Kamis, 13 Maret 2014

Tafsir Ayat Dengan Ayat : Masih Banyak Kelemahannya

Dulu waktu masih SMA, salah satu metode mengisi taklim yang paling favorite adalah menafsirkan satu ayat dengan ayat yang lain. Sekilas metode ini kelihatannya canggih dan menakjubkan. Apalagi yang jadi narasumber lain dari biasanya, yaitu mereka yang kuliah di fakultas sosial atau sain, bukan dari kalangan ahli tafsir.

Kadang yang bikin kagum, sang nara sumber nampak begitu hafal tiap lekuk mushaf, loncat dari satu ayat ke ayat yang lain, seolah-olah ayat-ayat itu sudah luar kepala. Begitu hafal sekali menyebutkan nomor surat dan nomor ayat, seperti sudah tertulis di kepala.

Tetapi begitu saya kuliah di fakultas syariah dan belajar ilmu fiqih dan ushul fiqih dari para profesor doktor yang benar-benar diakui keilmuannya, apa yang semula saya kagumi dahulu rontok dengan sendirinya.

Sebenarnya tidak ada yang salah ketika kita menafsirkan ayat Quran yang satu dengan ayat Quran yang lain. Memang sudah seharusnya seperti itu. Dan begitulah seharus ayat-ayat Al-Quran dipahami.

Lalu dimana letak kesalahannya?

Nah, ini dia yang mau saya sampaikan. Letak titik kesalahannya adalah ketika ayat-ayat itu saling dikaitkan satu dengan yang lain, tetapi sama sekali tidak dikaji secara lebih mendalam apa yang tersirat di balik tiap ayat. Boro-boro buka kitab tafsir yang muktamad, yang terjadi semata-mata hanya membaca terjemahan DEPAG, yang bahasanya sudah terlalu jadul dan kadang malah melahirkan multi tafsir lagi.

Sementara 'rasa' bahasa Arab yang merupakan bahasa asli Al-Quran dan teramat luas dan dalam itu, sama sekali tidak tersentuh. Padahal justru rasa bahasa ini merupakan faktor yang teramat penting dalam memahami tiap detail ayat.  Sayang sekali, rasa bahasa ini nyaris tidak pernah bisa diterjemahkan ke bahasa lain. Kalaupun dipaksa untuk diterjemahkan, rasa itu akan hilang berganti dengan rasa yang lain.

Kelemahan lain dari model kajian tafsir ayat satu dikaitkan ayat lain itu juga sama sekali tidak mempertimbangkan kapan masing-masing ayat itu turun, sehingga apakah ayat itu masih berlaku atau sudah dihapus (mansukh), sama sekali tidak tahu. Apakah satu ayat bersifat 'aam atau bersifat khaash, juga tidak pernah dibahas.

Kesalahan lainnya yang juga amat fatal adalah tidak dikaitkannya ayat-ayat Quran itu dengan hadits-hadits nabawi. Jadi seolah-olah cara memahami model begini mirip dengan yang dilakukan dengan kelompok inkarussunnah. Padahal sunnah nabawiyah itu wahyu dari Allah juga, bukan sekedar perbuatan atau perkataan nabi yang kosong dari jejak pentunjuk.

Kesalahan berikutnya, dan ini yang paling fatal menurut saya, metode ini sama sekali meninggalkan ilmu dasar dalam memahami hukum, yaitu kaidah kaidah istimbath ahkam dalam memahami ayat-ayat itu. Padahal tanpa kaidah yang benar, mustahil seseorang bisa menarik kesimpulan dengan benar dalam masalah hukum.

Mungkin karena salah doktrin, salah paham atau malah salah asuhan, sejak dulu memang ada kecenderungan pengajian dan majelis taklim itu menjauhi ilmu ushul fiqih dan ilmu fiqih itu sendiri. Seolah ilmu istimbath ahkam, fiqih dan ushul fiqih itu dianggap semata-mata hanya buatan manusia dan bukan wahyu, sehingga tidak perlu dipelajari bahkan meding dibuang masuk tong sampah. Cukup Quran dan hadits saja yang dipakai.

Akibatnya, lahirlah tukang tafsir gadungan yang kelihatananya dekat dengan Al-Quran, bahkan sedikit sedikit mengutip ayat, tetapi terlalu memaksakan diri, sehingga ketahuan sekali bahwa ayat yang dipakai itu melenceng jauh dari maksud sesungguhnya.

Sayangnya, karena terlanjur dijadikan guru ngaji, ustadz, penceramah atau apapun istilahnya, banyak orang yang terkecoh dengan penampilan. Dan sampai hari ini dengan sangat menyesal ternyata saya masih harus menyaksikan pengajaran tafsir Quran yang model begini. Wallahulmusta'an.


Ahmad Sarwat, Lc., MA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar