Dalam hal ini, ulama Ushul Fiqh terbagi
menjadi 3 kelompok.
- Sebagian
mereka mengatakan bahwa mengikuti salah satu Imam secara disiplin dalam
semua permasalahan adalah suatu kewajiban. Hal ini karena orang yang telah
memilih satu madzhab telah berkeyakinan bahwa Imam madzhab yang dianutnya
itu adalah yang benar, maka dia wajib melaksanakan keyakinannya itu.
- Sebagian
besar (jumhur) ulama berpendapat bahwa taqlid kepada salah satu (imam)
madzhab dalam semua permasalahan dan atau semua kejadian yang dialami
bukanlah suatu kewajiban. Orang tersebut boleh bertaqlid kepada MUJTAHID
manapun yang dia kehendaki. Kalau seandainya seseorang mengikuti salah
satu Madzhab tertentu -umpamanya- Madzhab Abu Hanifah atau mazhab Syafi’i
atau yang lain, maka dia tidak wajib mengikuti madzhab tersebut
secara terus menerus atau keseluruhan, melainkan ia boleh pindah ke
madzhab yang lain. Alasannya adalah sesuatu akan dihukumi wajib jika
memang ada perintah wajib dari Allah dan Rosul Nya. Padahal, Allah dan
juga Rosul Nya tidak pernah mewajibkan seseorang untuk bermadzhab dengan
salah satu imam Madzhab yang ada. Yang diwajibkan oleh Allah hanyalah
mengikuti ulama secara umum, tanpa ada pengkhususan kepada salah satu dari
ulama tersebut. Allah SWT berfirman, “...maka tanyakanlah kepada orang
yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui” Al Anbiya;7
Alasan lainnya adalah bahwa orang orang yang meminta fatwa pada zaman sahabat
dan Tabiin tidak ada yang mewajibkan dirinya untuk mengikuti madzhab /ulama
tertentu saja, melainkan mereka akan menanyakan permasalahan kepada siapa pun
yang ahli, tanpa membatasi diri kepada salah satu dari mereka. Maka dapat
disimpulkan bahwa mereka semua adalah bersepakat atau ber Ijma bahwa bertaqlid
hanya kepada satu Imam saja atau mengikuti mazhab tertentu dalam berbagai
permasalahan, bukanlah suatu kewajiban. Selain itu, pendapat yang mengatakan
bahwa mengikuti salah satu Madzhab adalah wajib, akan menyebabkan kesulitan dan
kesempitan. Padahal, keberadaan mazhab yang beragam sebenarnya adalah suatu
kenikmatan, anugerah, dan juga rahmat bagi umat Islam. Pendapat ini adalah
pendapat yang rajin di kalangan ulama ushul Fiqh
- Imam al
Amin dan Imam al Kamal Ibnul Hammam membuat rincian yang lebih detail
dalam masalah ini. Bagi mereka, yang diwajibkan mengikuti aturan madzhab
tertentu adalah ketika seseorang melakukan perbuatan dalam suatu perkara
tertentu. Ketika dia mengamalkan suatu madzhab dalam satu perkara
tersebut, maka dia tidak boleh bertaqlid kepada madzhab yang lain. Namun
ketika dia menghadapi perkara lain dan dia tidak mengikuti madzhabnya,
maka dia boleh mengikuti mazhab yang lain dalam melaksanakan perkara
tersebut. Hal ini disebabkan tidak ada aturan syara’ yang mewajibkan
mengikuti satu mazhab yang dianut secara disiplin dalam semua perkara.
Yang diwajibkan oleh syara’ adalah mengikuti ulama siapa pun tanpa ada
pengkhususan kepada salah seorang diantara mereka.
Dapat disimpulkan bahwa pendapat yang
paling shahih dan rajih di kalangan ulama ushul Fiqih (1) (menurut Prof Dr
Wahbah az Zuhaili) adalah tidak wajibnya konsisten dalam mengikuti mazhab
tertentu, dan boleh berbeda dengan pendapat dengan imam Madzhab yg diikutinya.
Hal ini disebabkan konsisten mengamalkan madzhab tertentu bukan suatu kewajiban
sebagaimana yang sudah diterangkan oleh penulis buku ini.
Wallahua’lam
Catatan kaki.
(1) Mazhab Syafi’i mengatakan bahwa
pendapat yang “ashah” di kalangan ulama Syafi’iyah yang hidup pada masa
belakangan atau muta’akhirin seperti pendapat Syaikh Ibnu Hajar dan lainnya,
adalah boleh melakukan perpindahan dari satu madzhab ke mazhab yang lain,
asalkan pendapat pendapat mazhab tersebut terpelihara meskipun dengan maksud
mencari kemudahan, dan baik dia berpindah madzhab selamanya atau hanya dalam
satu kasus saja. Meskipun perpindahan (intiqal) itu menyebabkan fatwa, putusan
hukuman, atau amalan yang dilakukan itu, berbeda dengan madzhab yang dianut,
selagi perpindahan tersebut tidak menyebabkan timbulnya talfiq (pencampuran
antara berbagai pendapat mazhab dalam satu masalah yang tidak ada satu madzhab
pun yang membolehkan atau berpendapat demikian). (Al Fawa’id al Makiyyah fi Ma
Yahtajuhu Thalabah Asy Syafi’iyyah Min al masa’il wa adh Dhawabith wal Qowa’id
al Kulliyyah karya Sayyid Alawi bin Ahmad as Saqqaf hal 51 cetakan al Bab al
Halabi)
Diambil dan diringkas dari buku Fiqh
Islam wa Adillatuhu karya Prof Dr Wahbah Az Zuhaili.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar