Senin, 17 Maret 2014

Qunut Shubuh : Al-Albani VS Ibnul Qayyim

Sepertinya akan menjadi perdebatan yang selalu berulang dari masa ke masa. Bisa kita bayangkan, padahal hal ini sudah dibahas paling tidak sejak abad pertama hijriyyah, sampai saat ini belum selesai juga.

Adalah Qunut Shubuh, diantara hal yang selalu menjadi pokok perdebatan itu. Tak jarang, orang yang ingin menyudahi perdebatan itu, malah mendapat kritik.

Ada beberapa orang yang sebenarnya hanya baru tau, tapi seolah menganggap dirinya menemukan pengetahuan yang benar-benar baru.

Sayyid Sabiq (w. 1420 H)

Terkait hukum Qunut Shubuh, Sayyid Sabiq (w. 1420 H) berkata [1]:

"ومهما يكن من شيء فإن هذا من الاختلاف المباح الذي يستوي فيه الفعل والترك"

 "Meski demikian, hal ini (Qunut Shubuh) adalah bentuk ikhtilaf yang mubah; dimana melakukan atau meninggalkannya itu sama (pent: boleh keduanya)"

Dari sini Sayyid Sabiq (w. 1420 H) ingin mengambil jalan tengah, bahwa silahkan saja mau melaksanakan Qunut shubuh atau meninggalkannya.

Tapi rupanya al-Albani (w. 1420 H) tidak sependapat dengan Sayyid Sabiq (w. 1420 H).

Al-Albani (w. 1420 H)

Dalam kitab Tamamu al-Minnah [2], sebuah kitab karya al-Albani (w. 1420 H) yang khusus membongkar kesalahan-kesalahan Sayyid Sabiq (w. 1420 H), ketika mengomentari Sayyid Sabiq tentang qunut, Al-Albani (w. 1420 H) mengkritik sikap Sayyid Sabiq (w. 1420 H) dengan berkata:

"فليت شعري كيف يستوي الفعل وهو غير مشروع مع الترك وهو المشروع؟!"

"Bagaimana ceritanya, bisa sama antara melakukannya (pent: qunut shubuh) padahal tidak disyariatkan dengan meninggalkannya dan hal itulah yang disyariatkan?!"

Qunut Shubuh itu tidak disyariatkan, sedangkan yang disyariatkan adalah meninggalkannya. Kok bisa sama antara keduanya? Kata al-Albani. Lebih lanjut al-Albani mengatakan:

وهذا مما يجعلني أقطع بأن المؤلف لا يعيد النظر فيما يكتب وهو من أسباب وقوع الأخطاء الكثيرة في كتابه هذا وإلا فأقل الناس علما وفهما يتبين له هذا التناقض الواضح.

"Hal inilah yang menjadikan al-Albani (w. 1420 H) yakin bahwa ini sebagai tanda bahwa Sayyid Sabiq (w. 1420 H) tidak meneliti ulang atas apa yang dia tulis, sehingga banyak terjatuh pada kesalahan, bahkan orang yang paling sedikit ilmu dan kefahamannya pun akan tahu tanaqudh atau pertentangan dalam diri Sayyid Sabiq ini."

“Aqallu an-Nas Ilman wa Fahman” itu bahasa lainnya adalah orang yang paling bodoh. Artinya, orang yang paling bodoh-pun bisa mengetahui tanaqudh yang sangat jelas dari Sayyid Sabiq.

Al-Albani (w. 1420 H) dari sini juga menyimpulkan bahwa Sayyid Sabiq (w. 1420 H) mengalami idhtirab syadid jiddan atau kesimpang-siuran yang amat dan sangat.

Tentu bukan kapasitas saya mengkritik al-Albani (w. 1420 H). Beliau terlalu tinggi untuk mendapat kritik. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa kritik al-Albani terhadap Sayyid Sabiq cukup tegas dan pedas. Gara-gara Sayyid Sabiq menganggap SAMA antara mengamalkan atau meninggalkan qunut shubuh.

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H)

Sekarang kita coba baca pandangan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah al-Hanbali (w. 751 H) dalam menyikapi perdebatan hukum Qunut nazilah maupun yang lainnya, termasuk qunut shubuh.

Hal menarik disampaikan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) [3]. Beliau berkata:

فأهل الحديث متوسطون بين هؤلاء وبين من استحبه عند النوازل وغيرها، وهم أسعد بالحديث من الطائفتين، فإنهم يقنتون حيث قنت رسول الله صلى الله عليه وسلم، ويتركونه حيث تركه، فيقتدون به في فعله وتركه.

“AHLI HADITS adalah kaum pertengahan antara mereka (pent: yang mengatakan Qunut itu bid’ah) dan mereka yang menganggap sunnah Qunut ketika ada nawazil dan lainnya (pent: termasuk Qunut Shubuh). Mereka lebih beruntung terhadap hadits Nabi, mereka qunut ketika Rasulullah Qunut dan meninggalkannya ketika Rasul juga meninggalkannya. Mereka mengikuti Nabi dalam menjalankan ataupun meninggalkannya.

ويقولون: فعله سنة وتركه سنة، ومع هذا فلا ينكرون على من داوم عليه، ولا يكرهون فعله، ولا يرونه بدعة، ولا فاعله مخالفا للسنة، كما لا ينكرون على من أنكره عند النوازل، ولا يرون تركه بدعة، ولا تاركه مخالفا للسنة، بل من قنت فقد أحسن، ومن تركه فقد أحسن.

Mereka (AHLI HADITS) mengatakan bahwa melakukannya adalah perbuatan SUNNAH dan meninggalkannya juga perbuatan SUNNAH. Maka, mereka tidak mengingkari orang yang membiasakan qunut, tidak benci untuk melakukannya ,  tidak menganggapnya bid’ah, dan juga tidak  menganggap orang yang melakukannya termasuk menyelisihi sunnah begitu juga sebaliknya.

Bahkan orang yang qunut itu BAGUS, yang meninggalkannya juga BAGUS.”

Wah, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) malah menyebutkan bahwa AHLI HADITS itu mereka yang mengatakan “mengamalkan atau meninggalkan qunut itu sama-sama baik”. Sepertinya berbeda terbalik dengan pendapat al-Albani.

Kira-kira jika Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) ini sezaman dengan al-Albani (w. 1420 H), akan mendapat kritikan yang sama dengan yang diterima Sayyid Sabiq (w. 1420 H) atau tidak ya?

Sebaliknya, jika al-Albani (w. 1420 H) itu sezaman dengan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) kira-kira disebut sebagai AHLI HADITS atau tidak ya?

Allahummaghfirlahum warhamhum wa afihim wa’fu anhum

Footnote:

[1] Sayyid Sabiq (w. 1420 H), Fiqih Sunnah, (Baerut: Daar al-Kitab al-Arabi, 1397 H), hal. 1/ 199

[2] Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H), Tamamu al-Minnah, (Daar ar-Rayah) hal. 244

[3] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H), Zaad al-Ma’ad, (Baerut: Muassasah ar-Risalah, 1415 H), hal. 1/ 266


Hanif Luthfi, Lc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar