Dalam litelatur fiqih, kita pasti akan mendapatkan
(Ikhtilaf) perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan ulama, baik itu lintas
madzhab atau juga dalam madzhab itu sendiri. Dan itu adalah sesuatu yang tidak
bisa dihindari dalam masalah fiqih yang memang tempatnya ulama berijtihad.
Konsekuensi yang harus muncul ketika adanya ijtihad ialah
adanya perbedaan itu sendiri. Jadi memang perbedaan dalam masalah fiqih ialah
sesuatu yang ada dan bukan diada-ada-kan. Jadi sebelum lebih jauh mendalami
fiqih, seorang harus siap menghadapi perbedaan itu dan bersikap bijak dalam
perbedaan itu.
Imam Syathibi dalam kitabnya Al-Muwafaqat, meriwayatkan qoul
Imam Qatadah yang mana qoul ini sangat masyhur sekali di kalangan para fuqaha
dan pembelajar fiqih:
مَنْ لَمْ يَعْرِفْ الِاخْتِلَافَ
لَمْ يشمَّ أنفُه الْفِقْهَ
“Siapa yang tidak tahu (Tidak mengakui) Ikhtilaf, ia sama
sekali tidak bisa mencium Fiqih”[1]
Yang Benar Hanya Pendapatku!
Tapi justru ada saja beberapa orang yang saya atau kita
dapati, banyak dari mereka yang seakan-akan tidak menerima adannya perbedaan
itu dan memaksakan semua orang sependapat dengan apa yang ia yakini, padahal
itu masalah fiqih yang belum ada kata sepakat diantara para ahli fiqih.
Mereka hidup di lingkungan yang sebenarnya tidak buta dengan
syariah, yang kemudian orang-orang di lingkungan tersebut sudah terbiasa dengan
salah satu pendapat ulama dalam masalah fiqih, dan itu yang menjadi landasan
mereka dalam beribadah.
Lalu mereka datang dengan pendapat baru, yang sebelumnya
tidak dikenal oleh lingkungan tempat ia tinggal lalu mengumbarnya dengan sambil
mengatakan apa yang dilakukann selama ini oleh para penduduk setempat ialah
keliru dan salah, bahka itu menyalahi sunnah.
Dengan bangganya mereka mengatakan itu dan sudah pasti
perkara semacam ini menimbulkan gesekan yang amat berbekas diantara masyarakat
sehingga akhirnya perpecahan tidak bisa lagi dihindari. Hanya karena ada
beberapa orang yang tidak paham betul dengan masalah fiqih, akhirnya persatuan
yang sudha sekian lama dibangun roboh seketika.
Padahal memperkuat persatuan dan menutup jalan perpecahan
jauh lebih baik, dan semua orang sepakat ini. caranya dengan tidak menimbulkan
gesekan di masyarakat dengan hal-hal fiqih yang statusnya masih dalam
perdebatan, lalu menonjolkan perbedaannya di depan khalayak dangan bumbu “Ini
pendapat yang sesuai Sunnah!”.
Secara langsung mengatakan bahwa yang selama ini dilakukan
oleh sekelilingnya ialah jauh dari kata sunnah, lebih dalam lagi bahwa yang
dilakukan khalayak sebelumnya adalah menyelisih sunnah, padahal mereka
melakukan itu bukan tanpa dasar, tapi justru dengan dasar dalil, hanya saja si
pembawa berita “sunnah” itu yang tidak tahu adanya perbedaan pendapat.
Berbeda pendapat bukanlah sesuatu yang keliru dan
disalahkan, akan tetapi jika perbedaan itu dintonjolkan depan khalayak yang sudah
paten memakai satu pendapat, bukan tidak mungkin terjadi perpecahan. Apalagi
sampai keluar statemen bahwa “ini yang benar, dan yang dilakukan selama ini
menyalahi sunnah!”, tentu yang seperti ini rawan membuahkan perpecahan.
Ulama Fiqih Sadar Persatuan Walau Berbeda Pandangan
Kalau mau berbeda ya silahkan saja, hanya perlu dijaga
jangan sampai menonjolkan itu depan khalayak yang akhirnya menimbulkan gesekan.
Bukankah seornag muslim dituntut untuk menjaga harmonisasi persatuan antara
sesama muslim?
Mungkin beberapa orang lupa atau tidak tahu bahwa ada kaidah
fiqih yang sangat mengambarkan sekali bagaimana ulama fiqih itu benar-benar
peduli akan terwujudnya persatuan umat walaupun dalam bingkai perbedaan
pendapat.
الخروج
من الخلاف أولى وأفضل
“Keluar dari perbedaan adalah lebih utama dan lebih baik”[2]
Ini dijelaskan oleh Imam Taajuddin Al-Subki dalam kitab
Al-Asybah wa Al-Nazoir. Ketika membahas ini dalam kitabnya, beliau seperti
menasihati bahwa perbedaan dalam masalah fiqih itu sesuatu yang tidak bisa
dihindari, maka kita lah yang harusnya cerdas dalam menyikapi itu.
Bagaimana?
Dengan tidak menimbulkan sesuatu yang akhirnya malah
melahirkan silang pendapat tajam di depan khalayak, yang padahal perkara itu
bukanlah perkara yang sampai pada pada level Ijma’, itu masalah yang terbukan
ijtihad di dalamnya.
Dengan tidak juga menonjolkan itu depan khlayak yang punya
pendapat berbeda, dan tetap hidup seirama dengan mereka. Toh tidak ada yang
salah mengikuti alur khalayak dalam masalah fiqih, kenapa harus memaksakan satu
pendapat yang akhirnya malah jadi boomerang lalu merobohkan persatuan yang
sudah ada.
Saking agungnya kandungan kaidah ini, Imam Taajuddin
Al-Subki mengatakan banyak ahli fiqih yang menyangka bahwa kaidah ini adalah
kaidah fiqih yang telah disepakati oleh seluruh ulama dan menjadi ‘Ijma’.
Maka mengikuti khalayak dengan tujuan maslahat, yaitu
persatuan tentu jadi pilihan yang solutif, bukan malah memperuncing keadaan.
Bukankah kita sudah banyak menerima contoh itu dari para pendahulu (salaf)
kita?
Sahabat Abdullah bin Mas’ud
Sahabat Abdullah bin Mas’ud dengan tegas menyatakan bahwa
seorang musafir, afdholnya ialah sholat qashar, tidak tamm (sempurna), jika ada
musafir yang sholatnya sempurna 4 rokaat, beliau mengatakan itu adalah mukholafatul-aula
[مخالفة الأولى] (menyelisih pendapat
yang utama).
Akan tetapi dengan rela ia meninggalkan pendapatnya dan ikut
sholat sempurna 4 rokaat di belakang Utsman bin Affan yang memandang berbeda
dengannya dalam masalah ini. lalu Ibnu Mas’ud ditanya: “kau mengkritik Utsman,
tapi kenapa kau mnegikutinya sholat 4 rokaat?”. Ibn Mas’ud menjawab: [الخلاف شر] “berbeda itu buruk!”.[3]
Karena tahu, bahwa jika ia menonjolkan perbedaan itu depan
umum yang tidak semuanya paham masalah tersebut, Ibnu Mas’ud memilih untuk
tetap mengikuti Utsman walaupun itu menyelisih pandangannya sendiri.
Imam Malik bin Anas
Tentu juga kita tahu cerita tentang Imam Malik yang ditawari
oleh Khalifah Al-Manshur untuk menjadikan bukunya “Al-Muwatho’” sebagai kitab
Negara yang menjadi pegangan hukum bagi rakyatnya. Namun Imam malik menolak
langusng tawaran itu:
يا أمير المؤمنين لا تفعل هذا
فإن الناس قد سبقت
إليهم أقاويل ، وسمعوا
أحاديث ، ورووا روايات ، وأخذ
كل قوم بما سبق
إليهم ،
“wahai Amirul-mikminin, jangan lakukan itu! Orang-orang
sudah terbiasa dengan pendapat-pendapat yang mereka dengar sebelumnya, mereka
telah mendengar hadits-hadits, mereka juga telah melihat periwayatan, dan
setiap kaum telah melakukan ibadah sesuai pendapat yang mereka ambil
sebelumnya” [4]
Imam Malik tidak memaksakan itu karena khawatir nantinya
akan terjadi perpecahan kalau nantinya penduduk dipaksa untuk mengikuti Imam
Malik sedangkan mereka telah beribadah sesuai pendapat ulama yang mereka ikuti
sebelumnya.
Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i
Kita juga tahu secara detail bagaiman Imam Syafi’i
meninggalkan qunut subuh ketika menjadi Imam untuk para pengikut Imam Abu
Hanifah yang tidak melihat adanya kesunahan qunut dalam sholat subuh, di masjid
dekat makam Imam Abu Hanifah.
Padahal Imam Syafi’i-lah pelopor qunut subuh dan
mnejadikannya sunnah muakkad dalam sholat subuh yang jika meninggalkannya, maka
sunnah diganti dengan sujud sahwi. Tapi beliau rela meninggalkan itu, karena
tahu dimana ia saat itu.
Imam Ahmad bin Hanbal
Kita juga tahu betul bahwa Imam Ahmad bin Hanbal punya
pendapat yang mengatakan bahwa orang mimisan, yang keluar darah dari hidungnya
itu batal wudhunya, sama seperti orang yang berbekam.
Akan tetapi ketika ia ditanya: “bagaimana jika imam yang
sedang mengimai dan anda dalam barisan makmum, lalu ia keluar darah (luka) dan
tidak berwudhu lagi, apakah anda tetap sholat di belakangnya?”, Imam Ahmad
menjawab:
كيف لا أصلي خلف
الامام مالك وسعيد بن
المسيب
“bagaimana mungkin aku tidak mau sholat di belakang Imam
Malik dan Sa’id bin Al-musayyib?”[5]
Indikasinya bahwa Imam Malik dan Ima Sa’id bin Al-Musayyib
berbeda pandangan dengan Imam Ahmad dalam Masalah orang yang keluar darah dari
tubuh, apakah batal wudhu atau tidak? tapi Imam Ahmad tidak menyalahkan mereka
dan justru tetap mengikuti sholat di belakangnya. Hebat bukan?
Membiarkan Yang Lain Melakukan Keharaman
Mungkin akan dikatakan: “Bagaimana bisa membiarkan mereka
mengerjakan yang haram?”. Perkataan seperti, atau lebih tepatnya pertanyaan
seperti wajar ditanyakan, jika kita meyakini keharaman sesuatu, sedangkan yang
lain tidak dan mengerjakan.
Tapi ini menjadi pertanyaan balik, “haram menurut siapa?”,
“apakah semua ulama sepakat keharamannya?”.
Dalam masalah ini, ada kaidah fiqih yang mana ulama memegang
itu demi tidak terjadi perkara saling menyalahkan satu sama lain. Yaitu:
لا ينكر المختلف فيه
وإنما ينكر المجمع عليه
“Tidak boleh menginkari perkara yang (keharamannya) masih
diperdebatkan, tapi (harus) menginkari perkara yang (keharamannya) sudah
disepakati”[6]
Ini dijelaskan secara gamblang oleh Imam Al-Suyuthi dalam
kitabnya yang memang ditulis untuk membahasa kaidah-kaidah fiqih, Al-Asybah wa
Al-Nazhoir, bahwa kita tidak bisa seenaknya menyalahkan orang lain yang
melakukan sebuah perkara yang haramnya masih diperdebatkan. Mungkin saja, ia
berpegang dengan pendapat yan tidak mengharamkan itu, berbeda dengan apa yang kita
pegang.
Akan tetapi jika keharaman sesuatu itu sudah disepakati,
seperti haramnya zina, mencuri, korupsi, riba, meninggalkan sholat, dan
sejenisnya, maka tidak ada kata kompromi lagi. Kalau dia sudah disepakati
haram, sudah tidak ada lagi toleransi untuk mereka yang mau melakukannya.
Di sini ulama fiqih sangat memperhatikan keberlangsungan
hidup harmonis antar sesama, dengan tidak menyalahkan siapa yang berbeda dengan
apa yang kita yakini, selama memang apa yang diyakininya itu bersandar kepada
pendapat ulama lain yang juga mutamad.
Wallahu a’lam
[1] Al-Muwafaqat 5/122
[2] Al-Asybah wa Al-Nazhoir li Al-Subki 1/111
[3] Fathul-Baari 2/564
[4] Hujjatullah Al-Balighoh 1/307
[5] Abad Al-Ikhtilaf fi Al-Islam 117
[6] Al-Asybah wa Al-Nazhoir li Al-Suyuthi 158
Tidak ada komentar:
Posting Komentar