Kalau kita menggunakan gugel dan mesin pencari sejenis untuk
mencari sebuah artikel tentang hukum (fiqih) suatu masalah di internet,
pastilah kita akan banyak disajikan berbagai macam sumber yang kita sendiri
bingung untuk memilih baca yang mana.
Sepertinya Fiqih, Tapi Bukan
Tapi sayangnya dari sekian banyak artikel fiqih yang ada,
sebagian besar malah bukan artikel fiqih. Penulis lebih sering menyebutnya
dengan istilah “Seem like Fiqh, but its not”, kelihatannya seperti fiqih tapi
tidak.
karena banyak artikel yang berseliweran yang berhubungan
tentang itu bukan malah membahas dari segi fiqih dengan mengeluarkan
pendapat-pendapat ulama fiqih 4 madzhab atau selainnya, tapi yang ada justru
artikel penghakiman akan suatu masalah bahwa masalah ini haram, bid’ah atau
sejenisnya.
Tanpa menyertakan bagaimana istidlal hukum yang diambil dari
dalil yang ada. Malah hanya dengan satu hadits saja, sudah bisa dikenali hukum
suatu masalah tersebut, tanpa melihat bahwa ada ayat dan hadits yang
berhubungan dengan masalah tersebut.
Kalau ada penulis yang mengaku menulis fiqih seperti ini
dengan menghakimi bahwa A ini haram atau bidah dan sejenisnya, ini terdeteksi
bahwa ia tidak akrab dengan kitab-kitab fiqih dan kurang kenal dengan
litelatur- litelatur kajian fiqih.
Terlebih lagi bahwa memang bidah itu bukan termasuk hukum
taklif yang dikenal oleh para ulama fiqih. Ulama fiqih hanya mengenal hukum
taklif 5; Wajib, Sunnah, Haram, Makruh, dan Mubah. Dan 7 hukum Taklif menurut
kalangan Hanafiyah; Fardhu, Wajib, Sunnah, Haram, Makruh Karahah Tanzih, Makruh
Karahah Tahrim, dan Mubah.
Tidak ada yang namanya hukum bidah, dan kalau kita buka lagi
kitab-kitab klasik para ulama salaf yang memang benar-benar salaf, yaitu para
ulama fiqih 4 madzhab, kita tidak akan temukan adanya hukum “Bidah” yang menjadi
hukum suatu amal.
Karena memang fiqih ini bukan ilmu sembarang, yang asal bisa
disimpulkan hanya dengan hadits atau ayat tanpa tahu bagaimana cara
meng-istimbath dan ber-istidlal dengan metode yang memang ulama sudh sepakati.
Rasanya memang perlu untuk sedikit membahas tentang apa itu
ilmu fiqih, agar lebih paham dan jelas bahwa memang ilmu fiqih bukan asal
hadits, ilmu fiqih bukan asal ayat, ilmu fiqih bukan asal al-quran dan sunnah
kemudian langsung memvonis. Bukan seperti itu! Itu terlalu muda bagi para ulama
fiqih, karena memang tidak semudah itu.
Pengertian Ilmu Fiqih
Secara bahasa, fiqih itu faham, asal katanya [فقه] yang berarti faham dan
mengerti. secara istilah, kata fiqih didefinisikan oleh para ulama dengan
berbagai definisi yang berbeda-beda, walaupun sejatinya, ensensi yang dikandung
dalam definisi tersebut mempunyai arti yang sama.
Adapun definisi yang lebih mencakup ruang lingkup istilah
fiqih yang dikenal para ulama adalah :
الْعِلْمُ
بِالأْحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبُ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيلِيَّةِ
“Ilmu yang membahas hukum-hukum syariat bidang amaliyah
(perbuatan nyata) yang diambil (istimbath) dari dalil-dalil secara rinci,”
Penjelasan Definisi:
A. Ilmu :
Fiqih adalah sebuah cabang ilmu, yang tentunya bersifat
ilmiyah, logis dan memiliki obyek dan kaidah tertentu.
Sama sekali tidak ada hubungan dengan hal-hal yang tidak
mistis dan tidak bisa dipelajari secara ilmiah. Karena sejatinya fiqih itu
adalah sebuah ilmu dan bukan khayalan atau juga karangan-karangan asal.
B. Hukum-Hukum Syariat
Secara singkat, poin ini cukup menggambarkan bahwa memang
hukum yang dibahas dalam ilmu fiqih itu bukan hukum sembarang, akan tetapi
hukum syariat. Hukum syariat ialah hukum-hukum yang memang bersumber dari Allah
swt melalui kitab-Nya dan lisan Nabi-Nya saw.
C. Al-’Amaliyah
Yang dimaksud dengan al-’amaliah adalah bahwa hukum fiqih
itu terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik jasadiyah dan badaniyah, bukan yang bersifat ruh, perasaan,
atau wilayah kejiwaan lainnya.
Artinya, ilmu fiqih itu hanya membahas apa yang terlihat
oleh mata, adapun yang ada di balik hati seseorang, itu bukan wilayah kajian
fiqih sama sekali. Di poin ini juga menunjukkan urgensi ilmu fiqih itu sendiri,
karena memang ilmu ini mengurusi hukum-hukum amaliyah seorang muslim, maka seorang
muslim mau tidak mau harus tahu hukum pekerjaan yang dilakukannya.
Karena setiap hari seseorang itu berktifitas dan bekerja,
semua pekerjaan dan aktifitas itu tentu mempunyai bobot nilai ibadah, ilmu
fiqih masuk dalam ranah tersebut, untuk membimbing mana yang boleh dan mana
yang tidak boleh dilakukan, untuk membimbing mana yang harus dilakukan dan
diprioritaskan.
D. Diambil (Istimbath) Dari Dalil-Dalil Secara Rinci
ini poin yang membuat ilmu fiqih menjadi punya prestise
cukup tinggi, bahkan sangat tinggi. Dan di poin ini banyak orang yang tidak
mampu untuk menyanggupinya tapi dipaksakan, akhirnya fatwa hukum yang keluar
darinya terkesan aneh dan bahwa memang aneh.
Poin ini memberikan gambaran bahwa orang ahli fiqih haruslah
seorang yang cerdas, dan bukan yang hanya memahami dalil dari terjemahan belaka
kemudian memberanikan diri untuk berfatwa tanpa mengerti bagaimana caranya
beristimbath dan mengambil kesimpulan hukum dari sekian banyak dalil, bukan
hanya satu dalil.
Di dalam Al-Quran itu ada ribuan ayat yang masing-masing
punya kandungan hukum yang berbeda-beda, pun demikian bahwa hadits Nabi saw itu
jumlahnya ribuan. Lalu bagaimana menentukan sebuah hukum dari sekian banyak
ayat dan hadits tersebut?
Maka perlu adanya metode yang disepakati oleh para ulama,
dan semua teramngkum dalam sebuah ilmu yang namanya “ushul-Fiqh”. Ini yang
penulis sebut dengan istilah “Otaknya syariah”, karena bagaimanapun seorang
yang tida pernah mengenyam materi ushul-Fiqh sama sekali ia tidak akan mampu
untuk mengistimbath sebuah hukum.
Kalau hanya dengan satu dua ayat dan hadits, kemudian
menentukan hukum, itu bukan ahli fiqih namanya, karena memang fiqih tidak
sesimpel itu. Kalau hanya begitu, anak-anak yang baru bisa terjemah bahasa Arab
pun bisa.
Mana Ahli Fiqih dan Mana Yang Bukan
Imam Taqiyuddin Al-Subki dalam kitabnya “Al-Ibhaj” [ الإبهاج] mengatakan bahwa poin
[المكتسب] diistinbath
ini menjadi pembeda antar ahli fiqih dan yang bukan ahli fiqih. Poin ini
mengharuskan seseorang yang ingin menjadi seorang faqih untuk bisa melihat
secara detail dan komprehensif terhadap semua dalil yang ada baik itu Al-Quran
dan Sunnah, ini mengacu pada arti fiqih itu sendiri yang secara bahasa berarti
[الفهم الدقيق] “Al-Fahmu Al-Daqiq”
(pemahaman yang detail/mendalam).
Dengan pengetahuan yang komprehensif itu juga belum bisa
seseorang disebut dengan faqih kalau tidak bisa meng-Istinbath hukum dari
dali-dalil tersebut. Jadi selain tahu dalil yang banyak, dan bukan satu-satunya
hadits atau ayat, seorang faqih dituntut untuk bisa mengeluarkan kesimpulan
hukum dari dalil tersebut, tentu dengan metode dan rumusan yang benar yang
telah disepakati oleh kalangan ulama. Dan kapasitas itu semua tidak dimiliki
oleh semua orang melainkannya ia yang memang benar pakar dan ahli dalam bidang
fiqih.
Orang yang mengetahui kewajiban sholat dan zakat bukanlah
disebut sebagai ahli fiqih, karena kewajiban sholat dan zakat serta puasa,
mengetahuinya tidak perlu dengan mengerutkan dahi dan mengeluarkan otot kepala,
karena pengetahuan itu sudah sangat jelas dan mudah diketahui, karena dalilnya
jelas.
Tetapi ada teks-teks syariah baik itu Al-Quran atau Sunnah
yang sama sekali tidak bisa dipahami hanya dengan terjemahan belaka, tapi perlu
ilmu khusus untuk mengetahui seluk beluk teks syariah tersebut, yaitu metode
yang telah ada dalam sebuah ilmu Ushul-Fiqh.
Karena itu ulama tidak memasukkan kewajiban sholat, puasa,
zakat, serta haji kedalam perkara Fiqih, karena semua orang baik pandai atau
tidak dalam syariah, mereka tahu itu semua. Yang disebut fiqih ialah hukum yang
memang butuh ijtihad untuk mengetahui dengan alat ijtihad yang sudah tersedia
dalam kitab Ushul-Fiqh. (Al-Ibhaaj 1/37, Nihayah Al-Suul Syarh Minhaj Al-Wusul
1/13)
Contoh:
Al-‘Aam wa Al-khoos
Dalam surat Al-Baqarah 234, seorang wanita yang ditinggal
mati suaminya, iddahnya adalah 4 bulan sepuluh hari:
“orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber'iddah) empat bulan sepuluh hari”. (Al-Baqarah 234)
Kemudian dalam ayat lain dijelaskan bahwa iddahnya wanita
yang hamil itu sampai melahirkan:
“dan perempuan yang sedang mengandung, masa (iddahnya) itu
sampai mereka melahirkan” (Al-Thalaq 4)
Lalu timbul pertanyaan, bagaimana jika seorang yang sedang hamil
kemudian suaminya meninggal. Berapa lama kah iddahnya? Apakah iddahnya
mengikuti iddah hamil atau iddahnya wanita yang ditinggal mati suami?
Nah, dalam Ushul-Fiqh ada istilah [العام والخاص]
“Al-‘Aam wa Al-Khoos” (teks Umum dan teks khusus), dalam hal ini, jika ada dua
teks syariah seperti ini yang terkesan bertabrakan dan tidak bertemu titik
kesamaannya, maka diteliti bisa jadi yang satu adalah teks khusus dan satu teks
umum.
Jika begitu, ulama membawa teks umum kedalam kandungan teks
khusus. Dalam hal ini, ulama mengatakan bahwa wanita yang ditinggal mati oleh
suaminya itu adalah teks umum, dan dikhususkan jika keadaannya hamil. Maka
wanita yang ditinggal mati suami dan dia dalam keadaan hamil, iddahnya itu
iddah hamil, yaitu sampai melahirkan.
Al-Naasikh wa Al-Mansukh
Dalam ilmu ushul juga ada istilah [النسخ] Al-Naskh , yang berarti hapus, atau
penghapusan. Seorang faqih harus tahu bahwa dalam teks-teks syariah ada teks
yang sudah di-Mansukh (dihapus) hukumnya, dan ada teks yang menjadi Nasikh (penghapus).
Maka dalam hal ini kandungan hukum Naasikh-lah yang digunakan.
Contohnya dalam masalah Nabi SAW pernah melarang menyimpan
daging hewan udhiyah lebih dari tiga hari. Lengkapnya teks hadits itu sebagai
berikut :
مَنْ ضَحَّى مِنْكُمْ فَلاَ
يُصْبِحَنَّ بَعْدَ ثَالِثَةٍ وَفِى
بَيْتِهِ مِنْهُ شَىْءٌ
“Siapa di antara kalian berqurban, maka janganlah ada daging
qurban yang masih tersisa dalam rumahnya setelah hari ketiga”. (HR. Bukhari)
Orang yang tidak paham fiqih akan langsung menyimpulkan bahwa
haram menyimpan daging kurban lebih dar 3 hari. Tapi sayangnya itu keliru,
sampai saat ini tidak ada ulama yang mengharamkan itu, karena memang nyatanya
kandungan hukum tersebut telah dinaskh oleh dalil lain.
Tetapi kalau kita lebih teliti, sebenarnya hadits di atas
masih ada terusannya, dan tidak boleh dipahami sepotong-sepotong. Terusan dari
hadits di atas adalah :
فَلَمَّا
كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
نَفْعَلُ كَمَا فَعَلْنَا عَامَ
الْمَاضِى قَالَ كُلُوا
وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا فَإِنَّ ذَلِكَ الْعَامَ كَانَ
بِالنَّاسِ جَهْدٌ فَأَرَدْتُ أَنْ
تُعِينُوا فِيهَا Ketika datang tahun
berikutnya, para sahabat mengatakan, ”Wahai Rasulullah, apakah kami harus
melakukan sebagaimana tahun lalu?” Maka beliau menjawab, ”(Adapun sekarang),
makanlah sebagian, sebagian lagi berikan kepada orang lain dan sebagian lagi
simpanlah. Pada tahun lalu masyarakat sedang mengalami paceklik sehingga aku
berkeinginan supaya kalian membantu mereka dalam hal itu.”(HR. Bukhari)
Jadi semakin jelas bahwa ‘illat kenapa Nabi SAW pada tahun
sebelumnya melarang umat Islam menyimpan daging hewan udhiyah lebih dari tiga
hari. Ternyata saat itu terjadi paceklik dan kelaparan dimana-mana. Beliau
ingin para shahabat berbagi daging itu dengan orang-orang, maka beliau melarang
mereka menyimpan daging, maksudnya agar daging-daging itu segera
didistribusikan kepada orang-orang yang membutuhkan.
Dan ini memang tugas seorang faqih meneliti itu semua, jadi
memang seorang faqih itu bukan derajat sembarangan.
Fahwa Al-Khithob
Kalau kita ubek-ubek Al-Quran dan hadits, tidak akan kita
temukan adanya larangan memukul orang tua. Tapi kenapa seluruh ulama sejagad
raya ini malah mengharamkan, padahal sama sekali tidak ada larangannya yang
tektual jelas baik dalam Al-Quran dan Sunnah.
Ulama mengenal dalam ushul istilah Fahwa Al-Khithob [فحوى الخطاب], yaitu meniliti kandungan dibalik teks
syariah itu, baik itu larangan atau perintah. Ulama meneliti ‘illat (sebab)
larangan dan sebab perintah yang termaktub dalam teks syariah itu.
Kemudian maka segala hal yang menjadi penyebab larangan atau
perintah yang terkandung dalam teks yang sudah ada (termaktub) walaupun perkara
itu tidak ada dalilnya, maka hukumnya mengikuti hukum yang ada dalilnya karena
kesamaan sebab itu.
Memukul orang tua memang tidak ada dalil larangannya, tapi
ada larang dalam Al-Quran yang berbunyi:
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka Perkataan yang mulia” (Al-Isra’ 23)
Dalam ayat ini tidak ada larangan memukul, tapi hanya ada
larangan berkata kasar kepada orang tua. Namun dengan kecerdasan yang memang
diberika oleh Allah kepada para ulama dan Ahli Fiqih, mereka berkesimpulan
bahwa yang dilarang itu bukan urusan verbal atau tidak verbal, tapi yang
dilarang dalam ayat itu ialah segala hal yang menyakiti. Karena sejatinya
berkata “Ah” itu juga menyakiti.
Maka itu segala bentuk “Menyakiti” terhadap orang tua, baik
itu verbal atau bukan dilarang. Ibarat kasarnya, “ngomong ahh aja dilarang,
apalagi mukul!”. Ini masuk dalam golongan [مفهوم
الموافقة] Mafhuum
Al-Muwafaqoh, yang bagian dari jenis-jenis
Fahwa Al-Khithob [فحوى
الخطاب].
Penutup
Jadi memang pekerjaan ulama, khususnya ahli fiqih bukan
pekerjaan yang sembarang, seorang tidak bisa dikatakan ahli fiqih kalau hanya
tahu satu dua hadits lalu berfatwa. Bukan!
Bukan seperti kebanyakan orang-orang yang sedang puber
religi, yang tahu satu dua hadits lalu memaksa orang lain ikut bersamanya
mengamalkan dan memfasiq-kan yang lain karena tidak ikut dengannya. Padahal
belum tentu pemahamannya itu benar.
Maka itu, perlu diluruskan bahwa fiqih itu bukan cuma satu
hadits dan satu ayat saja, yang kemudian keluar satu hukum dengan status
“aneh”, karena memang dikeluarkan olah orang yang bukan ahlinya.
Jadi dalam meja seorang faqih itu bukan hanya satu dua
hadits, tapi ada ratusan bahkan ribuan hadits yang berkaitan dengan masalah
yang sedang diteliti. Setelah mengumpulkan itu semua, mulailah seornag faqih
memindai dengan dibarengi beberapa tinjauan seperti budaya dan sosial daerah
setempat.
Tidak asal jeplak, hukum yang dikeluarkan oleh seorang
faqih. Bukan hanya karena satu hadits lalu menjadi haram semua. Bukan juga
karena tidak ada contohnya dari Nabi saw dan sahabat, semua menjadi bid’ah.
Bukan sperti itu!
Jadi, bukan “kembali ke Al-Quran dan Sunnah” slogan yang
harus dikampanyekan, tapi “Kembali ke Ulama” yang harus digalakkan. Karena kita
tidak akan mungkin memahami Al-Quran dan Sunnah hanya mengandalkan otak kita
dan diri ini yang penuh hawa nafsu serta kepentingan tanpa melihat bagaimana
cara ulama memahaminya.
Wallahu A’lam
Ahmad Zarkasih, S.Sy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar