Apa Itu Fatwa?
Sebelum masuk kepada pembahasan apakah wajib ditaati dan
dilaksanakan, baiknya dan memang harusnya kita tahu dulu apa itu definisi
fatwa.
Para ulama mengartikan bahwa Fatwa itu ialah:
تَبْيِينُ
الْحُكْمِ الشَّرْعِيِّ عَنْ دَلِيلٍ لِمَنْ
سَأَل عَنْهُ وَهَذَا يَشْمَل
السُّؤَال فِي الْوَقَائِعِ وَغَيْرِهَا
“penjelasan akan hukum syariat berdasarkan dalil-dalil
syar’i, dan dikeluarkan sebagai jawaban atas pertanyaan, dan pertanyaan itu
ialah bisa bersifat nyata (terjadi) atau pun tidak” [1]
Mayoritas ulama mendefinisikan fatwa seperti itu, walaupun
dengan redaksi yang berbeda-beda. Tapi yang terpenting ialah bahwa fatwa itu
tidak lahir sendiri, fatwa muncul karena ada pertanyaan yang berkembang.
Dan
fatwa itu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar syariah agar menjadi
jelas dan tidak menjadi bias.
Dan memang ini terkait dengan tugas para Ulama yang mengerti
akan dalil-dalil syari’i beserta madlul-nya untuk memberikan pencerahan seputar
hukum-hukum syariat yang banyak menjadi pertanyaan di khayalak.
Orang yang berfatwa dalam bahasa Arab disebut dengan “Mufti”
[مفتي], dan yang meminta
fatwa disebut dengan “Mustafti” [مستفتي].
Mufti ialah orang yang sangat berkompeten dalam bidang syariah, beliau
menguasai dan sangat mendalami nash-nash syariah serta madlul syar’i-nya. Kalau
bukan seorang Ulama, tidak lah bisa ia mengeluarkan sebuah fatwa, karena fatwa
itu produk syariat yang dihasilkan dari intrepetasi nash-nash syari’i.
Karena seorang Mufti berbicara soal hukum syariat, kalau
berbicara hukum syariat tidak bisa asal bicara dan memberikan jawaban. Pun para
ulama salaf diriwatkan bahwa mereka sangat berhati-hati soal fatwa ini, tidak
asal sembarang mengumbar fatwa.
Ulama Salaf
Mencontohkan
Imam malik dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ia menjawab
36 dari 40 pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan jawaban yang sama
semua,”Saya Tidak tahu” (Laa Adriy) [لا
أدري]".
Saking kesalnya si penanya yang sudah datang jauh-jauh
kepada Imam Malik untuk bertanya masalah syariah, dia mengumpat: “Saya datang
dari negeri nun jauh kepada anda wahai Imam. Dan anda hanya menjawab Laa Adriy
(tidak tahu). Lalu apa yang harus daya laporkan kepada penduduk negeri di
sana?”
Dengan santai Imam Malik menjawab: “kembalilah ke negeri mu
dan katakana kepada penduduk sana bahwa Malik tidak tahu”
Kejadian yang sama terjadi pada sahabat Abu Musa Al-Asy’ari,
lalu ia justru merekomendasikan sahabat lain yaitu Ibnu Mas’ud yang memang jauh
lebih mengerti daripada beliau.
Dengan rendah diri ia mengatakan kepada si penanya:
”pergilah kau kepada Ibnu Mas’ud, ia lebih mengerti tentang hal ini dari pada
aku.”
Karena memang perkara Fatwa bukanlah perkara yang biasa dan
sepele. Jangan hanya karena bisa bahasa Arab dari halaqoh-halaqoh kemudian
dengan gaya yang terkesan meyakinkan, ia berani memberikan label ini hala ini
haram, bahkan sampai mengatakan ini bid’ah.
Dalam sebuah hadits Mursal yang diriwayatkan oleh Imam
Al-Darimy, disebutkan:
أجرؤكم
على الفتيا أجرؤكم على
النار
“yang paling berani diantara kalian untuk berfatwa, berarti
ia berani terhadap neraka”[2]
Wal-‘iyadzu billah.
Jadi fatwa itu ada
karena adanya pertanyaan. Pertanyaan itu ditujukan oleh seorang ‘Alim, atau
juga lembaga yang berisikan ulama yang memang berkompeten dalam masalah syariah
ini. Kemudian, seorang ahli agama atau lembaga Ulama itu melakukan proses
ijtihad dan akhirnya menghasilkan sebuha kesimpulan hukum. Dan itulah yang
dinamakan Fatwa.
Fatwa dan Qodho’
Perlu diketahui sebelumnya, bahwa disamping fatwa itu ada
juga istilah yang mempunyai arti sama dengan fatwa namun berbeda
konsekuensinya, itu dinamakan dengan Qodho’ [قضاء],
yaitu keputusan seorang Hakim (Qoodhi’ [قاضي])
dalam sebuah mahkamah atau pengadilan.
Sifat qodho’ ini berbeda dengan fatwa. Qodho’ inilah yang
bersifat mengikat dan mempunyai ketetapan hukum yang mutlak wajib ditaati,
tidak bisa dihiraukan begitu saja. Dan syariat inipun mengakui ketetapan sebuah
qodho’, yaitu keputusan yang diserahkan kepada hakim untuk memberikan kejelasan
hukum suatu masalah.
Terbukti bahwa dalam syariat ini ada istilah hukuman
Al-Ta’zir yaitu hukuman yang sepenuh diserahkan kepada seorang Hakim terhadap
seorang yang bersalah. Dan masih banyak lagi contoh lainnya.
Wajibkah Fatwa
Ditaati?
Tapi beda ceritanya kalau kita berbicara fatwa. Ulama tidak
mengatakan bahwa fatwa itu sesuatu yang mengikat, fatwa hanya penjelasan
terhadap hukum suatu masalah syariah, akan tetapi sifatnya tidak mengikat.
Artinya boleh dikerjakan, pun boleh juga tidak dikerjakan.
Imam Nawawi (676 H) mengatakan:
(وفتواه
لا يرتبط بها إلزام
بخلاف حكم القاضي)
“fatwanya seorang Alim/Ulama itu tidak mengikat suatu
keharusan, berbeda dengan keputusan hakim (qodhi’)”.[3]
Sama seperti yang dijelaskan oleh Imam nawawi, Imam Al-Qurofi (684 H), salah satu petinggi
Ulama dari kalangan mazhab Al-Maliki pun mengatakan demikian. Bahwa fatwa itu
memang sama dengan qodho akan tetapi, ia berbeda dalam bebrapa hal.
Diantaranya bahwa fatwa itu tidak mengikat, ia hanya sebuah
informasi tentang hukum syar’i, berbeda dengan hukum yang dikerluarkan oleh
seorang hakim (qodhi) yang disebut dengan qodho’. Itu harus dilaksanakan dan
mengikat kewajibannya atas ia yang dijatuhi hukum oleh si hakim.[4]
Imam Ibnu Qoyyim Al-jauziyah (751 H) dalam kitabnya “I’lam
Al-Muwaqqi’in”, menjelaskan bahwa fatwa memang mempunyai kesamaan dengan
qodho’, yaitu keduanya sama-sama informasi akan kejelasan sebuah hukum. Tapi
keduanya mempunyai 2 perbedaan;
Pertama:
Fatwa itu tidak mengikat, ia hanya sebuah produk ijtihad,
boleh diterima dan boleh juga tidak. Berbeda dengan qodho, ia mengikat dan
harus ditaati.
Kedua:
Fatwa itu berlaku secara umum, untuk si Mufti dan juga
Mustafti. Akan tetapi qodho’ itu hanya berlaku untuk orang yang dihakimi oleh
hakim (qodhi) saja, tidak untuk yang lainnya. [5]
Jadi kesimpulannya ialah bahwa fatwa itu bersifat tidak
mengikat dan boleh saja ditinggalkan. Ketika seseorang bertanya kepada ulama,
lalu ulama itu menjawab/berfatwa, maka fatwa itu menjadi pilihan baginya.
Ia bisa mengambilnya dan mengamalkannya, dan ia juga bisa
meninggalkannya, atau meminta fatwa lain dari ulama lain, yang bisa saja
berbeda dengan yang awal.
Fatwa Bisa Jadi
Ketetapan Hukum
Tapi tentu saja, masalahnya tidak seperti yang dibayangkan.
Karena boleh ditinggalkan lalu fafwa ulama diacuhkan begitu saja. Tidak
demikian. Ada beberapa hal yang membuat fatwa itu menjadi sebuah hukum yang
mengikat dan harus dikerjakan.
Pertama:
Ketika tidak seorang mufti kecuali satu. Maka fatwa Ulama
tersebut menjadi wajib dikerjakan oleh para penduduk tersebut. Ataupun ada
mufti lain tapi fatwanya sama dengan yang pertama.
Kedua:
Jika seorang mufti berfatwa dengan IJma’ ulama, maka harus
dikerjakan, karena seorang muslim tidak boleh menyelesihi Ijma’.
Ketiga:
Jika Fatwa itu dikuatkan dengan sebuah keputusan hakim
(qodhi) maka kedudukannya bukan lagi menjadi fatwa biasa, tapi menjadi
ketetapan Hakim yang wajib di kerjakan.[6]
Wallahu A’lam
[1] Al-Mausu’an Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah 32/20
[2] Kanzul-‘Ummal 10/184
[3] Adabul-Fatwa li An-Nawawi 20
[4] Anwarul-Buruq Fi Anwa’il-Furuq 4/112
[5] I’lamul-Muwaqqi’in 1/90
[6] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah 32/50
Ahmad Zarkasih, S.Sy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar