Oleh Muhammad Abdul Wahab Lc.MA
Islam sebagai agama yang syamil wa mutakammil (menyeluruh
dan sempurna) mengatur segala aspek kehidupan, termasuk hal-hal yang
berhubungan dengan interaksi sosial dalam kehidupan manusia antar sesama. Yang
diejawantahkan oleh para ulama dalam pembahasan fiqih mumalah.
Salah satu bentuk interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari adalah
kegiatan pinjam-meminjam. Kegiatan yang sering dilakukan dalam keseharian
hampir semua orang. Di saat setiap orang tidak selalu memiliki semua barang
untuk memenuhi kebutuhannya, maka salah satu jalan keluarnya adalah dengan
meminjamnya dari orang lain.
Apa saja ketentuan-ketentuan syariah yang berkaitan dengan kegiatan
pinjam-meminjam? Apa saja hak-hak dan kewajiban yang harus dipenuhi baik oleh
peminjam maupun pemilik barang?
A. Pengertian ‘Ariyah
‘Ariyah berasal dari kata i’arah yang berarti meminjamkan.
Dalam istilah ilmu fiqih, para ulama mendefinisikan ‘ariyah dengan
dua definisi yang berbeda. Ulama hanafiyyah[1] dan
malikiyyah[2] mendefinisikan ‘ariyah sebagai
berikut:
تمليك منفعة مؤقتة بلا عوض
“Menyerahkan kepemilikan manfaat (suatu benda) dalam waktu tertentu tanpa
imbalan.”
Sedangkan ulama Syafi’iyyah[3], Hanbilah[4] dan
Zahiriyyah[5],
mendefinisikan ‘ariyah sebagai berikut:
إباحة الانتفاع بما يحل الانتفاع به مع يقاء عينه بلا
عوض
“Izin menggunakan barang yang halal dimanfaatkan, di mana barang tersebut
tetap dengan wujudnya tanpa disertai imbalan.”
Masing-masing dari kedua definisi di atas menghasilkan konsekuensi hukum
yang berbeda. Hanfiyyah dan Malikiyyah menganggap bahwa ‘ariyah adalah
penyerahan kepemilikan hak guna suatu benda dalam jangka waktu tertentu. Itu
artinya, peminjam barang selama jangka waktu pinjaman berhak untuk meminjamkan
atau menyewakan barang pinjamannya kepada pihak lain tanpa seizin pemilik
barang. sebab dia dianggap memiliki hak guna barang tersebut.
Sedangkan Syafi’iyyah, Hanabilah dan Zahiriyyah memandang bahwa ‘ariyah hanya
sebatas memberi izin untuk menggunakan barang, bukan memiliki hak guna barang
tersebut. Sehingga peminjam tidak boleh meminjamkan atau menyewakan kepada
pihak lain tanpa seizin dari pemilik barang.
B. Hukum Taklifi
‘Ariyah atau pinjam-meminjam hukumnya bisa berubah tergantung pada kondisi yang
menyertainya. Meminjamkan barang hukumnya sunnah jika peminjam (musta’ir)
merasakan manfaat dari pinjaman tersebut dan tidak menimbulkan mudarat bagi
pemilik barang (mu’ir). Ditambah, peminjam tidak menggunakan pinjamannya
untuk tujuan maksiat atau hal-hal yang makruh.
Meminjamkan barang juga bisa menjadi wajib, jika peminjam dalam keadaan
darurat sedangkan pemilik barang tidak mendapatkan kemudaratan jika
meminjamkannya. Contohnya, pada saat cuaca dingin ada orang yang telanjang,
atau hanya memakai pakaian seadanya sehingga merasakan kedinginan. Maka, jika
ada orang yang bisa meminjamkan baju untuknya hukumnya menjadi wajib karena
orang tersebut bisa saja meninggal atau terkena penyakit seandainya tidak
dipinjami baju.
Menurut Hanafiyyah dan Syafi’iyyah, pinjam-meminjam hukumnya bisa menjadi
makruh, jika berdampak pada hal yang makruh. Seperti meminjamkan hamba sahaya
untuk bekerja kepada seorang kafir.[6]
‘Ariyah juga bisa menjadi haram jika berdampak pada perbuatan yang dilarang.
Seperti meminjamkan senjata untuk membunuh orang, atau meminjamkan kendaraan
untuk melakukan maksiat, dan lain-lain.
C. Syarat Barang Pinjaman
Suatu barang menjadi sah untuk dipinjamkan sebagai ‘ariyah,
jika memenuhi dua syarat berikut:
Pertama, barang tersebut bisa diambil manfaatnya tanpa harus memusnahkan
atau menghabiskannya. Tidak sah disebut sebagai ‘ariyah jika
yang dipinjamkan adalah barang yang habis pakai seperti makanan, sabun, lilin
dan sebagainya. Meminjamkan barang yang habis pakai disebut dengan qardh.
Kedua, barang yang dipinjamkan merupakan barang yang halal untuk
dimanfaatkan dan tidak digunakan untuk tujuan yang diharamkan.
D. Hak dan Kewajiban Peminjam
Ketika seseorang meminjam barang sedangkan pemiliknya tidak memberikan
batasan-batasan atau ketentuan tertentu dalam pemakaiannya, maka peminjam boleh
memakai barang tersebut untuk keperluan apa pun yang dibenarkan secara ‘urf (kebiasaan).
Dengan kata lain, peminjam bebas menggunakannya untuk tujuan apa pun selama
penggunaannya masih dalam batas kewajaran. Hal ini senada dengan kaidah fiqih[7]:
المعروف عرفاً كالمشروط شرطاً
“Sesuatu yang dianggap sebagai kebiasaan kedudukannya seperti syarat.”
Contohnya, seseorang meminjam mobil sedan kepada temannya. Selama temannya
itu tidak memberikan batasan atau ketentuan pemakaian, si peminjam boleh
menggunakannya untuk keperluan apa pun, selama itu dianggap sebagai pemakaian
wajar. Contohnya dipakai untuk jalan-jalan, mengantar teman dan lain-lain.
Tetapi peminjam tidak boleh menggunakan mobil tersebut untuk mengangkut
beras misalnya, atau mengangkut hewan qurban. Karena, secara ‘urf hal
tersebut sudah keluar dari batas kewajaran.
Jika pemilik barang memberikan syarat atau batasan-batasan tertentu dalam
pemakaian barangnya, maka peminjam harus patuh terhadap syarat tersebut. Jika
tidak, si peminjam dianggap sebagai ghasib. Contohnya, pemilik
mobil hanya memperbolehkan mobilnya dipakai di dalam kota, atau hanya siang
hari, atau selama dua hari dan lain sebagainya. Maka peminjam tidak boleh
menyelisihi apa yang disyaratkan oleh pemilik barang.
E. Waktu Pengembalian Barang Pinjaman
Kapankah pemilik boleh mengambil kembali barangnya yang dipinjam? Apakah
boleh mengambil sewaktu-waktu, atau hanya boleh mengambil pada waktu yang sudah
disepakati? Dalam hal ini para ulama terbagi ke dalam dua pendapat.
a. Pendapat Pertama
Ulama dari kalangan Hanafiyyah[8],
Syafi’iyyah[9],
Hanabilah[10] dan
Zhahiriyyah[11] memandang
bahwa pemilik barang boleh meminta barangnya dari peminjam kapan pun dia mau.
Dengan syarat tidak menimbulkan mudarat bagi si peminjam.
b. Pendapat Kedua
Sedangkan Malikiyyah[12] berpendapat,
pemilik barang tidak boleh meminta barangnya kecuali setelah jangka waktu yang
telah disepakati. Atau setelah jangka waktu yang sewajarnya, jika tidak ada
ketentuan berapa lama batas waktu peminjaman dari pemilik barang. Atau setelah
barang pinjaman tersebut selesai digunakan untuk keperluan peminjam.
Malikiyyah mendasari pendapatnya ini dengan perintah untuk melaksanakan
akad atau perjanjian yang telah disepakati, sebagaimana tertuang dalam surat
al-Maidah ayat 1 berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.”
Juga atas dasar sabda Nabi Muhammad ﷺ:
المسلمون عند شروطهم
“Muslim itu terikat dengan syarat-syarat (yang disepakati di antara
mereka).”[13]
F. Barang Pinjaman Rusak, Apakah Peminjam Wajib Mengganti?
Dalam kitab-kitab fiqih, para ulama mengaitkan masalah ini ke dalam
pembahasan tentang status peminjam dalam kegiatan pinjam-meminjam (‘ariyah)
apakah sebagai yad amanah atau yad dhaman.
Yad amanah adalah pihak yang berstatus hanya sebagai pemegang amanah dari pihak lain.
Di mana jika terjadi hal yang tidak diinginkan pada amanah yang dipegangnya,
dia terlepas dari tanggung jawab untuk mengganti selama hal tersebut tidak
disebabkan oleh kecerobohan atau kelalaiannya.
Sedangkan yad dhaman adalah pihak yang berstatus sebagai
penjamin terhadap barang milik orang lain. Di mana jika terjadi kerusakan atau
kehilangan --apa pun alasannya-- dia bertanggung jawab atas barang tersebut.
Dalam kegiatan pinjam-meminjam (‘ariyah), para ulama berbeda
pendapat, apakah peminjam berlaku sebagai yad amanah atau yad
dhaman.
a. Hanafiyyah, Riwayat Marjuh dari Imam Ahmad &
Zahiriyyah
Kelompok pertama yang diwakili oleh ulama dari kalangan Hanafiyyah[14],
Zahiriyyah[15] dan
riwayat marjuh dari Imam Ahmad[16] berpandangan
bahwa peminjam berlaku sebagai yad amanah.
Sehingga, jika terjadi sesuatu pada barang pinjaman, peminjam tidak
berkewajiban untuk mengganti barang tersebut. Selama tidak disebabkan oleh
kecerobohan atau kelalaiannya sendiri atau peminjam menolak untuk mengembalikan
ketika diminta oleh pemilik barang.
Landasan pendapat ini adalah hadis riwayat ad-Daruquthni[17]:
ليس على المستعير غير المغل ضمان
“Peminjam yang tidak berkhianat tidak wajib menjamin/menanggung
kerusakan (barang pinjaman).”
Juga secara logis, Malikiyyah berpendapat bahwa peminjam sudah mendapatkan
izin yang sah untuk menggunakan barang pinjaman dari pemiliknya, sehingga
peminjam tidak berkewajiban untuk menanggung kerusakan atau kehilangan yang
tidak disebabkan oleh kesalahan peminjam. Sebab pada umumnya setiap barang itu
akan mengalami kerusakan jika dipakai berulang-ulang.
b. Syafi’iyyah dan Pendapat Rajih dari Imam Ahmad
Sedangkan kelompok kedua yang diwakili oleh ulama Syafi’iyyah[18] dan
pendapat rajih dari Imam Ahmad[19] memandang
bahwa peminjam berlaku sebagai yad dhaman. Itu artinya,
peminjam wajib bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi pada barang pinjaman
dalam kondisi apa pun. Tidak peduli apakah disebabkan oleh kelalaiannya atau
bukan.
Dalil pendapat kedua ini adalah hadis berikut ini[20]:
عن أمية بن صفوان، عن أبيه - رضي الله عنه - : أن النبي
-صلى الله عليه وسلم- استعار منه أدراعه يوم حنين ، فقال : أغصبا يا محمد؟ قال
"بل عارية مضمونة "
“Dari Umayyah bin Shafwan, dari ayahnya r.a bahwasanya Nabi Muhammad ﷺ meminjam
tameng darinya pada waktu perang Hunain, kemudian ia berkata, “Apakah engkau
mengambilnya begitu saja wahai Muhammad?”, Nabi berkata, “Tidak, melainkan ini
menjadi pinjaman yang dijamin (kembali).”
Dalam hadis di atas Nabi menyatakan bahwa pinjaman itu dijamin oleh beliau,
sehingga dipahami bahwa menjamin barang pinjaman merupakan sifat dasar dari
‘ariyah (pinjam-meminjam).
c. Malikiyyah
Ulama Malikiyyah[21] membedakan
jenis barang yang dipinjam. Jika barang pinjaman itu berupa barang yang bisa
disembunyikan (ما يغاب عليه) seperti pakaian dan
perhiasan, maka peminjam wajib menjamin segala bentuk kerusakan atau kehilangan
kecuali jika dia bisa menghadirkan bukti bahwa kerusakan itu bukan akibat
kesalahannya.
Sedangkan jika barang pinjaman berupa barang yang tampak dan tidak bisa
disembunyikan seperti rumah atau kios, maka peminjam tidak berkewajiban untuk
menanggung kerusakan atau kehilangan. Kecuali jika ada bukti yang menyatakan
bahwa kerusakan itu adalah akibat dari kesalahannya.
Rusak Karena Pemakaian wajar
Yang perlu digarisbawahi ketika membahas penyebab kerusakan barang pinjaman
yang menentukan apakah peminjam wajib mengganti atau tidak, adalah bahwa jika
kerusakan barang itu terjadi karena pemakaian normal, semua ulama sepakat[22] bahwa
peminjam tidak wajib mengganti.
Sebab izin pemilik kepada peminjam untuk menggunakan barangnya, berarti
juga mengizinkan terjadinya kerusakan akibat pemakaian wajar terhadap barang
tersebut.
G. Hukum Menyewakan Barang Pinjaman Tanpa Izin Pemilik Barang
Bolehkah peminjam menyewakan barang pinjaman kepada orang lain? Para ulama
dalam hal ini terbagi ke dalam dua pendapat.
a. Pendapat Pertama
Hanafiyyah[23],
Syafi’iyyah[24] dan
Hanabilah[25] berpendapat
tidak boleh peminjam menyewakan barang pinjaman yang ada padanya kepada orang
lain tanpa izin dari pemilik barang. Hal tersebut untuk menjaga hak pemilik
barang agar bisa menarik barangnya sewaktu-waktu. Sebab dengan disewakan kepada
orang lain, barang tersebut tidak bisa ditarik kecuali setelah selesai masa
penyewaannya.
Di samping itu, pada umumnya, pemilik barang ketika meminjamkan barangnya
kepada orang lain, izin untuk menggunakan barang itu hanya ditujukan bagi si
peminjam semata, tidak untuk orang lain.
b. Pendapat Kedua
Sedangkan ulama Malikiyyah[26] membolehkan
peminjam menyewakan barang pinjaman kepada orang lain meskipun tanpa seizin
dari pemilik barang.
Hal tersebut berdasarkan pemahaman mereka bahwa ‘ariyah itu
adalah penyerahan kepemilikan manfaat suatu benda (تمليك
المنفعة). Sehingga, selama kepemilikan itu berada di tangan peminjam,
dia boleh menggunakannya untuk keperluan apa pun termasuk untuk disewakan
kepada orang lain.
Di samping itu, menurut Malikiyyah, pemilik barang hanya boleh menarik
barang yang dipinjam pada saat jatuh tempo sesuai dengan kesepakatan di awal.
Sehingga tidak masalah barang itu disewakan selama belum jatuh tempo.
H. Hukum Meminjamkan Emas
Para ulama sepakat[27],
boleh hukumnya meminjamkan emas jika digunakan untuk perhiasan, atau untuk
tujuan pameran dan lain sebagainya. Selama emas tersebut tidak digunakan
sebagai alat tukar yang habis pakai.
Namun, jika emas tersebut dipakai sebagai alat tukar sehingga emas tersebut
tidak lagi berwujud emas yang sama dengan pada saat dipinjam. Maka itu
termasuk qardh.
Wallahua'lam Bishowab
[7] Lihat: As-Suyuthi, Al-Asybah wa
al-Nazhair, hal. 90, Ibnu Najim, Al-Asybah wa
al-Nazhair, hal. 99.
[13] Diriwayatkan oleh Abu Daud, No. hadis: 3594,
Ibnu al-Jarud, Al-Muntaqa, 637-638, Ibnu Hibban, No. 1199,
al-Daruquthni, 27/3, dari hadits Abu Hurairah.
[17] Sunan al-Daruquthni, hal. 41/3, hadits
ini di-dha’if-kan oleh Al-Daruquthni sendiri juga oleh Al-Hafiz Ibnu
Hajar al-‘Asqalani dalam kitab at-Talkhish, hal. 97/3.
[21] Lihat: Ibnu Abdil Barr, Al-Kafi, 407, Bidayah
al-Mujtahid, 403/2, al-Qawanin al-Fiqhiyyah, 320,
al-Syarh al-Shaghir, 41-42/5.
[27] Lihat: Al-Mabsuth, 15/18, al-Bada’i, 207/7, asy-Syarh
al-Shaghir, 40/5, Raudhah al-Thalibin, 426-427/4, Takmilah
Fath al-Qadir, 296/6, Al-Lubab, 78/2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar