Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan

Kamis, 20 Maret 2014

Mengenal Madzhab-Madzhab Fiqh (Imam Abu Hanifah) bagian 2

Imam Abu Hanifah Dalam Istinbath Hukum

Sangat keras sekali apa yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabut (150 H) dalam menjaga kesucian dan kemurnian syariah ketika masa hidupnya ketika itu dari berbgai macam propaganda pemalsuan hadits.

Walaupun pergolakan politik ketika itu sudah lewat lebih dari setengah abad (40 H), yaitu perpindahan kekuasan dari Imam Hasan bin Ali karramallahu wajhahu kepada Mu’awiyah bin ABi Sufyan radhiyallahu ‘anhu yang dikatakan diambil secara paksa. Tetapi pengaruh gesekan politik itu masih punya peran dalam metodologi pengambilan hukum syariah (istinbath). Sehingga Imam Abu Hanifah sangat selektif sekali dalam mengambil hadits yang memang ketika itu banyak beredar di kalangan masyarakat.

Sampai-sampai pada masanya sang Imam, perbendaharaan hadits yang dikenal oleh masyarakat dan dijadikan sandaran hukum sangat minim sekali. Itu bukan karena sebab, karena memang itu dilakukan untuk menjaga keumurnian dan kesucian syariah itu sendiri dari propaganda pemalsuan hadits.

Memanasnya pergolakan politik di awal tahun 40 Hijrah, ketika pucuk kepimpinan khalifah berpindah dari sang cucu Nabi Muhammad saw, Imam Hasan bin Ali karromallahu wajhahu kepada Mua’wiyah bin Abi Sufyan, memberikan pengaruh cukup besar dalam sejarah terbentuknya madzhab.

Dalam kitabnya Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, Imam Muhammad Al-Khudhori Bik menjelaskan, bahwa kondisi politik seperti itu membuat masing-masing kelompok, -baik dari kalangan Syiah yang mendukung Ali bin Abi Thalib serta keluarganya untuk kepemimpinan dan juga kelompok yang mendukung Muawiyah- sangat antusias sekali agara apa yang mereka ambil dalam pandangan politik mereka itu didukung oleh setempel agama, baik dengan ayat-ayat suci, hadits serta juga fatwa ulama ahli Al-Diin.

Karena itu, muncul banyak hadits-hadots palsu yang dinisbatkan kepada Nabi, padahal sejatinya bukan hadits, yang berselewiran diantara masyarakata tentang perihal dukungan kepada masing-masing kelompok. Ini adalah salah satu factor utama tersebarnya hadits-hadits palsu ketika itu.

Sheikh Musthafa Al-Siba’i, dalam kitabnya yang masyhur Al-Sunnah wa Makanatuha Fi Al-Tasyri’ Al-Islami mengatakan dengan tegas bahwa kelompok syiah lah yang paling banyak menyumbangkan hadits-hadits palsu di tengah masyarakat. Banyak hadits-hadits palsu yang beredar dengan kandungan makna tuntutan kepada seorang muslim untuk tetap mencintai dan setia kepada keluarga Ali bin Abi Thalib.

Dan hadits-hadits palsu itu menyebar terus dan terwarisi sampai masanya Imam Abu Hanifah AL-Nu’man yang lahir di tahun 80 Hijrah. Jadi cara pengambilan hukum dari hadits yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah memang agak berbeda dengan para Imam lain. Ini dilakukan karena banyaknya propanganda hadits serta untuk melindungi dan memurnikan syariah dari berbagai distorsi.

Salah satunya ialah metode Imam Abu Hanifah dalam pengambilan hadits Mursal.    

Imam Abu Hanifah dan Hadits Mursal

Lihat bagaimana kedekatan masa Imam Abu Hanifah dengan para masa sahabat ridhwanullah ‘alaihim yang hanya dibatasi oleh masa tabi’in yang mereka semua adalah gurunya. Itu indikasi bahwa menjadi tidak masalah dalam madzhab ini mengambil hadits mursal.

Hadits mursal ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang tabi’in tanpa disebutkan sanad pada tingkat sahabt, tapi langsung kepada Nabi saw. Jadi ada satu tingkatan yang hilang, yaitu tingkatan sahabat. Padahal tidak mungkin tabi’in meriwayatkan langsung dari Nabi saw karena masanya berbeda, dan tabi’in tidak ada yang bertemu Nabi saw. 

Ingat bagaimana pergolakan hadits di masa Imam Abu Hanifah, yang ketika itu terjadi pergolakan politik dan perebutan politik yang akhirnya memicu banyaknya hadits palsu. Banyak hadits berseliweran di antara mereka tapi kesemuanya palsu, bukan hanya sanad, akan tetapi juga matan (teks) hadits itu sendiri.

Sehingga, menjadi sangat aman buat Imam Abu Hanifah untuk mengambil hadits mursal.

Mungkin menjadi pertanyaan yang cukup membingungkan, bagaimana bisa pada masa banyaknya pemalsuan hadits, Imam Abu Hanifah justru mengambil hadits mursal yang mana sanadnya itu terputus?

Harus diingat masa Imam Abu Hanifah itu sendiri, bahwa masanya sangat dekat sekali dengan tabi’in, yang mana mereka semua adalah gurunya Imam Abu Hanifah. Dan penerimaan Imam Abu Hanifah teradap hadits mursal tidaklah tanpa syarat. Mereka hanya mengambil hadits mursal yang itu adalah riwayat-riwayat para Imam Ahli Iraq, diantara: Al-Nakho’i, Al-Sya’bi (103 H), juga Hasan Al-Bashri (110H), dan juga guru beliau Hammad bin Abi Sulaiman.

Hadits Mursal Lebih Aman

Maka menerima hadits-hadits dari mereka itu jauh lebih aman karena mereka semua adalah orang yang tsiqh  dan tidak mungkin berdusta. Dibanding asal mengambil hadits dari orang yang tidak dikenal, walaupun sanadnya sampai ke Nabi saw. Karena bisa jadi itu adalah hadits yang dipalsukan.

Dengan menerima hadits mursal yang memang kesemuanya dari guru sang Imam, beliau bisa langsung menanyakan periwayatan hadits mursal ini, benarkah tidak ada sahabat yang meriwayatkan sehingga langsung kepada Nabi saw?

Dan perlu diketahui bahwa ketika zaman itu, para Tabi’in, yang juga termasuk gurunya Imam Abu Hanifah terbiasa dengan periwayatan langsung kepada Nabi saw jika memang itu sudah diriwayatkan oleh lebih dari 4 sahabat.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibrahim An-Nakho’i bahwa beliau tidak akan meriwayatkan sebuah hadits denagn irsal (tanpa menyebut sahabt) langsung ke Nabi kecuali memang itu diriwayatkan oleh lebih dari 70 sahabat. [Dijelaskan oleh Imam Muhammad Abu Zahroh di Ushul Al-Madzahib Al-Islamiyah, hal. 281]

Jadi hadits mursal ketika zaman Imam Abu Hanifah memang berbeda dengan zaman setelahnya seperti masa Imam Al-Syafi’i (204 H) atau juga Imam Ahmad bin Hanbal (247 H) yang memasukkan hadits mursal kedalam golongan hadits lemah (dhoif).

Begitulah cara Imam Abu Hanifah, memurnikan syariah ini dengan begitu strick dalam memilih sebuah hadits karena khawatir akan masuknya hadits palsu kedalam syariah ini.

Benarkah tuduhan bahwa Imam Abu Hanifah banyak meninggalkan hadits dan beralih ke qiyas?

Imam Abu Hanifah dan Qiyas

Seperti yang sudah dijelaskan di bagian awal dari serial artikel “Mengenal Madzhab-Madzhab Fiqih” ini, bahwa tema besar yang diangkat ialah “Tak Kenal maka tak sayang!”, melihat banyaknya tuduhan miring kepada para imam madzhab dalam metodologi pengambilan hukum yang mereka pakai.

Sayangnya, yang membenci itu hanya melihat dari satu sisi saja, hanya melihat dari apa yang ia punya tanpa mau berkenalan dengan siapa yang ia kritik. Akhirnya kritiknya menjadi justifikasi dan menghakimi.

Nah, salah satu yang sering disinggung dalam masalah ini ialah madzhab Imam Abu Hanifah yang dikatakan sering sekali meninggalkan hadits dan beralih ke ra’yu (logika) dalam bentuk qiyas atau istihsan.

Banyak yang mengkrtik beliau bahwa madzhab Imam Ahl Iraq ini lebih mendahulukan qiyas dibanding dengan hadits itu sendiri. Padahal qiyas adalah produk ijtihad manusia yang sangat rawan kesalahan, sedangkan hadits adalah produk suci wahyu Allah swt kepada Nabi saw.

Tapi, apa benar seorang Imam Abu Hanifah lebih memilih qiyas yang mana itu adalah pekerjaan otak (ra’yu) dibanding mengambil kesimpulan hukum dari hadits Nabi saw?

Imam Abu Hanifah Mendahulukan Ra’yu Dibanding Hadits?

Sebelum kita menilai yang macama-macam dan tidak jelas arahnya, maka baiknya dan memang seharusnya kita dengar apa kata Imam Abu Hanifah sendiri sebagai Imam Madzhab Hanafi dalam mengambil kesimpulan hukum. Apakah benar seperti yang dituduhkan?

Dalam kitabnya Tarikh Baghdad (13/368), Imam Al-Khathib Al-Baghdadi meriwayatkan perkataan Imam Abu Hanifah dalam metodenya menyimplkan sebuah hukum:

آخذ بكتاب الله فما لم أجد فبسنة رسول الله صلى الله عليه و سلم فان لم أجد في كتاب الله ولا سنة رسول الله صلى الله عليه و سلم أخذت بقول أصحابه آخذ بقول من شئت منهم وأدع من شئت منهم ولا أخرج من قولهم إلى قول غيرهم فأما إذا انتهى الأمر أو جاء إلى إبراهيم والشعبي وبن سيرين والحسن وعطاء وسعيد بن المسيب وعدد رجالا فقوم اجتهدوا فاجتهد كما اجتهدوا

“Aku mengambil (hukum) dengan kitab Allah swt (al-Quran), dan apa yang aku tidak dapati di Al-Quran, aku mengambil dari hadits-hadits Nabi saw. Kalau aku tidak menemukannya di Al-Quran dan juga tidak di hadits Nabi saw, aku mengambil dari fatwa (perkataan) para sahabat Nabi saw, aku mengambil dari mereka yang aku mau, dan aku tingalkan yang aku mau (memilih), akan tetapi aku tidak keluar dari perkataan mereka kepada selain mereka (sahabat).

Kalau dari para sahabat juga aku tidak menemukan, atau perkara ini sampai pada Ibrahim Al-Nakho’i, SUfyan Al-Tsauri, Al-Sya’bi, Hasan Al-Bashri, ‘Atho, dan Said bin Al-Musayyib dan beberapa orang lain (dari kalangan tabi’in), maka aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad!”

Begitu juga dengan redaksi yang sama disebutkan oleh Imam Al-Mizi dalam kitabnya Tahdzib Al-Kamal (29/443). Begitu oleh Imam Ibnu Abdil Barr (463 H) dalam kitabnya Al-Intiqo’ fi Fadhoil Al-Tsalastah Al-Aimmah Al-Fuqoha’ )hal 144).

Dari perkataan sang Imam, bisa disimpulkan bahwa metode penagmbilan hukum madzhab Imam Abu Hanifah adalah:

1.   Al-Quran

2.   Hadits

3.   (Ijma’)

4.   Perkataan/Fatwa Sahabat

5.   Qiyas

Ini tidak seperti yang dituduhkan orang bahwa beliau mendahulukan qiyas daripada hadits Nabi saw. Terlihat jelas bahwa memang Imam Abu Hanifah lebih mnedahulukan hadits daripada QIyas itu sendiri yang merupakan produk ijtihad akal.

Jawaban Atas Tuduhan

Memang dalam pendapat madzhab madzhab Hanafi ini kita akan dapati bahwa sang Imam dalam beberapa masalah memakai qiyas padahal pada perkara tersebut ada hadits-nya.

Dalam masalah ini, bisa dijawab dengan beberapa jawaban:

Pertama: Ketat Dalam Menerima Hadits

Yang perlu diketahui sejak awal ialah kita harus menerima kenyataan bahwa pen-statusan sebauh hadits menjadi shahih dan dhaif itu adalah perkara jtihad juga yang di dalamnya terdapat perbedaan. Pada ulama A hadits ini bisa dikatakan shahih, namun pada ulama B hadits itu bisa berubah lagi setatusnya.

Dalam masalah Imam Abu Hanifah ini, sebagaimana kita singgung sebelumnya bahwa beliau hidup di masa kerasnya propaganda terhadap hadits sehingga muncul banyaknya pemalsuan hadits. Karena itu beliau (Imam Abu Hanifah) sangat ketat sekali dalam menerima hadits. (kecuali hadits mutawatir yang diriwayatkan dari jalur yang qath’iy) 

Hadits-hadits Ahad yang diterima tidaklah asal terima, semua dicek sehingga tidak meninggalkan keraguan sedikitpun bahwa ini benar hadits shahih yang bisa dijadikan dalil.

Imam Al-Sarakhsi (483 H) dalam kitab Ushul-nya menyebutkan beberapa kriteria hadits yang bisa diterima sebagai dalil dalam madzhab Imam Abu Hanifah, diantara:

1.   Hadits ahad tidak boleh bertantangan dengan dasar-dasar pokok syariah yang sudah disepakati atau yang ditetapkan dengan jalur qath’iy.

2.   Hadits Ahad tidak boleh menyelisih kandungan umum ayat quran.

3.   Hadits Ahad tidak boleh menyelisih hadits yang masyhur atau yang diriwayatkan secara mutawatir.

4.   Perawi Hadits Ahad tidak boleh menyelisih apa yang diriwayatkan. Kalau ada hadits yang perawinya menyelisih apa yang diriwayatkan, hadits itu menjadi tidak terpakai dalam hukum.

5.   Kalau perkara itu adalah perkara yang terjaid setiap hari dan semua orang tahu, hadits yang menjelaskan tentang itu haruslah mutawatir atau masyhur, kalau tidak maka tidak bisa menjadi dalil.

Apa yang disyaratkan ini bukanlah perkara yang asal jadi, melainkan kesemuanya syarat tersebut dibuat dengan alasan yang objektif dan demi menjaga kemurnian syariah ditengah banyaknya pemalsuan hadits ketika itu.

Jadi, ketika ada suatu masalah yang dihadapi oleh sang Imam, beliau lebih dulu mencari ayat yang membahas ini. jika tidak ada, ia mencari dari para sahabatnya dan gurunya yang lain apakah ada hadits yang menerangkan perkara yang sedang dihadapi atau tidak.

kalau memang ada, maka parameter yang disebutkan di atas itu tadi menjadi patokan diterima atau tidaknya hadits tersebut. Ketika hadits itu tidak lolos uji, maka yang dilakukan oleh sang Imam adalah berijtihad.

Kedua: Hadits Shahih Tidak Mesti Jadi Dalil

Dalam menentukan hukum, seorang mujtahid tidak hanya punya satu buah hadits di atas meja beliau, melainkan lebih dari satu bahkan puluhan bahkan juga lebih.

Hadits yang shahih menurut seorang mujtahid bisa saja tidak dijadikan dalil sebuah hukum karena alasan tertentu. bisa saja ada hadits yang jalurnya lebih kuat yang menyelisih, atau juga hadits shahih ini kandungannya umum da nada hadts lain yang mengkhususkannya. Atau juga bisa jadi hadits ini sudah di-mansukh oleh hadits lain atau ayat Al-Quran. Jadi banyak kemungkinan.

Nah, begitu juga yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah, beliau bisa saja meninggalkan hadits yang dianggap shahih oleh orang lain, tentu karena sebab yang orang lain tidak mengetahuinya. Dan ini juga kita temui di imam-imam lain selain Imam Abu Hanifah, bahwa banyak hadits-hadits shahih yang mereka tinggalkan karena melihat adanya hadits lain yang mengkhususkannya (takhshis), atau lebih kuat dari segi sanad dan perawinya atau karena hadits itu telah di-mansukh.

Jadi perkara hukum bukanlah perkara hadits saja melainkan bagaimana ber-isitidal dan menyimpulkan suatu hukum dari banyak hadits yang ada. Ini juga yang membedakan antara ahli hadits dan ahli fiqih yang berijtihad.

Ini juga yang menjadi sindiran beliau (Imam Abu Hanifah) kepada mereka yang hanya mengumpulkan hadits, tapi tidak mengerti maksud hadits tersebut. Dalam perkataan beliau yang masyhur:

مثل من يطلب الحديث ولا يتفقه كمثل الصيدلاني يجمع الأدوية ولا يدري لأي داء هي، حتى يجيء الطبيب .. هكذا طالب الحديث لا يعرف وجه الحديث حتى يجيء الفقيه

“Perumpamaan orang yang mencari hadits tapi tidak memahami (maksud hadits tersebut) itu bagaikan apoteker yang mengumpulkan banyak obat akan tetapi ia tidak tahu untuk penyakit apa obat itu, sampai datang seorang dokter. Begitu juga seorang yang mencari hadits, ia tidak mengerti maksud hadits tersebut sampai datang seorang faqih (Ahli Fiqih)”

Kita tutup pembahasan ini dengan perkatan sheikhul-Islam Ibnu Taimiyah Al-Harani (278 H):

وَمَنْ ظَنَّ بِأَبِي حَنِيفَةَ أَوْ غَيْرِهِ مِنْ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ أَنَّهُمْ يَتَعَمَّدُونَ مُخَالَفَةَالْحَدِيثِ الصَّحِيحِ لِقِيَاسِ أَوْ غَيْرِهِ فَقَدْ أَخْطَأَ

“siapa yang mengaanggap bahwa Imam Abu Hanifah atau Imam lainnya menyengaja meninggalkan (menyelisih) hadits Nabi saw dan beralih kepada qiyas atau lainnya, maka ia telah keliru!” (Majmu’ Al-fatawa 20/304)  

Wallahu a'lam

Ahmad Zarkasih, Lc


Mengenal Madzhab-Madzhab Fiqh (Imam Abu Hanifah) bagian 1.

“Tak kenal maka tak sayang, tak sayang mak tak cinta”

Ini adalah pribahasa Indonesia paling populer sepanjang masa perjalanan sejarah bangsa ini yang mengartikan bahwa sebuah cinta tidak bisa datang tiba-tiba dalam diri seseorang kepada orang lain. Kalau mau bisa cinta, cara untuk menuju kesitu harusnya dengan mengenalnya lebih dalam.

Mungkin pribasaha ini juga cocok bagi mereka yang sepertinya atau memang memandang madzhab-madzhab fiqih sebagai momok yang harus dijauhkan karena banyaknya perbedaan diantara mereka yang memicu perpecahan.

Atau mungkin bagi mereka yang sering sekali menganggap bahwa madzhab-madzhab fiqih itu sudah terlalu jauh meninggalkan Quran dan sunnah, karena terlalu banyak berdalil dengan akal para imam mereka sendiri. Beranggapan seakan-akan para imam madzhab tidak mengerti ayat dan hadits.

Dan masih banyak lagi faktor yang membuat seseorang –hingga saat ini- masih memandang madzhab fiqih sebagai sesuatu yang tidak perlu, karena yang dibutuhkan itu ialah mengerjakan segala sesuatu dalam ibadah dengan dalil al-Quran dan Sunnah saja tanpa harus melauli madzhab.

Akhirnya ini yang membuat mereka benci dengan fiqih itu sendiri, madzhab lebih khususnya. Karena beranggapan madzhab fiqih hasil olahan manusia yang ‘bisa salah’, berbeda dengan al-Quran dan sunnah yang memang turun dari Allah swt melalui manusia yang makshum dari kesalahan; Muhammad saw.

Mereka tanpa sadar bahwa mereka juga memahami al-Quran dan sunnah dengan pamahaman mereka sendiri yang sejatinya adalah mereka manusia yang sangat rentan terjerumus dalam kesalahan.

Harusnya mereka sadar, kalau saja bukan karena para imam tersebut, mereka pastinya tidak akan tahu bagaimana caranya beribadah kepada Allah swt? Anehnya mereka masih bisa mengejek fatwa-fatwa para imam!?

Mungkin Karena Tidak Kenal

Mungkin kebencian mereka itu karena memang mereka tidak tahu atau tidak mau tahu tentang siapa itu imam-imam madzhab fiqih. Seandainya mereka tahu dan mempelajarinya, bagaimana terbentuknya madzhab fiqih itu sendiri, siapa imam-imamm madzhab yang memang diakui sejagad ini, niscaya bukan benci yang ada, tapi justru cinta yang akhirnya membawa mau ber-husnudzonn kepada para imam madzhab fiqih itu sendiri.

Jadi, obat satu-satunya ya harus mengenal dulu siapa mereka sebetulnya? Bagaimana proses terbentuknya madzhab itu sendiri? Lalu bagaimana Allah swt menjadikan mereka punggawa-punggawa yang membumikan syariat-Nya di muka bumi? Lalu seperti apa perjuangan mereka membentengi umat dari serbuan pemikiran yang menggerus syarah di setiap zaman mereka hidup? Ini yang semuanya mesti di kaji.

Para imam madzhab bukan tidak mengerti ayat dan hadits, justru mereka adalah orang-orang yang paling mengerti ayat dan hadits di zamannya. Meninggalkannya mereka akan ayat dan hadits yang secara kasat mata kita itu adalah dalil yang shahih, itu bukan berarti mereka tidak mengerti. Justru kita yang tidak mengerti bagaimana cara mereka beristimbath dan berdalil atas sebuah hukum.

Maka menjadi penting untuk kita mengetahui bagaimana terbentuknya madzhab fiqih itu sendiri dan bagaimana mereka berdalil dalam setiap hukumnya.

Ibnu Mas’ud = Imam Ahli Fiqih Iraq

Mestinya kita tahu proses pengutusan sayyidina Ibnu Mas’ud (32 H) oleh sayyidina Umar bin Khaththab (23 H) ke Kuffah sebagai qadhi (Hakim) ketika Islam sudah mulai berkembang sampai Persia. Dari sinilah bibit madzhab fiqih mulai ter-design.

Karena seorang hakim, mau tidak mau pasti berijtihad. Bagaimana tidak? toh setiap hari sayyidina Ibnu Mas’ud selalu dihadapkan kepada suatu masalah masyarakat. Apakah seorang hakim diam saja tanpa menggunakan akalnya untuk memberika solusi bagi konsekuennya?

Dari ijtihad-ijtihad sayyidina Ibnu Mas’ud ini menjadi patokan dasar fiqih madrasah al-Kufa, (yang nantinya akan menjadi madzhab hanafi) yang dikumpulkan dan diamalkan kembali oleh Alqamah bin Qais (62 H).

Dari Alqamah, kemudian warisan fiqih kufah itu diwariskan kepada muridnya, yaitu Ibrahim Al-Nakho’i (96 H), lalu turun lagi ke murid beliau, yaitu Hammad bin Abi Sulaiman (120 H), dan akhirnya sampai kepada Imam Abu Hanifah Al-Nukman bin Tsabit (150 H).

Umar dan Ibnu Umar = Bibit Fiqih Ahli Madinah

Begitu pun dengan apa yang dilakukan oleh sayyidina Umar bin Khathtab itu sendiri ketika menjawab khalifah sekaligus qadhi (hakim) di madinah. Tentu banyak masalah yang dihadapi, banyak pengaduan dan banyak problem keagamaa yang mesti dicari jalan keluarnya ketika itu.

Itu kenapa yang banyak kita dengar dari kalangan sahabat ialah sayyidina Umar yang paling banyak ijtihadnya. Ya tentu. Karena beliau adalah Hakim dan khalifah, terlebih lagi bahwa masa kepimpinannya jauh lebih lama dibanding khalifah yang lain.

Tentu banyak masalah yang dipecahkan oleh beliau dengan ijtihad-ijtihadnya. Tentu itu pada masalah yang memang tidak tersentuh secara langsung oleh al-Quran dan hadits. Karena tidak mungkin seorang khalifah berijtihad pada sesuatu yang sudah ada ketetapnnya dalam 2 teks suci itu. 

Nah, ijtihad-ijtihad Umar bin Khthtab inilah yang disebut dengan istilah maslahah [المصلحة] dalam ilmu ushul, yang menjadi patokan dan rujukan terbentuk madrasah fiqih Ahli Madinah (yang kemudian menjadi madzhab Al-Maliki). Dan kemudian juga diwarisi oleh anaknya sendiri, yaitu Abdullah bin Umar (74 H).

Setelah itulah muncul beberapa hali fiqih madinah yang hampir kesemuanya menjadi penesehat khalifah Umar bin Abdul Aziz (101 H). para ahli fiqih madinah ini, sering disebut oleh para sejarawan dengan sebutan 7 Ahli fiqih madinah. Mereka inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya madzhab Imam Malik bin Anas, karena memang Imam Malik mewarisi ijtihad-ijtihad mereka.

Kenal dan Cinta

Intinya memang ketika mempelajari suatu pendapat madzhab, tidak cukup hanya melihat luarannya saja, tidak cukup hanya melihat fatwanya saja. Perlu didalami juga bagaimana proses terbentuknya madzhab itu sendiri, dan bagaimana metode yang dipakai dalam mengistinbath sebuah hukum. Sehingga kita tidak gampang mencela sebuah hasil ijtihad yang dilakukan oleh para imam itu.

Kita mempelajari ushul Al-Madzahib, dan bagaimana masa-masa ijtihad dari zaman sahabat, Tabi’in, sampai terbuntuknya madrasah Al-Kufah dan juga Madrasah Al-Hijaz, yang kemudian menelurkan banyak mujtahid serta para ahli fiqih serta madzhab-madzhab fiqih yang terbentuk.

Kalau kita mempelajari sejarahnya para Imam madzhab, kita akan tahu bagaimana mulianya mereka memperjuangkan syariah dan membumikan syariah di bumi Allah ini. dan kita juga tahu apa hikmah kenapa Allah memilih mereka untuk menjaga syariah-Nya. itu yang akhirnya membuat kita cinta mereka, yang dengan cinta ini akhirnya kita bisa menghargai ijtihad dan fatwa ulama itu sehingga tidak gampang mencela.

Tidak asal berbicara: “mereka juga manusia yang bisa salah!”

7 Ahli Fiqih Madinah

Di madinah setelah wafatnya Ibnu Umar pada tahun 74 H, dan mulai putusnya masa sahabat setelah kematian beliau, muncul kemudian masa tabiin.

Dan di Madinah, ada beberapa ulama yang memang mewarisi fiqih ahli madinah dari Umar bin khaththab, sayyidah ‘Aisyah, Ibnu Abbas serta Ibnu Umar itu sendiri.

Ulama menyebutnya dengan sebutan 7 Ahli Fiqih dari Madinah, dengan redaksi [فقهاء المدينة السبعة]. Dan mereka inilah yang disebut-sebut sebagai cikal bakal terbentuknya Madrasah Ahl Al-Hijaz yang kemudian menjadi madzhab Imam Malik bin Anas. 

Lalu siapakah 7 orang yang dikatakan sebagai 7 Ahli Fiqih dari Madinah itu?

Mereka adalah para Tabi’in yang hidup di madinah, dan menjadi patokan serta rujukan ilmu serta fatwa dalam masalah syariah setelah wafatnya para sahabat –Ridhwanullah ‘alaihim-, baik bagi para penduduk madinah atau juga selain madinah.

Dan mereka inilah yang menjadi penasehat (Mustasyar) bagi Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam hal syariah dan umat semasa kepemimpinannya akan khalifah ketika itu di madinah. Mereka adalah:

[1] ‘Urwah bin Zubair bin Awwam

Seorang tabi’in yang terkenal sebagai salah satu punggawa ulama Madrasah Al-Hijaz. Beliau lahir tahun 22 Hijrah diakhir masa kepimpinan Umar bin Khaththab, dan wafat tahun 93 Hijrah di madinah.

Beliau adalah salah satu tabi’in ­yang mempelajari fiqih dari tangan sayyidah ‘Aisyah. Sempat pindah ke bashrah, lalu ke Mesir selama 7 tahun dan akhirnya kembali ke madinah dan wafat di sana.

[2] Sa’id bin Al-Musayyib

Lahir di tahun ke 13 Hijrah dari kalangan bani Makhzum, salah satu qabilah masyhur dari kalangan quraisy, dan wafat di madinah tahun ke 94 Hijrah.

Karena kecerdasan dan kezuhudannya, beliau dijuliki sebagai sayyid Al-Tabi’in (Penghulunya para Tabi’in). selain itu beliau juga dijuliuki sebagai rawiyah Umar [راوية عمر] (Perawinya sayyidina Umar), disebut demikian karena beliau adalah orang madinah yang paling hafal dengan ijtihad-ijtihadnya umar serta qadha’-qadha’-nya

Diriwayatkan bahwa belaiau hidup dengan berjualan minyak wangi di madinah, dan sama sekali tidak pernah mau menerima hadiah, pemberian Cuma-Cuma.

[3] Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Al-Shiddiq

Beliau juga salah satu tabi’in ­yang mempelajari fiqih dari tangan sayyidah ‘Aisyah, karena memang setelah ayahnya, Muhammad bin Abi Bakr meninggal dunia, Al-Qasim kemudian dirawat oleh bibinya, Sayyidah ‘Aisyah.

Lahir di Madinah tahun ke 37 hijrah dan wafat di qadid, salah satu tempat antara Madinah dan Mekkah ketika sedang berhaji pada tahun 107 Hijrah. Beberapa hari atau bulan sebelum meninggal dunia, beliau kehilangan penglihatannya.

Dan perlu diketahui, bahwa beliau lah kakek dari Imam Madzhab Fiqih Ja’fari dari kalangan Syiah, yaitu Imam Ja’far Al-Shadiq (80 – 148 H).

[4] Khorijah bin Zaid bin Tsabit Al-Anshari

Ulama berselisih tentang statusnya, apakah ia seorang tabi’in atau juga seorang sahabat, karena itu beberapa ulama menyebutkan bahwa ia seorang sahabat dan yang lain menyebutnya sebagai tabi’in.

Tapi beliau lebih dekat dengan status tabi’in, melihat tahun kelahiran beliau sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Zirikly dalam Al-I’lam. Beliau lahir di tahun ke 29 Hijrah, dari kalangan bani Khozraj dan wafat di madinah tahun ke 99 hijrah. 

Beliau lebih terkenal ketika itu dengan ijtihad dan fatwa beliau dalam masalah-masalah baru yang belum pernah terjadi dan dibahas sebelumnya oleh yang lain. Selain itu, beliau juga sering menjadi rujukan penduduk madinah dalam masalah waris.

[5] ‘Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud

Mendapat julukan Mufti Al-Madinah (Muftinya negeri Madinah), dan juga disebut sebagai A’lam Al-Tabi’in [أعلام التابعين] (paling cerdasnya tabi’in). Ulama tidak mensepakati di tahun berapa beliau lahir, sempat pindah ke bashrah namun akhirnya kembali ke madinah dan beliau wafat di situ tahun ke 98 Hijrah.

Diantara banyaknya ulama madinah ketika itu, beliaulah yang menjadi pengajar langsung Umar bin Abdul Aziz dalam hal syariah dan sastra (adab), karena memang kegemerannya akan sastra.

[6]Abu Bakr bin Abdirrahman bin Al-Harits Al-Makhzumi

Salah satu petinggi tabi’in yang mnedapat julukan sebagai Rahib Quraisy, (Pendetanya kaum Quraisy) karena ke­-waro’an-nya yang sering sholat dan banyak puasa. Wafat di madinah tahun ke 94 Hijrah.

[7] Sulaiman bin Yasar

Lahir dari seorang ayah yang seorang Farsi (Persian) pada masa khilafah Utsman bin Affan, di tahun 34 Hijriyah. Dan wafat di madinah tahun ke 107 Hijrah.

Selain terkenal sebagai orang cerdas, beliau juga terkenal sebagai orang yang waro’, lagi rajin berpuasa sunnah. Karena kecerdasannya, Sa’id bin Al-Musayyib ketika dimintai fatwa oleh seseorang, beliau selalu mengatakan:

“datanglah kau ke Sulaiman bin Yasar, beliau orang yang paling cerdas yang tersisa pada zaman ini”.

Dalam kitabnya Al-Muqaddimah fi Ulum Al-Hadits (179), Imam Ibnu Sholah meriwayatkan adanya perbedaan ulama tentang ahli fiqih madinah ke-6 sebelum Sulaiman bin Yasar ini, antara 3 nama:

[-] Abu Bakr bin Abdirrahman

[-] Abu Salamah bin Abdirrahman bin ‘Auf (w. 104 H)


[-] Salim bin Abdillah bin Umar bin Khathtab (w. 106 H)

Wallahua'lam

Ahmad Zarkasih Lc