Selasa, 31 Oktober 2017

GHARAR

Oleh : Ust Hanif Lutfi Lc. MA

Faktor-faktor keharaman dalam bermuamalah adalah maishir, Gharar, riba, dan batil. Dalam pembahasan kali ini, akan di kupas terkait apa itu Gharar? Definisinya? Dalil-dalil yang menjadikan Gharar ini diharamkan? Syarat-syaratnya?
Apa itu Gharar?   
            Gharar berasal dari bahasa arab. Dari segi bahasa memang dari tiga suku kata, ghin, ra’ dan ra’. Gharar, dalam bahasa arab yakni ismu masdar minat taghrir wa huwal khatar wal hid’ah yaitu isim mashdar dari at-taghrir yang artinya ar-khatar wal hid’ahkhatar memiliki makna bahaya dan al-hid’ah ialah menipu. Artinya, secara bahasa, Gharar adalah menipu dan bahaya.
            Adapun Gharar secara isitilah disebutkan di dalam beberapa kitab yaitu Maussafiqiyyah Kuwaitiyyah. Dalam kitab ini disebutkan bahwa Gharar itu ma yakuunu majhuulal ‘aakibah laa yudra ayakun amla yakni sesuatu yang tidak diketahui endingnya/akhirnya. Dalam prakteknya, Gharar adalah apabila seseorang  akan dapat atau tidak dari suatu yang transaksi. Misalnya seseorang membeli sesuatu, tapi tidak tahu seseorang tersebut akan  dapat atau tidak dari barang yang dibeli.  
Gharar hampir sama dengan gambling.  
Gharar juga hampir sama dengan Maishir sebab dalam transaksinya, seseorang tidak tahu apakah ia akan mendapatkan suatu barang atau lainnya dari apa yang ia transaksikan.
Gharar dan Maisir sama-sama kita tidak tahu apakah dapat sesuatu atau kah tidak.  Hal ini kemudian disebut dengan majhul ‘akibahMajhulil ‘akibah ini bukan saja tidak tahu akan dapat atau tidak, tapi tidak tahu dapatnya apakah seperti yang disampaikan atau kah tidak? Misalnya, spesifikasinya katanya sekian-sekian, atau seperti ini, ternyata tidak 100 % persis.
            Dalam zaman modern kali ini, akad-akad dalam teransaksi jual beli hampir-hampir bersinggungan langsung dengan Gharar. Sebab dalam transaksinya, belum melihat barangnya tetapi pembeli sudah mengetahui spesifikasi barangnya.
Inti dari pengertian Gharar adalah jual beli yang dia tidak tahu dia akan dapat atau tidak dalam transaksi. Meskipun seperti ini, bukan berarti lingkupnya kecil hanya jual beli saja, tetapi  termasuk segala sesuatu yang ada akad, transaksi, yang dia tidak tahu akan dapat atau tidak, itu juga termasuk dalam transaksi yang diharamkan yakni Gharar.

Apa Dalil-dalil yang menjadikan Gharar ini diharamkan?
            Dalil dari segi muamalat sangat-sangat ringkas dibanding dengan pembahasan-pembahasan lainnya.
Contohnya dalil tentang Gharar yakni diriwayatkan oleh Imam Muslim: Abu Hurairah itu berkata bahwasanya nabi bersabda, naha an bai il hashah wa an bai il Gharar, ‘Nabi itu melarang jual beli hashah.....’ Hashah itu kerikil. Berarti, jual beli kerikil haram? Berarti jual beli akik yang juga kerikil boleh tidak? yang dimaksudkan disini bukan seperti jual beli batu akik, melainkan kerikil mulia.  Kemudian dilanjutkan  ‘.. dan jual beli Gharar.’
            Jual beli kerikil pada zaman dulu para ulama mengartikan yakni beli tanah tapi dalam mengukurnya dengan cara melempar dan tidak di ketahui nantinya seberapa panjang lemparan itu dan ketika lemparan itu sampai pada titik yang terakhir, itu berarti itu menjadi batasan yang akan dibeli.  Dalam transaksi jual beli ini tidak diketahui panjang tanah yang akan dibeli itu berapa. Maka hal ini jelas dilarangnya. Nabi melarang jual beli Gharar. Sangat umum yakni .. ‘Jual beli Gharar dilarang nabi..’ Gharar itu yang bagaimana? maka munculah pertanyaan apakah semua Gharar itu tidak boleh ataukah ada beberapa Gharar yang boleh?
      Jual beli kerikil bisa saat ini bisa terjadi misalnya seseorang membeli sesuatu akan tetapi cara mendapatkan barangnya dengan cara melempar dan apa yang kita dapatkan dari melempar itu, maka itu yang dibeli. Misalnya dalam satu meja isinya berbagai macam, orang tersebut dari jauh melempar menggunakan  gelang. Yang kena atau masuk dalam gelangnya, berarti barang tersebut kita beli. Padahal di meja itu isinya berbagai macam barang-barang. Transaksi ini kan hampir sama dengan metode jaman dulu yang menggunakan kerikil itu. 
            Dalil hadist riwayat muslim ini termasuk  dalil yang paling umum dalam pembahasan terkait Gharar.  Ada pula dalil-dalil khusus terkait Gharar yang lebih spesifik. Yang lebih spesifik, yang berlaku di jaman dulu. Ada mulamasa, ada musabana, dan lain sebagainya.  Dalil ini termasuk dalil pertama dan spesifik yang berbicara mengenai Gharar. Sedangkan dalil berikutnya bicara tentang contoh-contoh di jaman nabi yang termasuk Gharar.
            Apabila melihat dari hadits ini, maka hashah juga bagian dari pada Gharar. Kalau dilihat kenapa haram ya? Karena ada ketidakjelasan tadi. Ketidakjelasan dapat apa? Berapa? maka Ini juga termasuk Gharar. Tapi, apakah  dzikrul ‘amm ba’dal khas, menyebut sesuatu yang umum setelah sesuatu yang khusus? hal ini juga memiliki artinya. Sebab mungkin di jaman dulu yang sudah berlaku di masyarakat adalah jual beli hashah.
Apa Urgensi mengetahui  Gharar
            Suatu jual beli harus jelas dari banyak sisinya. Yang pertama adalah akadnya jelas, yang kedua adalah barangnya jelas, yang ketiga harganya jelas, yang keempat kapan dapetnya juga jelas ketika itu memang nggak langsung on the spot atau tidak secara langsung.
            Imam Nawawi di dalam kitabnya, Al Majmu’, beliau menjelaskan begini,
            An nahyu ‘an bai il gharar aslun ‘adhimun min usuli kitabil buyu’. Fa yadkhulu fihi masaail katsiirah ghairumun hasrah.
 “Larangan jual beli yang gharar itu masuk ke dalam sesuatu yang besar yang memang masuk di hampir semua kitab jual beli. Gharar itu hampir masuk di setiap akad-akad jual beli, yang mana (Imam Nawawi sendiri) tidak mampu menghitung satu persatunya.”
       Artinya, hal ini sangat penting. Ketika membahas fikih muamalah, kemudian bicara tentang gharar, maka pembahasan ini sangat penting. Sebab ada konsekuensi hukum di dalamnya. Jika ada gharar yang memang itu berpengaruh pada akad maka jual belinya itu tidak sah, atau batal. Maka belajar fikih gharar ini, sangat penting. Karena hampir masuk di setiap bab-bab jual beli dalam kitab muamalah. Makanya kemudian Imam Nawawi dengan sangat tegas mengatakan bahwa pengetahuan akan gharar dalam fikih muamalah itu aslun ‘adhim sebab ini adalah sebuah pondasi yang memang penting kita pelajari. Pondasi ini akan masuk dan bersebaran di setiap bab transaksi muamalat.  Ada gharar di dalam ijarah (sewa), dan dalam sewa menyewanya  dapat apa? Nanti kalau ada ghararnya itu bagaimana? Gharar dalam utang piutang, gharar dalam akad sosial dan ini masuk di hampir semua lini kitab-kitab jual beli. Maka konsep matangnya dan konsep utuhnya harus kita ketahui tentang gharar itu sendiri. Agar nanti ketika mengaplikasikan konsep ini tidak akan salah, jual beli ini gharar atau tidak, dan seterusnya.
            Ketika dalam jual beli ada gharar, yang gharar itu berpengaruh kepada akad, maka jual beli itu tidak sah atau sama dengan batal. Dalam hal ini akan sedikt bersinggungan dengan bab ibadah. Maksudnya, dalam hal ibadah kan shalat kalau belum wudhu shalatnya tidak sah, berarti kan harus mengulang. Kalau tidak sah dalam jual beli apakah berarti dosa? bagaimana tentang sah tidaknya suatu akad? Jadi, kalau ada akad tetapi ada sesuatu yang haram,  maka konsekuensinya adalah tidak sah atau batal jual belinya.  Batal ini bukan berarti langsung dia wudhu lagi, bukan. Makanya, dalam ibadah itu kalau disebut tidak sah itu.
           maa am kan an yatarattab fiihil khodo`,
“Disebut batal atau tidak sah di dalam ibadah itu sesuatu yang dia itu belum tercatat sehingga dia wajib mengulangi.”
            Meskipun tidak ada konsekuensi dosa disitu. Dosanya adalah ketika dia tidak mengulangi sedang dia tahu dia batal. Contohnya, dia shalat terus kentut, berarti dia dosa tidak? Tidak, tetapi shalatnya tidak sah atau batal, kalau batal berarti harus diulangi. Tapi, kalau dalam akad muamalah, disebut tidak sah atau batal yakni.
kullu aktin lam yatarattab atsaruhul ma’sud minhu syar`an alaihi,
 “Setiap akad yang tidak tersampaikan maksud dari suatu akad itu.”
            Contohnya, maksud dari jual beli adalah perpindahan suatu barang dari satu orang ke orang lain yang mana orang yang menjual itu dapat imbal balik berupa harta dari jual beli itu. Ini namanya perpindahan barang. Kalau jual beli itu tidak sah, berarti perpindahan itu belum sah. Tapi hal tersebut belum tentu dosa. Misalnya, A  jual beli sama B ternyata ada ghararnya, berarti barang itu belum A miliki. Itu namanya belum sah. A belum berdosa gara-gara jual belinya tidak sah. Berdosanya kapan? Ketika A menggunakan barang itu, dan A tahu ini jual belinya belum sah. Maka berdosanya bukan dari jual beli tapi karena menggunakan barang orang lain yang mana barang itu belum dimiliki secara sempurna. Sama halnya kalau tidak sah di dalam ibadah, ketika ibadah itu tidak sah maka kita berkewajiban untuk mengulanginya. Kalau belum mengulangi maka masih memiliki tanggungan, hutang, yang kalau tidak dibayar ya berdosa. Berbeda dengan tidak sah yang ada dalam muamalat. Ketika muamalat itu tidak sah maka tidak berkonsekuensi kepada dosa. Kecuali jika muamalah yang tidak sah itu kemudian tetap seolah-olah dianggap sah. Perpindahannya tetap ada, mereka masing-masing mendapatkan kentungan dan seterusnya, padahal sudah dihukumi tidak sah. Disini ada dosanya. Bahkan ketika saling ridho atas ketidaksahannya itu tetap tidak sah. Tetap berdosa jika kalau memang hal itu berkaitan dengan haqqullah. Larangan itu bukan haq adami tapi haqqullah.
Contohnya ketika maishir. Maishir yakni sama-sama ridho. Orang judi kan ridho semua. Dari datang di awal sudah ridho semua, ‘Udah lah.. saya ikhlas buat kamu aja..’ Ya... bukan seperti ini. Kalau haq adami memang masalahnya kepada orang-orang itu. Antara dhin, saling ridho. Tapi, kalau sudah haqqullah itu bicaranya bukan masalah saling ridho lagi.
Istilah-istilah yang hampir sama dengan Gharar
            Istilah-istilah tersebut ada yang bernama jahala, maishir, dan lain sebagainya. Maishir yakni ada ketidak jelasan dapat atau tidaknya dan ada unsur ghararnya. Melakukan  sesuatu yang tidak jelas (dapat atau tidaknya suatu barang yang ditransaksikan), Artinya sama saja dengan mengundi nasib dan hal ini pasti ada ghararnya. Maka dapat katakan disetiap maishir itu pasti ada gharar, tapi tidak semua gharar itu ada maishir. Sehingga gharar itu lebih umum dari pada mashir.
            Kedua, ada istilah yang namanya Jahalah. Jahalah berasal dari kata Jahlun yang artinya tidak tahu yang dan memang sifatnya tidak tahu. Jahalah disebutkan oleh para ulama merupakan salah satu alasan dimana jual beli tidak diperbolehkan jika mengandung unsur jahalah (ketidaktahuan). Ketidaktahuan ini para ulama menyebutkan bahwa:
al- gharar aamu minal jahalah (gharar itu lebih umum daripada jahalah) , fakulun maj’ulin gharar (setiap yang tidak tahu itu gharar) falaisakulu gharar majhul (tapi tidak setiap gharar itu tidak diketahui). Gharar itu memang awalnya laa yudro yahsul amla (tidak tahu akan dapat atau tidak), sebagaimana kita beli burung  masih di awang-awang (masih dalam keadaan terlepas terbang).
Hal ini juga diperumpamakan ikan dalam kolam yang tidak mengetahui jumlah pasti dalam kolam tersebut  dan misal dijual 500rb. Kalau tidak tahu jumlahnya maka ini berarti gharar atau kalau sesuatu itu bakal dapatnya diketahui tapi sifatnya tidak diketahui namanya mashul.
Contohnya A punya motor lalu hilang dicuri, tapi motor tersebut masih ada BPKB dan STNK-nya yang mana terkadang dalam waktu-waktu polisi bertemu dengan pencurinya secara tidak sengaja dijalan dan A masih dapat untuk meminta motor itu balik kepadanya. Kemudian A mengatakan bahwa, dia masih punya BPKB dan STNK, akan tetapi motor yang belum jelas tersebut di jual murah oleh si A. Misalnya motor Honda 15 jt kemudian dijual 2,2 jt saja. Tapi posisinya motor tersebut sedang dicuri orang, hal ini kemungkinan  dapatnya sangat kecil , inilah yang namanya gharar karena Dia tidak tahu bakal dapet atau tidak. Apabila jahalah dari motornya tetap ada. Misalnya motor tersebut belinya dikota, sementara keberadaan motornya dikampung dan tidak disifati dengan bagus, pokoknya dirumah (kampung) saya punya motor Honda. Kemudian dibeli orang. Orang yang membeli tidak mengetahui sifatnya  maka dinamakan Jahalah.
            Sehingga dapat dikatakan bahwa gharar itu lebih umum daripada maishir dan jahalah. Kalau jahalah lebih kepada barang nya ada tapi tidak mengetahui sifatnya.  Misalnya lagi sebuah kotak ada sesuatu tapi kita tidak yakin  akan dapat apa dari dalam kotak tersebut maka dinamakan Jahalah. Kalau gharar itu kita tidak tahu akan dapat atau tidak. Antara maysir, jahalah dan gharar itu semuanya diharamkan dan ketiganya ini diharamkan dengan dalil yang sama. Sebab Jahalah merupakan salah satu jual beli yang tidak jelas akan dapat atau tidak atau jual beli yang tidak mengetahui akan dapatnya seperti apa, ini jahalah. Ada istilah lagi yang hampir mirip dengan jahalah tetapi dari sisi kesengajaan orang yang menjual maka namanya takhlis atau ghois (Man khosana Falasaiminna). Yaitu para ulama menyebutkan takhlis itu kitsman wakhibisil akh’alil mukhtari wa akhwa uhu. Kitsman menyembunyikan, ‘its dari barang yang dijual (barang yang dijual disembunyikan ‘its nya sehingga orang yang membeli itu tidak tahu. Kalau dari sisi kesengajaan orang yang menjual maka itu namanya takhlis atau khois. Yang mana sama saja dihukumi tidak boleh karena ada unsur kesengajaan dan orang yang membeli itu tidak tahu. Hal ini sama dengan sifat ketidaktahuan atau disebut gharar karena ketidak jelasanyya. Isitilah yang benar-benar antara gharar, taghlis, dan nanti dalam istilah lain ada juga dizaman dulu yang namanya talaqi arukban. Talaqi arukban yakni sesuatu yang tidak  ditahui harganya.
            Pada Zaman dulu, Madinah sebagai kota  pusat jual beli (pasar), misalnya orang kampung bawa barang yang akan dijual. Akan tetapi dalam perjalanan orang kampung ini diberhentikan oleh pembeli dan dibeli seharga sekian, tapi si penjual awal tidak mengetahui barang yang akan dijual oleh pembeli tangan pertama itu berapa ke pasaran. Ketidak tahuan ini berarti oleh Nabi dilarang. Zaman sekarang kasus seperti yang dicontohkan diatas, tidak bisa dihukumi seperti zaman itu. Sebab pasti orang kampung saat ini telah mengetahui  harga pasaran yang akan dijual orang pertama,  
            Perbedaan istilah gharar secara konsep dengan istilah yang lain tersebut, apakah membuat perbedaan konsekuensi hukumnya? Konsekuensi hukumnya hampir-hampir mirip, intinya ketidakjelasan yaitu  adanya ketidakjelasan akad, barang, dan harga. Ketidakjelasan akad ini dalam akad izarah (akad jual beli) akan berpengaruh semua kepada akad jual beli. Karena ketidaktahuan tersebut menimbulkan ketidak ridhoan seseorang, Hal ini yang tidak boleh, bukan sekedar konsep tapi konteks dan penempatan situasi dari istilah-istilah tersebut juga berbeda.  
            Nabi melarang jual beli gharar, namun ketika diaplikasikan tidak semua gharar dalam prakteknya itu haram. dan tidak semua gharar berpengaruh terhadap akad. Oleh sebab itu, gharar masih dapat dibagi lagi dari segi berpengaruh atau tidaknya pada akad Ada 3 jenis gharar yaitu:
1.            Gharar muatsir fil akti (gharar yang berpengaruh terhadap akad)
2.            Gharar ghoiru muatsir fil akti (gharar yang tidak berpengaruh terhadap akad)
3.            Masih diperselisihkan, apakah muatsir atau ghoiru muatsir.
            Apabila Gharar ini berpengaruh, maka akadnya  batal, jika tidak berpengaruh maka akadnya tetap sah. Meskipun ada Ghararnya. Pertanyaannya adalah apakah syarat Gharar itu berpengaruh kepada akad? Ada yang berpengaruh ada yang tidak berpengaruh. Para ulama menyebutkan beberapa syarat Gharar itu berpengaruh atau tidak berpengaruh pada akadnya. Apabila syaratnya ini terpenuhi, maka dia termasuk Gharar yang tidak berpengaruh. Hal ini dikarenakan asal jual beli itu halal kecuali yang haram, asal dari Gharar haram kecuali yang halal. Makanya jika  bahas fiqih ekonomi pasti akan membahas yang haram, selebihnya halal. Dan dalam bab Gharar, karena asal mula Gharar itu tidak boleh maka membahas yang boleh selain dari itu berarti tidak boleh.
            Berbicara tentang pengecualian hadits Nabi SAW, yakni “Naha an bai’il Gharar”, melarang jual beli Gharar. Arti jual beli Gharar itu bukan berarti jual beli Gharar, tapi jual beli yang di dalamnya ada Gharar. Artinya ada faktor lain dalam jual beli itu, yaitu Gharar. Karena jual beli sebenarnya boleh, tapi karena ada Ghararnya menjadi tidak boleh. Ketidakbolehan Gharar ini nanti ada yang boleh dan sah walaupun ada Ghararnya. Gharar yang diperbolehkan karena yang pertama yakni tidak berpengaruh pada akad. Kemudian, ada syarat yang memang berpengaruh pada akad. Para ulama menyebutkan beberapa syaratnya, yakni:
1.            Tidak ada kebutuhan yang sangat mendesak. Contoh yang sederhana adalah jual beli salam, istina’. Salam itu jual beli yang uangnya sudah diberikan, tapi barangnya sudah disifati dan barangnya belum ada. Kalau barangnya belum ada, namanyakan jual beli Gharar. Hal ini diperbolehkan karena merupakan kebutuhan mendesak.
Kemudian istina’, misalkan disuruh membuatkan rumah yang kalau zaman sekarang sudah ada foto, video yang bisa menjadi contoh rumahnya. jika dibandingkan dengan jaman dulu sangat berbeda yakni seseorang menginginkan rumah, tetapi visualnya masih ada di akal dan terkadang apa yang diinginkan berbeda dengan pembuat. Hal ini kemudian juga dibolehkan. Inilah contoh dari pengecualian Gharar, walaupun jual belinya ada Gharar tapi jual beli salam dan isti’na’ yakni diperbolehkan karena kebutuhan manusia.
      Dalam bahasan ushul fiqih, hal ini berbeda dengan dalil umum. Dimana ada dalil khusus yaitu hadits yang menentang dalil umum, ketika dalil umum tentang ketidakbolehan Gharar bertentangan dengan hadits Nabi SAW, maka hadits ini, mengkhususkan sesuatu yang umum.  Dengan landasan ada kebutuhan yang mana tidak setiap orang bisa menetapkan kebutuhannya, para ulama juga membahasnya dengan dalil-dalil/nash. Dalil umumnya adalah jual beli Gharar itu tidak boleh, karena ada kebutuhan, maka dalam nash diperbolehkan. Jadi pengecualian itu datangnya juga dari nash. Meskipun dikatakan kenapa boleh, sebab tadi dasarnya adalah karena ada kebutuhan manusia kemudian dibenarkan oleh nash.
2.            Gharar itu terjadi pada asal akad bukan dari turunannya. Dicontohkan disini, A membeli hp, kemudian berhadiah pulsa. Maka asal akadnya adalah beli hp, tapi kalau pulsa adalah akad turunan.
Kemudian jual beli pohon yang baru berbuah, sudah dibeli akadnya dan sudah deal, tapi hasilnya belum kelihatan., Hal ini tidak diperbolehkan, sebab tidak ada kejelasan. Apakah pohon itu berbuah atau tidak dan karena ada Gharar pada dapat atau tidaknya, maka jual beli semacam ini tidak diperbolehkan.
Contoh lain, jaman dulu ada jual beli hewan yang masih bentuknya sprema atau jual beli janin hewan, kalau dibeli sekarang akan lebih murah. Maka Gharar seperti ini, di jaman ini, sama dengan jual beli apartemen yang belum jadi. Akad yang belum jelas ini, kemudian oleh para ulama dikatakan bahwa hal sama ini berpengaruh pada akad. Ini intinya kalau jual beli ada Gharar di asal akad, itu nanti berpengaruh, kalau diturunannya itu tidak berpengaruh. Contoh lagi, misalkan beli tanah yang di atasnya ada pohon yang berbuah, seseorang tidak tau apakah pohon tersebut jadi berbuah atau tidak, hal ini tidak masalah. Sebab yang kita beli itu tanahnya, kalau ada turununnya  itu berarti di akad turunan, dan dia itu dimaafkan. Kalau di akad turunan itu tidak masalah, kalau di akad yang asli itu bermasalah.  Contoh lagi, Apabila seseorang membeli sapi hamil ini boleh walaupun dapat bonus janin. Karena janin itu di akad turunan bukan akad asal. Dan ini nanti akan sangat berpengaruh.
Contoh lain, A membeli apartemen yang berhadiah mobil. Meskipun A membeli apartemen kemudian hadiah tidak jelas, tapi selama dia (mobil) di akad turunan itu tetap tidak jadi masalah. Ada lagi, misalnya A dulu pernah beli telur cicak, Jika A membeli permen telur cicak kemudian tidak tau hadiah yang akan didapatkan apa, maka hal ini tidak apa-apa. Sebab ia termasuk akad turunan.
Maka dari itu harus cerdas ketika bertransaksi dengan siapapun kemudian memilih transaksi yang sebenarnya artinya sesuai dengan syari’at. Makanya kalau MLM hukumnya bebas nilai, kita tidak bisa mengatakan halal haramnya tergantung transaksi apa yang ada di dalamnya, dan apa yang kita beli. Dan Apakah MLM itu ada ghararnya dan apa hukumya? MLM tidak bisa dihukumi, bahwasanya semua MLM itu haram dan kita tidak bisa katakan bahwa semua MLM itu halal. Hal ini tergantung, sebab MLM Ini hanya sekedar sistem penjualannya saja.
MLM juga tidak bisa kita hukumi hanya gara-gara namanya. Walaupun namanya tidak MLM syariah, tapi belum tentu haram dan jika MLM yang punya ustadz, ya belum tentu halal. Meskipun namanya syariah, murni syariah, tetapi kalau sistemnya ada hal-hal yang tidak jelas, maka itu bisa jadi haram. Termasuk MLM yang salah satu unsurnya menjadikan itu haram yaitu ketika MLM-nya jual beli, tapi yang diperjualbelikan itu tidak jelas. Ketidakjelasan yakni sebagai contoh Jika A membeli suatu produk, maka nanti kemungkinannya A akan mendapatkan untung sekian, artinya disini yang di perjualbelikan adalah kemungkinan.
Berbeda jika MLM itu haram. Contohnya adalah penjualan produk dengan banyak bonus. Pertanyaannya adalah kita sedang jual produk atau bonus? Kalau jual produk tidak masalah, sebagaimana produk pada umumnya. Tapi kalau, seseorang tersebut jual produk, nanti kemungkinan akan mendapatkan downline, Akan dapat macam-macam dari bonus itu dari yang dijual.  jadi orang tersebut ikut MLM nya itu gara-gara jual produk atau mengejar bonus? Kalau mengejar bonus berarti  akad turunannya malah bukan disitu. Tetapi Akad aslinya jatuh pada bonusnya bukan produknya, kalau sudah mencapai level tertentu, Akan dapat iming-iming misalnya kapal pesiar.  Susahnya seperti ini, kalau dapatnya kapal pesiar, nanti parkirnya dimana? Hal ini jadikan diri kita repot, ini asalnya yang mana jadinya? apakah jual beli barang atau jual beli kemungkinan. Kalau yang dijual belikan barang, Apabila ada bonus, sebagaimana pada umumnya, asal akadnya adalah jual beli produk. Jika dapat bonus, maka itu turunannya. Maka dari itu terkadang  jual janjinya janji manis. Ini yang dimasalahkan, bab ghararnya ada di sisi itu. Kedua, gharar ketika terjadi di asal akad, berpengaruh, tetapi kalau terjadi di turunannya tidak berpengaruh. Karena dia sifatnya turunan.
3.            Ghararnya  yang tidak berpengaruh ketika ghararnya itu sedikit. Apa yang dimaksud ghararnya sedikit?
            Ghoror sedikit maksudnya adalah tergantung pada banyaknya urf. Oleh sebab itu dalam bab gharar sangat muhakamah yakni sebuah kebiasaan suatu negara itu atau suatu kampung itu muhakamah. Walaupun harus diukur dengan syariat, bukan berarti kebiasaan saja. Tradisi ini yang akan menentukan banyak atau tidaknya Gharar. Ibnu Rusyd menyebutkan beberapa contoh misalnya kita nyewa rumah. Yang mana rumah yang disewa hanya dengan jangka waktu sebulan. Harga perbulan rumah tersebut yakni 1 juta. Pertanyaannya begini, ini sebulan bulan apa? Apakah Bulan januari 31 hari tuh, bulan Februari malah kadang kadang 28, kalau 30  masih sedang. Hal ini ada Gharar-nya yakni ketidakjelasan satu bulan itu berapa hari. Terkecuali perjanjian diawal bukan bulan melainkan hari. Misalnya per-30 hari.  Hal ini termasuk kedalam Gharar ghairu matsir, karena sedikit sifanya. Dan hal ini ma’fulah (dimaafkan). Contoh Gharar yang dimaafkan lagi adalah ketika kita mandi di tempat umum dan bayarnya misalnya 5 ribu. Hal ini juga ada Ghararnya sebab tidak tahu habis airnya berapa liter dan lama waktunya berapa menit/jam. Contoh lain, misalnya  ada pemancingan umum , kalau masuk ke pemancingan nanti bisa Gharar bisa tidak. Kalau kita beli nya ikan, berarti harus jelas. Kalau dapat 1 kg, mau mancingnya lama atau sebentar, asal 1 kg, itu harganya sekian. Artinya disini kita beli ikan tetapi ambil sendiri, yang penting 1 jam masuk 50.000 ribu. Tetapi ikan yang mau dibeli pada tidur sebab baru diberi makan paginya. . Hal ini kalau kita asal akadnya beli ikan, ini tidak diperbolehkan. Tapi kalau asal akadnya adalah kita nyewa fasilitas, yang mana salah satu fasilitasnya itu bisa mancing ikan. Itu gak masalah. Contoh ini gharar yang banyak.
4.            Terjadi pada akad komersil bukan akad sosial, dan hal ini berpengaruh jika ada pada akad komersil, kalau dalam akad sosial tidak masalah. Beberapa ulama menyatakan dalam akad sosial itu tidak masalah. Kalau utang piutang dalam akad sosial namanya yakni ijarah atau sewa menyewa. Tapi kalau akad sosial, contohnya yakni A nyumbang orang nikah. Apakah wajib, A nyumbang berapa? Apakah harus jelas? tentu saja tidak. Ada lagi misalnya Memberi hadiah orang, A kasih hadiah B, hadiahnya di dalam saku A. Apakah, B terima. Tapi harus jelas apa yang ada didalam saku!

Jadi ada empat hal yang berpengaruh pada Gharar yakni
1.            yang kebutuhannya mendesak, tidak berpengaruh;
2.            Tidak berpengaruh ketika di turunan, kembali kepada asal akad;
3.            Ghararnya banyak, akan berpengaruh dan sedikit tidak berpengaruh;
4.            Akad sosial tidak berpengaruh, kalau komersial berpengaruh.

Demikian materi awal Sekolah Fiqih, tema Ghoror.

Wallahua’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar