Imam Abu Hanifah Dalam Istinbath Hukum
Sangat keras sekali apa yang dilakukan
oleh Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabut (150 H) dalam menjaga kesucian dan kemurnian
syariah ketika masa hidupnya ketika itu dari berbgai macam propaganda pemalsuan
hadits.
Walaupun pergolakan politik ketika itu
sudah lewat lebih dari setengah abad (40 H), yaitu perpindahan kekuasan dari
Imam Hasan bin Ali karramallahu wajhahu kepada Mu’awiyah bin ABi Sufyan
radhiyallahu ‘anhu yang dikatakan diambil secara paksa. Tetapi pengaruh gesekan
politik itu masih punya peran dalam metodologi pengambilan hukum syariah
(istinbath). Sehingga Imam Abu Hanifah sangat selektif sekali dalam mengambil
hadits yang memang ketika itu banyak beredar di kalangan masyarakat.
Sampai-sampai pada masanya sang Imam,
perbendaharaan hadits yang dikenal oleh masyarakat dan dijadikan sandaran hukum
sangat minim sekali. Itu bukan karena sebab, karena memang itu dilakukan untuk
menjaga keumurnian dan kesucian syariah itu sendiri dari propaganda pemalsuan
hadits.
Memanasnya pergolakan politik di awal
tahun 40 Hijrah, ketika pucuk kepimpinan khalifah berpindah dari sang cucu Nabi
Muhammad saw, Imam Hasan bin Ali karromallahu wajhahu kepada Mua’wiyah bin Abi
Sufyan, memberikan pengaruh cukup besar dalam sejarah terbentuknya madzhab.
Dalam kitabnya Tarikh Al-Tasyri’
Al-Islami, Imam Muhammad Al-Khudhori Bik menjelaskan, bahwa kondisi politik
seperti itu membuat masing-masing kelompok, -baik dari kalangan Syiah yang
mendukung Ali bin Abi Thalib serta keluarganya untuk kepemimpinan dan juga
kelompok yang mendukung Muawiyah- sangat antusias sekali agara apa yang mereka
ambil dalam pandangan politik mereka itu didukung oleh setempel agama, baik
dengan ayat-ayat suci, hadits serta juga fatwa ulama ahli Al-Diin.
Karena itu, muncul banyak hadits-hadots
palsu yang dinisbatkan kepada Nabi, padahal sejatinya bukan hadits, yang
berselewiran diantara masyarakata tentang perihal dukungan kepada masing-masing
kelompok. Ini adalah salah satu factor utama tersebarnya hadits-hadits palsu
ketika itu.
Sheikh Musthafa Al-Siba’i, dalam
kitabnya yang masyhur Al-Sunnah wa Makanatuha Fi Al-Tasyri’ Al-Islami
mengatakan dengan tegas bahwa kelompok syiah lah yang paling banyak
menyumbangkan hadits-hadits palsu di tengah masyarakat. Banyak hadits-hadits
palsu yang beredar dengan kandungan makna tuntutan kepada seorang muslim untuk
tetap mencintai dan setia kepada keluarga Ali bin Abi Thalib.
Dan hadits-hadits palsu itu menyebar
terus dan terwarisi sampai masanya Imam Abu Hanifah AL-Nu’man yang lahir di
tahun 80 Hijrah. Jadi cara pengambilan hukum dari hadits yang dilakukan oleh
Imam Abu Hanifah memang agak berbeda dengan para Imam lain. Ini dilakukan
karena banyaknya propanganda hadits serta untuk melindungi dan memurnikan
syariah dari berbagai distorsi.
Salah satunya ialah metode Imam Abu
Hanifah dalam pengambilan hadits Mursal.
Imam Abu Hanifah dan Hadits Mursal
Lihat bagaimana kedekatan masa Imam Abu
Hanifah dengan para masa sahabat ridhwanullah ‘alaihim yang hanya dibatasi oleh
masa tabi’in yang mereka semua adalah gurunya. Itu indikasi bahwa menjadi tidak
masalah dalam madzhab ini mengambil hadits mursal.
Hadits mursal ialah hadits yang
diriwayatkan oleh seorang tabi’in tanpa disebutkan sanad pada tingkat sahabt,
tapi langsung kepada Nabi saw. Jadi ada satu tingkatan yang hilang, yaitu
tingkatan sahabat. Padahal tidak mungkin tabi’in meriwayatkan langsung dari
Nabi saw karena masanya berbeda, dan tabi’in tidak ada yang bertemu Nabi
saw.
Ingat bagaimana pergolakan hadits di
masa Imam Abu Hanifah, yang ketika itu terjadi pergolakan politik dan perebutan
politik yang akhirnya memicu banyaknya hadits palsu. Banyak hadits berseliweran
di antara mereka tapi kesemuanya palsu, bukan hanya sanad, akan tetapi juga
matan (teks) hadits itu sendiri.
Sehingga, menjadi sangat aman buat Imam
Abu Hanifah untuk mengambil hadits mursal.
Mungkin menjadi pertanyaan yang cukup
membingungkan, bagaimana bisa pada masa banyaknya pemalsuan hadits, Imam Abu
Hanifah justru mengambil hadits mursal yang mana sanadnya itu terputus?
Harus diingat masa Imam Abu Hanifah itu
sendiri, bahwa masanya sangat dekat sekali dengan tabi’in, yang mana mereka
semua adalah gurunya Imam Abu Hanifah. Dan penerimaan Imam Abu Hanifah teradap
hadits mursal tidaklah tanpa syarat. Mereka hanya mengambil hadits mursal yang
itu adalah riwayat-riwayat para Imam Ahli Iraq, diantara: Al-Nakho’i, Al-Sya’bi
(103 H), juga Hasan Al-Bashri (110H), dan juga guru beliau Hammad bin Abi
Sulaiman.
Hadits Mursal Lebih Aman
Maka menerima hadits-hadits dari mereka
itu jauh lebih aman karena mereka semua adalah orang yang tsiqh dan tidak mungkin berdusta. Dibanding asal
mengambil hadits dari orang yang tidak dikenal, walaupun sanadnya sampai ke
Nabi saw. Karena bisa jadi itu adalah hadits yang dipalsukan.
Dengan menerima hadits mursal yang
memang kesemuanya dari guru sang Imam, beliau bisa langsung menanyakan
periwayatan hadits mursal ini, benarkah tidak ada sahabat yang meriwayatkan
sehingga langsung kepada Nabi saw?
Dan perlu diketahui bahwa ketika zaman
itu, para Tabi’in, yang juga termasuk gurunya Imam Abu Hanifah terbiasa dengan
periwayatan langsung kepada Nabi saw jika memang itu sudah diriwayatkan oleh
lebih dari 4 sahabat.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibrahim
An-Nakho’i bahwa beliau tidak akan meriwayatkan sebuah hadits denagn irsal
(tanpa menyebut sahabt) langsung ke Nabi kecuali memang itu diriwayatkan oleh
lebih dari 70 sahabat. [Dijelaskan oleh Imam Muhammad Abu Zahroh di Ushul
Al-Madzahib Al-Islamiyah, hal. 281]
Jadi hadits mursal ketika zaman Imam Abu
Hanifah memang berbeda dengan zaman setelahnya seperti masa Imam Al-Syafi’i
(204 H) atau juga Imam Ahmad bin Hanbal (247 H) yang memasukkan hadits mursal
kedalam golongan hadits lemah (dhoif).
Begitulah cara Imam Abu Hanifah,
memurnikan syariah ini dengan begitu strick dalam memilih sebuah hadits karena
khawatir akan masuknya hadits palsu kedalam syariah ini.
Benarkah tuduhan bahwa Imam Abu Hanifah
banyak meninggalkan hadits dan beralih ke qiyas?
Imam Abu Hanifah dan Qiyas
Seperti yang sudah dijelaskan di bagian
awal dari serial artikel “Mengenal Madzhab-Madzhab Fiqih” ini, bahwa tema besar
yang diangkat ialah “Tak Kenal maka tak sayang!”, melihat banyaknya tuduhan
miring kepada para imam madzhab dalam metodologi pengambilan hukum yang mereka
pakai.
Sayangnya, yang membenci itu hanya
melihat dari satu sisi saja, hanya melihat dari apa yang ia punya tanpa mau
berkenalan dengan siapa yang ia kritik. Akhirnya kritiknya menjadi justifikasi
dan menghakimi.
Nah, salah satu yang sering disinggung
dalam masalah ini ialah madzhab Imam Abu Hanifah yang dikatakan sering sekali
meninggalkan hadits dan beralih ke ra’yu (logika) dalam bentuk qiyas atau
istihsan.
Banyak yang mengkrtik beliau bahwa
madzhab Imam Ahl Iraq ini lebih mendahulukan qiyas dibanding dengan hadits itu
sendiri. Padahal qiyas adalah produk ijtihad manusia yang sangat rawan
kesalahan, sedangkan hadits adalah produk suci wahyu Allah swt kepada Nabi saw.
Tapi, apa benar seorang Imam Abu Hanifah
lebih memilih qiyas yang mana itu adalah pekerjaan otak (ra’yu) dibanding
mengambil kesimpulan hukum dari hadits Nabi saw?
Imam Abu Hanifah Mendahulukan Ra’yu
Dibanding Hadits?
Sebelum kita menilai yang macama-macam
dan tidak jelas arahnya, maka baiknya dan memang seharusnya kita dengar apa
kata Imam Abu Hanifah sendiri sebagai Imam Madzhab Hanafi dalam mengambil
kesimpulan hukum. Apakah benar seperti yang dituduhkan?
Dalam kitabnya Tarikh Baghdad (13/368),
Imam Al-Khathib Al-Baghdadi meriwayatkan perkataan Imam Abu Hanifah dalam
metodenya menyimplkan sebuah hukum:
آخذ بكتاب الله فما لم أجد فبسنة رسول الله صلى الله عليه و سلم فان لم أجد في كتاب الله ولا سنة رسول الله صلى الله عليه و سلم أخذت بقول أصحابه آخذ بقول من شئت منهم وأدع من شئت منهم ولا أخرج من قولهم إلى قول غيرهم فأما إذا انتهى الأمر أو جاء إلى إبراهيم والشعبي وبن سيرين والحسن وعطاء وسعيد بن المسيب وعدد رجالا فقوم اجتهدوا فاجتهد كما اجتهدوا
“Aku mengambil (hukum) dengan kitab
Allah swt (al-Quran), dan apa yang aku tidak dapati di Al-Quran, aku mengambil
dari hadits-hadits Nabi saw. Kalau aku tidak menemukannya di Al-Quran dan juga
tidak di hadits Nabi saw, aku mengambil dari fatwa (perkataan) para sahabat
Nabi saw, aku mengambil dari mereka yang aku mau, dan aku tingalkan yang aku
mau (memilih), akan tetapi aku tidak keluar dari perkataan mereka kepada selain
mereka (sahabat).
Kalau dari para sahabat juga aku tidak
menemukan, atau perkara ini sampai pada Ibrahim Al-Nakho’i, SUfyan Al-Tsauri,
Al-Sya’bi, Hasan Al-Bashri, ‘Atho, dan Said bin Al-Musayyib dan beberapa orang
lain (dari kalangan tabi’in), maka aku berijtihad sebagaimana mereka
berijtihad!”
Begitu juga dengan redaksi yang sama
disebutkan oleh Imam Al-Mizi dalam kitabnya Tahdzib Al-Kamal (29/443). Begitu
oleh Imam Ibnu Abdil Barr (463 H) dalam kitabnya Al-Intiqo’ fi Fadhoil
Al-Tsalastah Al-Aimmah Al-Fuqoha’ )hal 144).
Dari perkataan sang Imam, bisa
disimpulkan bahwa metode penagmbilan hukum madzhab Imam Abu Hanifah adalah:
1.
Al-Quran
2.
Hadits
3.
(Ijma’)
4.
Perkataan/Fatwa Sahabat
5.
Qiyas
Ini tidak seperti yang dituduhkan orang
bahwa beliau mendahulukan qiyas daripada hadits Nabi saw. Terlihat jelas bahwa
memang Imam Abu Hanifah lebih mnedahulukan hadits daripada QIyas itu sendiri
yang merupakan produk ijtihad akal.
Jawaban Atas Tuduhan
Memang dalam pendapat madzhab madzhab
Hanafi ini kita akan dapati bahwa sang Imam dalam beberapa masalah memakai
qiyas padahal pada perkara tersebut ada hadits-nya.
Dalam masalah ini, bisa dijawab dengan
beberapa jawaban:
Pertama: Ketat Dalam Menerima Hadits
Yang perlu diketahui sejak awal ialah
kita harus menerima kenyataan bahwa pen-statusan sebauh hadits menjadi shahih
dan dhaif itu adalah perkara jtihad juga yang di dalamnya terdapat perbedaan.
Pada ulama A hadits ini bisa dikatakan shahih, namun pada ulama B hadits itu
bisa berubah lagi setatusnya.
Dalam masalah Imam Abu Hanifah ini,
sebagaimana kita singgung sebelumnya bahwa beliau hidup di masa kerasnya
propaganda terhadap hadits sehingga muncul banyaknya pemalsuan hadits. Karena
itu beliau (Imam Abu Hanifah) sangat ketat sekali dalam menerima hadits.
(kecuali hadits mutawatir yang diriwayatkan dari jalur yang qath’iy)
Hadits-hadits Ahad yang diterima
tidaklah asal terima, semua dicek sehingga tidak meninggalkan keraguan
sedikitpun bahwa ini benar hadits shahih yang bisa dijadikan dalil.
Imam Al-Sarakhsi (483 H) dalam kitab
Ushul-nya menyebutkan beberapa kriteria hadits yang bisa diterima sebagai dalil
dalam madzhab Imam Abu Hanifah, diantara:
1.
Hadits ahad tidak boleh bertantangan dengan dasar-dasar pokok syariah
yang sudah disepakati atau yang ditetapkan dengan jalur qath’iy.
2.
Hadits Ahad tidak boleh menyelisih kandungan umum ayat quran.
3.
Hadits Ahad tidak boleh menyelisih hadits yang masyhur atau yang
diriwayatkan secara mutawatir.
4.
Perawi Hadits Ahad tidak boleh menyelisih apa yang diriwayatkan. Kalau
ada hadits yang perawinya menyelisih apa yang diriwayatkan, hadits itu menjadi
tidak terpakai dalam hukum.
5.
Kalau perkara itu adalah perkara yang terjaid setiap hari dan semua orang
tahu, hadits yang menjelaskan tentang itu haruslah mutawatir atau masyhur,
kalau tidak maka tidak bisa menjadi dalil.
Apa yang disyaratkan ini bukanlah
perkara yang asal jadi, melainkan kesemuanya syarat tersebut dibuat dengan
alasan yang objektif dan demi menjaga kemurnian syariah ditengah banyaknya
pemalsuan hadits ketika itu.
Jadi, ketika ada suatu masalah yang
dihadapi oleh sang Imam, beliau lebih dulu mencari ayat yang membahas ini. jika
tidak ada, ia mencari dari para sahabatnya dan gurunya yang lain apakah ada
hadits yang menerangkan perkara yang sedang dihadapi atau tidak.
kalau memang ada, maka parameter yang
disebutkan di atas itu tadi menjadi patokan diterima atau tidaknya hadits
tersebut. Ketika hadits itu tidak lolos uji, maka yang dilakukan oleh sang Imam
adalah berijtihad.
Kedua: Hadits Shahih Tidak Mesti Jadi
Dalil
Dalam menentukan hukum, seorang mujtahid
tidak hanya punya satu buah hadits di atas meja beliau, melainkan lebih dari
satu bahkan puluhan bahkan juga lebih.
Hadits yang shahih menurut seorang
mujtahid bisa saja tidak dijadikan dalil sebuah hukum karena alasan tertentu.
bisa saja ada hadits yang jalurnya lebih kuat yang menyelisih, atau juga hadits
shahih ini kandungannya umum da nada hadts lain yang mengkhususkannya. Atau
juga bisa jadi hadits ini sudah di-mansukh oleh hadits lain atau ayat Al-Quran.
Jadi banyak kemungkinan.
Nah, begitu juga yang dilakukan oleh
Imam Abu Hanifah, beliau bisa saja meninggalkan hadits yang dianggap shahih
oleh orang lain, tentu karena sebab yang orang lain tidak mengetahuinya. Dan
ini juga kita temui di imam-imam lain selain Imam Abu Hanifah, bahwa banyak
hadits-hadits shahih yang mereka tinggalkan karena melihat adanya hadits lain
yang mengkhususkannya (takhshis), atau lebih kuat dari segi sanad dan perawinya
atau karena hadits itu telah di-mansukh.
Jadi perkara hukum bukanlah perkara
hadits saja melainkan bagaimana ber-isitidal dan menyimpulkan suatu hukum dari
banyak hadits yang ada. Ini juga yang membedakan antara ahli hadits dan ahli
fiqih yang berijtihad.
Ini juga yang menjadi sindiran beliau
(Imam Abu Hanifah) kepada mereka yang hanya mengumpulkan hadits, tapi tidak
mengerti maksud hadits tersebut. Dalam perkataan beliau yang masyhur:
مثل من يطلب الحديث ولا يتفقه كمثل الصيدلاني يجمع الأدوية ولا يدري لأي داء هي، حتى يجيء الطبيب .. هكذا طالب الحديث لا يعرف وجه الحديث حتى يجيء الفقيه
“Perumpamaan orang yang mencari hadits
tapi tidak memahami (maksud hadits tersebut) itu bagaikan apoteker yang
mengumpulkan banyak obat akan tetapi ia tidak tahu untuk penyakit apa obat itu,
sampai datang seorang dokter. Begitu juga seorang yang mencari hadits, ia tidak
mengerti maksud hadits tersebut sampai datang seorang faqih (Ahli Fiqih)”
Kita tutup pembahasan ini dengan
perkatan sheikhul-Islam Ibnu Taimiyah Al-Harani (278 H):
وَمَنْ ظَنَّ بِأَبِي حَنِيفَةَ أَوْ غَيْرِهِ مِنْ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ أَنَّهُمْ يَتَعَمَّدُونَ مُخَالَفَةَالْحَدِيثِ
الصَّحِيحِ لِقِيَاسِ أَوْ غَيْرِهِ فَقَدْ أَخْطَأَ
“siapa yang mengaanggap bahwa Imam Abu
Hanifah atau Imam lainnya menyengaja meninggalkan (menyelisih) hadits Nabi saw
dan beralih kepada qiyas atau lainnya, maka ia telah keliru!” (Majmu’ Al-fatawa
20/304)
Wallahu a'lam
Ahmad Zarkasih, Lc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar