Senin, 10 Maret 2014

Fatwa, Apakah Wajib Ditaati?

Apa Itu Fatwa?

Sebelum masuk kepada pembahasan apakah wajib ditaati dan dilaksanakan, baiknya dan memang harusnya kita tahu dulu apa itu definisi fatwa. 

Para ulama mengartikan bahwa Fatwa itu ialah:

تَبْيِينُ الْحُكْمِ الشَّرْعِيِّ عَنْ دَلِيلٍ لِمَنْ سَأَل عَنْهُ وَهَذَا يَشْمَل السُّؤَال فِي الْوَقَائِعِ وَغَيْرِهَا

“penjelasan akan hukum syariat berdasarkan dalil-dalil syar’i, dan dikeluarkan sebagai jawaban atas pertanyaan, dan pertanyaan itu ialah bisa bersifat nyata (terjadi) atau pun tidak” [1]

Mayoritas ulama mendefinisikan fatwa seperti itu, walaupun dengan redaksi yang berbeda-beda. Tapi yang terpenting ialah bahwa fatwa itu tidak lahir sendiri, fatwa muncul karena ada pertanyaan yang berkembang. 

Dan fatwa itu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar syariah agar menjadi jelas dan tidak menjadi bias.

Dan memang ini terkait dengan tugas para Ulama yang mengerti akan dalil-dalil syari’i beserta madlul-nya untuk memberikan pencerahan seputar hukum-hukum syariat yang banyak menjadi pertanyaan di khayalak.

Orang yang berfatwa dalam bahasa Arab disebut dengan “Mufti” [مفتي], dan yang meminta fatwa disebut dengan “Mustafti” [مستفتي]. Mufti ialah orang yang sangat berkompeten dalam bidang syariah, beliau menguasai dan sangat mendalami nash-nash syariah serta madlul syar’i-nya. Kalau bukan seorang Ulama, tidak lah bisa ia mengeluarkan sebuah fatwa, karena fatwa itu produk syariat yang dihasilkan dari intrepetasi nash-nash syari’i.

Karena seorang Mufti berbicara soal hukum syariat, kalau berbicara hukum syariat tidak bisa asal bicara dan memberikan jawaban. Pun para ulama salaf diriwatkan bahwa mereka sangat berhati-hati soal fatwa ini, tidak asal sembarang mengumbar fatwa.

Ulama Salaf Mencontohkan

Imam malik dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ia menjawab 36 dari 40 pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan jawaban yang sama semua,”Saya Tidak tahu” (Laa Adriy) [لا أدري]".

Saking kesalnya si penanya yang sudah datang jauh-jauh kepada Imam Malik untuk bertanya masalah syariah, dia mengumpat: “Saya datang dari negeri nun jauh kepada anda wahai Imam. Dan anda hanya menjawab Laa Adriy (tidak tahu). Lalu apa yang harus daya laporkan kepada penduduk negeri di sana?”
Dengan santai Imam Malik menjawab: “kembalilah ke negeri mu dan katakana kepada penduduk sana bahwa Malik tidak tahu”

Kejadian yang sama terjadi pada sahabat Abu Musa Al-Asy’ari, lalu ia justru merekomendasikan sahabat lain yaitu Ibnu Mas’ud yang memang jauh lebih mengerti daripada beliau. 

Dengan rendah diri ia mengatakan kepada si penanya: ”pergilah kau kepada Ibnu Mas’ud, ia lebih mengerti tentang hal ini dari pada aku.”

Karena memang perkara Fatwa bukanlah perkara yang biasa dan sepele. Jangan hanya karena bisa bahasa Arab dari halaqoh-halaqoh kemudian dengan gaya yang terkesan meyakinkan, ia berani memberikan label ini hala ini haram, bahkan sampai mengatakan ini bid’ah.

Dalam sebuah hadits Mursal yang diriwayatkan oleh Imam Al-Darimy, disebutkan:

أجرؤكم على الفتيا أجرؤكم على النار

“yang paling berani diantara kalian untuk berfatwa, berarti ia berani terhadap neraka”[2]  Wal-‘iyadzu billah.
 Jadi fatwa itu ada karena adanya pertanyaan. Pertanyaan itu ditujukan oleh seorang ‘Alim, atau juga lembaga yang berisikan ulama yang memang berkompeten dalam masalah syariah ini. Kemudian, seorang ahli agama atau lembaga Ulama itu melakukan proses ijtihad dan akhirnya menghasilkan sebuha kesimpulan hukum. Dan itulah yang dinamakan Fatwa.

Fatwa dan Qodho’

Perlu diketahui sebelumnya, bahwa disamping fatwa itu ada juga istilah yang mempunyai arti sama dengan fatwa namun berbeda konsekuensinya, itu dinamakan dengan Qodho’ [قضاء], yaitu keputusan seorang Hakim (Qoodhi’ [قاضي]) dalam sebuah mahkamah atau pengadilan.

Sifat qodho’ ini berbeda dengan fatwa. Qodho’ inilah yang bersifat mengikat dan mempunyai ketetapan hukum yang mutlak wajib ditaati, tidak bisa dihiraukan begitu saja. Dan syariat inipun mengakui ketetapan sebuah qodho’, yaitu keputusan yang diserahkan kepada hakim untuk memberikan kejelasan hukum suatu masalah.

Terbukti bahwa dalam syariat ini ada istilah hukuman Al-Ta’zir yaitu hukuman yang sepenuh diserahkan kepada seorang Hakim terhadap seorang yang bersalah. Dan masih banyak lagi contoh lainnya.

Wajibkah Fatwa Ditaati?

Tapi beda ceritanya kalau kita berbicara fatwa. Ulama tidak mengatakan bahwa fatwa itu sesuatu yang mengikat, fatwa hanya penjelasan terhadap hukum suatu masalah syariah, akan tetapi sifatnya tidak mengikat. Artinya boleh dikerjakan, pun boleh juga tidak dikerjakan.

Imam Nawawi (676 H) mengatakan:

(وفتواه لا يرتبط بها إلزام بخلاف حكم القاضي)

“fatwanya seorang Alim/Ulama itu tidak mengikat suatu keharusan, berbeda dengan keputusan hakim (qodhi’)”.[3]

Sama seperti yang dijelaskan oleh Imam nawawi,  Imam Al-Qurofi (684 H), salah satu petinggi Ulama dari kalangan mazhab Al-Maliki pun mengatakan demikian. Bahwa fatwa itu memang sama dengan qodho akan tetapi, ia berbeda dalam bebrapa hal.

Diantaranya bahwa fatwa itu tidak mengikat, ia hanya sebuah informasi tentang hukum syar’i, berbeda dengan hukum yang dikerluarkan oleh seorang hakim (qodhi) yang disebut dengan qodho’. Itu harus dilaksanakan dan mengikat kewajibannya atas ia yang dijatuhi hukum oleh si hakim.[4]

Imam Ibnu Qoyyim Al-jauziyah (751 H) dalam kitabnya “I’lam Al-Muwaqqi’in”, menjelaskan bahwa fatwa memang mempunyai kesamaan dengan qodho’, yaitu keduanya sama-sama informasi akan kejelasan sebuah hukum. Tapi keduanya mempunyai 2 perbedaan;

Pertama:
Fatwa itu tidak mengikat, ia hanya sebuah produk ijtihad, boleh diterima dan boleh juga tidak. Berbeda dengan qodho, ia mengikat dan harus ditaati.

Kedua:
Fatwa itu berlaku secara umum, untuk si Mufti dan juga Mustafti. Akan tetapi qodho’ itu hanya berlaku untuk orang yang dihakimi oleh hakim (qodhi) saja, tidak untuk yang lainnya. [5]
Jadi kesimpulannya ialah bahwa fatwa itu bersifat tidak mengikat dan boleh saja ditinggalkan. Ketika seseorang bertanya kepada ulama, lalu ulama itu menjawab/berfatwa, maka fatwa itu menjadi pilihan baginya.

Ia bisa mengambilnya dan mengamalkannya, dan ia juga bisa meninggalkannya, atau meminta fatwa lain dari ulama lain, yang bisa saja berbeda dengan yang awal.

Fatwa Bisa Jadi Ketetapan Hukum

Tapi tentu saja, masalahnya tidak seperti yang dibayangkan. Karena boleh ditinggalkan lalu fafwa ulama diacuhkan begitu saja. Tidak demikian. Ada beberapa hal yang membuat fatwa itu menjadi sebuah hukum yang mengikat dan harus dikerjakan.

Pertama:
Ketika tidak seorang mufti kecuali satu. Maka fatwa Ulama tersebut menjadi wajib dikerjakan oleh para penduduk tersebut. Ataupun ada mufti lain tapi fatwanya sama dengan yang pertama.

Kedua:
Jika seorang mufti berfatwa dengan IJma’ ulama, maka harus dikerjakan, karena seorang muslim tidak boleh menyelesihi Ijma’.

Ketiga:
Jika Fatwa itu dikuatkan dengan sebuah keputusan hakim (qodhi) maka kedudukannya bukan lagi menjadi fatwa biasa, tapi menjadi ketetapan Hakim yang wajib di kerjakan.[6]

Wallahu A’lam

[1] Al-Mausu’an Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah 32/20

[2] Kanzul-‘Ummal 10/184

[3] Adabul-Fatwa li An-Nawawi 20

[4] Anwarul-Buruq Fi Anwa’il-Furuq 4/112

[5] I’lamul-Muwaqqi’in 1/90

[6] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah 32/50


Ahmad Zarkasih, S.Sy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar