini, sebab  akan membawa dampak pembunuhan karakter terhadap sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan itu pun menjadi dusta atas nama sahabat nabi dan merupakan celaan terhadap mereka.  Dan, mencela sahabat nabi tidaklah sama dengan mencela manusia kebanyakan. Wal ‘Iyadzu billah.

                Wallahu A’lam
               
Kisah Alqamah, Anak Durhaka

                Selanjutnya kisah Alqamah. Kisah ini sering kita dengar disampaikan oleh guru-guru agama di surau dan di sekolah, untuk mendidik anak-anak agar mereka tidak berdurhaka kepada kedua orang tua.

 Demikian bunyi haditsnya:

وعن عبد الله بن أبي أوفى ، رضي الله عنه ، قال : كنا عند النبي صَلى الله عَلَيه وسَلَّم فأتاه آت ، فقال : شاب يجود بنفسه ، قيل له : قل : لا إله إلا اللّه. فلم يستطع. فقال : كان يصلي ؟ قال : نعم. فنهض رسول الله صَلى الله عَلَيه وسَلَّم ونهضنا معه فدخل على الشاب ، فقال له : قل : لا إله إلا اللّه , فقال : لا أستطيع ، قال : لم ؟ قال : كان يعق والدته. فقال النبي صَلى الله عَلَيه وسَلَّم : أحية والدته ؟ قالوا : نعم ، قال : ادعوها , فجاءت ، فقال : هذا ابنك ؟ فقال : نعم , فقال لها : أرأيت لو أججت نار ضخمة ، فقيل لك : إن شفعت له خلينا عنه وإلا حرقناه بهذه النار أكنت تشفعين له ؟ قال : يا رسول الله صَلى الله عَلَيه وسَلَّم ، إذًا أشفع ، قال : فأشهدي الله وأشهديني أنك قد رضيت عنه ، قال : اللهم إني أشهدك وأشهد رسولك أني قد رضيت عن ابني , فقال له رسول الله صَلى الله عَلَيه وسَلَّم : يا غلام ، قل : لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله , فقالها ، فقال رسول الله صَلى الله عَلَيه وسَلَّم : الحمد للّه الذيما أنقذه بي من النار.
                    Dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata: Kami pernah berada bersama  Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lalu datanglah seseorang, ia  berkata, "Ada seorang pemuda yang nafasnya hampir putus, lalu  dikatakan kepadanya, ucapkanlah Laa ilaaha illallah,akan tetapi ia  tidak sanggup mengucapkannya." Beliau bertanya kepada orang itu," Apakah anak muda itu masih menjalankan shalat?" Jawab orang itu,"Ya." Lalu Rasulullah  Shallalahu 'Alaihi wa Sallam bangkit berdiri dan kami pun berdiri  besama beliau, kemudian beliau masuk menemui anak muda itu, beliau  bersabda kepadanya,"Ucapkan Laa ilaaha illallah." Anak muda itu  menjawab, "Saya tidak sanggup." Beliau bertanya, "Kenapa?" Dijawab oleh orang lain, "Dia telah durhaka kepada ibunya." Lalu Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bertanya, "Apakah ibunya masih hidup?"  Mereka menjawab, "Ya". Beliau bersabda, "Panggillah ibunya kemari," Lalu datanglah ibunya, maka belaiu bersabda, "Ini anakmu?" Jawabnya, "Ya." Beliau bersabda lagi kepadanya, "Bagaimana  pandanganmu kalau sekiranya dibuat api unggun yang besar lalu  dikatakan kepadamu: Jika engkau memberikan syafa'atmu  (yaitu memaafkannya, pen) kepadanya niscaya akan kami lepaskan  dia, dan jika tidak pasti kami akan membakarnya dengan api, apakah engkau  mau memberikan syafa'at kepadanya?" Perempuan itu menjawab, "Kalau begitu, aku akan memberikan syafa'at kepadanya." Beliau bersabda," Maka Jadikanlah Allah sebagai saksinya dan  jadikanlah aku sebagai saksinya sesungguhnya engkau telah meridhai anakmu." Perempuan itu berkata, "Ya Allah sesungguhnya aku  menjadikan Engkau sebagai saksi dan aku menjadikan RasulMu sebagai saksi sesungguhnya aku telah meridhai anakku". Kemudia Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda kepada anak muda itu, "Wahai anak muda ucapkanlah Laa ilaaha illallah wahdahu laa syarikalahu wa asyhadu anna muhammada 'abduhu wa rasuluhu." Lalu anak muda itupun dapat mengucapkannya. Maka bersabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, "Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan dirinya  dari api neraka, lantaran diriku.”

                Imam Al Bushiri Rahimahullah mengatakan:

رواه أحمد بن منيع ، والطبراني واللفظ له ، وعبد الله بن أحمد بن حنبل ، وقال : لم يحدث أبي بهذا الحديث ، ضرب عليه من كتابه لأنه لم يرض حديث فائد بن عبد الرحمن ، وكان عنده متروك الحديث.
قلتُ : وضعفه ابن معين وأبو حاتم ، وأبو زرعة والبخاري ، وأبو داود والنسائي ، والترمذي وغيرهم ، وقال الحاكم : روى عن ابن أبي أوفى أحاديث موضوعة.
               
 Diriwayatkan oleh Ahmad bin Mani’, Ath Thabarani –dan ini adalah lafaz miliknya-, dan Abdullah bin Ahmad bin Hambal, dia berkata: “Ayahku (Imam Ahmad) belum pernah membicarakan hadits ini, Beliau menghilangkannya dari kitabnya, karena beliau tidak ridha dengan hadits Faaid bin Abdurrahman. Menurutnya (Imam Ahmad), Faaid adalah matrukul hadits – haditsnya ditinggalkan.

                Aku (Al Bushiri) berkata: “Dia didhaifkan oleh Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Al Bukhari, Abu Daud, An Nasa’i, At Tirmidzi, dan selain mereka. Al Hakim berkata: diriwayatkan dari Ibnu Abi ‘Aufa hadits-hadits palsu.” (Imam Al Bushiri, Az Zawaid, No. 5039)    

                Imam Al Haitsami juga mengatakan demikian:

 رواه الطبراني وأحمد بأختصار كثير وفيه فائد أبو الورقاء وهو متروك
                Diriwayatkan oleh Ath Thabarani dan Ahmad dengan banyak diringkas, dan di dalam sanadnya terdapat Faaid bin Abdurrahman Abu Al Waraqa’, dan dia adalah matruk. (Majma’ Az Zawaid, 8/148)
 
                Syaikh Al Albani mengatakan tentang hadits ini: dhaif jiddan. (Dhaif Targhib wat Tarhib, No. 1487)
                Imam Ibnul Jauzi menjelaskan bahwa hadits ini tidak sah dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dalam sanadnya terdapat Faaid. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan: matrukul hadits. Yahya mengatakan: “Bukan apa-apa.” Ibnu Hibban mengatakan: “tidak boleh berhujjah dengannya.” Al ‘Uqaili mengatakan: “Tidak ada yang menjadi mutaba’ah (penguat) hadits ini, kecuali dari orang yang seperti dia juga.”
                Dalam sanadnya juga terdapat Daud bin Ibrahim. Imam Abu Hatim mengatakan: Dia berdusta. (Lihat Al Maudhu’at, 3/87)

                Maka jelaslah bahwa hadits ini tidak sah disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Catatan:
                Alqamah adalah sahabat Nabi, dan belum pernah ada riwayat shahih yang menunjukkan bahwa sahabat nabi durhaka kepada orang tuanya, apalagi terhadap ibu mereka. Hadits ini pun juga menjadi pembunuhan karakter terhadap kepribadian sahabat nabi.

                Selain itu, masih banyak cara untuk mendidik manusia untuk berbakti kepada orang tua mereka, yaitu dengan ayat-ayat Al Quran dan hadits-hadits yang shahih. Maka, cukupkanlah diri kita dengan keduanya, bukan kisah-kisah yang tidak jelas kebenarannya.

                Sekian. Wallahu A’lam

2 komentar:

  1. alba ni itu siapa, setau kami ada orang bernama al bani perusak hadis dari kalangan new khawarij yang bernama wahabi, ada bukti otentiknya nih

    BalasHapus