Seperti memakaikan sepatu dengan ukuran kaki sendiri untuk
kaki orang lain. Dan sepeti juga memaksa orang lain yang berbeda bentuk tubuh
dan besarnya untuk memakai baju dengan ukuran badannya sendiri. Ya, kira-kira
seperti itu perilaku aneh yang dilakukan oleh para pengkritik madzhab fiqih
belakangan ini.
Mereka sering kali mengkritik pendapat-pendapat madzhab
fiqih yang berbeda dengan pendapatnya, bahkan sampai mengatakan bahwa ulama
mazhab telah keliru dalam mengambil hadits sebagai dalil, karena berdalil
dengan hadits dhaif. Padahal boleh jadi yang dibilang dhaif itu cuma dhaif
menurut versi dirinya sendiri.
Perbedaan dalam ranah hukum fiqih sesungguhnya bukan sesuatu
yang berbahaya, karena memang perbedaan itu ada dan bukan diada-adakan.
Keberadaan yang merupakan sebuah keniscayaan.
Sayangnya para pengkritik itu tidak tahu atau mungkin tidak
mau tahu dengan apa yang menjadi dasar manhaj (metode) pengambilan hukum
(istinbath). Yang mereka tahu hanya satu metode saja, yaitu bahwa kebenaran
hukum itu semata-mata berdasarkan hadits yang shahih. Sedangkan yang tidak
sejalan dengan hadits shahih ini, maka dianggap telah menyalahi sunnah. Terlalu
sederhana.
Padahal kalau saja mereka pernah belajar ilmu metodologi
istimbath hukum, tentunya tidak sesederhana itu duduk masalahnya.
Parahnya lagi mereka sering mengklaim bahwa hanya metode
mereka itu saja satu-satunya medote yang benar, sedangkan metode yang lain akan
selalu diposisikan sebagai metode yang salah, keliru dan sesat. Seolah-olah
hanya mereka saja yang berilmu dan yang lain itu jahil, bodoh dan awam.
Memang agak parah cara pemahaman seperti ini.
Modal Pengkritik
Seseorang yang ingin mengkritik, apapun ranah keilmuannya,
mestinya mengerti dulu metodologi yang digunakan. Minimal mengetahui dulu apa
dasar pengambilan hukum dan konsepnya.
Seorang kritikus tidak boleh hanya mengenal metodenya
sendiri. Dia juga dituntut untuk benar-benar paham metode dan konsep yang
dipakai, agar kritiknya menjadi objektif dan tidak terkesan asal kritik.
Kalau tidak paham konsep yang dipakai oleh lawan bicaranya,
tentu bukan kritikus namanya. Dalam hal ini dia hanya menjadi penyimak yang
salah kamar. Jadi mestinya yang dia kerjakan cukup hanya menyimak saja, tapi
perlu mengkritik.
Dalam masalah hukum fiqih khususnya, sebelum seseorang
mengkritik pendapat salah satu madzhab tertentu, dia harus pahami dulu metode
yang dipakai oleh madzhab tersebut. Ketahui, pahami, pelajari dan teliti konsep
pengambilan hukumnya.
Jangan hanya karena belajarnya satu metode, dan mengira
bahwa hanya metode itu yang shahih dan yang lain yang tidak bermetode seperti
itu dikritik dan dianggap keliru dalam mengambil hukum. Tidak seperti itu.
Melihat ada ayat yang jelas-jelas mengandung makna bla bla
bla, menurutnya, lalu ada madzhab yang mengambil hukum berbeda dengan kandungan
ayat yang ia pahami. Jangan dulu kritik, lihat dulu bagaimana konsep
pengambilan hukum madzhab tersebut terhadap ayat Al-Quran.
Boleh saja suatu suatu hadits itu berderajat shahih, tapi
bila ada madzhab tertentu yang pendapatnya bertentangan dengan zahir hadits
tersebut, tidak boleh langsung dituduh sebagai mukhalifussunah (menyelisih sunnah).
Tidak demikian ketentuanny.
Kita wajib mempelajari dan melihat dulu, apa kira-kira
konsep madzhab tersebut dalam mengambil hukum dari sebuah hadits. Apa hanya
sanadnya yang shahih ataukah punya perhitungan lain?
Pengambilan Hukum dari Ayat
Dalam pengambilan ayat misalnya, ternyata kedua madzhab
ushul-fiqh di kalangan ahlu-sunnah berbeda masing-masing. Madzhab Mutakallimun,
yang merupakan madzhab ushul-nya jumhur madzhab fiqih (Al-Malikiyah,
Al-Syafi’iyyah, Al-Hanabilah) itu punya konsep yang berbeda dengan madzhab
Al-Fuqaha’, madzhab ushul-nya Al-Hanafiyah.
Dalam hal al-‘aam wa al-khash (ayat umum dan ayat khusus)
contohnya. Jumhur pada posisi bahwa segala ayat dalam Al-Quran yang mengandung
makna ‘aam (umum), harus ditangguhkan terlebih dahulu dan dicari apakah ada
ayat khash (khusus) dalam masalah ini?
Kalau ada ayat khash-nya, maka hukum yang terkandung dalam
ayat umum itu dibawa ke dalam ayat khusus. Jadi ayat khusus yang dijadikan
pengambilan hukum, bukan ayat umum.
Berbeda dengan madzhab Al-fuqaha’ (Al-Hanafiyah), mereka
tidak melihat apakah ayat itu umum atau khusus. Mereka melihat waktu turunnya
ayat tersebut, mana yang turun duluan dan mana yang belakangan.
Jadi konsepnya, ayat yang turun terakhir itulah yang menjadi
hujjah dan ayat yang turun lebih awal, kandungan hukumnya digiring ke ayat yang
turun terakhir itu, seperti ditutup oleh ayat yang turun terakhit itu, walaupun
ayatnya umum.
Kedua konsep di atas adalah konsep yang amat kuat dan sah
dalam metodologi istimbath hukum yang telah diakui oleh seluruh ulama sepanjang
zaman. Kita tentu tidak dalam posisi untuk menjatuhkan salah satunya.
Sebaliknya, kita harus paham, mengerti dan menghormati keduanya sekaligus.
Nasikh dan Mansukh
Belum lagi ada yang disebut dengan istilah Nasikh wa
Al-Mansukh (ayat yang menghapus dan dihapus). Dan tidak sedikit dalam litelatur
fiqih kita temukan para ulama berselisih paham dalam menentukan mana yang
nasikh (menghapus) dan mana yang di-mansukh (dihapus).
Konsep pengambilan hukum dari Al-Quran saja sudah berbeda,
ya wajar kalau terus kemudian muncul perbedaan pendapat. Ini contoh kecil saja.
Ternyata kalau kita teliti lebih dalam, konsep pengambilan hukum dari Al-Quran
yang dipakai oleh para ahli ushul itu sangat luas pembahasannya. Seperti
menentukan mana yang disebut nash? Lalu bagaimana dengan istilah dzahirunnash?
Apa pula yang dikatakan ihtimal?
Pengambilan Hukum dari Hadits
Metodologi istimbath hukum dari hadits lebih rumit lagi.
Bukan hanya madzhab mutakalimun dan madzhab al-fuqaha yang berselisih konsep
dalam mengambil hukum dari hadits. Masing-masing madzhab fiqih, yaitu mazhab
Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Al-Syafi’iyyah, dan Al-Hanabilah punya konsep yang
berbeda-beda dalam hadits untuk dijadikan sandaran dalil hukum.
1. Mazhab Al-Hanafiyah
Dalam prakteknya mazhab Al-Hanafiyah tidak mengambil hadits
kecuali itu bila hadits itu mutawatir. Sedangkan hadits Ahad, itu diperlakukan
berbeda oleh madzhab ini.
Sebelum menerima hadits ahad, mereka teliti dulu, bagaimana
perawi haditsnya? Kalau perawi haditsnya ternyata menyelisih apa yang
diriwayatkan, hadits ini tidak lolos fit and proper test dalam madzhab
Al-Hanafiyah untuk dijadikan dalil hukum.
Bukan hanya itu, kalau perawinya tidak menyelisih, hadits
ahad ini tidak langsung diterima. Masih ada tes lagi yang diujikan, yaitu
apakah kandungannya menyelisih kandungan nash qath’iy (ayat Quran dan hadits
Mutawatir) atau tidak?
Kalau itu menyelisihi, maka –ma’dzirotan wa afwan-, hadits
itu tidak diterima, walaupun hadits itu diangap shahih menurut kalangan lain.
Nash-nash Qath’iy yang dipakai jika begitu ceritanya. Begitu ketatnya
Al-Hanafiyah dalam hadits ahad.
Jadi hadits ahad yang bisa diterima oleh madzhab Al-Hanfiyah
ialah hadits yang perawinya tidak menyelisih dan hadits itu tidak bententangan
dengan nash-nash yang qath’iy.
2. Mazhab Al-Malikiyah
Yang paling menonjol dalam madzhab Imam Malik bin Anas ini
ialah pengaruh ‘amalu ahlil Madinah (perilaku penduduk Madinah). Hadits ahad
dalam madzhab ini tidak asal langsung diterima, walaupun derajatnya shahih
menurut para ulama hadits.
Hadits ahad itu mesti melewati tes terlebih dahulu, yaitu
dikomparasi dengan ‘amalu ahli Madinah. Kalau kandungan hadits ahad ini
bertentangan dengan perilaku penduduk madinah, maka yang dipakai dan diakui
dalam madzhab ini ialah bukan hadits ahad itu, melainkan perilaku penduduk
Madinah.
Menurut madzhab ini, ‘amalu ahlil Madinah itu diriwayatkan
oleh jumlah orang yang banyak sekali, yaitu mereka yang menjadi penduduk kota
Madinah. Sedangkan hadits ahad bisa saja hanya diriwayatkan oleh satu orang di
setiap tingkatan sanad. Lalu mana yang lebih kuat, satu atau satu negeri?
3. MAzab Asy-Syafi’iyyah
Madzhab Asy-Syafi'iyah memang sering sekali ‘dituduh’ selalu
menggunakan hadits dhoif dalam pengambilan hukumnya. Seolah-olah Al-Imam
Asy-Syafi'i dan seluruh ulama di dalamnya dianggap goblok dan tolol dalam ilmu
krtik hadits, sehingga masih saja menggunakan hadits dhaif.
Tetapi apa benar tuduhan semacam ini? Mungkinkah kemampuan
ilmu hadits ulama sekelas mujtahid mutlak mustaqil semacam Al-Imam Asy-Syafi'i
kalah oleh anak-anak yang baru kemarin sore mengaji hadits?
Yang jadi pertanyaan balik untuk pengkritik madzhab ini
ialah : kalau memang hadits yang dipakai oleh mazhab Asy-Syafi'i itu dianggap
dhaif, siapa yang mendhaifkan? Dhoif menurut siapa?
Setiap hadits itu pasti terdiri dari banyak jalur
periwayatan. Memang bisa saja suatu hadits menjadi dhoif bila dilihat dari satu
jalur. Sedangkan jika meniliti dari jalur berbeda yang digunakan oleh madzhab
Imam Syafi’i ini ternyata haditsnya dalam derajat yang shahih.
Lihat saja kepada musnad Imam Syafi’i, jalurnya sanadnya
banyak yang meyakinkan, bahkan sangat amat meyakinkan sekali keshahihnya. Tapi
kalau melihat dari jalur imam hadits lainnya memang bisa saja jadi berbeda lagi
statusnya. Dan jalur riwayat Imam Syafi’i ini yang dijadikan sebagai
hujjah-hujjah-nya Al-Syafi’iyyah.
Diakui atau tidak, label status shahih menurut para ahli
hadits pun berbeda, mereka masih berselisih dengan kriteria hadits shahih. Satu
hadits bisa saja punya 3 status sekaligus; shahih, hasan, dhaif. Tinggal kita
lihat siapa yang memberi status itu, imam hadits yang mana?
4. Al-Hanabilah
Ada juga beberapa kalangan yang mengkritik madzhab Imam
Ahmad ini dengan sebutan madzhab yang plin-plan, karena banyaknya riwayat qaul
yang muncul dalam satu masalah. bahkan dalam satu masalah, Imam Ahmad bisa
punya riwayat 8 sampai 10 fatwa.
Perlu dipahami, ini bukan karena Imam Ahmad tidak punya
konsep dalam hadits, bagaimana bisa dikatakan tidak punya konsep hadits padahal
beliau Imam Ahlu Hadits?
Ternyata memang Imam Ahmad semasa hidupnya tidak menulis
fatwa-fatwa fiqih, beliau lebih concern dengan periwayatan hadits. Dan beliau
pun melarang muridnya untuk menulis fatwanya ketika beliau hidup. Barulah
ketika beliau meninggal, murid-muridnya merasa penting untuk menuliskan
fatwa-fatwa Imam Ahmad.
Dan kita tahu dalam satu majlis, murid-murid itu tidak
berada satu pemahaman yang sama; karena perbedaan pemahaman itulah akhirnya
banyak riwayat Imam Ahmad yang berbeda-beda dalam satu masalah. terlebih lagi
para muridnya itu tidak menulis ketika Imam Ahmad hidup, karena memang
dilarang, mereka menulis setelah wafatnya sang Imam dengan kekuatan ingatan
mereka ketika duduk di majlis Imam Ahmad. Akhirnya muncul banyak riwayat yang
dinisbatkan kepada sang Imam dari murid-muridnya yang berbeda.
Kesimpulan
Sebenarnya masih banyak konsep-konsep pengambilan hukum oleh
para Imam madzhab fiqih, bukan hanya dari Al-Quran dan Sunnah. Hanya saja kedua
konsep yang disebutkan di atas itu yang sering menjadi bahan dan objek kritikan
terhadap para imam-imam mulia itu. Dan sepertinya menjadi penting untuk
diluruskan.
Jadi, kalau memang ingin menjadi pengkritik madzhab fiqih,
maka pahami dulu konsep pengambilan hukum masing-masing madzhab, sebelum
mengkritik. bukan hanya paham konsep sendiri yang belum tentu diakui oleh ulama
ushul.
Jangan paksakan sepatu anda untuk kaki orang lain yang beda
ukuran!
Jadi, itu pentingnya belajar Ushul Al-Madzahib.
Wallahu a’lam
Ahmad Zarkasih, Lc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar