Secara bahasa, syariah bermakna sumber air. Sedangkan pengertian
mudahnya dalam terminologi ulama, bisa difahami sebagai agama Islam beserta
semua ajaran-ajarannya yang Allah turunkan kepada kita melalui Nabi-Nya. Ajaran-ajaran
tersebut tertuang dalam Al Qur’an maupun As Sunnah. Ajaran-ajaran tersebut
meliputi i'tiqadiyah (tauhid), khuluqiyyah (akhlak) dan amaliyah (aktivitas
lahir). Itulah syariah.
Tentu saja antara makna bahasa (etimologi) dan makna terminologi dari
kata syariah memiliki korelasi. Barangkali korelasi yang paling nampak adalah
bahwa keduanya merupakan sumber kehidupan. Jika air merupakan sumber kehidupan
jasmani, maka syariah adalah sumber kehidupan rohani.
Fiqih Secara Bahasa
Adapun fiqih secara bahasa, kata ini bermakna faham. Sedangkan dalam
istilah syar’i, maka secara mudah bisa diartikan sebagai pemahaman terhadap
syariah diatas.
Namun yang perlu digarisbawahi disini adalah bahwa “pemahaman” yang
dimaksud bukanlah pemahaman semua orang. Karena pemahaman disini adalah sebuah
hasil dari proses panjang nan melelahkan dengan mengerahkan segala kemampuan
dan keterampilan. Proses itulah yang dikenal dengan ijtihad.
Dan tidak berhenti sampai disini saja. Proses ijtihad tersebut hanya
boleh dilakukan oleh mereka yang memiliki multi ketrampilan dalam mengolah
sumber-sumber fiqih. Merekalah para mujtahid; manusia-manusia mulia yang memang
memiliki semua perangkat ijtihad dan pirantinya.
Perlu diketahui juga, bahwa objek pembahasan fiqih yang sedang kita
bahas ini, adalah fiqih dalam maknanya yang telah mengalami penyempitan hanya
terbatas pada amaliyah saja. Inilah fiqih yang kita kenal sekarang. Sedangkan
kajian seputar i'tiqadiyah, telah terpisah dan memiliki ruangnya sendiri dalam
sebuah ilmu yang dikenal dengan aqidah. Adapun tema tentang khuluqiyyah, bisa
kita jumpai dalam ilmu Tasawwuf.
Perbedaan Syariah dan Fiqih
Dengan melihat pengertian syariah dan juga fiqih yang sederhana diatas,
bisa kita simpulkan bahwa syariah berbeda dengan fiqih. Sisi-sisi perbedaan
tersebut bisa kita himpun dalam beberapa poin berikut :
1. Syariah tak akan pernah salah.
Syariah tak akan pernah salah, karena ia merupakan paket yang langsung
diturunkan oleh Allah SWT. Sedangkan fiqih mengandung kemungkinan benar dan
salah. Karena ia adalah pemahaman manusia terhadap syariah itu.
2. Syariah lebih umum dan luas
Syariah lebih umum dan luas cakupannya dari pada fiqih. Kalau syariah
meliputi aqidah, akhlak dan amaliyah. Sedangkan fiqih hanya mencakup sisi
amaliyah saja.
3. Syariah bersifat mengikat untuk semua manusia.
Syariah bersifat mengikat untuk semua manusia. Maka siapapun yang telah
melengkapi syarat-syarat taklif, wajib mengikuti aturan syariah. Baik aturan
aqidah, akhlaq maupun ibadah. Sedangkan fiqih yang merupakan pemahaman para
mujtahid itu, maka tidaklah mengikat.
Hasil kesimpulan fiqih seorang mujtahid tidaklah mengikat mujtahid lain
untuk mematuhinya. Bahkan kesimpulan fiqih juga tidaklah mengikat seorangpun
muqallid. Jika si muqallid ini mendapati kesimpulan mujtahid lain yang ingin
diikutinya, ia boleh melakukannya.
4. Syariah bersifat tetap dan tak berubah.
Syariah bersifat tetap dan tak berubah. Sedangkan fiqih bisa berubah
sesuai dengan perubahan zaman, tempat, kondisi, dan lain-lain. Perlu dicatat
disini, bahwa perubahan fiqih -karena adanya salah satu atau beberapa faktor
tadi- hanya boleh terjadi atas rekomendasi seorang mufti atau mujtahid.
Dari beberapa perbedaan diatas, ada satu hal yang tentu kita sepakati
bersama bahwa hasil pemahaman para mujtahid itu ternyata ada kemungkinan benar
dan ada kemungkinan salah. Pada saat hasil kesimpulan seorang mujtahid sesuai
dengan apa yang Allah SWT kehendaki,
maka ia benar dan mendapatkan dua pahala. Ia tepat sesuai dengan syariah Allah
SWT. Dan itulah syariah.
Namun, pada saat hasil ijtihad tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT,
maka ia tidaklah berdosa. Justru ia akan
tetap mendapatkan reward, meski hanya satu pahala. Pertanyaannya adalah apakah
hasil kesimpulan fiqih yang salah itu adalah syariah?
Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar mengatakan bahwa ia tetaplah fiqih namun
bukan syariah. Disebut fiqih karena itu hasil ijtihad, dan tidak bisa disebut
syariah karena ijtihad tersebut meleset dari titik kebenaran yang Allah
kehendaki.
Secara global, sebenarnya hasil kesimpulan-kesimpulan fiqih para
mujtahid -terlepas dari benar dan salahnya- tetaplah bagian dari syariah.
Karena ijtihad itu sendiri merupakan bagian dari syariah. Dalam kisah yang
sudah cukup populer, nabi SAW yang merupakan penyampai syariah itu, pernah
menyetujui apa yang dilakukan oleh Muadz ibn Jabal dalam berijtihad.
Tentu saja persetujuan Nabi merupakan syariah. Terlepas dari ijtihad
Muadz nantinya benar atau salah, tepat atau meleset dari titik kebenaran,
aktivitas Muadz sudah mendapatkan legalitas syar’i. “Al Hamdulillah, segala
puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusannya Utusan Allah SWT”
Begitulah legalitas wahyu keluar dengan cukup jelas dari lisan sang
Nabi SAW. Dan lagi, Allah SWT malah memberikan pahala kepada mujtahid meski dia
salah. Tentu saja pemberian pahala tidak akan diberikan kecuali pada hal-hal
yang sesuai syariah.
Namun, ketika kita melihat tiap kesalahan dalam hasil kesimpulan
ijtihad-ijtihad fiqih itu secara parsial, satu per satu, ijtihad per ijtihad,
maka hasil itu bukanlah syariah. Meski proses perjalanan menuju kepada
kesimpulan itu sudah mendapatkan legalitas syar’i, namun kita tentu sudah paham
bahwa syariah tak akan pernah memiliki sifat salah ataupun keliru.
Sedangkan kalau kita menyebutnya sebagai fiqih, maka kesalahan tersebut
akan dinilai sebagai hal yang sangat wajar dan mungkin saja terjadi pada sebuah
hasil kesimpulan kerja akal manusia.
Klaim Paling Sesuai Syariah
Yang sering menjadi titik permasalahan adalah adanya klaim paling
sesuai syariah yang dilakukan oleh sebagian pengikut masing-masing madrasah
fiqih. Padahal kebenaran dan juga kesalahan sebuah hasil ijtihad adalah perkara
rahasia yang hanya Allah SWT saja yang Maha Mengetahui akan hakikatnya.
Kerahasiaan itulah yang disadari betul oleh para mujtahid. Namun yang
cukup mengherankan adalah banyak sekali yang malah tidak mau menyadarinya,
padahal mereka bukanlah mujtahid.
Ijma'
Hanya ada satu media yang Allah karuniakan kepada kita untuk mengetahui
kebenaran hasil ijtihad itu di dunia ini. Namun hal itu hanya terdapat pada
hasil ijtihad kasus-kasus fiqih yang jumlahnya cukup terbatas. Media ini
dikenal dengan nama Ijma.
Setiap permasalahan fiqih yang sudah masuk dalam wilayah ijma, maka
kita bisa meyakini kebenarannya. Kita bisa meyakininya bahwa itulah syariah.
Karena, ijma adalah panggung dimana kebenaran dan ketepatan ijtihad semua
mujtahid itu dipentaskan. Sehingga para ulama setelah masa terjadinya ijma itu,
bisa dengan jelas menyaksikan.
Setiap mujtahid mutlak diwajibkan untuk mengetahui semua fiqih yang ada
dalam wilayah ijma itu. Hal ini dimaksudkan agar ia tidak perlu repot-repot
lagi melelahkan diri dalam sebuah aktivitas yang hasilnya sudah final. Jika
hasilnya benar dan sesuai ijma maka aktivitasnya tak menambah nilai apa-apa.
Apalah lagi jika salah, penyelisihannya terhadap ijma ini akan dianggap sebagai
dosa.
Setelah mengetahui wilayah ijma, maka semua permasalahan fiqih yang
berada di luar wilayah tersebut adalah wilayah rahasia yang tidak pernah
diketahui benar dan salahnya atau tepat dan melesetnya.
Kesimpulan Fiqih
Apa yang para mujtahid lakukan kemudian hanyalah berusaha mengambil
kesimpulan hukum fiqih sesuai dengan konsekwensi setiap dalil dan hujjah yang
mereka ketahui. Mereka melakukan aktivitas ijtihad itu dengan tetap menyadari
bahwa kesimpulan fiqihnya nanti bisa saja tepat dan itulah syariah, namun bisa
juga salah dan itulah ijtihad fiqih.
Maka, sekali lagi hasil kesimpulan fiqih memang belum tentu syariah.
Namun kita sama sekali tak dilarang untuk menjadikan fiqih sebagai panduan
beribadah. Kita sangat boleh dan sah-sah saja beribadah kepada Allah SWT dengan
berpanduan hasil atau produk akal manusia itu.
Namun, ia bukan sekedar hasil produk akal. Fiqih adalah produk akal
yang merupakan pemahaman para mujathid yang aktivitasnya merupakan perintah
syariah. Sehingga hasilnya yaitu fiqih, secara global merupakan bagian dari
syariah.
Dengan kesadaran akan makna fiqih seperti itulah, para ulama salaf
terdahulu sangat tidak berani untuk mengatakan bahwa ra’yu (pendapatnya) adalah
agama atau syariah.
Imam Syafi’i dengan segala kerendahan hatinya mengatakan,
“Ra’yi..” (pendapatku) dan bukan “inilah sifat ibadah Nabi”.
Umar ibn Al Khattab -ketika seseorang hendak menulis pendapatnya dengan
redaksi, “inilah hukum yang Allah ilhamkan kepada Amir Al Mu’minin”- beliau
menolak dengan mengatakan, “tulislah; ini pendapat Umar, jika benar maka itu
dari Allah, jika salah maka dari Umar ”.
Abu Bakr Ash-shiddiq
radhiyallahuanhu juga memiliki cerita yang hampir sama. Beliau pernah
berpendapat dalam kasus Kalalah. Beliau mengatakan, “Dalam kasus ini, Aku
menggunakan pendapatku. Jika benar dari Allah SWT, jika salah maka dari
kesalahanku dan juga syaitan. Allah SWT dan Rasul-Nya terlepas dari kesalahan
tersebut”
Para ulama terdahulu tidak ada yang menulis buku atau kitab-kitab
mereka dengan judul-judul yang terkesan mengklaim bahwa bukunya adalah sunnah
atau syariah yang sahih. Mereka selalu menulis dengan judul yang menunjukkan
pengakuan akan segala kekurangan. Fathul Qarib, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab,
Fathul Qadir dan dengan model judul-judul yang lain.
Hal itu karena mereka sadar bahwa ini semua hanyalah petunjuk yang
dianugerahkan Allah SWT -yang Maha Al Qarib, Al Mu’in, Al Wahhab, Al Qadir-
dalam menuliskan kitabnya.
Tarjih Hanya Kesimpulan Fiqih
Meski banyak juga diantara mereka yang melakukan tarjih terhadap
perbedaan-perbedaan pendapat tersebut, namun mereka selalu sadar bahwa tarjih
tersebut “hanyalah” kesimpulan fiqih dan belum tentu syariah. sehingga mereka
akan mengakhiri setiap bab, pasal, atau kitabnya dengan; Wallahu A’lam.
Barangkali itulah jawabannya mengapa kita tidak pernah mendapati
nama-nama kitab fiqih ulama terdahulu dengan nama dan juga isi yang mengesankan seolah itulah
yang paling sahih dan paling sesuai dengan semua sifat peribadahan nabi.
Barangkali hal ini berangkat dari kesadaran bahwa mereka tidak pernah
bertemu nabi, dan dengan adanya jarak yang membentang antara mereka dengan
nabi, hasil ijtihad mereka bisa saja tepat dengan apa yang dicontohkan nabi,
namun bisa juga meleset dari titik sunnah nabi yang sebenarnya. Bahkan yang
hidup bersama nabi dan menyaksikan turunnya wahyupun kenyataannya bisa juga
berbeda.
Dengan tetap meyakini bahwa para penulis kontemporer itu bersih dari
motiv klaim paling sunnah atau paling sahih, tulisan ini lahir bukanlah untuk
mengkritisi judul-judul kitab itu dan isinya. Tulisan ini hadir tidak lain
hanya ingin menghilangkan efek yang timbul dari judul-judul buku semacam itu.
Sebuah efek yang diakui atau tidak, merupakan penyakit yang jelas terlihat
nyata, lumayan terasa, cukup menggemaskan, namun juga menantang untuk segera
dicarikan obatnya.
Dengan munculnya buku-buku berjudul seperti itu, banyak sekali para
pembaca awam kemudian dengan berani dan tak beradab menyalah-nyalahkan
fiqih-fiqih para fuqaha salaf yang terdapat dalam fiqih At Taharah, fiqih As
Shalat, fiqih Az Zakat, dan lain-lain. Padahal mereka juga sama-sama membaca.
Membaca pemahaman para ulama. Membaca fiqih, dan belum tentu syariah.
Jika saja kesadaran akan makna fiqih dan syariah itu mereka miliki,
tentu penyakit semacam itu sedikit terobati. Dan sebagai bagian dari kesadaran
itu, tulisan ini juga tidaklah diakui sebagai bagian dari fiqih, apalagi
syariah. Karena penulis bukanlah mujtahid yang hasil kesimpulan ijtihadnya
terangkum dalam fiqih. Jika tulisan ini benar, maka itu dari Allah SWT, dan
jika salah maka itu murni kesalahan penulis.
Wallahu A’lam
Sutomo Ibnu Abi Nashr, Lc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar