Kamis, 20 Maret 2014

Mengenal Madzhab-Madzhab Fiqh (Imam Abu Hanifah) bagian 1.

“Tak kenal maka tak sayang, tak sayang mak tak cinta”

Ini adalah pribahasa Indonesia paling populer sepanjang masa perjalanan sejarah bangsa ini yang mengartikan bahwa sebuah cinta tidak bisa datang tiba-tiba dalam diri seseorang kepada orang lain. Kalau mau bisa cinta, cara untuk menuju kesitu harusnya dengan mengenalnya lebih dalam.

Mungkin pribasaha ini juga cocok bagi mereka yang sepertinya atau memang memandang madzhab-madzhab fiqih sebagai momok yang harus dijauhkan karena banyaknya perbedaan diantara mereka yang memicu perpecahan.

Atau mungkin bagi mereka yang sering sekali menganggap bahwa madzhab-madzhab fiqih itu sudah terlalu jauh meninggalkan Quran dan sunnah, karena terlalu banyak berdalil dengan akal para imam mereka sendiri. Beranggapan seakan-akan para imam madzhab tidak mengerti ayat dan hadits.

Dan masih banyak lagi faktor yang membuat seseorang –hingga saat ini- masih memandang madzhab fiqih sebagai sesuatu yang tidak perlu, karena yang dibutuhkan itu ialah mengerjakan segala sesuatu dalam ibadah dengan dalil al-Quran dan Sunnah saja tanpa harus melauli madzhab.

Akhirnya ini yang membuat mereka benci dengan fiqih itu sendiri, madzhab lebih khususnya. Karena beranggapan madzhab fiqih hasil olahan manusia yang ‘bisa salah’, berbeda dengan al-Quran dan sunnah yang memang turun dari Allah swt melalui manusia yang makshum dari kesalahan; Muhammad saw.

Mereka tanpa sadar bahwa mereka juga memahami al-Quran dan sunnah dengan pamahaman mereka sendiri yang sejatinya adalah mereka manusia yang sangat rentan terjerumus dalam kesalahan.

Harusnya mereka sadar, kalau saja bukan karena para imam tersebut, mereka pastinya tidak akan tahu bagaimana caranya beribadah kepada Allah swt? Anehnya mereka masih bisa mengejek fatwa-fatwa para imam!?

Mungkin Karena Tidak Kenal

Mungkin kebencian mereka itu karena memang mereka tidak tahu atau tidak mau tahu tentang siapa itu imam-imam madzhab fiqih. Seandainya mereka tahu dan mempelajarinya, bagaimana terbentuknya madzhab fiqih itu sendiri, siapa imam-imamm madzhab yang memang diakui sejagad ini, niscaya bukan benci yang ada, tapi justru cinta yang akhirnya membawa mau ber-husnudzonn kepada para imam madzhab fiqih itu sendiri.

Jadi, obat satu-satunya ya harus mengenal dulu siapa mereka sebetulnya? Bagaimana proses terbentuknya madzhab itu sendiri? Lalu bagaimana Allah swt menjadikan mereka punggawa-punggawa yang membumikan syariat-Nya di muka bumi? Lalu seperti apa perjuangan mereka membentengi umat dari serbuan pemikiran yang menggerus syarah di setiap zaman mereka hidup? Ini yang semuanya mesti di kaji.

Para imam madzhab bukan tidak mengerti ayat dan hadits, justru mereka adalah orang-orang yang paling mengerti ayat dan hadits di zamannya. Meninggalkannya mereka akan ayat dan hadits yang secara kasat mata kita itu adalah dalil yang shahih, itu bukan berarti mereka tidak mengerti. Justru kita yang tidak mengerti bagaimana cara mereka beristimbath dan berdalil atas sebuah hukum.

Maka menjadi penting untuk kita mengetahui bagaimana terbentuknya madzhab fiqih itu sendiri dan bagaimana mereka berdalil dalam setiap hukumnya.

Ibnu Mas’ud = Imam Ahli Fiqih Iraq

Mestinya kita tahu proses pengutusan sayyidina Ibnu Mas’ud (32 H) oleh sayyidina Umar bin Khaththab (23 H) ke Kuffah sebagai qadhi (Hakim) ketika Islam sudah mulai berkembang sampai Persia. Dari sinilah bibit madzhab fiqih mulai ter-design.

Karena seorang hakim, mau tidak mau pasti berijtihad. Bagaimana tidak? toh setiap hari sayyidina Ibnu Mas’ud selalu dihadapkan kepada suatu masalah masyarakat. Apakah seorang hakim diam saja tanpa menggunakan akalnya untuk memberika solusi bagi konsekuennya?

Dari ijtihad-ijtihad sayyidina Ibnu Mas’ud ini menjadi patokan dasar fiqih madrasah al-Kufa, (yang nantinya akan menjadi madzhab hanafi) yang dikumpulkan dan diamalkan kembali oleh Alqamah bin Qais (62 H).

Dari Alqamah, kemudian warisan fiqih kufah itu diwariskan kepada muridnya, yaitu Ibrahim Al-Nakho’i (96 H), lalu turun lagi ke murid beliau, yaitu Hammad bin Abi Sulaiman (120 H), dan akhirnya sampai kepada Imam Abu Hanifah Al-Nukman bin Tsabit (150 H).

Umar dan Ibnu Umar = Bibit Fiqih Ahli Madinah

Begitu pun dengan apa yang dilakukan oleh sayyidina Umar bin Khathtab itu sendiri ketika menjawab khalifah sekaligus qadhi (hakim) di madinah. Tentu banyak masalah yang dihadapi, banyak pengaduan dan banyak problem keagamaa yang mesti dicari jalan keluarnya ketika itu.

Itu kenapa yang banyak kita dengar dari kalangan sahabat ialah sayyidina Umar yang paling banyak ijtihadnya. Ya tentu. Karena beliau adalah Hakim dan khalifah, terlebih lagi bahwa masa kepimpinannya jauh lebih lama dibanding khalifah yang lain.

Tentu banyak masalah yang dipecahkan oleh beliau dengan ijtihad-ijtihadnya. Tentu itu pada masalah yang memang tidak tersentuh secara langsung oleh al-Quran dan hadits. Karena tidak mungkin seorang khalifah berijtihad pada sesuatu yang sudah ada ketetapnnya dalam 2 teks suci itu. 

Nah, ijtihad-ijtihad Umar bin Khthtab inilah yang disebut dengan istilah maslahah [المصلحة] dalam ilmu ushul, yang menjadi patokan dan rujukan terbentuk madrasah fiqih Ahli Madinah (yang kemudian menjadi madzhab Al-Maliki). Dan kemudian juga diwarisi oleh anaknya sendiri, yaitu Abdullah bin Umar (74 H).

Setelah itulah muncul beberapa hali fiqih madinah yang hampir kesemuanya menjadi penesehat khalifah Umar bin Abdul Aziz (101 H). para ahli fiqih madinah ini, sering disebut oleh para sejarawan dengan sebutan 7 Ahli fiqih madinah. Mereka inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya madzhab Imam Malik bin Anas, karena memang Imam Malik mewarisi ijtihad-ijtihad mereka.

Kenal dan Cinta

Intinya memang ketika mempelajari suatu pendapat madzhab, tidak cukup hanya melihat luarannya saja, tidak cukup hanya melihat fatwanya saja. Perlu didalami juga bagaimana proses terbentuknya madzhab itu sendiri, dan bagaimana metode yang dipakai dalam mengistinbath sebuah hukum. Sehingga kita tidak gampang mencela sebuah hasil ijtihad yang dilakukan oleh para imam itu.

Kita mempelajari ushul Al-Madzahib, dan bagaimana masa-masa ijtihad dari zaman sahabat, Tabi’in, sampai terbuntuknya madrasah Al-Kufah dan juga Madrasah Al-Hijaz, yang kemudian menelurkan banyak mujtahid serta para ahli fiqih serta madzhab-madzhab fiqih yang terbentuk.

Kalau kita mempelajari sejarahnya para Imam madzhab, kita akan tahu bagaimana mulianya mereka memperjuangkan syariah dan membumikan syariah di bumi Allah ini. dan kita juga tahu apa hikmah kenapa Allah memilih mereka untuk menjaga syariah-Nya. itu yang akhirnya membuat kita cinta mereka, yang dengan cinta ini akhirnya kita bisa menghargai ijtihad dan fatwa ulama itu sehingga tidak gampang mencela.

Tidak asal berbicara: “mereka juga manusia yang bisa salah!”

7 Ahli Fiqih Madinah

Di madinah setelah wafatnya Ibnu Umar pada tahun 74 H, dan mulai putusnya masa sahabat setelah kematian beliau, muncul kemudian masa tabiin.

Dan di Madinah, ada beberapa ulama yang memang mewarisi fiqih ahli madinah dari Umar bin khaththab, sayyidah ‘Aisyah, Ibnu Abbas serta Ibnu Umar itu sendiri.

Ulama menyebutnya dengan sebutan 7 Ahli Fiqih dari Madinah, dengan redaksi [فقهاء المدينة السبعة]. Dan mereka inilah yang disebut-sebut sebagai cikal bakal terbentuknya Madrasah Ahl Al-Hijaz yang kemudian menjadi madzhab Imam Malik bin Anas. 

Lalu siapakah 7 orang yang dikatakan sebagai 7 Ahli Fiqih dari Madinah itu?

Mereka adalah para Tabi’in yang hidup di madinah, dan menjadi patokan serta rujukan ilmu serta fatwa dalam masalah syariah setelah wafatnya para sahabat –Ridhwanullah ‘alaihim-, baik bagi para penduduk madinah atau juga selain madinah.

Dan mereka inilah yang menjadi penasehat (Mustasyar) bagi Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam hal syariah dan umat semasa kepemimpinannya akan khalifah ketika itu di madinah. Mereka adalah:

[1] ‘Urwah bin Zubair bin Awwam

Seorang tabi’in yang terkenal sebagai salah satu punggawa ulama Madrasah Al-Hijaz. Beliau lahir tahun 22 Hijrah diakhir masa kepimpinan Umar bin Khaththab, dan wafat tahun 93 Hijrah di madinah.

Beliau adalah salah satu tabi’in ­yang mempelajari fiqih dari tangan sayyidah ‘Aisyah. Sempat pindah ke bashrah, lalu ke Mesir selama 7 tahun dan akhirnya kembali ke madinah dan wafat di sana.

[2] Sa’id bin Al-Musayyib

Lahir di tahun ke 13 Hijrah dari kalangan bani Makhzum, salah satu qabilah masyhur dari kalangan quraisy, dan wafat di madinah tahun ke 94 Hijrah.

Karena kecerdasan dan kezuhudannya, beliau dijuliki sebagai sayyid Al-Tabi’in (Penghulunya para Tabi’in). selain itu beliau juga dijuliuki sebagai rawiyah Umar [راوية عمر] (Perawinya sayyidina Umar), disebut demikian karena beliau adalah orang madinah yang paling hafal dengan ijtihad-ijtihadnya umar serta qadha’-qadha’-nya

Diriwayatkan bahwa belaiau hidup dengan berjualan minyak wangi di madinah, dan sama sekali tidak pernah mau menerima hadiah, pemberian Cuma-Cuma.

[3] Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Al-Shiddiq

Beliau juga salah satu tabi’in ­yang mempelajari fiqih dari tangan sayyidah ‘Aisyah, karena memang setelah ayahnya, Muhammad bin Abi Bakr meninggal dunia, Al-Qasim kemudian dirawat oleh bibinya, Sayyidah ‘Aisyah.

Lahir di Madinah tahun ke 37 hijrah dan wafat di qadid, salah satu tempat antara Madinah dan Mekkah ketika sedang berhaji pada tahun 107 Hijrah. Beberapa hari atau bulan sebelum meninggal dunia, beliau kehilangan penglihatannya.

Dan perlu diketahui, bahwa beliau lah kakek dari Imam Madzhab Fiqih Ja’fari dari kalangan Syiah, yaitu Imam Ja’far Al-Shadiq (80 – 148 H).

[4] Khorijah bin Zaid bin Tsabit Al-Anshari

Ulama berselisih tentang statusnya, apakah ia seorang tabi’in atau juga seorang sahabat, karena itu beberapa ulama menyebutkan bahwa ia seorang sahabat dan yang lain menyebutnya sebagai tabi’in.

Tapi beliau lebih dekat dengan status tabi’in, melihat tahun kelahiran beliau sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Zirikly dalam Al-I’lam. Beliau lahir di tahun ke 29 Hijrah, dari kalangan bani Khozraj dan wafat di madinah tahun ke 99 hijrah. 

Beliau lebih terkenal ketika itu dengan ijtihad dan fatwa beliau dalam masalah-masalah baru yang belum pernah terjadi dan dibahas sebelumnya oleh yang lain. Selain itu, beliau juga sering menjadi rujukan penduduk madinah dalam masalah waris.

[5] ‘Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud

Mendapat julukan Mufti Al-Madinah (Muftinya negeri Madinah), dan juga disebut sebagai A’lam Al-Tabi’in [أعلام التابعين] (paling cerdasnya tabi’in). Ulama tidak mensepakati di tahun berapa beliau lahir, sempat pindah ke bashrah namun akhirnya kembali ke madinah dan beliau wafat di situ tahun ke 98 Hijrah.

Diantara banyaknya ulama madinah ketika itu, beliaulah yang menjadi pengajar langsung Umar bin Abdul Aziz dalam hal syariah dan sastra (adab), karena memang kegemerannya akan sastra.

[6]Abu Bakr bin Abdirrahman bin Al-Harits Al-Makhzumi

Salah satu petinggi tabi’in yang mnedapat julukan sebagai Rahib Quraisy, (Pendetanya kaum Quraisy) karena ke­-waro’an-nya yang sering sholat dan banyak puasa. Wafat di madinah tahun ke 94 Hijrah.

[7] Sulaiman bin Yasar

Lahir dari seorang ayah yang seorang Farsi (Persian) pada masa khilafah Utsman bin Affan, di tahun 34 Hijriyah. Dan wafat di madinah tahun ke 107 Hijrah.

Selain terkenal sebagai orang cerdas, beliau juga terkenal sebagai orang yang waro’, lagi rajin berpuasa sunnah. Karena kecerdasannya, Sa’id bin Al-Musayyib ketika dimintai fatwa oleh seseorang, beliau selalu mengatakan:

“datanglah kau ke Sulaiman bin Yasar, beliau orang yang paling cerdas yang tersisa pada zaman ini”.

Dalam kitabnya Al-Muqaddimah fi Ulum Al-Hadits (179), Imam Ibnu Sholah meriwayatkan adanya perbedaan ulama tentang ahli fiqih madinah ke-6 sebelum Sulaiman bin Yasar ini, antara 3 nama:

[-] Abu Bakr bin Abdirrahman

[-] Abu Salamah bin Abdirrahman bin ‘Auf (w. 104 H)


[-] Salim bin Abdillah bin Umar bin Khathtab (w. 106 H)

Wallahua'lam

Ahmad Zarkasih Lc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar