Slogan “Kembali kepada Al-Quran dan Sunnah” sekarang ini
memang sedang booming dimana-mana. Setiap kita bertemu dengan para
punggawa-punggawa dakwah dari kalangan tertentu, pastilah kita dapati slogan
ini.
Dengan bantuan media social yang masiv membuat slogan ini
makin banyak dikenal dan dikatakan terus berulang karena memang maksudnya
bagus. Ya memang seorang muslim wajib hukumnya untuk dia kembali kepada kitab
pedomannya, yaitu Al-Quran dan juga tuntunan panutannya yaitu Hadits-hadits
Nabi Muhammad saw.
Tapi saya pribadi agak riskan dan khawatir dengan slogan
ini, bukan tidak setuju, tapi ada hal lain yang rasanya urgen sekali untuk
diluruskan dari slogan nyunnah ini. Khawatir adanya kesalahpahaman dari slogan
itu kalau memang dipahami begitu saja, karena memang perlu ada pembahasan
beberapa poin penting dari slogan tersebut.
Dalam beribadah memang kita dituntut dan diharuskan untuk
mengikuti apa yang sudah digariskan oleh Allah swt dalam Al-Quran dan apa yang
sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw melalui riwayat-riwayatnya. Ya benar,
tidak ada selain itu.
Akan tetapi akan terjadi ketimpangan dan kebingungan kalau
hanya langsung kembali ke Al-Quran dan Sunnah Nabi saw. Kapasitas kemampuan
orang itu berbeda-beda antara satu dan yang lainnya, tidak bisa disamaratakan.
Kalau dengan kemampuan pemahaman yang segitu-segitu saja, kemudian ia dipaksa
untuk beribadah sesuai Al-Quran dan Sunnah versi pemahamannya, tentu akan
terjadi kekacauan syariah.
Sholat Boleh Menghadap Kemana Saja
Orang yang melaksanakan sholat dan menghadap bukan ke
kiblat, akan tetapi menghadap kearah selain kiblat, sholatnya tetap sah jika
diukur dari slogan “Kembali kepada Al-Quran dan Sunnah” itu. Toh memang di
Al-Quran disebutkan begitu,
وَلِلَّهِ
الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ
اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun
kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya)
lagi Maha mengetahui” (Al-Baqarah 115)
Padahal sejatinya sholat punya aturan dan tuntunan yang
memang sudah baku, sesuai apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw.
Orang Non-Muslim Najis, Maka Jauhi
Kalau dengan slogan itu juga, maka menjadi benar jika ada
seorang muslim yang tidak mau bergaul dan berbaur dengan saudara-saudaranya
yang non-muslim, karena memang orang non-muslim itu najis.
Sebagaimana firman
Allah swt:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا
الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang
musyrik itu najis, Maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun
ini” (At-Taubah 28)
Padahal sama sekali tidak ada satu pun pendapat dari 4
madzhab Fiqih yang mengatakan bahwa orang non-muslim itu najis. Semua
bersepakat bahawa najis yang dimaksud diayat ialah najis secara makna bukan
secara zahir.
Dan juga tidak ada dari para Imam tersebut yang mengharamkan
kita untuk berbaur, bersalaman, atau bahkan memeluk saudara kita yang
non-muslim. Dan juga kita dibolehkan berkongsi makan dan minum dengan mereka
dalam satu wadah selama itu bukan makanan atau minuman yang diharamkan dalam
syariah.
Buang Air Menghadap Kiblat
Dan pasti seseorang akan kebingungan jika dia langsung
kembali kepada Hadits, lalu menemukan hadits yang melarangnya untuk membuang
air dengan menghadap atau membelakangi kiblat. Seperti yang dijelaskan oleh
Nabi saw dari sahabat Abu Ayyub Al-Anshori:
إِذَا
أَتَيْتُمْ الْغَائِطَ فَلَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ
بِغَائِطٍ وَلَا بَوْلٍ وَلَا
تَسْتَدْبِرُوهَا وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا
“Jika kalian masuk toilet, janganlah kalian menghadap ke
kiblat ketika buang air besar atau kecil, dan jangan juga membelaknginya. Akan
tetapi menghadaplah ke timur atau ke barat” (HR Tirmidzi)
Loh bagaimana ini? Dilarang menghadap kiblat dan juga
dilarang membelakanginya, akan tetapi menghadap barat atau ke timur. Bagaimana
bisa? Toh di Indonesia kalau kita menghadap timur, itu berarti membelakangi
kiblat, kalau ke barat justru kita menghadap kiblat. Lalu menghadapmana
mestinya kita jika buang air?
Kalau hanya semangat “Kembali ke Al-Quran dan Sunnah”, itu
tidak akan menyelesaikan masalah sama sekali. kita akan mentok dan akhirnya
bingung sendiri.
Pojokkan Mereka Ke Jalan Yang Sempit
Saya akan lebih takut jikalau ada seorang yang dengan
semangat “Kembali ke Al-Quran dan Sunnah”, kemudian tanpa guru ia membuka kitab
hadits, lalu menemukan hadits ini:
لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ
فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ
إِلَى أَضْيَقِهِ
“janganlah kalian memulai memberi salam kepada orang yahudi
dan Nashrani. Dan jika kalian bertemu mereka di jalan, pojokkan mereka ke jalan
yang sempit (jangan beri jalan)” (HR Muslim)
Haditsnya shahih, riwayat Imam Muslim pula, siapa yang
berani mengatakan kalau ini hadits dhoif? Redaksinya jelas, tidak ada bias
bahwa kalau bertemu dengan orang Yahudi dan Nashrani di jalan, jangan beri
mereka jalan. Pojokkan mereka samapi tidak ada jalan bagi mereka untuk
meneruskan jalannya.
Bayangkan bagaimana jika ada orang yang dengan semangat
“kembali ke Al-Quran dan Sunnah” yang menggebu-gebu mendapati hadits initanpa
bimbingan seorang guru? Apa yang sekiranya ia lakukan setelah mendapatkan
hadits tersebut? Yang terjadi pasti kekacauan social diantara masyarakat.
Kembali ke Ulama
Apa yang diurai diatas dari kasus-kasus tersebut hanyalah
beberapa contoh bahwa kita khusunya yang memang awam akan agama tidak bisa
serta merta langsung menceburkan diri dalam lautan ayat dan hadits yang punya
kedalaman makna.
Kita akan sulit sekali nantinya jika hanya mengandalkan
semangat “Kambali ke Al-Quran dan Sunnah” tanpa ada bimbingan mereka yang
memang mengerti betul tentang syariah. Dan rasanya slogan “Kembali ke Al-Quran
dan Sunnah” itu juga mesti diluruskan.
Redaksi kalimatnya berubah menjadi “Kembali ke Ulama”.
Karena sejatinya kembali kepada ulama itu juga kembali kepada Al-Quran dan
sunnah yang sesungguhnya. Kita tidak bisa dengan gampang memahami teks ayat dan
hadits tanpa bimbingan dan tuntunan mereka yang memang mengerti.
Dan kepada siapa kita harus meminta bimbingan untuk bisa
memahami maksud ayat dan hadits kecuali kepada ulama? Dengan keilmuannya kita
dibantu untuk lurus dalam beribadah karena mereka punya kapasitas dan kemampuan
yang Allah swt berikan kepada mereka untuk mengetahu maksud dan makna ayat
serta hadits.
فَاسْأَلُوا
أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا
تَعْلَمُونَ
“Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika
kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nahl: 43).
Jadi satu-satunya jalan ialah mengikuti mereka kalau memang
kita tidak tahu. Karena ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi itu bukanlah
seperti teks bahasa arab biasa yang jika sudah ditemukan terjemahannya maka
langsung bisa dipahami. Tidak begitu!
Kalau memang bisa dengan bebas dipahami, lalu buat apa sejak
13 abad yang lalu para ulama bersusah payah mengerahkan pemikiran dan tenaga
dalam menulis kitab-kitab Tafsir Quran dan juga kitab-kitab syarah (penjelasan)
hadits.
Coba kita lihat ke belakang, sudah berapa banyak kitab
tafsir dan kitab syarah hadits yang sudah dikarang oleh para ulama kita. Bahkan
jumlahnya ada yang melampaui angka umur si penulis itu sendiri. Kalau memang
semua bisa paham, kenapa harus ada itu semua?
Jadi perkara “kembali ke Al-Quran dan Sunnah”, bukan perkara
yang asal saja, yang semua orang bisa melaksanakan. Tidak cukup seorang
mengatakan: “Cukuplah bagiku Al-Quran dan Hadits”, dan dia tidak mengetahui
lewat jalur mana ia memahami maksud dan makna ayat serta hadist tersebut. Dan
bagaimana pula ia bisa mengambil kesimpulan hukum dari ayat dan hadits tanpa
merujuk kepada pendapat ulama?
Kita seharusnya sadar bagaimana usaha serta perjuangan para
imam mujtahd serta ulama-ulama tredahulu dalam menyampaikan pemahaman yang
lurus tentang Al-Quran dan sunnah kepada kita semua. Mereka hidupkan
malam-malamnya dan mereka habiskan siangnya dengan mencari dan meneliti guna
mencapai sebuah pemahaman yang benar.
Kalau dikatakan: “Ulama itu juga kan manusia, bisa salah.
Jadi kita kembali saja kepada Al-Quran dan sunnah”. Kalau ulama saja bisa
salah, lalu siapa anda dengan pongah mengatakan pendapat anda yang paling
benar. Justru kemungkinan anda untuk salah memahami maksud ayat dan hadits
sangat besar sekali karena anda juga manusia biasa.
Bahkan taraf keilmuan anda sangat jauh jika dibandingkan
dengan ulama yang anda diskreditkan kapastitasnya sebagai ulama.
Wallahu A’lam
Ahmad Zarkasih, S.Sy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar