Rabu, 11 Oktober 2017

Apakah boleh seorang mu’min yang baik akhlaq agamanya menikahi seorang pezina?

Assalamu'alaikum warrohmatullohii wabarokaatuh.

Berikut adalah salah satu contoh,  ayat al Quran, yang isinya (zhahirnya) berupa larangan, namun dalam pengambilan kesimpulan hukumnya, berbeda dengan yang tertulis di al Quran.

Disebutkan dalam surat An Nur ayat 3 :

Azzaanii laa yankihu illa zaaniyatan aumusyrikatan wazzaaniyatu laa yankihuaa illaa zaanin aumusyrikun wa hurrima zalika ‘alal mu’minin

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini atau tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina, jadi orang laki yang berzina nikahin orang yang berzina juga. Sesama pendosa. Atau perempuan musyrik deh sekalian,  dan perempuan yang berzina tidak dikawini oleh laki-laki yang berzina atau musyrik. Dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin.”

Jadi orang yang beriman itu dilarang untuk menikahi wanita pezina. Jelas sekali dari Al Qur’an dan Hadits melarang perbuatan zina.

Ada lagi kisah, seorang laki-laki bernama Mirsad. Dia punya kawan perempuan di Mekkah namanya ‘Anak. Mirsad datang ke Mekkah minta izin kepada nabi.

 “Ya Nabi sama mau menikahi  ‘Anak.”

Nabi mendiamkan Mirsad, tidak dijawab sama Nabi. Sampai turunlah tadi surat An Nur ayat 3. Setelah turun ayat itu Nabi memberi jawaban kepada Mirsad.

“Ya Mirsad, seorang wanita pezina itu tidak dinikahi kecuali oeh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. Dan itu diharamkan oleh kaum muslimin.”

“Hai mirsad kamu bukan pezina, mengapa kamu mau menikahi perempuan pezina. Biarkan saja si ‘Anak itu biar dinikahi sesama pezina. Kamu sebagai orang yang beriman jangan menikahi ‘Anak.”

 Seperti itu kira-kira pesan Nabi.

Maka disini jelas sekali beberapa dalil Al Qur’an dan hadits melarang perbuatan dan menikahi wanita yang berzina.

Lalu, apakah boleh seorang mu'min yang baik akhlaq agamanya menikahi seorang pezina?

Menikahi perempuan pezina untuk membawa perempuan ini kembali ke  jalan yang benar. Yang paling jelas dalam melarang seorang mu’min menikahi wanita pezina ada di surat annur ayat ke 3. Akan tetapi, karena dalilnya itu tidak ada kata – kata langsung kata haram dalam menikahi wanita pezina. Disini kan lafadznya : azzaani laa yankihu illa zaaniyatan au musyrikatan. Jika  diartikan satu persatu:

 Azzaani itu pezina

 Laa yankihu :  tidak menikahi

Illa zaaniyatan : kecuali pezina juga.

Laa yankihu yang artinya tidak menikahi ini para ulama berbeda mengambil kesimpulannya. Ada yang mengatakan laa diini artinya larangan, tidak boleh menikahi. Ataukah hanya menyatakan nafi’ saja. Sesuatu yang meniadakan sesuatu. Artinya tidak boleh menikahi ataukah tidak menikahi saja sebagai informasi atau bagaimana. Para ulama nanti berbeda pendapat.

Kemudian terusannya wahurrima ‘ala dzalika lil mu’minin. Wa hurrima = diharamkan. Dzalika = hal tersebut. Lil mu’minin = atas orang-orang mu’min. Dzalika disitu nanti para ulama berbeda pendapat. Jika yang diharamkan itu ialah perbuatan zina. Wahurrima ‘ala dzalika alal mu’minin kalo yang diharamkan ialah perbuatan zina, semua ulama sepakat tentang hal itu, siapa yang tidak mengharamkan zina? Tapi jika yang dimaksud dzalika itu ialah perbuatan menikahi perempuan pezina, disini para ulama akan menimbulkan kesimpulan hukum yang berbeda.

Dari surat annuur saja, satu ayat saja, ulama bisa mengambil kesimpulan yang berbeda-beda. Kalau kesimpulan dan makna itu diambilnya berbeda maka kesimpulan hukum juga akan berbeda.

Kita akan bahas lebih detail terkait apa sih hukum seorang mu’min menikahi seorang pezina?

Ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan. Dan kita akan membahas dulu siapa yang membolehkan. Dan yang membolehkan ternyata jumhur fuqoha. Mayoritas ulama fiqih dari 4 mazhab fiqih ternyata membolehkan seorang mu’min menikahi perempuan yang pernah berzina atau wanita yang berzina. Namun ada beberapa keterangan yang nanti harus di garis bawahi ada yang harus begini atau begitu namun intinya tetap membolehkan.

Kemudian alasan para ulama kenapa membolehkan. Yang pertama kalimat “hurrima” disitu secara eksplisit memang artinya haram. Tapi pada proses pengambilan hukumnya akhirnya para ulama menyimpulkan bahwa itu hukumnya bukan haram tapi maksudnya karohatut tanziih artinya karoha itu makruh, makruh itu artinya sesuatu yang dibenci oleh Allah SWT tapi kalaupun dilakukan sah pernikahannya. Pernikahannya, tapi ada unsur kebencian disana. Adanya ketidaksukaan dari Allah.

Kemudian yang kedua kata hurrima disitu hurrima dzaalika. Dzalika disitu maksudnya zina. Artinya yang tidak boleh dilakukan itu ialah perbuatan zina pada umumnya. Bukan menikahi wanita pezina.

Dan kemudian alasan yang lain tentang kasus mirsad yang ketika itu dilarang oleh Rasulullah untuk menikahi kekasihnya yang bernama Anaq tadi yang pezina itu. Itu hanya terjadi pada kasus mirsad saya. Hanya mirsad yang tidak dibolehkan menikahi wanita pezina tadi. Namun para ulama tidak menyebutkan kenapa hanya mirsad yang tidak boleh menikahi anaq.

Selanjutnya, ayat annur tadi sifatnya ayatnya itu masih didalam alqur’an tapi sudah mansukh oleh ayat yang lain. Hukumnya sudah digantikan oleh ayat yang lain. Dan ini disebutkan oleh imam syafi’i beliau wafat tahun 150 H. Beliau menybutkan dalam kitab al umm sebagai berikut:

Para ahli tafsir berbeda pendapat sangat jauh tentang ayat ini. dan yang merupakan pilihan kami –wallahu a’lam- apa yang dikatakan oleh said ibnul Masayyib: bahwa ayat itu sudah dihapus (mansukh). Adapun ayat yang menasakhnya ialah sebagai berikut (annuur: 32) “ dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu. Dan orang-orang yang layak dari 

Pendapat ini juga kemudian pendapatanya abu bakar ash shiddiq, kemudian umar bin khattab bahkan mereka juga membolehkan wanita pezina ini dinikahi ooleh lelaki mu’min. Dan pendapat tersebut dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah, ummul mukminin La yuharrimuna haroomu, halaalah. Yang haram tidak bisa mengharamkan perkara yang halal. Maksudnya perkara yang haram itu zina, perkara yang halal itu menikah. Jadi perzinahan yang haram itu tidak mengharamkan perbuatan yang halal yaitu menikah. Artinya kalau ada orang yang mau menikahi wanita yang pernah berzina ya tidak haram, kenapa jadi haram? Begitu.. sah sah saja.. nah ini beberapa alasan mengapa jumhur fuqoha membolehkan seorang mu’min menikahi wanita yang pernah berzina dan tentunya hal ini dikuatkan oleh hadits2 yang lain seperti “Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata: istriku zuka berzina, Beliau SAW menjawab: ceraikan dia. Orang itu menjawab tapi saya berat melepasnya. Beliau SAW bersabda kalau begitu nikmatilah istrimu itu” H.R Abu Daud dan AN Nasai

Menjatuhkan khudud dalam suatu perzinahan itu tidaklah mudah, ada syarat yang harus dipenuhi. Seperti adanya saksi, harus diputuskan di mahkamah syariat, kemudian yang mengeksekusi hukum rajam itu arus dari orang yang memiliki otoritas mahakmah syariat. Jadi tidak boleh main hakim sendiri, main asal rajam. Selama masalah itu belum sapai ke pengadilan itu tidak masalah maksudnya tidak ada hukum cambuk dan rajam karena yang berhak mengeksekusi ialah akim mahkamah syariat, jadi bukan orang yang awam atau biasa yang asal main cambuk dan hukum. Dalam memutuskan eksekusi khudud dalam berzina ini panjang prosesnya. Jadi kalo belum sampai ke pengadilan atau hakim, belum bisa diproses.

Dari mahdzab Al Hanafiyah yang diwakili oleh Ibnu Humam yang wafat pada 681 H dalam kitabnya Syarafatul Qadir jilid III mengatakan “Begitu juga ketika seorang laki-laki melihat seorang perempuan yang sedang berzina kemudian ia menikahinya maka dibolehkan dirinya untuk menggaulinya”. Dan pendapat Muhammad bin Hasan As Syaibaini mengatakan bahwa ia tidak menyukai perbuatan tersebut, artinya beliau tidak menyukai ada yang menikahi wanita pezina lalu ia menggaulinya sampai  jelas tidak janin didalam rahimnya. Sedang menurut Zufar bahwa tidak sah akad nikahnya sampai mengalami 3 kali massa haid. Jadi dalam mahdzab Hanafi ada pendapat yang mengatakan boleh, pokoknya menikahi wanita pezina boleh dan setelah menikah boleh langsung menggauli. Namun dalam mahdzab ini juga ada yang bertentangan dengan yang memperbolehkan, Muhammad bin Hasan Asy Syaibaini mempunyai pendapatnya sendiri dan juga Zufar. Muhammad bin Hasan Asy Syaibaini tidak memperbolehkan menggauli sampai dipastikan didalam rahim wanita tersebut tidak ada janin karena nanti jika si wanita hamil maka hukumnya sudah berbeda. Walaupun secara hukum nikahnya sah dan akadnya sah jika menikahi wanita pezina. Sedangkan Zufar tidak sah pernikahan sampai si wanita mengalami 3 kali  massa haid dan selama itu si wanita tidak berzina lagi. Ada juga ulama  dari mahdzab Hanafi yaitu Az Zailai’i yang wafat pada tahun 113 H mengatakan bahwa dibolehkan menikahi wanita yang sudah berzina, pernah seorang laki-laki melihat wanita berzina tapi setelah tahu bahwa wanita itu berzina maka lelaki itu mau menikahinya. Dan setelah menikah dibolehkan baginya untuk menggaulinya. Dan pendapat inilah yang jelas menurut Mahdzab Hanafi yang membolehkan untuk menikahi wanita pernah berzina, inilah yang dikatakan oleh Az Zailai’i dalam kitab Tabinul Haqaiq Syarah Kanzu an Daqaiq Jilid II halaman 114.

Dari mahzab Maliki yang diwakili oleh Ibnul Abdil Mar yang wafat pada 463 H dalam Kitab Al Istidkar Jilid IV halaman 159 mengatakan bahwa Imam Malik mengatakan bahwa hukum menikahi wanita pezina adalah makruh tapi beliau tidak mengharamkannya. Jadi hukum menikahi wanita pezina dalam Mahdzab Maliki adalah makruh tapi sah pernikahannya.

Dalam Mahdzab Asy Syafi’i oleh Al Khatib Asy Syarmini pada kitab beliau Mukdin Muktad Jilid XII halaman 219 mengatakan bahwa dalam mahdzab menikahi wanita pezina adalah makruh tapi sah pernikahannya.

Dalam Mahdzab Hanbali  yang diwalkili oleh Ibnu Taimiyyah di Kitab Majmu’ Fatawa halaman 109 Jilid 32 mengatakan bahwa haram hukumnya menikahi wanita pezina sampai si wanita tersebut bertaubat dan bagi laki-laki yang menzinainya maupun laki-laki lain  artinya jika ada laki-laki ingin menikahi wanita pezina boleh, tapi dipastikan bahwa wanita itu telah bertaubat.

Para ulama-ulama tersebut merupakan ulama yang memperbolehkan untuk menikahi wanita pezina yang mengambil kesimpulan berbeda-beda dari Surat An Nur ayat 3. Konon dalam Mahdzab Imam Syafi’i menurut Imam Syafi’i dalam kitabnya ‘Um bahwa hukum yang terdapat dalam surat An Nur ayat 3 sudah dihapus hukumnya dengan surat An Nur ayat 32.

Para ulama yang mengharamkan adalah mereka yang mengambil dalil dari An Nur ayat 3, bahwa hukumnya tidak dihapus dan tetap berlaku dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah zina tersebut haram dan menikahi wanita pezina adalah haram. Tercatat ada Ibunda Aisyah, Ali bin Abi Thalib, al Mara’, Ibnu Mas’ud dan sebagainya yang mengharamkan menikahi wanita pezina. Jadi buat apa menikahi wanita pezina, cari saja wanita yang sholihah yang sudah siap jadi istri dan ibu. Jika menikahi wanita pezina akan bermasalah, tidak hanya bermasalah dengan hukum namun dengan perasaan suami dengan kondisi istri yang telah di jima’ oleh orang lain yang menyebabkan akan banyak PR-PR yang harus diselesaikan oleh pasangan tersebut. Para ulama yang mengharamkan menikahi wanita  pezina tidak hanya dengan An Nur ayat 3 namun dari Hadits Nabi saw. tentang laki-laki yang dayuts (laki-laki yang tidak punya ras acemburu kepada istrinya) ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Umar bin Yasir bahwa Rasulullah bersabda tidak akan masuk surga bagi laki-laki yang dayuts. Bayangkan sudah ada gadis yang di jima’ oleh orang lain dinikahi oleh dia , menurut ulama yang mengharamkan ini adalah laki-laki dayuts. Orang yang tidak dayuts atau memiliki rasa cemburu, jangan dijima’ oleh orang lain bahkan dicolek oleh orang lain bisa menjadi perang dunia (bisa marah-marah)  apalagi jika sudah di jima’ oleh orang lain berarti jika tidak ada cemburu maka dia dayuts. Dan dayuts tidak akan masuk surga dari hadits yang diriwayatkan Abu dawud.


Pada kesimpulannya, para ulama memperbolehkan untuk menikahi wanita pezina, tapi ada perbedaan sedikit termasuk di mahdzab Hanbali yang mengharuskan wanita pezina tersebut bertaubat lebih dahulu.

Wallahua'lam bishowab.

Note:
Diambil dari materi kuliah sekolah fiqh, oleh Ustadzah Aini Aryani, Lc.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar