Senin, 10 September 2018

Apakah boleh kita berpindah Madzhab (tidak konsisten mengikuti 1 madzhab tertentu?)

Dalam hal ini, ulama Ushul Fiqh terbagi menjadi 3 kelompok.

  1. Sebagian mereka mengatakan bahwa mengikuti salah satu Imam secara disiplin dalam semua permasalahan adalah suatu kewajiban. Hal ini karena orang yang telah memilih satu madzhab telah berkeyakinan bahwa Imam madzhab yang dianutnya itu adalah yang benar, maka dia wajib melaksanakan keyakinannya itu. 
  2. Sebagian besar (jumhur) ulama berpendapat bahwa taqlid kepada salah satu (imam) madzhab dalam semua permasalahan dan atau semua kejadian yang dialami bukanlah suatu kewajiban. Orang tersebut boleh bertaqlid kepada MUJTAHID manapun yang dia kehendaki. Kalau seandainya seseorang mengikuti salah satu Madzhab tertentu -umpamanya- Madzhab Abu Hanifah atau mazhab Syafi’i atau yang lain, maka dia tidak wajib mengikuti madzhab tersebut  secara terus menerus atau keseluruhan, melainkan ia boleh pindah ke madzhab yang lain. Alasannya adalah sesuatu akan dihukumi wajib jika memang ada perintah wajib dari Allah dan Rosul Nya. Padahal, Allah dan juga Rosul Nya tidak pernah mewajibkan seseorang untuk bermadzhab dengan salah satu imam Madzhab yang ada. Yang diwajibkan oleh Allah hanyalah mengikuti ulama secara umum, tanpa ada pengkhususan kepada salah satu dari ulama tersebut. Allah SWT berfirman, “...maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui” Al Anbiya;7
Alasan lainnya adalah bahwa orang orang yang meminta fatwa pada zaman sahabat dan Tabiin tidak ada yang mewajibkan dirinya untuk mengikuti madzhab /ulama tertentu saja, melainkan mereka akan menanyakan permasalahan kepada siapa pun yang ahli, tanpa membatasi diri kepada salah satu dari mereka. Maka dapat disimpulkan bahwa mereka semua adalah bersepakat atau ber Ijma bahwa bertaqlid hanya kepada satu Imam saja atau mengikuti mazhab tertentu dalam berbagai permasalahan, bukanlah suatu kewajiban. Selain itu, pendapat yang mengatakan bahwa mengikuti salah satu Madzhab adalah wajib, akan menyebabkan kesulitan dan kesempitan. Padahal, keberadaan mazhab yang beragam sebenarnya adalah suatu kenikmatan, anugerah, dan juga rahmat bagi umat Islam. Pendapat ini adalah pendapat yang rajin di kalangan ulama ushul Fiqh
  1. Imam al Amin dan Imam al Kamal Ibnul Hammam membuat rincian yang lebih detail dalam masalah ini. Bagi mereka, yang diwajibkan mengikuti aturan madzhab tertentu adalah ketika seseorang melakukan perbuatan dalam suatu perkara tertentu. Ketika dia mengamalkan suatu madzhab dalam satu perkara tersebut, maka dia tidak boleh bertaqlid kepada madzhab yang lain. Namun ketika dia menghadapi perkara lain dan dia tidak mengikuti madzhabnya, maka dia boleh mengikuti mazhab yang lain dalam melaksanakan perkara tersebut. Hal ini disebabkan tidak ada aturan syara’ yang mewajibkan mengikuti satu mazhab yang dianut secara disiplin dalam semua perkara. Yang diwajibkan oleh syara’ adalah mengikuti ulama siapa pun tanpa ada pengkhususan kepada salah seorang diantara mereka.

Dapat disimpulkan bahwa pendapat yang paling shahih dan rajih di kalangan ulama ushul Fiqih (1) (menurut Prof Dr Wahbah az Zuhaili) adalah tidak wajibnya konsisten dalam mengikuti mazhab tertentu, dan boleh berbeda dengan pendapat dengan imam Madzhab yg diikutinya. Hal ini disebabkan konsisten mengamalkan madzhab tertentu bukan suatu kewajiban sebagaimana yang sudah diterangkan oleh penulis buku ini.

Wallahua’lam

Catatan kaki.

(1) Mazhab Syafi’i mengatakan bahwa pendapat yang “ashah” di kalangan ulama Syafi’iyah yang hidup pada masa belakangan atau muta’akhirin seperti pendapat Syaikh Ibnu Hajar dan lainnya, adalah boleh melakukan perpindahan dari satu madzhab ke mazhab yang lain, asalkan pendapat pendapat mazhab tersebut terpelihara meskipun dengan maksud mencari kemudahan, dan baik dia berpindah madzhab selamanya atau hanya dalam satu kasus saja. Meskipun perpindahan (intiqal) itu menyebabkan fatwa, putusan hukuman, atau amalan yang dilakukan itu, berbeda dengan madzhab yang dianut, selagi perpindahan tersebut tidak menyebabkan timbulnya talfiq (pencampuran antara berbagai pendapat mazhab dalam satu masalah yang tidak ada satu madzhab pun yang membolehkan atau berpendapat demikian). (Al Fawa’id al Makiyyah fi Ma Yahtajuhu Thalabah Asy Syafi’iyyah Min al masa’il wa adh Dhawabith wal Qowa’id al Kulliyyah karya Sayyid Alawi bin Ahmad as Saqqaf hal 51 cetakan al Bab al Halabi)


Diambil dan diringkas dari buku Fiqh Islam wa Adillatuhu karya Prof Dr Wahbah Az Zuhaili.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar