Ikhtilaf Dalam Fiqih
Bagi yang sering bermuamalah dengan kitab perbandingan
madzhab, pasti tidak asing dengan adanya perbedaan pendapat diantara para
ulama. Adanya ikhtilaf dalam fiqih bukanlah hal yang layak diingkari. Hal itu
terjadi sejak zaman salaf shalih dari shahabat, tabi’in, tabi’iut tabi’in dan
sampai imam madzhab, bahkan sampai sekarang ini.
Diantara contohnya adalah tentang wali nikah, Imam Abu
Hanifah menganggap wali nikah bukan rukun atau pun syarat sahnya nikah. Seorang
wanita yang sudah berakal dan baligh boleh menikahkan dirinya sendiri dengan
pria asalkan se-kufu’[1].
Imam Abu Hanifah juga berpendapat anak yatim yang memiliki
harta, tidaklah wajib baginya zakat kecuali jika harta itu berupa harta dari
hasil bumi[2], pendapat ini berbeda dengan kebanyakan ulama.
Dalam Madzhab Maliki, anjing tidaklah najis[3]. Berbeda
dengan semua mazhab ulama, bahkan madzab Syafi’i menganggapnya sebagai najis
mughalladzah.
Dalam Madzhab Syafi’i, qunut shubuh hukumnya sunnah.
Sedangkan dalam madzhab Hanafi, dianggap bid’ah[4].
Dalam Madzhab Hanbali, kotoran hewan yang halal dimakan
dagingnya tidaklah najis[5]. Misalnya, jika ada seseorang yang shalat dan
kakinya menginjak kotoran ayam, maka shalatnya tetap sah dan tidaklah batal.
Berbeda dengan Madzhab Syafi’i yang menganggapnya najis mutawassithah.
Saling Menghakimi
Tapi dari perbedaan pendapat itu, apakah kita temui diantara
para imam madzhab itu saling menghakimi?
Pernahkah Imam Syafi’i menghujat Imam Abu Hanifah, lantaran
berani membolehkan perzinaan dengan nikah tanpa wali, atau telah menentang
kewajiban zakat bagi anak yatim?
Pernahkah Imam Syafi’i menyalahkan gurunya, Imam Malik,
karena menganggap anjing tidak najis, sampai mengaku mantan murid yang telah
bertaubat dari ajaran gurunya?
Pernahkah Imam Syafi’i dituduh menyebarkan kebid’ahan oleh
Madzhab Hanafiyyah, karena telah menganggap qunut shubuh itu sunnah?
Atau adakah yang menganggap ibadah shalat Mazdhab Hanbali
tidak sah karena barangkali di bajunya ada najis mutawassithah, kotoran hewan?
Sama sekali tidak kita temui penghakiman semacam itu. Karena
para imam madzhab itu sedang berbicara hukum, bukan sedang menjadi hakim.
Imam as-Suyuthi (w. 911 H) menyebutkan dalam kitabnya,
al-Asybah wa an-Nadza'ir:
لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ
الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
Tidak diinkari adanya perkara yang diperselihkan, yang
diinkari adalah adanya sesuatu yang disepakati[6].
Berbeda tidak Harus Bermusuhan
Justru yang kita temukan adalah sebaliknya. Diantara para
imam madzhab itu malah saling menghormati dan saling memuji satu sama lainnya.
Imam Syafi’i memuji Imam Abu Hanifah, beliau
mengatakan, من أراد
الفقه فهو عيال على
أبي حنيفة ”Siapa yang ingin tahu
ilmu fiqih, maka ia bergantung kepada Abu Hanifah”[7].
Sebagaimana Imam Malik (w. 179 H) juga memuji Imam Abu
Hanifah (w. 150 H). Diriwayatkan dari Ahmad bin as-Shabbah bahwa Imam Syafi’i
pernah bertanya kepada Imam Malik, apakah engkau pernah melihat Imam Abu
Hanifah? Imam Malik bin Anas radliyallahuanhu menjawab iya, هذا الذي لو
قال عن هذه السارية:
إنها ذهب لاحتج لما
قال. “Inilah dia (Imam
Abu Hanifah) yang jika beliau berkata tentang tiang ini, bahwa ini adalah emas,
maka hal itupun bisa menjadi hujjah[8].
Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) memuji Imam as-Syafi’i (w.
204 H)[9]:
وقال محمد بن هارون
الزنجاني: حدثنا عبد الله
بن أحمد، قلت لأبي:
أي رجل كان الشافعي،
فإني سمعتك تكثر من
الدعاء له؟ قال: يا
بني، كان كالشمس للدنيا،
وكالعافية للناس، فهل لهذين
من خلف، أو منهما
عوض
Muhammad bin Harun az-Zanjani berkata, Abdullah bin Ahmad
berkata: Saya berkata kepada bapakku (Ahmad bin Hanbal), siapakah Syafi’i itu,
sehingga engkau banyak mendo’akannya. Ahmad bin Hanbal berkata, wahai anakku!
Dia itu seperti matahari bagi dunia, kesehatan bagi manusia. Apakah yang bisa
menggantikan kedua hal itu?.
Tak hanya dalam pujian lisan saja, ulama’ Hanafiyyah dan
Syafi’iyah mereka juga shalat di belakang ulama’ ahli Madinah dari Madzhah
Malikiyah, padahal mereka tidak membaca basmalah baik secara pelan maupun
keras[10].
Khalifah Harun ar-Rasyid menjadi Imam shalat, beliau bekam
dan tidak wudhu’ setelahnya. Abu Yusuf (w. 182 H) shalat ma’mun kepadanya tanpa
mengulangi shalat setelah itu, padahal menurut Abu Yusuf al-Hanafi, bekam
termasuk hal yang membatalkan wudhu.
Imam Ahmad bin Hanbal termasuk ulama yang mengatakan bahwa
bekam termasuk hal yang membatalkan wudhu. Beliau pernah ditanya, bolehkah
makmum kepada orang yang bekam sehingga keluar darah, dan dia tidak wudhu’
setelahnya? Imam Ahmad menjawab: “Bagaimana saya tidak shalat di belakang Imam
Malik dan Said bin Musayyib[11]?”
Imam Syafi’i (w. 204 H) pernah shalat shubuh di dekat kubur
Abu Hanifah tanpa qunut, padahal qunut menurut Imam Syafi’i termasuk sunnah
ab’ad. Hal ini untuk menghormati Imam Abu Hanifah[12].
Fiqih Adalah Faham Hukum
Fiqih secara bahasa berarti faham. Secara istilah, biasanya
fiqih dimaknai dengan mengetahui hukum-hukum syari’ah yang bersifat amaliyyah
yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci[13]. Tentu pelajaran ini adalah
materi dasar sebelum kita memulai belajar fiqih maupun ushul fiqih.
Titik pembahasan fiqih adalah menghukumi perbuatan seorang
hamba, baik dengan hukum taklify; seperti: wajib, sunnah, mubah, makruh, haram,
ataupun dengan hukum wadh’iy; seperti sah atau batal.
Dalam Fiqih, yang dibahas adalah pekerjaan manusia. Untuk
selanjutnya ditentukan hukumnya menurut syariat, baik hukum wadh’iy maupun
taklify. Bukan menilai subjek atau manusianya.
Fiqih menjelaskan ini hukumnya wajib, ini hukumnya makruh,
ini hukumnya sah. Bukan menghakimi orangnya, dengan mengatakan orang ini sesat,
kiyai ini telah menyimpang, Habib ini salah, kelompok ini neo mu’tazilah,
kelompok itu musyrik, dan lain sebagainya.
Bagaimana Jika Bukan Imam Syafi’i?
Ada satu paragraf yang saya temukan di kitab al-Umm karya
Imam Syaf’i (w. 204 H). Ketika beliau menuliskan tentang bab kesaksian Ahlu
al-Ahwa’[14]:
وَالْمُسْتَحِلُّ
لِنِكَاحِ الْمُتْعَةِ وَالْمُفْتِي بِهَا وَالْعَامِلُ بِهَا
مِمَّنْ لَا تُرَدُّ شَهَادَتُهُ
وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ مُوسِرًا
فَنَكَحَ أَمَةً مُسْتَحِلًّا لِنِكَاحِهَا
مُسْلِمَةً أَوْ مُشْرِكَةً لِأَنَّا
نَجِدُ مِنْ مُفْتِي النَّاسِ
وَأَعْلَامِهِمْ مَنْ يَسْتَحِلُّ هَذَا
وَهَكَذَا الْمُسْتَحِلُّ الدِّينَارَ بِالدِّينَارَيْنِ وَالدِّرْهَمَ بِالدِّرْهَمَيْنِ يَدًا بِيَدٍ وَالْعَامِلُ
بِهِ لِأَنَّا نَجِدُ مِنْ أَعْلَامِ
النَّاسِ مَنْ يُفْتِي بِهِ
وَيَعْمَلُ بِهِ وَيَرْوِيه، وَكَذَلِكَ
الْمُسْتَحِلُّ لِإِتْيَانِ النِّسَاءِ فِي أَدْبَارِهِنَّ فَهَذَا
كُلُّهُ عِنْدَنَا مَكْرُوهٌ مُحَرَّمٌ وَإِنْ خَالَفْنَا النَّاسَ
فِيهِ فَرَغِبْنَا عَنْ قَوْلِهِمْ وَلَمْ
يَدْعُنَا هَذَا إلَى أَنْ
نَجْرَحَهُمْ وَنَقُولَ لَهُمْ إنَّكُمْ حَلَّلْتُمْ
مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَأَخْطَأْتُمْ لِأَنَّهُمْ يَدَّعُونَ عَلَيْنَا الْخَطَأَ كَمَا نَدَّعِيه عَلَيْهِمْ
وَيَنْسِبُونَ مَنْ قَالَ قَوْلَنَا
إلَى أَنَّهُ حَرَّمَ مَا أَحَلَّ اللَّهُ
عَزَّ وَجَلَّ
Orang yang menganggap halal nikah muth’ah, orang yang
memfatwakannya, dan orang yang melakukan nikah muth’ah termasuk orang yang
tidak ditolak kesaksiannya. Sebagaimana kaya yang menikahi seorang hamba
sahaya, karena mengaggapnya halal baik yang muslimah ataupun musyrikah. Karena
kita temukan ada mufti dan Ulama’ yang membolehkan hal itu.
Sebagaimana (diterima kesaksiannya) orang yang menganggap
halal, menukar satu dinar dengan dua dinar atau satu dirham dengna dua dirham
dengan kontan, dan orang yang melakukannya. Karena kita temukan ada Ulama’ yang
membolehkannya, mengamalkan dan meriwayatkannya.
Sebagaimana (diterima kesaksiannya) orang yang membolehkan
mendatangi istri dari duburnya. Meskipun kita mengharamkan hal tersebut, kita
juga membenci perkataan tersebut, tapi tidak lantas membolehkan kita untuk
mencela mereka dengan mengatakan; “kalian telah menghalalkan apa yang telah
Allah ta’ala haramkan, dan kalian telah salah”.
Karena jika demikian, mereka juga menganggap kita telah
salah, telah mengharamkan apa yang telah Allah halalkan.
Imam as-Syafi’i memang telah menghukumi haram mendatangi
istri dari duburnya. Tapi tidak lantas beliau menghakimi orang yang
membolehkannya, lantas mencelanya. Ini sikap Imam as-Syafi’i, salah seorang
Fuqaha’ zaman dahulu. Lantas bagaimana dengan para syeikh atau ustadz saat ini?
With Us or Again Us?
Sayangnya, banyak hal yang sebenarnya masuk dalam ranah
furu’ fiqih yang sangat mungkin ada ikhtilaf dan bisa didiskusikan, malah
menjadi bahan perpecahan. Dengan mengatakan pendapat kami lebih rajih dan lebih
benar, maka harus ikuti pendapat saya. Jika tidak, artinya menentang dakwah
Islam, menyelisihi Sunnah, termasuk bid’ah yang tercela.
Tentu kita tidak ingin terjadi perpecahan gara-gara sesuatu
yang sebenarnya masih bisa didiskusikan. Kembali kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah
sesuai pemahaman Salaf shaleh tentunya harus dibarengi juga dengan mengikuti
adab dan akhlaq Salaf.
waAllahu a’lamu bis Shawab
Footnote:
[1] Ibnu ar-Rusyd Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad
bin Rusyd al-Qurthubi, Bidayat al-Mujtahid, (Kairo: Daar al-Hadits, 1425 H),
juz 3, hal. 36
[2] Ibnu ar-Rusyd Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad
bin Rusyd al-Qurthubi, Bidayat al-Mujtahid, , juz 2, hal. 5
[3] Wizarat al-Auqaf al-Kuwaitiyyah, al-Mausu’ah
al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, (Kuwait: Daar as-Salasil, 1404 H), juz 35, hal.
129
[4] Abdurrahman bin Muhammad bin Sulaiman (w. 1078 H),
Majma’ al-Anhar, Daar Ihya at-Turats al-Arabi, juz 1, hal. 129
[5] Ibnu Quddamah Muwaffaq ad-Din Abdullah bin Ahmad bin
Muhammad (w. 620 H), al-Mughni, (Kairo: Maktabah al-Qahirah, 1388 H), juz 2,
hal. 65
[6] Diinkari maksudnya adalah jika ada seseorang yang
menyatakan suatu perkara adalah Ijma’, maka pernyataan itu patut dipertanyakan
kebenarannya. Ikhtilaf disini adalah ikhtilah dalam ranah fiqih yang bersifat
furu’. Lihat: As-Suyuthi Abdurrahman bin Abu Bakar Jalaluddin (w. 911 H),
al-Asybah wa an-Nadzair, (Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1411 H), hal. 158
[7] Ibnu Katsir Abu al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir
al-Qurasyi Ibnu Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, (Baerut: Maktabah al-Ma’arif,
t.t), juz 10, hal. 107
[8] Abu Bakar bin Ali bin Tsabit bin Ahmad bin Mahdi
al-Khatib al-Baghdadi (w.465 H), Tarikh Baghdad, (Bairut: Dar al-Maghrib
al-Islami, 1422 H), cet. 1, Tahqih Dr. Basyar Awad Ma’ruf, Juz 13, hal. 346,
lihat juga: Abdurrahman Ra’fat al-Basya (w. 1986 M), Shuwar min Hayati
at-Tabi’in, h. 493
[9] Ad-Dzahabi Al Hafidz Abu Abdillah Syamsuddin Muhammad
bin Ahmad bin Utsman ad-Dzahabi (w. 748 H), Siyaru A’lami an-Nubala, juz 10,
hal. 45
[10] Thaha Jabir Fayyad al-Ulwani, Adab al-Ikhtilaf fi
al-Islam, (al-Ma’had al-Alami li al-Fikr al-Islami), hal. 116
[11] Hal ini mengindikasikan bahwa Imam Malik dan Said bin
Musayyib memandang tidak batal wudhu’ orang yang bekam dan keluar darah.
[12] Thaha Jabir Fayyad al-Ulwani, Adab al-Ikhtilaf fi
al-Islam, hal. 116
[13] Abdul Wahab Khalaf (w. 1375 H), Ilmu Ushul Fiqih,
(Kairo: Maktabah ad-Dakwah), hal. 12
[14] Muhammad bin Idris as-Syafi’i (w. 204 H), al-Umm,
(Baerut: Daar al-Ma’rifat, 1410 H), juz 6, hal. 222
Hanif Luthfi, S.Sy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar