Assalamu'alaikum warrohmatullohii wabarokaatuh.
Berikut adalah salah satu contoh, ayat al Quran, yang isinya (zhahirnya) berupa larangan, namun dalam pengambilan kesimpulan hukumnya, berbeda
dengan yang tertulis di al Quran.
Disebutkan dalam surat An Nur ayat 3 :
Azzaanii laa yankihu illa zaaniyatan aumusyrikatan
wazzaaniyatu laa yankihuaa illaa zaanin aumusyrikun wa hurrima zalika ‘alal
mu’minin
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini atau tidak menikahi
melainkan perempuan yang berzina, jadi orang laki yang berzina nikahin orang
yang berzina juga. Sesama pendosa. Atau perempuan musyrik deh sekalian, dan perempuan yang berzina tidak dikawini oleh
laki-laki yang berzina atau musyrik. Dan yang demikian itu diharamkan atas
orang-orang mukmin.”
Jadi orang yang beriman itu dilarang untuk menikahi wanita
pezina. Jelas sekali dari Al Qur’an dan Hadits melarang perbuatan zina.
Ada lagi kisah, seorang laki-laki bernama Mirsad. Dia punya
kawan perempuan di Mekkah namanya ‘Anak. Mirsad datang ke Mekkah minta izin
kepada nabi.
“Ya Nabi sama mau
menikahi ‘Anak.”
Nabi mendiamkan Mirsad, tidak dijawab sama Nabi. Sampai
turunlah tadi surat An Nur ayat 3. Setelah turun ayat itu Nabi memberi jawaban
kepada Mirsad.
“Ya Mirsad, seorang wanita pezina itu tidak dinikahi kecuali
oeh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. Dan itu diharamkan oleh kaum
muslimin.”
“Hai mirsad kamu bukan pezina, mengapa kamu mau menikahi
perempuan pezina. Biarkan saja si ‘Anak itu biar dinikahi sesama pezina. Kamu
sebagai orang yang beriman jangan menikahi ‘Anak.”
Seperti itu kira-kira
pesan Nabi.
Maka disini jelas sekali beberapa dalil Al Qur’an dan hadits
melarang perbuatan dan menikahi wanita yang berzina.
Lalu, apakah boleh seorang mu'min yang baik akhlaq agamanya menikahi seorang pezina?
Menikahi perempuan pezina untuk membawa perempuan ini
kembali ke jalan yang benar. Yang paling
jelas dalam melarang seorang mu’min menikahi wanita pezina ada di surat annur
ayat ke 3. Akan tetapi, karena dalilnya itu tidak ada kata – kata langsung kata
haram dalam menikahi wanita pezina. Disini kan lafadznya : azzaani laa yankihu
illa zaaniyatan au musyrikatan. Jika
diartikan satu persatu:
Azzaani itu pezina
Laa yankihu : tidak menikahi
Illa zaaniyatan : kecuali pezina juga.
Laa yankihu yang artinya tidak menikahi ini para ulama
berbeda mengambil kesimpulannya. Ada yang mengatakan laa diini artinya
larangan, tidak boleh menikahi. Ataukah hanya menyatakan nafi’ saja. Sesuatu
yang meniadakan sesuatu. Artinya tidak boleh menikahi ataukah tidak menikahi
saja sebagai informasi atau bagaimana. Para ulama nanti berbeda pendapat.
Kemudian terusannya wahurrima ‘ala dzalika lil mu’minin. Wa
hurrima = diharamkan. Dzalika = hal tersebut. Lil mu’minin = atas orang-orang
mu’min. Dzalika disitu nanti para ulama berbeda pendapat. Jika yang diharamkan
itu ialah perbuatan zina. Wahurrima ‘ala dzalika alal mu’minin kalo yang
diharamkan ialah perbuatan zina, semua ulama sepakat tentang hal itu, siapa
yang tidak mengharamkan zina? Tapi jika yang dimaksud dzalika itu ialah
perbuatan menikahi perempuan pezina, disini para ulama akan menimbulkan
kesimpulan hukum yang berbeda.
Dari surat annuur saja, satu ayat saja, ulama bisa mengambil
kesimpulan yang berbeda-beda. Kalau kesimpulan dan makna itu diambilnya berbeda
maka kesimpulan hukum juga akan berbeda.
Kita akan bahas lebih detail terkait apa sih hukum seorang
mu’min menikahi seorang pezina?
Ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan. Dan
kita akan membahas dulu siapa yang membolehkan. Dan yang membolehkan ternyata
jumhur fuqoha. Mayoritas ulama fiqih dari 4 mazhab fiqih ternyata membolehkan
seorang mu’min menikahi perempuan yang pernah berzina atau wanita yang berzina.
Namun ada beberapa keterangan yang nanti harus di garis bawahi ada yang harus
begini atau begitu namun intinya tetap membolehkan.
Kemudian alasan para ulama kenapa membolehkan. Yang pertama
kalimat “hurrima” disitu secara eksplisit memang artinya haram. Tapi pada
proses pengambilan hukumnya akhirnya para ulama menyimpulkan bahwa itu hukumnya
bukan haram tapi maksudnya karohatut tanziih artinya karoha itu makruh, makruh
itu artinya sesuatu yang dibenci oleh Allah SWT tapi kalaupun dilakukan sah
pernikahannya. Pernikahannya, tapi ada unsur kebencian disana. Adanya
ketidaksukaan dari Allah.
Kemudian yang kedua kata hurrima disitu hurrima dzaalika.
Dzalika disitu maksudnya zina. Artinya yang tidak boleh dilakukan itu ialah
perbuatan zina pada umumnya. Bukan menikahi wanita pezina.
Dan kemudian alasan yang lain tentang kasus mirsad yang
ketika itu dilarang oleh Rasulullah untuk menikahi kekasihnya yang bernama Anaq
tadi yang pezina itu. Itu hanya terjadi pada kasus mirsad saya. Hanya mirsad
yang tidak dibolehkan menikahi wanita pezina tadi. Namun para ulama tidak
menyebutkan kenapa hanya mirsad yang tidak boleh menikahi anaq.
Selanjutnya, ayat annur tadi sifatnya ayatnya itu masih
didalam alqur’an tapi sudah mansukh oleh ayat yang lain. Hukumnya sudah
digantikan oleh ayat yang lain. Dan ini disebutkan oleh imam syafi’i beliau
wafat tahun 150 H. Beliau menybutkan dalam kitab al umm sebagai berikut:
Para ahli tafsir berbeda pendapat sangat jauh tentang ayat
ini. dan yang merupakan pilihan kami –wallahu a’lam- apa yang dikatakan oleh
said ibnul Masayyib: bahwa ayat itu sudah dihapus (mansukh). Adapun ayat yang
menasakhnya ialah sebagai berikut (annuur: 32) “ dan kawinkanlah orang-orang
yang sendirian diantara kamu. Dan orang-orang yang layak dari
Pendapat ini juga kemudian pendapatanya abu bakar ash
shiddiq, kemudian umar bin khattab bahkan mereka juga membolehkan wanita pezina
ini dinikahi ooleh lelaki mu’min. Dan pendapat tersebut dikuatkan oleh hadits
yang diriwayatkan oleh Aisyah, ummul mukminin La yuharrimuna haroomu, halaalah.
Yang haram tidak bisa mengharamkan perkara yang halal. Maksudnya perkara yang
haram itu zina, perkara yang halal itu menikah. Jadi perzinahan yang haram itu
tidak mengharamkan perbuatan yang halal yaitu menikah. Artinya kalau ada orang
yang mau menikahi wanita yang pernah berzina ya tidak haram, kenapa jadi haram?
Begitu.. sah sah saja.. nah ini beberapa alasan mengapa jumhur fuqoha
membolehkan seorang mu’min menikahi wanita yang pernah berzina dan tentunya hal
ini dikuatkan oleh hadits2 yang lain seperti “Seseorang datang kepada
Rasulullah SAW dan berkata: istriku zuka berzina, Beliau SAW menjawab: ceraikan
dia. Orang itu menjawab tapi saya berat melepasnya. Beliau SAW bersabda kalau
begitu nikmatilah istrimu itu” H.R Abu Daud dan AN Nasai
Menjatuhkan khudud dalam suatu perzinahan itu tidaklah
mudah, ada syarat yang harus dipenuhi. Seperti adanya saksi, harus diputuskan
di mahkamah syariat, kemudian yang mengeksekusi hukum rajam itu arus dari orang
yang memiliki otoritas mahakmah syariat. Jadi tidak boleh main hakim sendiri,
main asal rajam. Selama masalah itu belum sapai ke pengadilan itu tidak masalah
maksudnya tidak ada hukum cambuk dan rajam karena yang berhak mengeksekusi
ialah akim mahkamah syariat, jadi bukan orang yang awam atau biasa yang asal
main cambuk dan hukum. Dalam memutuskan eksekusi khudud dalam berzina ini
panjang prosesnya. Jadi kalo belum sampai ke pengadilan atau hakim, belum bisa
diproses.
Dari mahdzab Al Hanafiyah yang diwakili oleh Ibnu Humam yang
wafat pada 681 H dalam kitabnya Syarafatul Qadir jilid III mengatakan “Begitu
juga ketika seorang laki-laki melihat seorang perempuan yang sedang berzina
kemudian ia menikahinya maka dibolehkan dirinya untuk menggaulinya”. Dan
pendapat Muhammad bin Hasan As Syaibaini mengatakan bahwa ia tidak menyukai
perbuatan tersebut, artinya beliau tidak menyukai ada yang menikahi wanita
pezina lalu ia menggaulinya sampai jelas
tidak janin didalam rahimnya. Sedang menurut Zufar bahwa tidak sah akad
nikahnya sampai mengalami 3 kali massa haid. Jadi dalam mahdzab Hanafi ada
pendapat yang mengatakan boleh, pokoknya menikahi wanita pezina boleh dan
setelah menikah boleh langsung menggauli. Namun dalam mahdzab ini juga ada yang
bertentangan dengan yang memperbolehkan, Muhammad bin Hasan Asy Syaibaini
mempunyai pendapatnya sendiri dan juga Zufar. Muhammad bin Hasan Asy Syaibaini
tidak memperbolehkan menggauli sampai dipastikan didalam rahim wanita tersebut
tidak ada janin karena nanti jika si wanita hamil maka hukumnya sudah berbeda.
Walaupun secara hukum nikahnya sah dan akadnya sah jika menikahi wanita pezina.
Sedangkan Zufar tidak sah pernikahan sampai si wanita mengalami 3 kali massa haid dan selama itu si wanita tidak
berzina lagi. Ada juga ulama dari
mahdzab Hanafi yaitu Az Zailai’i yang wafat pada tahun 113 H mengatakan bahwa
dibolehkan menikahi wanita yang sudah berzina, pernah seorang laki-laki melihat
wanita berzina tapi setelah tahu bahwa wanita itu berzina maka lelaki itu mau
menikahinya. Dan setelah menikah dibolehkan baginya untuk menggaulinya. Dan
pendapat inilah yang jelas menurut Mahdzab Hanafi yang membolehkan untuk
menikahi wanita pernah berzina, inilah yang dikatakan oleh Az Zailai’i dalam
kitab Tabinul Haqaiq Syarah Kanzu an Daqaiq Jilid II halaman 114.
Dari mahzab Maliki yang diwakili oleh Ibnul Abdil Mar yang
wafat pada 463 H dalam Kitab Al Istidkar Jilid IV halaman 159 mengatakan bahwa
Imam Malik mengatakan bahwa hukum menikahi wanita pezina adalah makruh tapi
beliau tidak mengharamkannya. Jadi hukum menikahi wanita pezina dalam Mahdzab
Maliki adalah makruh tapi sah pernikahannya.
Dalam Mahdzab Asy Syafi’i oleh Al Khatib Asy Syarmini pada
kitab beliau Mukdin Muktad Jilid XII halaman 219 mengatakan bahwa dalam mahdzab
menikahi wanita pezina adalah makruh tapi sah pernikahannya.
Dalam Mahdzab Hanbali
yang diwalkili oleh Ibnu Taimiyyah di Kitab Majmu’ Fatawa halaman 109
Jilid 32 mengatakan bahwa haram hukumnya menikahi wanita pezina sampai si
wanita tersebut bertaubat dan bagi laki-laki yang menzinainya maupun laki-laki
lain artinya jika ada laki-laki ingin
menikahi wanita pezina boleh, tapi dipastikan bahwa wanita itu telah bertaubat.
Para ulama-ulama tersebut merupakan ulama yang
memperbolehkan untuk menikahi wanita pezina yang mengambil kesimpulan berbeda-beda
dari Surat An Nur ayat 3. Konon dalam Mahdzab Imam Syafi’i menurut Imam Syafi’i
dalam kitabnya ‘Um bahwa hukum yang terdapat dalam surat An Nur ayat 3 sudah
dihapus hukumnya dengan surat An Nur ayat 32.
Para ulama yang mengharamkan adalah mereka yang mengambil
dalil dari An Nur ayat 3, bahwa hukumnya tidak dihapus dan tetap berlaku
dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah zina tersebut haram dan menikahi wanita
pezina adalah haram. Tercatat ada Ibunda Aisyah, Ali bin Abi Thalib, al Mara’,
Ibnu Mas’ud dan sebagainya yang mengharamkan menikahi wanita pezina. Jadi buat
apa menikahi wanita pezina, cari saja wanita yang sholihah yang sudah siap jadi
istri dan ibu. Jika menikahi wanita pezina akan bermasalah, tidak hanya
bermasalah dengan hukum namun dengan perasaan suami dengan kondisi istri yang
telah di jima’ oleh orang lain yang menyebabkan akan banyak PR-PR yang harus
diselesaikan oleh pasangan tersebut. Para ulama yang mengharamkan menikahi
wanita pezina tidak hanya dengan An Nur
ayat 3 namun dari Hadits Nabi saw. tentang laki-laki yang dayuts (laki-laki
yang tidak punya ras acemburu kepada istrinya) ini diriwayatkan oleh Abu Dawud
dari Umar bin Yasir bahwa Rasulullah bersabda tidak akan masuk surga bagi
laki-laki yang dayuts. Bayangkan sudah ada gadis yang di jima’ oleh orang lain
dinikahi oleh dia , menurut ulama yang mengharamkan ini adalah laki-laki
dayuts. Orang yang tidak dayuts atau memiliki rasa cemburu, jangan dijima’ oleh
orang lain bahkan dicolek oleh orang lain bisa menjadi perang dunia (bisa
marah-marah) apalagi jika sudah di jima’
oleh orang lain berarti jika tidak ada cemburu maka dia dayuts. Dan dayuts
tidak akan masuk surga dari hadits yang diriwayatkan Abu dawud.
Pada kesimpulannya, para ulama memperbolehkan untuk menikahi
wanita pezina, tapi ada perbedaan sedikit termasuk di mahdzab Hanbali yang
mengharuskan wanita pezina tersebut bertaubat lebih dahulu.
Wallahua'lam bishowab.
Note:
Diambil dari materi kuliah sekolah fiqh, oleh Ustadzah Aini Aryani, Lc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar