Senin, 10 Maret 2014

Pengkritik Madzhab Fiqh

Seperti memakaikan sepatu dengan ukuran kaki sendiri untuk kaki orang lain. Dan sepeti juga memaksa orang lain yang berbeda bentuk tubuh dan besarnya untuk memakai baju dengan ukuran badannya sendiri. Ya, kira-kira seperti itu perilaku aneh yang dilakukan oleh para pengkritik madzhab fiqih belakangan ini.

Mereka sering kali mengkritik pendapat-pendapat madzhab fiqih yang berbeda dengan pendapatnya, bahkan sampai mengatakan bahwa ulama mazhab telah keliru dalam mengambil hadits sebagai dalil, karena berdalil dengan hadits dhaif. Padahal boleh jadi yang dibilang dhaif itu cuma dhaif menurut versi dirinya sendiri.

Perbedaan dalam ranah hukum fiqih sesungguhnya bukan sesuatu yang berbahaya, karena memang perbedaan itu ada dan bukan diada-adakan. Keberadaan yang merupakan sebuah keniscayaan.

Sayangnya para pengkritik itu tidak tahu atau mungkin tidak mau tahu dengan apa yang menjadi dasar manhaj (metode) pengambilan hukum (istinbath). Yang mereka tahu hanya satu metode saja, yaitu bahwa kebenaran hukum itu semata-mata berdasarkan hadits yang shahih. Sedangkan yang tidak sejalan dengan hadits shahih ini, maka dianggap telah menyalahi sunnah. Terlalu sederhana.

Padahal kalau saja mereka pernah belajar ilmu metodologi istimbath hukum, tentunya tidak sesederhana itu duduk masalahnya.

Parahnya lagi mereka sering mengklaim bahwa hanya metode mereka itu saja satu-satunya medote yang benar, sedangkan metode yang lain akan selalu diposisikan sebagai metode yang salah, keliru dan sesat. Seolah-olah hanya mereka saja yang berilmu dan yang lain itu jahil, bodoh dan awam.

Memang agak parah cara pemahaman seperti ini.

Modal Pengkritik

Seseorang yang ingin mengkritik, apapun ranah keilmuannya, mestinya mengerti dulu metodologi yang digunakan. Minimal mengetahui dulu apa dasar pengambilan hukum dan konsepnya.

Seorang kritikus tidak boleh hanya mengenal metodenya sendiri. Dia juga dituntut untuk benar-benar paham metode dan konsep yang dipakai, agar kritiknya menjadi objektif dan tidak terkesan asal kritik.

Kalau tidak paham konsep yang dipakai oleh lawan bicaranya, tentu bukan kritikus namanya. Dalam hal ini dia hanya menjadi penyimak yang salah kamar. Jadi mestinya yang dia kerjakan cukup hanya menyimak saja, tapi perlu mengkritik.

Dalam masalah hukum fiqih khususnya, sebelum seseorang mengkritik pendapat salah satu madzhab tertentu, dia harus pahami dulu metode yang dipakai oleh madzhab tersebut. Ketahui, pahami, pelajari dan teliti konsep pengambilan hukumnya.

Jangan hanya karena belajarnya satu metode, dan mengira bahwa hanya metode itu yang shahih dan yang lain yang tidak bermetode seperti itu dikritik dan dianggap keliru dalam mengambil hukum. Tidak seperti itu.

Melihat ada ayat yang jelas-jelas mengandung makna bla bla bla, menurutnya, lalu ada madzhab yang mengambil hukum berbeda dengan kandungan ayat yang ia pahami. Jangan dulu kritik, lihat dulu bagaimana konsep pengambilan hukum madzhab tersebut terhadap ayat Al-Quran.

Boleh saja suatu suatu hadits itu berderajat shahih, tapi bila ada madzhab tertentu yang pendapatnya bertentangan dengan zahir hadits tersebut, tidak boleh langsung dituduh sebagai mukhalifussunah (menyelisih sunnah). Tidak demikian ketentuanny.

Kita wajib mempelajari dan melihat dulu, apa kira-kira konsep madzhab tersebut dalam mengambil hukum dari sebuah hadits. Apa hanya sanadnya yang shahih ataukah punya perhitungan lain?

Pengambilan Hukum dari Ayat

Dalam pengambilan ayat misalnya, ternyata kedua madzhab ushul-fiqh di kalangan ahlu-sunnah berbeda masing-masing. Madzhab Mutakallimun, yang merupakan madzhab ushul-nya jumhur madzhab fiqih (Al-Malikiyah, Al-Syafi’iyyah, Al-Hanabilah) itu punya konsep yang berbeda dengan madzhab Al-Fuqaha’, madzhab ushul-nya Al-Hanafiyah.

Dalam hal al-‘aam wa al-khash (ayat umum dan ayat khusus) contohnya. Jumhur pada posisi bahwa segala ayat dalam Al-Quran yang mengandung makna ‘aam (umum), harus ditangguhkan terlebih dahulu dan dicari apakah ada ayat khash (khusus) dalam masalah ini?

Kalau ada ayat khash-nya, maka hukum yang terkandung dalam ayat umum itu dibawa ke dalam ayat khusus. Jadi ayat khusus yang dijadikan pengambilan hukum, bukan ayat umum.

Berbeda dengan madzhab Al-fuqaha’ (Al-Hanafiyah), mereka tidak melihat apakah ayat itu umum atau khusus. Mereka melihat waktu turunnya ayat tersebut, mana yang turun duluan dan mana yang belakangan.

Jadi konsepnya, ayat yang turun terakhir itulah yang menjadi hujjah dan ayat yang turun lebih awal, kandungan hukumnya digiring ke ayat yang turun terakhir itu, seperti ditutup oleh ayat yang turun terakhit itu, walaupun ayatnya umum.

Kedua konsep di atas adalah konsep yang amat kuat dan sah dalam metodologi istimbath hukum yang telah diakui oleh seluruh ulama sepanjang zaman. Kita tentu tidak dalam posisi untuk menjatuhkan salah satunya. Sebaliknya, kita harus paham, mengerti dan menghormati keduanya sekaligus.

Nasikh dan Mansukh

Belum lagi ada yang disebut dengan istilah Nasikh wa Al-Mansukh (ayat yang menghapus dan dihapus). Dan tidak sedikit dalam litelatur fiqih kita temukan para ulama berselisih paham dalam menentukan mana yang nasikh (menghapus) dan mana yang di-mansukh (dihapus).

Konsep pengambilan hukum dari Al-Quran saja sudah berbeda, ya wajar kalau terus kemudian muncul perbedaan pendapat. Ini contoh kecil saja. Ternyata kalau kita teliti lebih dalam, konsep pengambilan hukum dari Al-Quran yang dipakai oleh para ahli ushul itu sangat luas pembahasannya. Seperti menentukan mana yang disebut nash? Lalu bagaimana dengan istilah dzahirunnash? Apa pula yang dikatakan ihtimal?

Pengambilan Hukum dari Hadits

Metodologi istimbath hukum dari hadits lebih rumit lagi. Bukan hanya madzhab mutakalimun dan madzhab al-fuqaha yang berselisih konsep dalam mengambil hukum dari hadits. Masing-masing madzhab fiqih, yaitu mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Al-Syafi’iyyah, dan Al-Hanabilah punya konsep yang berbeda-beda dalam hadits untuk dijadikan sandaran dalil hukum.

1. Mazhab Al-Hanafiyah

Dalam prakteknya mazhab Al-Hanafiyah tidak mengambil hadits kecuali itu bila hadits itu mutawatir. Sedangkan hadits Ahad, itu diperlakukan berbeda oleh madzhab ini.

Sebelum menerima hadits ahad, mereka teliti dulu, bagaimana perawi haditsnya? Kalau perawi haditsnya ternyata menyelisih apa yang diriwayatkan, hadits ini tidak lolos fit and proper test dalam madzhab Al-Hanafiyah untuk dijadikan dalil hukum. 

Bukan hanya itu, kalau perawinya tidak menyelisih, hadits ahad ini tidak langsung diterima. Masih ada tes lagi yang diujikan, yaitu apakah kandungannya menyelisih kandungan nash qath’iy (ayat Quran dan hadits Mutawatir) atau tidak?

Kalau itu menyelisihi, maka –ma’dzirotan wa afwan-, hadits itu tidak diterima, walaupun hadits itu diangap shahih menurut kalangan lain. Nash-nash Qath’iy yang dipakai jika begitu ceritanya. Begitu ketatnya Al-Hanafiyah dalam hadits ahad.

Jadi hadits ahad yang bisa diterima oleh madzhab Al-Hanfiyah ialah hadits yang perawinya tidak menyelisih dan hadits itu tidak bententangan dengan nash-nash yang qath’iy.

2. Mazhab Al-Malikiyah

Yang paling menonjol dalam madzhab Imam Malik bin Anas ini ialah pengaruh ‘amalu ahlil Madinah (perilaku penduduk Madinah). Hadits ahad dalam madzhab ini tidak asal langsung diterima, walaupun derajatnya shahih menurut para ulama hadits.

Hadits ahad itu mesti melewati tes terlebih dahulu, yaitu dikomparasi dengan ‘amalu ahli Madinah. Kalau kandungan hadits ahad ini bertentangan dengan perilaku penduduk madinah, maka yang dipakai dan diakui dalam madzhab ini ialah bukan hadits ahad itu, melainkan perilaku penduduk Madinah.

Menurut madzhab ini, ‘amalu ahlil Madinah itu diriwayatkan oleh jumlah orang yang banyak sekali, yaitu mereka yang menjadi penduduk kota Madinah. Sedangkan hadits ahad bisa saja hanya diriwayatkan oleh satu orang di setiap tingkatan sanad. Lalu mana yang lebih kuat, satu atau satu negeri?

3. MAzab Asy-Syafi’iyyah

Madzhab Asy-Syafi'iyah memang sering sekali ‘dituduh’ selalu menggunakan hadits dhoif dalam pengambilan hukumnya. Seolah-olah Al-Imam Asy-Syafi'i dan seluruh ulama di dalamnya dianggap goblok dan tolol dalam ilmu krtik hadits, sehingga masih saja menggunakan hadits dhaif.

Tetapi apa benar tuduhan semacam ini? Mungkinkah kemampuan ilmu hadits ulama sekelas mujtahid mutlak mustaqil semacam Al-Imam Asy-Syafi'i kalah oleh anak-anak yang baru kemarin sore mengaji hadits?

Yang jadi pertanyaan balik untuk pengkritik madzhab ini ialah : kalau memang hadits yang dipakai oleh mazhab Asy-Syafi'i itu dianggap dhaif, siapa yang mendhaifkan? Dhoif menurut siapa?

Setiap hadits itu pasti terdiri dari banyak jalur periwayatan. Memang bisa saja suatu hadits menjadi dhoif bila dilihat dari satu jalur. Sedangkan jika meniliti dari jalur berbeda yang digunakan oleh madzhab Imam Syafi’i ini ternyata haditsnya dalam derajat yang shahih.

Lihat saja kepada musnad Imam Syafi’i, jalurnya sanadnya banyak yang meyakinkan, bahkan sangat amat meyakinkan sekali keshahihnya. Tapi kalau melihat dari jalur imam hadits lainnya memang bisa saja jadi berbeda lagi statusnya. Dan jalur riwayat Imam Syafi’i ini yang dijadikan sebagai hujjah-hujjah-nya Al-Syafi’iyyah.

Diakui atau tidak, label status shahih menurut para ahli hadits pun berbeda, mereka masih berselisih dengan kriteria hadits shahih. Satu hadits bisa saja punya 3 status sekaligus; shahih, hasan, dhaif. Tinggal kita lihat siapa yang memberi status itu, imam hadits yang mana?

4. Al-Hanabilah

Ada juga beberapa kalangan yang mengkritik madzhab Imam Ahmad ini dengan sebutan madzhab yang plin-plan, karena banyaknya riwayat qaul yang muncul dalam satu masalah. bahkan dalam satu masalah, Imam Ahmad bisa punya riwayat 8 sampai 10 fatwa.

Perlu dipahami, ini bukan karena Imam Ahmad tidak punya konsep dalam hadits, bagaimana bisa dikatakan tidak punya konsep hadits padahal beliau Imam Ahlu Hadits?

Ternyata memang Imam Ahmad semasa hidupnya tidak menulis fatwa-fatwa fiqih, beliau lebih concern dengan periwayatan hadits. Dan beliau pun melarang muridnya untuk menulis fatwanya ketika beliau hidup. Barulah ketika beliau meninggal, murid-muridnya merasa penting untuk menuliskan fatwa-fatwa Imam Ahmad.

Dan kita tahu dalam satu majlis, murid-murid itu tidak berada satu pemahaman yang sama; karena perbedaan pemahaman itulah akhirnya banyak riwayat Imam Ahmad yang berbeda-beda dalam satu masalah. terlebih lagi para muridnya itu tidak menulis ketika Imam Ahmad hidup, karena memang dilarang, mereka menulis setelah wafatnya sang Imam dengan kekuatan ingatan mereka ketika duduk di majlis Imam Ahmad. Akhirnya muncul banyak riwayat yang dinisbatkan kepada sang Imam dari murid-muridnya yang berbeda.

Kesimpulan

Sebenarnya masih banyak konsep-konsep pengambilan hukum oleh para Imam madzhab fiqih, bukan hanya dari Al-Quran dan Sunnah. Hanya saja kedua konsep yang disebutkan di atas itu yang sering menjadi bahan dan objek kritikan terhadap para imam-imam mulia itu. Dan sepertinya menjadi penting untuk diluruskan.

Jadi, kalau memang ingin menjadi pengkritik madzhab fiqih, maka pahami dulu konsep pengambilan hukum masing-masing madzhab, sebelum mengkritik. bukan hanya paham konsep sendiri yang belum tentu diakui oleh ulama ushul.

Jangan paksakan sepatu anda untuk kaki orang lain yang beda ukuran!

Jadi, itu pentingnya belajar Ushul Al-Madzahib.

Wallahu a’lam


Ahmad Zarkasih, Lc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar