Senin, 03 Februari 2014

Fiqih dan Syariah

Secara bahasa, syariah bermakna sumber air. Sedangkan pengertian mudahnya dalam terminologi ulama, bisa difahami sebagai agama Islam beserta semua ajaran-ajarannya yang Allah turunkan kepada kita melalui Nabi-Nya. Ajaran-ajaran tersebut tertuang dalam Al Qur’an maupun As Sunnah. Ajaran-ajaran tersebut meliputi i'tiqadiyah (tauhid), khuluqiyyah (akhlak) dan amaliyah (aktivitas lahir). Itulah syariah.

Tentu saja antara makna bahasa (etimologi) dan makna terminologi dari kata syariah memiliki korelasi. Barangkali korelasi yang paling nampak adalah bahwa keduanya merupakan sumber kehidupan. Jika air merupakan sumber kehidupan jasmani, maka syariah adalah sumber kehidupan rohani. 

Fiqih Secara Bahasa

Adapun fiqih secara bahasa, kata ini bermakna faham. Sedangkan dalam istilah syar’i, maka secara mudah bisa diartikan sebagai pemahaman terhadap syariah diatas.

Namun yang perlu digarisbawahi disini adalah bahwa “pemahaman” yang dimaksud bukanlah pemahaman semua orang. Karena pemahaman disini adalah sebuah hasil dari proses panjang nan melelahkan dengan mengerahkan segala kemampuan dan keterampilan. Proses itulah yang dikenal dengan ijtihad.

Dan tidak berhenti sampai disini saja. Proses ijtihad tersebut hanya boleh dilakukan oleh mereka yang memiliki multi ketrampilan dalam mengolah sumber-sumber fiqih. Merekalah para mujtahid; manusia-manusia mulia yang memang memiliki semua perangkat ijtihad dan pirantinya.

Perlu diketahui juga, bahwa objek pembahasan fiqih yang sedang kita bahas ini, adalah fiqih dalam maknanya yang telah mengalami penyempitan hanya terbatas pada amaliyah saja. Inilah fiqih yang kita kenal sekarang. Sedangkan kajian seputar i'tiqadiyah, telah terpisah dan memiliki ruangnya sendiri dalam sebuah ilmu yang dikenal dengan aqidah. Adapun tema tentang khuluqiyyah, bisa kita jumpai dalam ilmu Tasawwuf.

Perbedaan Syariah dan Fiqih

Dengan melihat pengertian syariah dan juga fiqih yang sederhana diatas, bisa kita simpulkan bahwa syariah berbeda dengan fiqih. Sisi-sisi perbedaan tersebut bisa kita himpun dalam beberapa poin berikut :

1. Syariah tak akan pernah salah.

Syariah tak akan pernah salah, karena ia merupakan paket yang langsung diturunkan oleh Allah SWT. Sedangkan fiqih mengandung kemungkinan benar dan salah. Karena ia adalah pemahaman manusia terhadap syariah itu.

2. Syariah lebih umum dan luas

Syariah lebih umum dan luas cakupannya dari pada fiqih. Kalau syariah meliputi aqidah, akhlak dan amaliyah. Sedangkan fiqih hanya mencakup sisi amaliyah saja.

3. Syariah bersifat mengikat untuk semua manusia.

Syariah bersifat mengikat untuk semua manusia. Maka siapapun yang telah melengkapi syarat-syarat taklif, wajib mengikuti aturan syariah. Baik aturan aqidah, akhlaq maupun ibadah. Sedangkan fiqih yang merupakan pemahaman para mujtahid itu, maka tidaklah mengikat.

Hasil kesimpulan fiqih seorang mujtahid tidaklah mengikat mujtahid lain untuk mematuhinya. Bahkan kesimpulan fiqih juga tidaklah mengikat seorangpun muqallid. Jika si muqallid ini mendapati kesimpulan mujtahid lain yang ingin diikutinya, ia boleh melakukannya.

4. Syariah bersifat tetap dan tak berubah.

Syariah bersifat tetap dan tak berubah. Sedangkan fiqih bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat, kondisi, dan lain-lain. Perlu dicatat disini, bahwa perubahan fiqih -karena adanya salah satu atau beberapa faktor tadi- hanya boleh terjadi atas rekomendasi seorang mufti atau mujtahid.

Dari beberapa perbedaan diatas, ada satu hal yang tentu kita sepakati bersama bahwa hasil pemahaman para mujtahid itu ternyata ada kemungkinan benar dan ada kemungkinan salah. Pada saat hasil kesimpulan seorang mujtahid sesuai dengan  apa yang Allah SWT kehendaki, maka ia benar dan mendapatkan dua pahala. Ia tepat sesuai dengan syariah Allah SWT. Dan itulah syariah.

Namun, pada saat hasil ijtihad tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT, maka ia tidaklah berdosa.  Justru ia akan tetap mendapatkan reward, meski hanya satu pahala. Pertanyaannya adalah apakah hasil kesimpulan fiqih yang salah itu adalah syariah?

Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar mengatakan bahwa ia tetaplah fiqih namun bukan syariah. Disebut fiqih karena itu hasil ijtihad, dan tidak bisa disebut syariah karena ijtihad tersebut meleset dari titik kebenaran yang Allah kehendaki.

Secara global, sebenarnya hasil kesimpulan-kesimpulan fiqih para mujtahid -terlepas dari benar dan salahnya- tetaplah bagian dari syariah. Karena ijtihad itu sendiri merupakan bagian dari syariah. Dalam kisah yang sudah cukup populer, nabi SAW yang merupakan penyampai syariah itu, pernah menyetujui apa yang dilakukan oleh Muadz ibn Jabal dalam berijtihad. 

Tentu saja persetujuan Nabi merupakan syariah. Terlepas dari ijtihad Muadz nantinya benar atau salah, tepat atau meleset dari titik kebenaran, aktivitas Muadz sudah mendapatkan legalitas syar’i. “Al Hamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusannya Utusan Allah SWT”

Begitulah legalitas wahyu keluar dengan cukup jelas dari lisan sang Nabi SAW. Dan lagi, Allah SWT malah memberikan pahala kepada mujtahid meski dia salah. Tentu saja pemberian pahala tidak akan diberikan kecuali pada hal-hal yang sesuai syariah.

Namun, ketika kita melihat tiap kesalahan dalam hasil kesimpulan ijtihad-ijtihad fiqih itu secara parsial, satu per satu, ijtihad per ijtihad, maka hasil itu bukanlah syariah. Meski proses perjalanan menuju kepada kesimpulan itu sudah mendapatkan legalitas syar’i, namun kita tentu sudah paham bahwa syariah tak akan pernah memiliki sifat salah ataupun keliru.

Sedangkan kalau kita menyebutnya sebagai fiqih, maka kesalahan tersebut akan dinilai sebagai hal yang sangat wajar dan mungkin saja terjadi pada sebuah hasil kesimpulan kerja akal manusia.

Klaim Paling Sesuai Syariah

Yang sering menjadi titik permasalahan adalah adanya klaim paling sesuai syariah yang dilakukan oleh sebagian pengikut masing-masing madrasah fiqih. Padahal kebenaran dan juga kesalahan sebuah hasil ijtihad adalah perkara rahasia yang hanya Allah SWT saja yang Maha Mengetahui akan hakikatnya.

Kerahasiaan itulah yang disadari betul oleh para mujtahid. Namun yang cukup mengherankan adalah banyak sekali yang malah tidak mau menyadarinya, padahal mereka bukanlah mujtahid. 

Ijma'

Hanya ada satu media yang Allah karuniakan kepada kita untuk mengetahui kebenaran hasil ijtihad itu di dunia ini. Namun hal itu hanya terdapat pada hasil ijtihad kasus-kasus fiqih yang jumlahnya cukup terbatas. Media ini dikenal dengan nama Ijma.

Setiap permasalahan fiqih yang sudah masuk dalam wilayah ijma, maka kita bisa meyakini kebenarannya. Kita bisa meyakininya bahwa itulah syariah. Karena, ijma adalah panggung dimana kebenaran dan ketepatan ijtihad semua mujtahid itu dipentaskan. Sehingga para ulama setelah masa terjadinya ijma itu, bisa dengan jelas menyaksikan. 

Setiap mujtahid mutlak diwajibkan untuk mengetahui semua fiqih yang ada dalam wilayah ijma itu. Hal ini dimaksudkan agar ia tidak perlu repot-repot lagi melelahkan diri dalam sebuah aktivitas yang hasilnya sudah final. Jika hasilnya benar dan sesuai ijma maka aktivitasnya tak menambah nilai apa-apa. Apalah lagi jika salah, penyelisihannya terhadap ijma ini akan dianggap sebagai dosa.

Setelah mengetahui wilayah ijma, maka semua permasalahan fiqih yang berada di luar wilayah tersebut adalah wilayah rahasia yang tidak pernah diketahui benar dan salahnya atau tepat dan melesetnya.

Kesimpulan Fiqih

Apa yang para mujtahid lakukan kemudian hanyalah berusaha mengambil kesimpulan hukum fiqih sesuai dengan konsekwensi setiap dalil dan hujjah yang mereka ketahui. Mereka melakukan aktivitas ijtihad itu dengan tetap menyadari bahwa kesimpulan fiqihnya nanti bisa saja tepat dan itulah syariah, namun bisa juga salah dan itulah ijtihad fiqih.

Maka, sekali lagi hasil kesimpulan fiqih memang belum tentu syariah. Namun kita sama sekali tak dilarang untuk menjadikan fiqih sebagai panduan beribadah. Kita sangat boleh dan sah-sah saja beribadah kepada Allah SWT dengan berpanduan hasil atau produk akal manusia itu.

Namun, ia bukan sekedar hasil produk akal. Fiqih adalah produk akal yang merupakan pemahaman para mujathid yang aktivitasnya merupakan perintah syariah. Sehingga hasilnya yaitu fiqih, secara global merupakan bagian dari syariah.

Dengan kesadaran akan makna fiqih seperti itulah, para ulama salaf terdahulu sangat tidak berani untuk mengatakan bahwa ra’yu (pendapatnya) adalah agama atau syariah.

Imam Syafi’i dengan segala kerendahan hatinya mengatakan, “Ra’yi..” (pendapatku) dan bukan “inilah sifat ibadah Nabi”.

Umar ibn Al Khattab -ketika seseorang hendak menulis pendapatnya dengan redaksi, “inilah hukum yang Allah ilhamkan kepada Amir Al Mu’minin”- beliau menolak dengan mengatakan, “tulislah; ini pendapat Umar, jika benar maka itu dari Allah, jika salah maka dari Umar ”.

Abu Bakr Ash-shiddiq  radhiyallahuanhu juga memiliki cerita yang hampir sama. Beliau pernah berpendapat dalam kasus Kalalah. Beliau mengatakan, “Dalam kasus ini, Aku menggunakan pendapatku. Jika benar dari Allah SWT, jika salah maka dari kesalahanku dan juga syaitan. Allah SWT dan Rasul-Nya terlepas dari kesalahan tersebut” 

Para ulama terdahulu tidak ada yang menulis buku atau kitab-kitab mereka dengan judul-judul yang terkesan mengklaim bahwa bukunya adalah sunnah atau syariah yang sahih. Mereka selalu menulis dengan judul yang menunjukkan pengakuan akan segala kekurangan. Fathul Qarib, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab, Fathul Qadir dan dengan model judul-judul yang lain.

Hal itu karena mereka sadar bahwa ini semua hanyalah petunjuk yang dianugerahkan Allah SWT -yang Maha Al Qarib, Al Mu’in, Al Wahhab, Al Qadir- dalam menuliskan kitabnya.

Tarjih Hanya Kesimpulan Fiqih

Meski banyak juga diantara mereka yang melakukan tarjih terhadap perbedaan-perbedaan pendapat tersebut, namun mereka selalu sadar bahwa tarjih tersebut “hanyalah” kesimpulan fiqih dan belum tentu syariah. sehingga mereka akan mengakhiri setiap bab, pasal, atau kitabnya dengan; Wallahu A’lam.

Barangkali itulah jawabannya mengapa kita tidak pernah mendapati nama-nama kitab fiqih ulama terdahulu dengan nama  dan juga isi yang mengesankan seolah itulah yang paling sahih dan paling sesuai dengan semua sifat peribadahan nabi.

Barangkali hal ini berangkat dari kesadaran bahwa mereka tidak pernah bertemu nabi, dan dengan adanya jarak yang membentang antara mereka dengan nabi, hasil ijtihad mereka bisa saja tepat dengan apa yang dicontohkan nabi, namun bisa juga meleset dari titik sunnah nabi yang sebenarnya. Bahkan yang hidup bersama nabi dan menyaksikan turunnya wahyupun kenyataannya bisa juga berbeda.

Dengan tetap meyakini bahwa para penulis kontemporer itu bersih dari motiv klaim paling sunnah atau paling sahih, tulisan ini lahir bukanlah untuk mengkritisi judul-judul kitab itu dan isinya. Tulisan ini hadir tidak lain hanya ingin menghilangkan efek yang timbul dari judul-judul buku semacam itu. Sebuah efek yang diakui atau tidak, merupakan penyakit yang jelas terlihat nyata, lumayan terasa, cukup menggemaskan, namun juga menantang untuk segera dicarikan obatnya.

Dengan munculnya buku-buku berjudul seperti itu, banyak sekali para pembaca awam kemudian dengan berani dan tak beradab menyalah-nyalahkan fiqih-fiqih para fuqaha salaf yang terdapat dalam fiqih At Taharah, fiqih As Shalat, fiqih Az Zakat, dan lain-lain. Padahal mereka juga sama-sama membaca. Membaca pemahaman para ulama. Membaca fiqih, dan belum tentu syariah.

Jika saja kesadaran akan makna fiqih dan syariah itu mereka miliki, tentu penyakit semacam itu sedikit terobati. Dan sebagai bagian dari kesadaran itu, tulisan ini juga tidaklah diakui sebagai bagian dari fiqih, apalagi syariah. Karena penulis bukanlah mujtahid yang hasil kesimpulan ijtihadnya terangkum dalam fiqih. Jika tulisan ini benar, maka itu dari Allah SWT, dan jika salah maka itu murni kesalahan penulis.

Wallahu A’lam


Sutomo Ibnu Abi Nashr, Lc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar