Oleh : Ust Hanif Lutfi Lc. MA
Faktor-faktor keharaman dalam bermuamalah adalah maishir, Gharar, riba, dan
batil. Dalam pembahasan kali ini, akan di kupas terkait apa itu Gharar?
Definisinya? Dalil-dalil yang menjadikan Gharar ini diharamkan?
Syarat-syaratnya?
Apa itu Gharar?
Gharar
berasal dari bahasa arab. Dari segi bahasa memang dari tiga suku kata, ghin,
ra’ dan ra’. Gharar, dalam bahasa arab yakni ismu masdar minat taghrir
wa huwal khatar wal hid’ah yaitu isim mashdar dari at-taghrir yang
artinya ar-khatar wal hid’ah, khatar memiliki
makna bahaya dan al-hid’ah ialah menipu. Artinya, secara
bahasa, Gharar adalah menipu dan bahaya.
Adapun
Gharar secara isitilah disebutkan di dalam beberapa kitab yaitu Maussafiqiyyah
Kuwaitiyyah. Dalam kitab ini disebutkan bahwa Gharar itu ma yakuunu
majhuulal ‘aakibah laa yudra ayakun amla yakni sesuatu yang tidak
diketahui endingnya/akhirnya. Dalam prakteknya, Gharar adalah
apabila seseorang akan dapat atau tidak dari suatu yang transaksi.
Misalnya seseorang membeli sesuatu, tapi tidak tahu seseorang tersebut akan
dapat atau tidak dari barang yang dibeli.
Gharar hampir sama dengan gambling.
Gharar juga hampir sama dengan Maishir sebab dalam transaksinya, seseorang
tidak tahu apakah ia akan mendapatkan suatu barang atau lainnya dari apa yang
ia transaksikan.
Gharar dan Maisir sama-sama kita tidak tahu apakah dapat sesuatu atau kah
tidak. Hal ini kemudian disebut dengan majhul ‘akibah. Majhulil
‘akibah ini bukan saja tidak tahu akan dapat atau tidak, tapi tidak
tahu dapatnya apakah seperti yang disampaikan atau kah tidak? Misalnya,
spesifikasinya katanya sekian-sekian, atau seperti ini, ternyata tidak 100 %
persis.
Dalam
zaman modern kali ini, akad-akad dalam teransaksi jual beli hampir-hampir
bersinggungan langsung dengan Gharar. Sebab dalam transaksinya, belum melihat
barangnya tetapi pembeli sudah mengetahui spesifikasi barangnya.
Inti dari pengertian
Gharar adalah jual beli yang dia tidak tahu dia akan dapat atau tidak dalam
transaksi. Meskipun seperti ini, bukan berarti lingkupnya kecil hanya jual beli
saja, tetapi termasuk segala sesuatu yang ada akad, transaksi, yang dia tidak
tahu akan dapat atau tidak, itu juga termasuk dalam transaksi yang diharamkan
yakni Gharar.
Apa Dalil-dalil yang menjadikan Gharar ini diharamkan?
Dalil
dari segi muamalat sangat-sangat ringkas dibanding dengan pembahasan-pembahasan
lainnya.
Contohnya dalil tentang Gharar yakni diriwayatkan oleh Imam Muslim: Abu
Hurairah itu berkata bahwasanya nabi bersabda, naha an bai il hashah wa
an bai il Gharar, ‘Nabi itu melarang jual beli hashah.....’ Hashah itu
kerikil. Berarti, jual beli kerikil haram? Berarti jual beli akik yang juga
kerikil boleh tidak? yang dimaksudkan disini bukan seperti jual beli batu akik,
melainkan kerikil mulia. Kemudian dilanjutkan ‘.. dan jual beli
Gharar.’
Jual
beli kerikil pada zaman dulu para ulama mengartikan yakni beli tanah tapi dalam
mengukurnya dengan cara melempar dan tidak di ketahui nantinya seberapa panjang
lemparan itu dan ketika lemparan itu sampai pada titik yang terakhir, itu
berarti itu menjadi batasan yang akan dibeli. Dalam transaksi jual beli
ini tidak diketahui panjang tanah yang akan dibeli itu berapa. Maka hal ini
jelas dilarangnya. Nabi melarang jual beli Gharar. Sangat umum yakni .. ‘Jual
beli Gharar dilarang nabi..’ Gharar itu yang bagaimana? maka munculah
pertanyaan apakah semua Gharar itu tidak boleh ataukah ada beberapa Gharar yang
boleh?
Jual beli kerikil bisa saat ini bisa terjadi
misalnya seseorang membeli sesuatu akan tetapi cara mendapatkan barangnya
dengan cara melempar dan apa yang kita dapatkan dari melempar itu, maka itu
yang dibeli. Misalnya dalam satu meja isinya berbagai macam, orang tersebut
dari jauh melempar menggunakan gelang. Yang kena atau masuk dalam
gelangnya, berarti barang tersebut kita beli. Padahal di meja itu isinya
berbagai macam barang-barang. Transaksi ini kan hampir sama dengan metode jaman
dulu yang menggunakan kerikil itu.
Dalil
hadist riwayat muslim ini termasuk dalil yang paling umum dalam
pembahasan terkait Gharar. Ada pula dalil-dalil khusus terkait Gharar
yang lebih spesifik. Yang lebih spesifik, yang berlaku di jaman dulu. Ada
mulamasa, ada musabana, dan lain sebagainya. Dalil ini termasuk dalil
pertama dan spesifik yang berbicara mengenai Gharar. Sedangkan dalil berikutnya
bicara tentang contoh-contoh di jaman nabi yang termasuk Gharar.
Apabila
melihat dari hadits ini, maka hashah juga bagian dari pada Gharar. Kalau
dilihat kenapa haram ya? Karena ada ketidakjelasan tadi. Ketidakjelasan dapat
apa? Berapa? maka Ini juga termasuk Gharar. Tapi, apakah dzikrul ‘amm
ba’dal khas, menyebut sesuatu yang umum setelah sesuatu yang khusus? hal
ini juga memiliki artinya. Sebab mungkin di jaman dulu yang sudah berlaku di
masyarakat adalah jual beli hashah.
Apa Urgensi mengetahui Gharar
Suatu
jual beli harus jelas dari banyak sisinya. Yang pertama adalah akadnya jelas,
yang kedua adalah barangnya jelas, yang ketiga harganya jelas, yang keempat
kapan dapetnya juga jelas ketika itu memang nggak langsung on the spot atau
tidak secara langsung.
Imam
Nawawi di dalam kitabnya, Al Majmu’, beliau menjelaskan begini,
An
nahyu ‘an bai il gharar aslun ‘adhimun min usuli kitabil buyu’. Fa yadkhulu
fihi masaail katsiirah ghairumun hasrah.
“Larangan jual beli yang gharar itu masuk ke dalam sesuatu yang besar
yang memang masuk di hampir semua kitab jual beli. Gharar itu hampir masuk di
setiap akad-akad jual beli, yang mana (Imam Nawawi sendiri) tidak mampu
menghitung satu persatunya.”
Artinya, hal ini sangat penting.
Ketika membahas fikih muamalah, kemudian bicara tentang gharar, maka pembahasan
ini sangat penting. Sebab ada konsekuensi hukum di dalamnya. Jika ada gharar
yang memang itu berpengaruh pada akad maka jual belinya itu tidak sah, atau
batal. Maka belajar fikih gharar ini, sangat penting. Karena hampir masuk di
setiap bab-bab jual beli dalam kitab muamalah. Makanya kemudian Imam Nawawi
dengan sangat tegas mengatakan bahwa pengetahuan akan gharar dalam fikih
muamalah itu aslun ‘adhim sebab ini adalah sebuah pondasi yang
memang penting kita pelajari. Pondasi ini akan masuk dan bersebaran di setiap
bab transaksi muamalat. Ada gharar di dalam ijarah (sewa),
dan dalam sewa menyewanya dapat apa? Nanti kalau ada ghararnya itu
bagaimana? Gharar dalam utang piutang, gharar dalam akad sosial dan ini masuk
di hampir semua lini kitab-kitab jual beli. Maka konsep matangnya dan konsep
utuhnya harus kita ketahui tentang gharar itu sendiri. Agar nanti ketika
mengaplikasikan konsep ini tidak akan salah, jual beli ini gharar atau tidak,
dan seterusnya.
Ketika
dalam jual beli ada gharar, yang gharar itu berpengaruh kepada akad, maka jual
beli itu tidak sah atau sama dengan batal. Dalam hal ini akan sedikt
bersinggungan dengan bab ibadah. Maksudnya, dalam hal ibadah kan shalat kalau
belum wudhu shalatnya tidak sah, berarti kan harus mengulang. Kalau tidak sah
dalam jual beli apakah berarti dosa? bagaimana tentang sah tidaknya suatu akad?
Jadi, kalau ada akad tetapi ada sesuatu yang haram, maka konsekuensinya
adalah tidak sah atau batal jual belinya. Batal ini bukan berarti
langsung dia wudhu lagi, bukan. Makanya, dalam ibadah itu kalau disebut tidak
sah itu.
maa am
kan an yatarattab fiihil khodo`,
“Disebut batal atau tidak sah di dalam ibadah itu sesuatu yang dia itu
belum tercatat sehingga dia wajib mengulangi.”
Meskipun
tidak ada konsekuensi dosa disitu. Dosanya adalah ketika dia tidak mengulangi
sedang dia tahu dia batal. Contohnya, dia shalat terus kentut, berarti dia dosa
tidak? Tidak, tetapi shalatnya tidak sah atau batal, kalau batal berarti harus
diulangi. Tapi, kalau dalam akad muamalah, disebut tidak sah atau batal yakni.
kullu aktin lam yatarattab atsaruhul ma’sud minhu syar`an alaihi,
“Setiap akad yang tidak tersampaikan maksud dari suatu akad itu.”
Contohnya, maksud dari jual beli adalah perpindahan suatu barang dari satu
orang ke orang lain yang mana orang yang menjual itu dapat imbal balik berupa
harta dari jual beli itu. Ini namanya perpindahan barang. Kalau jual beli itu
tidak sah, berarti perpindahan itu belum sah. Tapi hal tersebut belum tentu
dosa. Misalnya, A jual beli sama B ternyata ada ghararnya, berarti barang
itu belum A miliki. Itu namanya belum sah. A belum berdosa gara-gara jual
belinya tidak sah. Berdosanya kapan? Ketika A menggunakan barang itu, dan A
tahu ini jual belinya belum sah. Maka berdosanya bukan dari jual beli tapi
karena menggunakan barang orang lain yang mana barang itu belum dimiliki secara
sempurna. Sama halnya kalau tidak sah di dalam ibadah, ketika ibadah itu tidak
sah maka kita berkewajiban untuk mengulanginya. Kalau belum mengulangi maka
masih memiliki tanggungan, hutang, yang kalau tidak dibayar ya berdosa. Berbeda
dengan tidak sah yang ada dalam muamalat. Ketika muamalat itu tidak sah maka
tidak berkonsekuensi kepada dosa. Kecuali jika muamalah yang tidak sah itu
kemudian tetap seolah-olah dianggap sah. Perpindahannya tetap ada, mereka masing-masing
mendapatkan kentungan dan seterusnya, padahal sudah dihukumi tidak sah. Disini
ada dosanya. Bahkan ketika saling ridho atas ketidaksahannya itu tetap tidak
sah. Tetap berdosa jika kalau memang hal itu berkaitan dengan haqqullah.
Larangan itu bukan haq adami tapi haqqullah.
Contohnya ketika maishir. Maishir yakni sama-sama ridho. Orang judi kan
ridho semua. Dari datang di awal sudah ridho semua, ‘Udah lah.. saya ikhlas
buat kamu aja..’ Ya... bukan seperti ini. Kalau haq adami memang masalahnya kepada
orang-orang itu. Antara dhin, saling ridho. Tapi, kalau sudah haqqullah itu
bicaranya bukan masalah saling ridho lagi.
Istilah-istilah yang hampir sama dengan Gharar
Istilah-istilah tersebut ada yang bernama jahala, maishir, dan lain sebagainya.
Maishir yakni ada ketidak jelasan dapat atau tidaknya dan ada unsur ghararnya.
Melakukan sesuatu yang tidak jelas (dapat atau tidaknya suatu barang yang
ditransaksikan), Artinya sama saja dengan mengundi nasib dan hal ini pasti ada
ghararnya. Maka dapat katakan disetiap maishir itu pasti ada gharar, tapi tidak
semua gharar itu ada maishir. Sehingga gharar itu lebih umum dari pada mashir.
Kedua,
ada istilah yang namanya Jahalah. Jahalah berasal dari kata Jahlun yang
artinya tidak tahu yang dan memang sifatnya tidak tahu. Jahalah disebutkan oleh
para ulama merupakan salah satu alasan dimana jual beli tidak diperbolehkan
jika mengandung unsur jahalah (ketidaktahuan). Ketidaktahuan ini para ulama
menyebutkan bahwa:
al- gharar aamu minal jahalah (gharar itu lebih umum daripada jahalah) ,
fakulun maj’ulin gharar (setiap yang tidak tahu itu gharar) falaisakulu gharar
majhul (tapi tidak setiap gharar itu tidak diketahui). Gharar itu memang
awalnya laa yudro yahsul amla (tidak tahu akan dapat atau tidak), sebagaimana
kita beli burung masih di awang-awang (masih dalam keadaan terlepas
terbang).
Hal ini juga diperumpamakan ikan dalam kolam yang tidak mengetahui jumlah
pasti dalam kolam tersebut dan misal dijual 500rb. Kalau tidak tahu
jumlahnya maka ini berarti gharar atau kalau sesuatu itu bakal dapatnya
diketahui tapi sifatnya tidak diketahui namanya mashul.
Contohnya A punya motor lalu hilang dicuri, tapi motor tersebut masih ada
BPKB dan STNK-nya yang mana terkadang dalam waktu-waktu polisi bertemu dengan
pencurinya secara tidak sengaja dijalan dan A masih dapat untuk meminta motor
itu balik kepadanya. Kemudian A mengatakan bahwa, dia masih punya BPKB dan
STNK, akan tetapi motor yang belum jelas tersebut di jual murah oleh si A.
Misalnya motor Honda 15 jt kemudian dijual 2,2 jt saja. Tapi posisinya motor
tersebut sedang dicuri orang, hal ini kemungkinan dapatnya sangat kecil ,
inilah yang namanya gharar karena Dia tidak tahu bakal dapet atau tidak.
Apabila jahalah dari motornya tetap ada. Misalnya motor tersebut belinya
dikota, sementara keberadaan motornya dikampung dan tidak disifati dengan
bagus, pokoknya dirumah (kampung) saya punya motor Honda. Kemudian
dibeli orang. Orang yang membeli tidak mengetahui sifatnya maka dinamakan
Jahalah.
Sehingga
dapat dikatakan bahwa gharar itu lebih umum daripada maishir dan jahalah. Kalau jahalah lebih kepada barang nya
ada tapi tidak mengetahui sifatnya. Misalnya lagi sebuah kotak
ada sesuatu tapi kita tidak yakin akan dapat apa dari dalam kotak
tersebut maka dinamakan Jahalah. Kalau
gharar itu kita tidak tahu akan dapat atau tidak. Antara maysir,
jahalah dan gharar itu semuanya diharamkan dan ketiganya ini diharamkan dengan
dalil yang sama. Sebab Jahalah
merupakan salah satu jual beli yang tidak jelas akan dapat atau tidak atau jual
beli yang tidak mengetahui akan dapatnya seperti apa, ini jahalah. Ada
istilah lagi yang hampir mirip dengan jahalah tetapi dari sisi kesengajaan
orang yang menjual maka namanya takhlis atau ghois (Man khosana Falasaiminna).
Yaitu para ulama menyebutkan takhlis itu kitsman wakhibisil akh’alil
mukhtari wa akhwa uhu. Kitsman menyembunyikan, ‘its dari barang yang dijual
(barang yang dijual disembunyikan ‘its nya sehingga orang yang membeli itu
tidak tahu. Kalau dari sisi kesengajaan orang yang menjual maka itu namanya
takhlis atau khois. Yang mana sama saja dihukumi tidak boleh karena ada unsur
kesengajaan dan orang yang membeli itu tidak tahu. Hal ini sama dengan sifat
ketidaktahuan atau disebut gharar karena ketidak jelasanyya. Isitilah yang
benar-benar antara gharar, taghlis, dan nanti dalam istilah lain ada juga
dizaman dulu yang namanya talaqi arukban. Talaqi arukban yakni sesuatu yang tidak ditahui harganya.
Pada
Zaman dulu, Madinah sebagai kota pusat jual beli (pasar), misalnya orang
kampung bawa barang yang akan dijual. Akan tetapi dalam perjalanan orang
kampung ini diberhentikan oleh pembeli dan dibeli seharga sekian, tapi si
penjual awal tidak mengetahui barang yang akan dijual oleh pembeli tangan pertama
itu berapa ke pasaran. Ketidak tahuan ini berarti oleh Nabi dilarang. Zaman
sekarang kasus seperti yang dicontohkan diatas, tidak bisa dihukumi seperti
zaman itu. Sebab pasti orang kampung saat ini telah mengetahui harga
pasaran yang akan dijual orang pertama,
Perbedaan istilah gharar secara konsep dengan istilah yang lain tersebut,
apakah membuat perbedaan konsekuensi hukumnya? Konsekuensi hukumnya
hampir-hampir mirip, intinya ketidakjelasan yaitu adanya ketidakjelasan
akad, barang, dan harga. Ketidakjelasan akad ini dalam akad izarah (akad jual
beli) akan berpengaruh semua kepada akad jual beli. Karena ketidaktahuan
tersebut menimbulkan ketidak ridhoan seseorang, Hal ini yang tidak boleh, bukan
sekedar konsep tapi konteks dan penempatan situasi dari istilah-istilah
tersebut juga berbeda.
Nabi
melarang jual beli gharar, namun ketika diaplikasikan tidak semua gharar dalam
prakteknya itu haram. dan tidak semua gharar berpengaruh terhadap akad. Oleh
sebab itu, gharar masih dapat dibagi lagi dari segi berpengaruh atau tidaknya
pada akad Ada 3 jenis gharar yaitu:
1.
Gharar muatsir fil akti (gharar yang berpengaruh terhadap akad)
2.
Gharar ghoiru muatsir fil akti (gharar yang tidak berpengaruh terhadap
akad)
3.
Masih diperselisihkan, apakah muatsir atau ghoiru muatsir.
Apabila
Gharar ini berpengaruh, maka akadnya batal, jika tidak berpengaruh maka
akadnya tetap sah. Meskipun ada Ghararnya. Pertanyaannya adalah apakah syarat
Gharar itu berpengaruh kepada akad? Ada yang berpengaruh ada yang tidak
berpengaruh. Para ulama menyebutkan beberapa syarat Gharar itu berpengaruh atau
tidak berpengaruh pada akadnya. Apabila syaratnya ini terpenuhi, maka dia
termasuk Gharar yang tidak berpengaruh. Hal ini dikarenakan asal jual beli itu
halal kecuali yang haram, asal dari Gharar haram kecuali yang halal. Makanya
jika bahas fiqih ekonomi pasti akan membahas yang haram, selebihnya halal.
Dan dalam bab Gharar, karena asal mula Gharar itu tidak boleh maka membahas
yang boleh selain dari itu berarti tidak boleh.
Berbicara tentang pengecualian hadits Nabi SAW, yakni “Naha an bai’il
Gharar”, melarang jual beli Gharar. Arti jual beli Gharar itu bukan
berarti jual beli Gharar, tapi jual beli yang di dalamnya ada Gharar. Artinya
ada faktor lain dalam jual beli itu, yaitu Gharar. Karena jual beli sebenarnya
boleh, tapi karena ada Ghararnya menjadi tidak boleh. Ketidakbolehan Gharar ini
nanti ada yang boleh dan sah walaupun ada Ghararnya. Gharar yang diperbolehkan
karena yang pertama yakni tidak berpengaruh pada akad. Kemudian, ada syarat
yang memang berpengaruh pada akad. Para ulama menyebutkan beberapa syaratnya,
yakni:
1.
Tidak ada kebutuhan yang sangat mendesak. Contoh yang sederhana adalah jual
beli salam, istina’. Salam itu jual beli yang uangnya sudah diberikan, tapi
barangnya sudah disifati dan barangnya belum ada. Kalau barangnya belum ada,
namanyakan jual beli Gharar. Hal ini diperbolehkan karena merupakan kebutuhan
mendesak.
Kemudian istina’, misalkan disuruh membuatkan rumah yang kalau zaman
sekarang sudah ada foto, video yang bisa menjadi contoh rumahnya. jika
dibandingkan dengan jaman dulu sangat berbeda yakni seseorang menginginkan rumah,
tetapi visualnya masih ada di akal dan terkadang apa yang diinginkan berbeda
dengan pembuat. Hal ini kemudian juga dibolehkan. Inilah contoh dari
pengecualian Gharar, walaupun jual belinya ada Gharar tapi jual beli salam dan
isti’na’ yakni diperbolehkan karena kebutuhan manusia.
Dalam bahasan ushul fiqih, hal ini berbeda
dengan dalil umum. Dimana ada dalil khusus yaitu hadits yang menentang dalil
umum, ketika dalil umum tentang ketidakbolehan Gharar bertentangan dengan
hadits Nabi SAW, maka hadits ini, mengkhususkan sesuatu yang umum. Dengan
landasan ada kebutuhan yang mana tidak setiap orang bisa menetapkan
kebutuhannya, para ulama juga membahasnya dengan dalil-dalil/nash. Dalil
umumnya adalah jual beli Gharar itu tidak boleh, karena ada kebutuhan, maka
dalam nash diperbolehkan. Jadi pengecualian itu datangnya juga dari nash.
Meskipun dikatakan kenapa boleh, sebab tadi dasarnya adalah karena ada
kebutuhan manusia kemudian dibenarkan oleh nash.
2.
Gharar itu terjadi pada asal akad bukan dari turunannya. Dicontohkan
disini, A membeli hp, kemudian berhadiah pulsa. Maka asal akadnya adalah beli
hp, tapi kalau pulsa adalah akad turunan.
Kemudian jual beli pohon yang baru berbuah, sudah dibeli akadnya dan sudah
deal, tapi hasilnya belum kelihatan., Hal ini tidak diperbolehkan, sebab tidak
ada kejelasan. Apakah pohon itu berbuah atau tidak dan karena ada Gharar pada
dapat atau tidaknya, maka jual beli semacam ini tidak diperbolehkan.
Contoh lain, jaman dulu ada jual beli hewan yang masih bentuknya sprema atau
jual beli janin hewan, kalau dibeli sekarang akan lebih murah. Maka Gharar
seperti ini, di jaman ini, sama dengan jual beli apartemen yang belum jadi.
Akad yang belum jelas ini, kemudian oleh para ulama dikatakan bahwa hal sama
ini berpengaruh pada akad. Ini intinya kalau jual beli ada Gharar di asal akad,
itu nanti berpengaruh, kalau diturunannya itu tidak berpengaruh. Contoh lagi,
misalkan beli tanah yang di atasnya ada pohon yang berbuah, seseorang tidak tau
apakah pohon tersebut jadi berbuah atau tidak, hal ini tidak masalah. Sebab
yang kita beli itu tanahnya, kalau ada turununnya itu berarti di akad
turunan, dan dia itu dimaafkan. Kalau di akad turunan itu tidak masalah, kalau
di akad yang asli itu bermasalah. Contoh lagi, Apabila seseorang membeli
sapi hamil ini boleh walaupun dapat bonus janin. Karena janin itu di akad
turunan bukan akad asal. Dan ini nanti akan sangat berpengaruh.
Contoh lain, A membeli apartemen yang berhadiah mobil. Meskipun A membeli
apartemen kemudian hadiah tidak jelas, tapi selama dia (mobil) di akad turunan
itu tetap tidak jadi masalah. Ada lagi, misalnya A dulu pernah beli telur
cicak, Jika A membeli permen telur cicak kemudian tidak tau hadiah yang akan
didapatkan apa, maka hal ini tidak apa-apa. Sebab ia termasuk akad turunan.
Maka dari itu harus cerdas ketika bertransaksi dengan siapapun kemudian
memilih transaksi yang sebenarnya artinya sesuai dengan syari’at. Makanya kalau
MLM hukumnya bebas nilai, kita tidak bisa mengatakan halal haramnya tergantung
transaksi apa yang ada di dalamnya, dan apa yang kita beli. Dan Apakah MLM itu
ada ghararnya dan apa hukumya? MLM tidak bisa dihukumi, bahwasanya semua MLM
itu haram dan kita tidak bisa katakan bahwa semua MLM itu halal. Hal ini
tergantung, sebab MLM Ini hanya sekedar sistem penjualannya saja.
MLM juga tidak bisa kita hukumi hanya gara-gara namanya. Walaupun namanya
tidak MLM syariah, tapi belum tentu haram dan jika MLM yang punya ustadz, ya
belum tentu halal. Meskipun namanya syariah, murni syariah, tetapi kalau
sistemnya ada hal-hal yang tidak jelas, maka itu bisa jadi haram. Termasuk MLM
yang salah satu unsurnya menjadikan itu haram yaitu ketika MLM-nya jual beli,
tapi yang diperjualbelikan itu tidak jelas. Ketidakjelasan yakni sebagai contoh
Jika A membeli suatu produk, maka nanti kemungkinannya A akan mendapatkan
untung sekian, artinya disini yang di perjualbelikan adalah kemungkinan.
Berbeda jika MLM itu haram. Contohnya adalah penjualan produk dengan banyak
bonus. Pertanyaannya adalah kita sedang jual produk atau bonus? Kalau jual
produk tidak masalah, sebagaimana produk pada umumnya. Tapi kalau, seseorang
tersebut jual produk, nanti kemungkinan akan mendapatkan downline, Akan dapat
macam-macam dari bonus itu dari yang dijual. jadi orang tersebut ikut MLM
nya itu gara-gara jual produk atau mengejar bonus? Kalau mengejar bonus berarti
akad turunannya malah bukan disitu. Tetapi Akad aslinya jatuh pada
bonusnya bukan produknya, kalau sudah mencapai level tertentu, Akan dapat
iming-iming misalnya kapal pesiar. Susahnya seperti ini, kalau dapatnya
kapal pesiar, nanti parkirnya dimana? Hal ini jadikan diri kita repot, ini
asalnya yang mana jadinya? apakah jual beli barang atau jual beli kemungkinan.
Kalau yang dijual belikan barang, Apabila ada bonus, sebagaimana pada umumnya,
asal akadnya adalah jual beli produk. Jika dapat bonus, maka itu turunannya.
Maka dari itu terkadang jual janjinya janji manis. Ini yang dimasalahkan,
bab ghararnya ada di sisi itu. Kedua, gharar ketika terjadi di asal akad,
berpengaruh, tetapi kalau terjadi di turunannya tidak berpengaruh. Karena dia
sifatnya turunan.
3.
Ghararnya yang tidak berpengaruh ketika ghararnya itu sedikit. Apa
yang dimaksud ghararnya sedikit?
Ghoror
sedikit maksudnya adalah tergantung pada banyaknya urf. Oleh sebab itu dalam
bab gharar sangat muhakamah yakni sebuah kebiasaan suatu negara itu atau suatu
kampung itu muhakamah. Walaupun harus diukur dengan syariat, bukan berarti
kebiasaan saja. Tradisi ini yang akan menentukan banyak atau tidaknya Gharar.
Ibnu Rusyd menyebutkan beberapa contoh misalnya kita nyewa rumah. Yang mana
rumah yang disewa hanya dengan jangka waktu sebulan. Harga perbulan rumah
tersebut yakni 1 juta. Pertanyaannya begini, ini sebulan bulan apa? Apakah
Bulan januari 31 hari tuh, bulan Februari malah kadang kadang 28, kalau
30 masih sedang. Hal ini ada Gharar-nya yakni ketidakjelasan satu bulan
itu berapa hari. Terkecuali perjanjian diawal bukan bulan melainkan hari.
Misalnya per-30 hari. Hal ini termasuk kedalam Gharar ghairu matsir,
karena sedikit sifanya. Dan hal ini ma’fulah (dimaafkan). Contoh Gharar yang
dimaafkan lagi adalah ketika kita mandi di tempat umum dan bayarnya misalnya 5
ribu. Hal ini juga ada Ghararnya sebab tidak tahu habis airnya berapa liter dan
lama waktunya berapa menit/jam. Contoh lain, misalnya ada pemancingan
umum , kalau masuk ke pemancingan nanti bisa Gharar bisa tidak. Kalau kita beli
nya ikan, berarti harus jelas. Kalau dapat 1 kg, mau mancingnya lama atau
sebentar, asal 1 kg, itu harganya sekian. Artinya disini kita beli ikan tetapi
ambil sendiri, yang penting 1 jam masuk 50.000 ribu. Tetapi ikan yang mau
dibeli pada tidur sebab baru diberi makan paginya. . Hal ini kalau kita asal
akadnya beli ikan, ini tidak diperbolehkan. Tapi kalau asal akadnya adalah kita
nyewa fasilitas, yang mana salah satu fasilitasnya itu bisa mancing ikan. Itu
gak masalah. Contoh ini gharar yang banyak.
4.
Terjadi pada akad komersil bukan akad sosial, dan hal ini berpengaruh jika
ada pada akad komersil, kalau dalam akad sosial tidak masalah. Beberapa ulama
menyatakan dalam akad sosial itu tidak masalah. Kalau utang piutang dalam akad
sosial namanya yakni ijarah atau sewa menyewa. Tapi kalau akad sosial,
contohnya yakni A nyumbang orang nikah. Apakah wajib, A nyumbang berapa? Apakah
harus jelas? tentu saja tidak. Ada lagi misalnya Memberi hadiah orang, A kasih
hadiah B, hadiahnya di dalam saku A. Apakah, B terima. Tapi harus jelas apa
yang ada didalam saku!
Jadi ada empat hal yang berpengaruh pada Gharar yakni
1.
yang kebutuhannya mendesak, tidak berpengaruh;
2.
Tidak berpengaruh ketika di turunan, kembali kepada asal akad;
3.
Ghararnya banyak, akan berpengaruh dan sedikit tidak berpengaruh;
4.
Akad sosial tidak berpengaruh, kalau komersial berpengaruh.
Demikian materi awal Sekolah Fiqih, tema Ghoror.
Wallahua’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar