Senin, 09 Oktober 2017

Haditsnya Shohih, tapi kenapa gak diamalkan/gak dipakai?

Berikut ada penjelasan singkat mengapa hadits yang shohih, belum tentu bisa dipakai atau diaplikasikan langsung.

1.      Shohih dari sisi Matan (isi hadits), namun Dhoif dari sisi Sanad (Perawi nya), atau kebalikannya, Shohih dari sanad (perawinya), namun Dhoif dari sisi Matan (Isinya).
Contoh hadits dhoif dari sisi sanad (Hadits Mursal), “Antara kita dan kaum munafik (ada batas), yaitu menghadiri jama’ah isya dan subuh; mereka tidak sanggup menghadirinya”. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Abdurrahman bin Harmalah al-Aslami, dan selanjutnya dari Sa‟id bin Musayyab (salah seorang dari generasi tabi‟in)). (Diambil dari makalah hadits dho’if dan maudhu’, www.academia.edu)

Namun hadits diatas dari sisi matan bisa dianggap shohih, karena ada hadits pendukung sbb: “Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang munafik selain dari shalat Shubuh dan shalat ‘Isya’. Seandainya mereka tahu keutamaan yang ada pada kedua shalat tersebut, tentu mereka akan mendatanginya walau sambil merangkak.” (HR. Bukhari no. 657).

2.      Permasalahan shohih dan dhoif dari hadits ini adalah produk ijtihadiyah. Artinya, boleh jadi 1 ulama men shohihkan hadits tsb, namun ulama yang lain men Dhoif kan hadits tsb. Hal ini dapat berakibat dalam pemakaian hadits tersebut dalam pengambilan hukumnya.

a.      Contohnya Hadits Sholat Tasbih.
                                                              i.      Dalil pendukung Sholat tasbih (yang menshohihkan sholat tasbih)

1.      “Dari Abul Jauza’, dia berkata, ‘Telah bercerita kepadaku seorang laki-laki yang termasuk sahabat Nabi. Orang-orang berpendapat, dia adalah Abdullah bin Amr, dia berkata, ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Datanglah kepadaku besok pagi. Aku akan memberimu hadiah, aku akan memberimu kebaikan, aku akan memberimu.’ Sehingga aku menyangka, bahwa beliau akan memberiku suatu pemberian. Beliau bersabda, ‘Jika siang telah hilang, berdirilah, kemudian shalatlah empat rakaat’ (Kemudian dia menyebutkan seperti hadits di atas) Beliau bersabda, ‘Kemudian engkau angkat kepalamu –yaitu dari sujud kedua-, lalu duduklah dengan sempurna, dan janganlah kamu berdiri sampai engkau bertasbih sepuluh kali, bertahmid sepuluh kali, bertakbir sepuluh kali, dan bertahlil sepuluh kali. Kemudian engkau lakukan itu dalam empat rakaat. Sesungguhnya, jika engkau adalah penduduk bumi yang paling besar dosanya, engkau diampuni dengan sabab itu.’ Aku (sahabat itu) berkata, ‘Jika aku tidak mampu melakukannya pada saat itu?’ Beliau menjawab, ‘Shalatlah di waktu malam dan siang.’” (HR. Abu Dawud, no. 1298).

2.    Juga diriwayatkan Thabarani dan Ibnu Majah, no. 1386, pada akhir hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Seandainya dosa-dosamu semisal buih lautan atau pasir yang bertumpuk-tumpuk, Allah mengampunimu.” (Dishahihkan al-Albani dalam Shahih at-Targhib Wat Tarhib, 1/282)

                                                            ii.      Dalil yang menolak sholat tasbih (Ulama men Dhoif kan Sholat tasbih)

Sebagian ulama melemahkan hadits shalat tasbih. Di bawah ini di antara ulama yang melemahkan tersebut:

1.      Ketika mengomentari hadits shalat tasbih yang diriwayatkan Imam Tirmidzi, Abu Bakar Ibnul A’rabi berkata, “Hadits Abu Rafi’ ini dha’if, tidak memiliki asal di dalam (hadits) yang shahih dan yang hasan. Imam Tirmidzi menyebutkannya hanyalah untuk memberitahukannya agar orang tidak terpedaya dengannya.” (Tuhfzatul Ahwadzi Syarh Tirmidzi, al-Adzkar karya an-Nawawi, hal. 168).

2.      Abul Faraj Ibnul Jauzi rahimahullah menyebutkan hadits-hadits shalat tasbih dan jalan-jalannya, di dalam kitab beliau al-Maudhu’at, kemudian men-dha’if-kan semuanya dan menjelaskan kelemahannya.

3.      Imam adz-Dzahabi rahimahullah menganggapnya termasuk hadits munkar (Mizanul I’tidal, 4/213. Dinukil dari Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal. 32, tahqiq Syaikh Abdullah al-Laitsi al-Anshari).

b.      Qunut Subuh.
                                                          i.          Ulama yang menshahihkan Qunut Subuh

Al-Hafidz Ibnu Hajar:

Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata: “Rasulullah Saw selalu membaca doa Qunut dalam salat Subuh hingga wafat” (HR Ahmad). Ibnu Hajar mengatakan: Hadis Hasan (Raudlat al-Muhadditsin 11/277)

Ahli Hadis Ibnu Baththal:

Qunut dalam Subuh adalah sahih. Sebuah hadis sahih menyatakan bahwa Nabi selalu Qunut hingga wafat. Telah bercerita kepada kami Amr bin Ali, ia bercerita bahwa Khalid bin Zaid bercerita kepada kami, ia berkata bahwa Abu Ja’far ar-Razi bercerita kepada kami dari Rabi’: “Anas ditanya tentang Qunutnya Nabi Saw bahwa beliau Qunut selama sebulan. Anas menjawab: Nabi selalu membaca Qunut hingga wafat” Hadis Abu Malik adalah sahih menurut kami” (Syarah al-Bukhari, karya Ibnu Baththal, 4/210)

Abdul Qadir al-Arnauth:

Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata: “Rasulullah Saw selalu membaca doa Qunut dalam salat Subuh hingga wafat” (al-Adzkar 1/48 Imam an-Nawawi berkata bahwa al-Hakim menyatakan hadis ini sahih). Abdul Qadir al-Arnauth berkata: Hadis ini diriwayatkan juga oleh al-Hakim dalam kitab al-Qunut. Ia berkata: “al-Hakim menilainya sahih. Sesuai metodenya menilai sahih sebuah hadis yang menurut ulama lainnya adalah hasan. Maka yang benar hadis tersebut (Qunut riwayat Anas) adalah hasan”

                                                           ii.      Hadits (Ulama) yang Mendhoifkan Qunut Subuh

“Dari Abu Malik Al Asyja’i ia berkata: Saya bertanya kepada bapakku: ‘Wahai bapakku, Sesungguhnya engkau pernah shalat di belakang Rasulullah Shallallahu’alaihi Wassallam, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib di sini di kota Kufah selama lima tahun. Apakah mereka semua qunut?’. Maka bapaknya menjawab: ‘Wahai anakku, itu adalah perbuatan bid’ah’“ (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, Nasa’i dan lainnya dengan sanad shohih).

Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, beliau berkata:
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam senantiasa qunut Shubuh sampai beliau meninggal dunia“.

Derajat hadits: mungkar.

Diriwayatkan oleh Abdurrozaq (4964), Ibnu Abi Syaibah (7002), Ahmad (3/162), Ath Thahawi (1/244), Daruquthni (2/39), Hakim dalam Al Arba’in dan Baihaqi (2/201) dari beberapa jalan dari Abu Ja’far Ar Rozi dari Robi bin Anas dari Anas bin Malik secara marfu‘.

Hadits ini dilemahkan Ibnul Jauzi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Turkumani, Ibnul Qoyyim, Al Albani dan lainnya. Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar: “hadits semacam ini tidak bisa dijadikan hujjah (dalil)”.

3.      Hadits yang sama, namun pengambilan kesimpulan hukumnya bisa berbeda antara Ulama. (istdlal nya berbeda)

Contoh haditsnya Dari Anas bin Malik berkata, "Beberapa orang dari 'Ukl atau 'Urainah datang ke Madinah, namun mereka tidak tahan dengan iklim Madinah hingga mereka pun sakit. Beliau lalu memerintahkan mereka untuk mendatangi unta dan meminum air kencing dan susunya. Maka mereka pun berangkat menuju kandang unta (zakat), ketika telah sembuh, mereka membunuh pengembala unta Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan membawa unta-untanya. Kemudian berita itu pun sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjelang siang. Maka beliau mengutus rombongan untuk mengikuti jejak mereka, ketika matahari telah tinggi, utusan beliau datang dengan membawa mereka. Beliau lalu memerintahkan agar mereka dihukum, maka tangan dan kaki mereka dipotong, mata mereka dicongkel, lalu mereka dibuang ke pada pasir yang panas. Mereka minta minum namun tidak diberi." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Hadits diatas, ulama terbagi 2 dalam pengambilan hukumnya. Pertama, Ulama madzhab Hambali dan Maliki, mengatakan air seni Unta halal dikonsumsi, berdasarkan teks hadits diatas.

Namun ulama Madzhab Hanafi dan Syafi’i menghukumi bahwa air seni unta tetap haram untuk dikonsumsi, karena air seni secara umum adalah najiz, dan najiz adalah sesuatu yang haram untuk dikonsumsi. Menurut ulama Madzhab Hanafi dan Syafi’i, hadits diatas adalah pengecualian untuk org2 dari bani ‘urainah atau Ukl, karena setelah itu, tidak ditemukan hadits lain, yang semakna yang memperbolehkan meminum air seni unta.

4.      Hadits tersebut sudah “tidak relevan” dimasa sekarang maupun di tempat kita. 

      Artinya, kaidah hukum dari hadits tsb tidak sesuai saat ini di tempat kita (mungkin masih sesuai di tempat lain) Hal ini karena permasalah Illat yang sudah tidak ada (atau illatnya masih ada sehingga masih dipakai)

Contoh hadits : Ibnu Abbas ia berkata, "Rasulullah saw bersabda: "Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal; air, rumput dan api. Dan harganya adalah haram." Abu Sa’id berkata, "Yang dimaksud adalah air yang mengalir." (HR Ibnu Majjah).

Bila kita mengikuti hadits diatas, tentu akan menjadi permasalahan yang sangat pelik, dimana sekarang air minum kemasan sudah dijual dimana-mana, bahkan di Mekah – Medinah saja sudah dijual air minum dalam kemasan. Sementara menurut hadits diatas, hal tersebut adalah haram (diperjual belikan). Hadits diatas adalah salah satu contoh, dimana hadits nya shohih, namun pengambilan kaidah hukumnya tidak sama persis spt bunyi hadits, karena terkait zaman yang sudah berbeda/berubah.

5.      Haditsnya sudah dinasakh. Baik dengan Ayat quran ataupun dengan hadits yang muncul setelahnya. 

       Contoh haditsnya sbb,  Dari Rafi’ bin Khadij radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Berbuka (batal puasa) orang yang membekam dan dibekam.” (HR. Tirmidzi: 774, Ahmad 3/465, Ibnu Khuzaimah: 1964, Ibnu Hibban: 3535; hadits ini telah dishahihkan oleh imam Ahmad, imam Bukhari, Ibnul Madini (lihat al Istidzkar 10/122). Demikian juga al Albani menshahihkannya dalam Irwa’ul Ghalil: 931, Misykatul Mashabih: 2012, dan Shahih Ibnu Khuzaimah: 1983).

Kemudian dinasakh dengan hadits berikut, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam sedangkan beliau berpuasa.” (HR. Bukhari:1838,1939, Muslim: 1202).

6.      Dan masih ada beberapa hal lagi yang menjelaskan bahwa hadits shohih, tidak serta merta langsung digunakan menjadi dalil hukum.


Wallahua’lam bishowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar