Dulu waktu masih SMA, salah satu metode mengisi taklim yang
paling favorite adalah menafsirkan satu ayat dengan ayat yang lain. Sekilas
metode ini kelihatannya canggih dan menakjubkan. Apalagi yang jadi narasumber
lain dari biasanya, yaitu mereka yang kuliah di fakultas sosial atau sain,
bukan dari kalangan ahli tafsir.
Kadang yang bikin kagum, sang nara sumber nampak begitu
hafal tiap lekuk mushaf, loncat dari satu ayat ke ayat yang lain, seolah-olah
ayat-ayat itu sudah luar kepala. Begitu hafal sekali menyebutkan nomor surat
dan nomor ayat, seperti sudah tertulis di kepala.
Tetapi begitu saya kuliah di fakultas syariah dan belajar
ilmu fiqih dan ushul fiqih dari para profesor doktor yang benar-benar diakui
keilmuannya, apa yang semula saya kagumi dahulu rontok dengan sendirinya.
Sebenarnya tidak ada yang salah ketika kita menafsirkan ayat
Quran yang satu dengan ayat Quran yang lain. Memang sudah seharusnya seperti
itu. Dan begitulah seharus ayat-ayat Al-Quran dipahami.
Lalu dimana letak kesalahannya?
Nah, ini dia yang mau saya sampaikan. Letak titik
kesalahannya adalah ketika ayat-ayat itu saling dikaitkan satu dengan yang
lain, tetapi sama sekali tidak dikaji secara lebih mendalam apa yang tersirat
di balik tiap ayat. Boro-boro buka kitab tafsir yang muktamad, yang terjadi
semata-mata hanya membaca terjemahan DEPAG, yang bahasanya sudah terlalu jadul
dan kadang malah melahirkan multi tafsir lagi.
Sementara 'rasa' bahasa Arab yang merupakan bahasa asli
Al-Quran dan teramat luas dan dalam itu, sama sekali tidak tersentuh. Padahal
justru rasa bahasa ini merupakan faktor yang teramat penting dalam memahami
tiap detail ayat. Sayang sekali, rasa
bahasa ini nyaris tidak pernah bisa diterjemahkan ke bahasa lain. Kalaupun
dipaksa untuk diterjemahkan, rasa itu akan hilang berganti dengan rasa yang lain.
Kelemahan lain dari model kajian tafsir ayat satu dikaitkan
ayat lain itu juga sama sekali tidak mempertimbangkan kapan masing-masing ayat
itu turun, sehingga apakah ayat itu masih berlaku atau sudah dihapus (mansukh),
sama sekali tidak tahu. Apakah satu ayat bersifat 'aam atau bersifat khaash,
juga tidak pernah dibahas.
Kesalahan lainnya yang juga amat fatal adalah tidak
dikaitkannya ayat-ayat Quran itu dengan hadits-hadits nabawi. Jadi seolah-olah
cara memahami model begini mirip dengan yang dilakukan dengan kelompok
inkarussunnah. Padahal sunnah nabawiyah itu wahyu dari Allah juga, bukan
sekedar perbuatan atau perkataan nabi yang kosong dari jejak pentunjuk.
Kesalahan berikutnya, dan ini yang paling fatal menurut
saya, metode ini sama sekali meninggalkan ilmu dasar dalam memahami hukum,
yaitu kaidah kaidah istimbath ahkam dalam memahami ayat-ayat itu. Padahal tanpa
kaidah yang benar, mustahil seseorang bisa menarik kesimpulan dengan benar
dalam masalah hukum.
Mungkin karena salah doktrin, salah paham atau malah salah
asuhan, sejak dulu memang ada kecenderungan pengajian dan majelis taklim itu
menjauhi ilmu ushul fiqih dan ilmu fiqih itu sendiri. Seolah ilmu istimbath
ahkam, fiqih dan ushul fiqih itu dianggap semata-mata hanya buatan manusia dan
bukan wahyu, sehingga tidak perlu dipelajari bahkan meding dibuang masuk tong
sampah. Cukup Quran dan hadits saja yang dipakai.
Akibatnya, lahirlah tukang tafsir gadungan yang
kelihatananya dekat dengan Al-Quran, bahkan sedikit sedikit mengutip ayat,
tetapi terlalu memaksakan diri, sehingga ketahuan sekali bahwa ayat yang
dipakai itu melenceng jauh dari maksud sesungguhnya.
Sayangnya, karena terlanjur dijadikan guru ngaji, ustadz,
penceramah atau apapun istilahnya, banyak orang yang terkecoh dengan
penampilan. Dan sampai hari ini dengan sangat menyesal ternyata saya masih
harus menyaksikan pengajaran tafsir Quran yang model begini. Wallahulmusta'an.
Ahmad Sarwat, Lc., MA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar