Selasa, 11 Maret 2014

Menantang Ulama

 “Nahnu Rijaal wa Hum Rijaal” (“Kami laki, mereka juga lelaki!”), kalimat ini banyak sekali kita dengar di kalangan para penuntut ilmu syariah baik yang baru belajar atau juga yang memang sedang fokus belajar sebagai mahasiswa syariah. Sebagai mahasiswa dan pelajar bukan ulama!

Sayangnya kalimat ini menjadi sangat buruk nilainya, karena mereka yang belum punya banyak ilmu, mereka yang masih berstatus pelajar, mereka yang hanya bertemu materi agama beberapa kali dalam sepekan justru sudah berani mengatakan demikian untuk menentang pendapat ulama-ulama salaf dari kalangan imam dan mujtahid madzhab Fiqih yang masyhur.

Ketika mereka punya pendapat (entah dari mana dapatnya) berbeda dengan para pendapat yang sudah dikenal oleh para ulama madzhab fiqih yang masyhur, dengan pongah mereka mengatakan: “Nahnu Rijaal wa Hum Rijaal” (“Kami laki, mereka juga lelaki!”). bisa diartikan bahwa mereka berkata: “Mereka punya ilmu, kami juga punya. Mereka boleh berpendapat, kami juga!”

Punya Imam Abu Hanifah

Padahal sejatinya, perkataan “Nahnu Rijaal wa Hum Rijaal” (“Kami laki, mereka juga lelaki!”) adalah perkataannya imam Abu Hanifah Al-Nu’man, yang beliau katakana kepada para tabi’in yaitu mereka yang memang hidup sezaman dengan Abu Hanifah. Kalimat lengkapnya seperti ini:

مَا جَاءَنَا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عَلَيْهِ وَسلم قَبِلْنَاهُ عَلَى الرَّأْسِ وَالْعَيْنَيْنِ وَمَا جَاءَنَا عَنْ أَصْحَابِهِ رَحِمَهُمُ اللَّهُ اخْتَرْنَا مِنْهُ وَلَمْ نَخْرُجْ عَنْ قَوْلِهِمْ وَمَا جَاءَنَا عَنِ التَّابِعِينَ فَهُمْ رِجَالٌ وَنَحْنُ رِجَالٌ

“Apa yang datang dari Rasulullah saw maka pasti kami terima tanpa menolak, dan apa yang datang dari para sahabat, maka kami memilihnya. Dan apa yang dari datang dari Tabi’in, maka mereka laki-laki dan kami laki-laki!” 

Ini disebutkan oleh Imam Ibnu Abdil Barr (463 H) dalam kitabnya “Al-Intiqo’ fi Fadhoil Al-Tsalastah Al-Aimmah Al-Fuqoha’” hal, 144. Sebagaimana juga disebutkan oleh Imam Al-Zahabi (748 H) dalam kitabnya yang masyhur “Siyar A’laam Al-Nubala”. Dan juga disebutkan oleh ulama-ulama lain dalam kitab-kitab tarikh (sejarah) mereka.

Maksudnya jelas, Imam Abu Hanifah yang lahir tahun 80 Hijriyyah, dan wafat tahun 150 Hijriyah ini mengatakan kepada para tabi’in karena memang beliau hidup di masa tabi’in, masa terbaik umat Islam setelah masa sahabat Ridhwanullah ‘alaihim.

Beliau mengatakan kalau memang itu datang dari Nabi saw dengan sanad yang kuat, maka tidak ada alasan kami untuk menolak, akan tetapi kalau itu datang dari sahabat, kita akan memilih pendapat dari sahabat mana yang kami terima tanpa menolak sahabat yang lain. Dan jika itu datang dari tabi’in yang sezaman dengan kami, ya kami punya ilmu mereka pun demikian.

Imam Abu Hanifah pantas saja mengatakan demikian, karena memang beliau seorang ilmuan besar, seorang mujtahid mutlak yang tidak perlu mengekor kepada siapapun. Beliau seorang ulama yang tidak ada meragukan kapasitasnya, dan semua orang sejagad ini menerima ijtihadnya dan seluruh pendapat madzhabnya, bahkan masih diamalkan sampai sekarang.

Dan yang perlu dikehui bahwa 3 imam Madzhab setelahnya; Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad bin Hanbal, mereka semua pernah mengeyam pendidikan fiqih yang diajarkan oleh Imam Abu Hanifah.

“Nahnu Rijaal wa Hum Rijaal”

Lalu tiba-tiba ada segerombolan anak-anak yang baru saja keluar dari majlis ta’lim yang juga baru dimasukinya majlis ta’lim itu 2 jam sebelumnya, dan langsung mengeluarkan sebuah hukum masalah yang menyelisih pendapat para Imam 4 Madzhab, lalu dengan pongah mereka berkata: “Nahnu Rijaal wa Hum Rijaal” (“Kami laki, mereka juga lelaki!”) lalu siapa mereka?!!!

Bahkan mereka juga menyelisih pendapat Imam yang qoul-nya mereka pakai, yaitu Imam Abu Hanifah tersebut, tanpa mau menerima adanya perbedaan pendapat. Dan mengatakan bahwa “Yang Benar itu begini, sebagaimana yang kami lakukan, ini yang diajarkan oleh Nabi. Jangan terlalu mengikuti pendapat Imam Madzhab, mereka manusia, bisa salah. Kita itu harus mengikuti Nabi dan para sahabat!”.

Apakah sebegitu bodohnya para Imam Madzhab sehingga kebenaran tidak bisa mereka temukan dan baru bisa ditemukan pada anak-anak bau kencur yang baru belajar kamarin sore? Dengan dalih mengikuti Al-Quran dan Sunnah mereka mencela pendapat Imam Madzhab yang menurut pandangan mereka yang masih amat sangat minim ilmu itu menyelisih sunnah.

Lalu memangnya para Imam itu menyelisih dan memusuhi Al-Quran dan sunnah? Bukankah mereka punggawa-punggawa dakwah yang dengan kegigihannya menjaga pemahaman Al-Quran dan Sunnah?

Kalau dikatakan mereka para 4 Imam madzhab manusia yang memang mungkin saja bisa salah, lalu apalagi mereka yang hanya belajar syariah di hari libur; sabtu dan ahad? (karena hari normal mereka bekerja dengan kegiatan masing-masing di kantor dan di toko-toko mereka yang sama sekali tidak pernah menyentuh kitab-kitab syariah, hanya hari libur kesempatan mereka belajar syariah)

Padahal para imam madzhab bukan hanya hari libur memegang dan meniliti hukum syariah, tapi ya itu memang bagian dari kehidupan mereka. Dan memang tugas mereka meneliti itu. Tidak ada satu haru pun mereka lewati kecuali mereka bergumul dengan dalil dan berijtihad mencari solusi sebuah hukum masalah. Bukan hanya sabtu ahad.

Dan sayangnya, keadaan menjadi lebih parah ketika kita mendapati bahwa mereka; anak-anak yang belajar baru kemarin sore ini bisa bersikap seperti ini karena ajaran guru-guru mereka di majlis sabtu dan ahab itu.

“ya ikhwah, Allah dan rasul tidak pernah menuntut kita untuk mengikuti pendapat-pendapat imam mazdhab atau siapapun. Kita hanya dituntut untuk mengikuti al-quran dan sunnah! Biarkan mereka berpendapat, yang penting kita tetap dalam manhaj salaf yang sesuai dengan al-quran dan sunnah!” begitu kiranya kata-kata yang keluar dari sang “ustadz” mereka. Dimana adab mereka terhadap ulama???

Apa mereka pikir para Imam itu tidak mengerti Al-Quran dan Sunnah padahal mereka, para imam hidup di zaman kecemerlangan dunia keilmuan Islam, sedangkan para anak-anak ini hidup dimana?       

Apakah mereka piker bisa memahami Al-Quran dan sunnah dengan benar dan lurus tanpa adanya bantuan dari ulama-ulama seperti 4 Imam madzhab ini. Kalau bukan dari mereka, lewat jalur mana kita bisa mamahami Al-Quran dan Sunnah suci ini?

Dan lebih disayangkan lagi, anak-anak kemarin sore ini berani menyelisih pendapat para Imam bukan karena mereka mengerti dalil, bukan! Bukan juga karena mereka mengerti bagaimana cara ber­-Istidlal dan metode Istimbath hukum yang benar. Bukan karena itu semua, toh mereka mubtada’ khobar pun tidak mengerti.

Semua karena didasari hawa nafsu dan pemahaman yang keliru tentang bagaimana seharusnya sebuah hukum itu bisa disimpulkan dari sebuah dalil yang rinci yang memang sejatinya itu ranah para ulama fiqih.

Seandainya mereka tahu dan mengerti, pastilah mereka tidak akan merasa dan berkampanye bahwa pendapat mereka yang paling mengikuti Al-Quran dan sunnah, dan pendapat yang lain salah. Orang yang paham syariah tidak akan berpendapat seperti ini.

Contoh kasus

Berikut beberapa contoh kasus dimana para Imam Madzhab sering sekali dicela dan direndahkan pendapatnya oleh beberapa orang yang memang mereka tidak mengerti sama sekali bagaimana seorang Faqih memindai suatu hukum masalah dari dalil-dalil Al-Quran dan Sunnah.

Puasa 6 Hari Syawwal

Penulis masih ingat sekali bagaimana marahnya beberapa orang yang merasa paham syariah karena ada sebagian orang menganggap bahwa puasa 6 hari syawal itu adalah Makruh.

Kita tidak bisa pungkiri bahwa ini adalah pendapatnya Madzhab Hanafi dan Madzhab Maliki. Tapi kenapa mereka sebegitu marahnya dan habis-habisan mencela orang yang mengeluarkan statmen ini padahal ia hanya mengutip dan mengikuti madzhabnya Imam Malik. Itu saja! Lalu kenapa mereka marah?

Kemarahan mereka bukti bahwa mereka tidak mengerti. Mencela dan menghina pandapat kemakruhan puasa 6 hari syawal dan membicarakannya berhari-hari bukti bahwa mereka sama sekali tidak paham fiqih dan tidak menerima perbedaan itu sendiri.

Iya memang ada hadits yang menerangkan fadhilah itu, bahwa puasa syawwal 6 hari itu punya keutamaan seperti puasa sepanjang masa sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Imam Muslim dari sahabat Abu Ayyub Al-Anshori. Dan ini menunjukkan kesunnahan:

"barang siapa yang berpuasa ramadhan, kemudian di ikuti dengan 6 hari bulan syawal maka ia seperti puasa satu tahun penuh." (HR. Muslim)

Akan tetapi Imam Malik dan Imam Abu Hanifah tidak memandang ini sebagai sebuah kesunahan, tapi malah menjadi sebuah kemakruhan. Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bukan tidak tahu ada hadits ini. Dan mereka bukan tidak mengerti kandungan hadits ini, dan mereka pula sama sekali tidak mengingkari hadits ini.

Tapi harus diketahui bahwa hadits ini, jalur periwayatannya adalah Ahadd, yang dalam kaidah mustholah hadits, hadits ini hanya diriwayatkan oleh satu orang di masing-masing tingkatan sanad perawi.

Sedangkan Imam Malik sangat mengedepankan ‘Amal Ahli Madinah (Pekerjaan Penduduk Madinah) dibanding hadits yang diriwayatkan oleh satu orang di masing-masing tingkatan sanad.

Kenapa demikian?

‘Amal Ahli Madinah adalah sumber dasar syariah yang jauh lebih kuat dari hadits Ahaad, karena hadits Ahaad hanya diriwayatkan oleh seorang saja, sedangkan ‘Amal Ahli Madinah memang tidak tertulis, tapi priwayatannya itu bukan dari seorang saja, akan tetapi seluruh penduduk Madinah. Dan penduduk Madinah bukan hanya satu orang.

Kita tahu bahwa memang syariah itu tumbuh pesat setelah hijrahnya Nabi saw dari Mekkah ke Madinah, tentulah banyak yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabat ketika itu di Madinah, dan secara akal serta logika penduduk Madinah pasti akan mengikuti apa yang dilakukan oleh Nabi dan para Sahabat kalau memang itu sebuah ibadah, terlebih jika itu sebuah kewajiban. Dan kebiasaan itu pasti terus turun temurun diikuti oleh anak cucu mereka. Secara langsung bahwa ‘Amal Ahli Madinah adalah menjadi sumber dalil yang kuat karena diriwayatkan oleh orang se-madinah.

Jadi mana yang lebih kuat? Hadits Ahaad yang hanya diriwayatkan oleh satu orang atau ‘Amal Ahli Madinah yang diriwayatkan oleh orang satu negeri?

Dan masalah puasa syawal yang 6 hari itu tidak pernah dikerjakan oleh penduduk madinah. Setelah ber-ied Al-Fithr, penduduk madinah tidak ada yang sibuk berpuasa.dan Rasul berada di Madinah lebih dari 10 tahun, itu berarti penduduk Madinah sudah melewati bulan syawwal bersama Nabi saw lebih dari 10 kali. Tapi tidak ada dari mereka yang berpuasa.

Dan ini sebuah hal kurang dimengerti jika para sahabat melewati lebih dari 10 kali syawal tapi kenapa hanya ada satu sahabat yang meriwayatkan sunnahnya puasa 6 hari syawal.

Ini yang menjadi pegangan madzhab Maliki.

Sholat Tahiyatul Masjid Ketika Khotib Sedang Berkhutbah

Ini juga yang sering menjadi masalah, orang-orang sudah sering kali menganggap bahwa sunnah hukumnya mengerjakan sholat tahiyatul masjid walaupun Imam sedang diatas mimbar berkhutbah.

Ini didasari oleh hadits dari shahih Imam Bukhori dan Imam Muslim yang menceritakan bahwa sahabat Sulaik Al-Ghothofani terlambat datang ke masjid yang ketika itu Nabi sudah berada di atas mimbar berkhutbah, kemudian datang Sulaik yang langsung duduk akan tetapi Nabi menyuruhnya berdiri kembali dan sholat 2 rokaat. (HR. Bukhari no. 930 dan Muslim no. 875)

Ini yang dijadikan dasar oleh Imam Ahmad bin Hanbal (madzhab Hanbali) sebagai dasar kesunnahan tahiyatul-masjid walaupun Imam sedang berkhutbah. Dan ini yang kebanyakan orang tahu, sayangnya Cuma tahu satu pendapat saja. Padahal kaidah aslinya bahwa jika khotib sedang menyampaikan khutbahnya  maka tidak ada yang boleh dikerjakan kecuali diam dan mendengarkan.

Kemudian muncul pendapat dari Imam Malik dan Imam Hanafi yang mengatakan bahwa sholat sunnah ketika khutbah disampaikan adalah makruh hukumnya. Mulailah orang-orang yang tidak mengerti itu mencemooh dan mencela pendapat 2 Imam besar ini, dan menyangkanya tidak mengenal hadits serta tidak mengerti sunnah?!!!

Imam Malik dan Imam Hanafi bukannya tidak mengerti sunnah, tapi justru merekalah yang jauh lebih mengerti sunnah dibanding kita semua. Bagaimana bisa imam yang hidup di zaman keemasan ilmu dicela pendapatnya oleh orang yang hanya baru belajar 2 hari di zaman edan seperti ini?

Imam Malik dan Imam Hanafi melihat bahwa hukum asal seorang yang mendengarkan khutbah adalah diam, baik ia telah atau tidak masuknya ke masjid. Yang terpenting ketika khutbah sedang berlangsung, dia wajib diam dan wajib mendengarkan. Bukan sibuk sendiri dengan yang lainnya termasuk sholat.

Firman Allah swt:

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآَنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا

“dan jika dibacakan Al-Quran, maka dengarkanlah, dan diam” (Al-A’rof 24)

Dan ayat ini turun untuk perintah mendengarkan khutbah jumat dan memang turun ketika itu, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsir yang diriwayatkan dari Imam Mujahid. (Tafsir Ibn Katsir 3/538)

Jadi memang ini perintah yang jelas untuk diam dan mendengarkan khutbah ketika khotib sedang berada di atas mimbar, karena memang apa yang dibacakan oleh Khotib tidak lain adalah ayat-ayat Quran, termasuk juga dilarang sholat. Karena sholat termasuk praktek yang membuat seseorang tidak bisa mendengarkan khutbah tersebut. Bagaimana bisa ia melakukan sebuah kesunnahan dan menabrak sebuah kewajiban. Apakah kesunnahan jauh lebih utama dari kewajiban?

Terkait hadits Sulaik Al-Ghothofani ini, harus diperhatikan lebih detail. Khutbah jumat itu disyariatkan setelah hijrah Nabi Muhammad saw ke Madinah. Berarti khutbah jumat ada sejak nabi berada di Madinah sampai wafat beliau, itu sama saja Nabi telah berkhutbah di depan para sahabat untuk sholat jumat lebih dari 500 kali.

Lalu yang 500 lainnya kemana? Kenapa hanya ada satu hadits dan itu pun hadits Ahaad,  yang menceritakan untuk itu? Apakah selama 500 lebih khutbah itu hanya Sulaik yang terlambat datang ke masjid? Kenapa tidak ada perintah yang sama kepada sahabat yang lain untuk itu?

Maka Imam Malik dan Imam Abu Hanifah melihat bahwa itu kejadian khusus yang hanya berlaku pada sulaik, dan tidak pada yang lainnya. Hukum khutbah tetap seperti asalnya yaitu wajib bagi makmum untuk diam dan mendengarkan.

Terlebih lagi bahwa Zohir ayat Quran jauh lebih kuat dibanding hadits Ahaad.

Ingat!

Seorang faqih bukan seperti seorang Ahli hadits, keduanya punya job desk yang berbeda. Seorang faqih dalam menentukan sebuah hukum tidak cukup dengan satu ayat atau satu hadits, akan tetapi di atas mejanya telah terdapat ratusan ayat dan hadits yang berkaitan.

Bukan seperti orang-orang yang baru belajar satu hadits dari majlis mingguannya lalu dengan gaya layaknya orang yang sudah mempelajari ribuan hadits, ia menyalahkan ulama yang tidak sesuai dengan kandungan satu-satunya hadits yang ia pelajari.

Seorang faqih tahu dan mengerti bagaimana cara menerapkan dan mengambil kesimpulan sebuah hukum dari sebuah teks syariah. Jadi kalau ada pendapat ulama madzhab yang sekiranya tidak sesuai dengan hadits yang kita pelajari, bukan ulama tersebut yang tidak tahu, tapi ya kita harus sadar bahwa kita masih AWAM

Wallahu A’lam


Ahmad Zarkasih, S.Sy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar