Minggu, 22 Oktober 2017

Kenapa Hadits Dhoif sering dijadikan Dalil Hukum.


Pertama kali kita harus tau kenapa Suatu Hadits dikatakan Dhoif, adalah karena ada permasalahan di sanad atau perawi (yg meriwayatkan Hadits tsb). 

Bila ada diantara perawi tsb yg dikatakan "tidak dipercaya/tidak dikenal, atau tidak memenuhi persyaratan Hadits shohih", maka Hadits tsb akan dikatakan dhoif.

Kedua, Permasalahan pen Dhoif An Hadis ini juga masih permasalahan khilafiyah.

Kenapa dikatakan khilafiyah? Karena dalam penentuan perawi, terkait ke tsiqoh annya, satu ulama bisa berbeda dengan ulama lainnya.

Bila kita mau lebih "sedikit kritis" ingin mendalami permasalahan Hadis, apabila kita menerima atau mendengar suatu Hadits dan ada yang mengatakan Hadits tersebut dhoif, maka pertama kali kita harus bertanya siapa yang men dhoif kan Hadits tersebut. Kenapa kita bertanya seperti itu? Alasannya adalah untuk mengetahui posisi jaman, keilmuan dan metodologi penelitian hadisnya.

Ada apa dengan permasalahan "posisi zaman"? Salah satunya adalah, semakin jauh zaman atau kelahiran ulama yg mendhoifkan Hadits tsb, bisa semakin berbeda pula hasil kesimpulannya. Ilustrasinya kurang lebih seperti ini, suatu Hadits dikatakan dhoif salah satunya dan yg paling utama adalah permasalahan perawi Hadits. Contoh Hadits riwayat Imam Bukhori. Beliau hidup di abad ke 2 tahun Hijriah, kurang lebih tahun 194 - 256 H. Maka Imam Bukhori memiliki 5-6 perawi yg kemudian sampai kepada Rosul. Contoh Hadits ttg niat, “semua perbuatan tergantung pada niatnya .... dst” (HR Bukhari). Dalam Hadits tsb ada 6 perawi sampai akhirnya ke Umar bin Khattab dan kemudian Rosulullah.

Bagaimana Imam Bukhori bisa mengatakan Hadits tsb shohih atau dhoif apalagi Maudhu? Tentu saja dengan mengadakan penelitian tentang perawi yg meriwayatkan Hadits tsb. Namun pertanyaan berikutnya, bagaimana bisa imam Bukhori menentukan perawinya bisa dipercaya atau tidak? Padahal misalnya perawi yg ke 3 (dari 5-6 sanad perawi yg menyampaikan Hadits hingga sampai ke imam Bukhori) beliau belum lahir. Sementara buku riwayat perawi (jarh wa ta'dil) belum dibuat.

Nah untuk itu dibutuhkan ketelitian dari imam Bukhori untuk "menanyakan" masing2 perawi sanad, kepada org2 yang meriwayatkannya (intinya akan semakin rumit bila peneliti Hadits adalah orang yang hidup jauh sesudah Hadits tsb diriwayatkan, atau mata rantai Hadits tsb sudah terlalu jauh dengan masa hidup peneliti Hadits). Misalnya Syaikh Bin Baz, yg hidup di abad 14 Hijriah, maka pendefinisian Hadits shohih dan dhoif, boleh jadi berbeda dengan imam Hanafi yang masih masuk kategori Tabiut Tabi'in, atau dengan Imam Malik yg hanya selisih 2 generasi dari Sahabat).

Lalu apa yang dimaksud dgn "keilmuan" dari perawi Hadits. Ke Ilmuan dari masing2 ulama Hadits kadang kala berbeda antara 1 dengan yg lainnya. Seperti keilmuan imam Muslim dan Imam Bukhori yg mungkin bisa berbeda. Imam Bukhori dalam mensyaratkan Hadits shohih, mempunyai persyaratan yg sangat ketat, misalnya diantara perawi Hadits/sanad, harus benar2 saling bertemu, bukan sekedar hidup sejaman. Berbeda dengan imam Muslim, cukup mensyaratkan Hadits shohih adalah bila perawi/sanad nya cukup hidup sejaman saja, tanpa perlu bertemu.

Kemudian metodologi penelitian haditsnya. Antara Imam Bukhori dengan Imam Hakim bisa berbeda. Oleh karenanya, Imam Bukhori sangat sedikit mengeluarkan Hadits shohih dibandingkan imam Hakim.

Ketiga, kita harus tahu, kenapa Hadits tsb di dhoifkan

Salah satunya contohnya Hadits tsb di dhoifkan adl karena tidak mendapatkan biografinya (contohnya perawi/sanad Sahal bin Mutawakkil). Dalam kitab Syaikh Albani tettang Hadits2 dhoif, Sahal bin Mutawakkil ini tidak diketahui org nya shg dikatakan dhoif, sementara oleh imam Ibnu Hibban dalam kitab As-Tsiqat, perawi bernama Sahal bin Mutawakkil dikatakan Tsiqah. Juga oleh Abu Ya’la al-Khalili dalam kitab al-Irsyad fi Ma’rifat ulum al Hadits.

Keempat, banyak hadits yang dhoif dari 1 perawi, namun dari perawi yang lain sifatnya shohih

Hadits mutawatir memiliki banyak jalur. Boleh jadi dalam 1 jalur ada yang dhoif, namun dari jalur yang lain dia shohih. Satu jalur ada perawi yang sifatnya dhoif, namun di jalur lain, semua perawinya tsiqoh. Karena banyakan ya jalur dan ada yang sampai derajat nya shohih, maka hadits yang dhoif statusnya bisa naik ke derajat Hasan. Haditsnya banyak (banyak jalur), namun secara makna, seputaran itu-itu saja (misalnya hadits tentang niat, ada diriwayatkan oleh banyak perawi, dari banyak jalan, namun isinya tidak sama persis. Kalimatnya masing-masing bisa berbeda, namun dari sisi makna sama saja)

Pakar Hadits dan Fiqh, Imam Nawawi berkata: “Menurut ahli hadits dan lainnya, boleh memperlonggar (tasahul) dalam menyampaikan sanad-sanad yang lemah (dha`if) dan meriwayatkan hadits dha`if yang tidak maudhu` serta mengamalkannya tanpa menjelaskan kedha`ifannya, dalam hal yang tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah, hukum-hukum halal dan haram, dan yang tidak berkaitan dengan akidah dan hukum-hukum.” (Tadrib al-Rawi, 1/162).

Seorang ulama hadits kenamaan setelah generasi Imam Nawawi, Ibnu Hajar mengutip pendapat ulama, mengatakan bahwa:“Imam Ahmad dan Imam yang lain (seperti Ibnu Mubarak) berkata: Jika kami meriwayatkan hadits tentang halal-haram (hukum), maka kami sangat selektif (dalam hal sanad), dan jika kami meriwayatkan hadits yang berkaitan dengan keutamaan-keutamaan, maka kami tidak begitu selektif (tetapi tidak sampai pada taraf hadits palsu)” (IbnuHajar, al Qaul al Musaddad I/11, dan al Baihaqi, Dalail an Nubuwwah I/34)

Berikut juga ada cuplikan tulisan dari ulama, yang diterjemahkan oleh Danang Kuncoro, dari kitab Manhaj an Naqd fi Ulumil Hadis karya DR. Nuruddin ‘Eter, hal 291-297.

Adapun anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwa beramal dengan hadis dhaif dalam masalah fadhail adalah sama dengan menciptakan ibadah baru dan membuat aturan baru dalam agama yang tidak direstui oleh Allah swt, maka hal itu telah dijawab oleh para ulama, mereka mengatakan bahwa diutamakannya beramal adalah sejalan dengan prinsip-prinsip dasar Islam yang menganjurkan beramal demi menjaga (berhati-hati) dalam masalah agama. Beramal dengan hadis dhaif termasuk dalam kategori ini, dengan demikian tak terdapat penambahan apapun dalam syariat Islam.

Menurut pandangan saya (DR. Nuruddin ‘Eter), seseorang yang mengamati persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh para ulama tersebut menafikan adanya peluang untuk menambah hal-hal baru dalam syariat. Hal itu tampak jelas dari syarat mereka bahwa sebuah hadis dhaif diharuskan tidak keluar dari koridor syariat dan prinsip-prinsip syar’i yang sudah baku secara umum. Oleh karena itu, status hukum asal hal ini adalah legal menurut hukum syar’i, baru kemudian muncullah hadis dhaif tersebut yang tidak bertentangan dengan syariat.

Contoh:

Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, sebagai berikut:

Abu Ahmad al-Marrar bin Hammuyah mengabarkan kami, ia berkata: Muhammad bin Mushaffa mengabarkan kami, ia berkata: Baqiyyah bin Al-Walid mengabarkan kami dari Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Mi’dan dari Abu Umamah dari Rasulullah saw bahwasannya beliau bersabda: “Barangsiapa yang mendirikan shalat pada dua malam hari raya dengan mengharapkan ridha Allah, maka hatinya takkan mati di saat hati-hati yang lain sedang mati”.

Pada sanad tersebut, para perawi adalah Tsiqat, kecuali Tsaur bin Yazid, ia dituduh dengan tuduhan bid’ah Qadariyah. Akan tetapi dalam hal ini ia meriwayatkan hadis yang tidak ada sangkut pautnya dengan kebid’ahannya tersebut sehingga tidak berpengaruh terhadap hadisnya. Muhamad bin Mushaffa adalah seorang yang sangat jujur (Shaduq), ia banyak meriwayatkan hadis sehingga Ibnu Hajar memberikan label “Hafizh” kepadanya. Adz-Dzahabi berkomentar bahwa ia adalah seorang tsiqah masyhur (sangat terpercaya dan populer), akan tetapi dalam riwayat-riwayatnya terdapat riwayat yang munkar. Dalam sanad tersebut juga terdapat Baqiyyah bin Al-Walid, dia termasuk di antara jajaran para imam huffahz yang sangat jujur. Akan tetapi ia sering sekali melakukan tadlis (pengaburan) dari para perawi lemah (dhaif). Imam Muslim menukil riwayatnya hanya sebagai penguat saja (mutaba’ah). Sementara dia (Baqiyyah) tidak menyebutkan secara terus terang bahwa ia benar-benar telah mendengar hadis tersebut, sehingga hadis tersebut dianggap dhaif.

Para ulama berpendapat bahwa menghidupkan dua malam hari raya, baik dengan berzikir maupun ibadah-ibadah lainnya hukumnya sunnah (mustahab) sesuai dengan hadis dhaif ini, karena hadis dhaif boleh diamalkan dalam hal keutamaan-keutamaan amal sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya, Al-Adzkar.

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa qiyamullail (shalat pada malam hari) dan mengisi malam tersebut dengan ibadah adalah sesuai anjuran agama sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang mutawatir. Mendekatkan diri kepada Allah dengan cara berdoa, berzikir dan lain sebagainya adalah perkara yang dianjurkan di setiap waktu dan tempat, termasuk dua malam hari raya.

Di sini tampak jelas bahwa hadis tersebut tidaklah membawa ajaran baru, melainkan membawa sesuatu yang bersifat parsial yang sejalan dengan prinsip-prinsip Syariat dan teks-teks syar’I secara umum sehingga tidak diragukan lagi bahwa beramal dengan hadis tersebut hukumnya adalah boleh.

Kelima, Dan masih banyak dalil, mengapa hadits Dhoif bisa dan sering dijadikan landasan hukum.

Pada akhirnya, penjelasan diatas bukanlah "menyuruh" kita untuk dengan mudahnya mengamalkan semua Hadits dhoif, namun lebih mengarahkan kepada kita sebagai orang awam, agar tidak dengan mudahnya menyalahkan para ulama, bila mereka menggunakan Hadits dhoif. Kita malah dianjurkan taklid kepada para ulama yg memang ahli dibidang tersebut, dimana mereka sudah memiliki pengetahuan tentang pengambilan dalil dengan menggunakan perangkat yang sudah diajarkan atau diketahui oleh para ulama tersebut. Jangan mudah mengatakan "Hadits yang digunakan adalah Hadits dhoif". Padahal kita tidak tau dan tidak hapal diluar kepala Hadits2 semakna, perawi yg mengatakannya (sanadnya), serta biografinya dan lain sebagainya. 
Cukup kita mengetahui bahwa permasalahan shohih dan dhoif suatu Hadits memang dipelajari oleh para ulama Hadits, sementara terkait hukum dan penggunaan Hadits dhoif tsb ada ditangan ulama Fiqh. Sama juga dengan kandungan arti dari al Quran itu diketahui oleh para mufassirin.

Demikian ringkasan dari diskusi materi "Haditsnya Dhoif, tapi masih digunakan sebagai dalil hukum"

Wallahua'lam

Enif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar