Taklid, barangkali bukan sebuah kata yang asing. Ada
beberapa kalangan yang dengan gigih memerangi taklid, mengharamkannya,
menganggap hal itu adalah salah satu sebab kemunduran umat Islam. Sebagian lagi
membolehkan taklid, bahkan menganjurkan.
Ada tiga istilah yang kadang orang rancu memahami; Taklid,
Bermadzhab dan Ta’asshub. Seolah ketiga kata itu sama, tetapi sebenarnya ada
beberapa perbedaan. Kita coba bahas satu kata dahulu, taklid terkhusus
perspektif Imam as-Syaukani (w. 1250 H).
As-Syaukani dan Taklid
Kenapa memilih perspektif as-Syaukani (w. 1250 H)? Tak bisa
dipungkiri beliau adalah ulama muta’akhirin yang secara serius dan cukup intens
menolak taklid. Risalah as-Syaukani yang berjudul al-Qaul al-Mufid fi Hukmi
at-Taklid [1] adalah sebagai bukti atas keseriusan beliau berbicara tentang
taklid.
Beberapa kalangan mengambil hukum haram taklid dari
as-Syaukani (w. 1250 H), tetapi sayangnya tidak mengambil pengertian taklid
yang disampaikan beliau.
As-Syaukani (w. 1250 H) mendefinisikan taklid dengan:
العمل
بقول الغير من غير
حجة
Mengamalkan perkataan orang lain tanpa ada hujjah [2]
Sebenarnya pengertian taklid yang dikemukakan as-Syaukani
(w. 1250 H) adalah standar pengertian taklid sebagaimana ulama Uhsul Fiqih yang
lain [3].
Tetapi as-Syaukani melanjutkan:
فيخرج
العمل بقول رسول الله
صلى الله عليه وسلم،
والعمل بالإجماع، ورجوع العامي إلى
المفتي..
"Tidak disebut taklid adalah mengamalkan sabda Nabi,
mengamalkan Ijma, dan orang awam yang mengamalkan fatwa seorang mufti.."
Secara gamblang as-Syaukani (w. 1250 H) mengambil pendapat
bahwa orang awam yang mengamalkan saja apa yang dikatakan seorang mufti bukan
disebut sebagai taklid [4]. Ini point pentingnya.
Siapakah Mufti itu? As-Syaukani (w. 1250 H) menjelaskan:
وأما المفتي فهو المجتهد
"Yang disebut mufti adalah mujtahid"
Maka taklid yang dilarang oleh as-Syaukani (w. 1250 H) adalah
mengambil pendapat orang lain yang tidak jelas mujtahid atau bukan, tanpa ada
hujjah.
Jika ingin menggunakan pendapat keharaman taklid dari
as-Syaukani (w. 1250 H), paling tidak juga harusnya memaparkan konsep taklid
dari as-Syaukani.
As-Syaukani dan Syarat Mujtahid
Lawan dari taklid adalah ijtihad. Sepertinya kita juga harus
tahu syarat mujtahid yang ditetapkan oleh as-Syaukani (w. 1250 H).
Syarat-syarat itu adalah:
1. Harus mengetahui nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah.
Jika seseorang baru mengetahui salah satunya, maka dia
bukanlah mujtahid dan dilarang berijtihad.
Meskipun Ulama berbeda pendapat mengenai berapakah kadar
minimal al-Qur’an dan Hadits yang harus diketahui seseorang untuk bisa
berijtihad.
Ada sebuah riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)
yang dinukil as-Syaukani (w. 1250 H)[5]; suatu ketika Abu Ali ad-Dharir
bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal, berapa haditskah yang harus diketahui
oleh seseorang sehingga dia boleh berfatwa? Apakah cukup seratus ribu hadits?
Ahmad bin Hanbal menjawab: Belum. Dua ratus ribu hadits? Belum. Tiga ratus ribu
hadits? Belum. Empat ratus ribu hadits? Belum. Lima ratus ribu hadits? Imam
Ahmad menjawab: “Arju” Saya berharap demikian.
Dari sini kita bisa simpulkan, berijtihad maupun berfatwa
bukanlah hal yang mudah. Meski sebagian murid Imam Ahmad diatas itu sebagai
bentuk kehati-hatian. Karena dalam riwayat lain beliau pernah juga berkata,
pokok-pokok hadits yang harus diketahui dari Nabi paling tidak ada 1200 hadits.
2. Harus mengetahui perkara-perkara Ijma’.
3. Harus faham Bahasa Arab
Baik nahwu, sharaf, ma’ani maupun bayannya. Sehingga
terbentuk sebuah malakah atau naluri yang jika dibutuhkan akan dengan mudah
digunakan.
Tak bisa dibayangkan, bagaimana bisa seseorang yang hanya
bisa baca Qur’an dan hadits terjemah tetapi dengan cukup keberanian menafsirkan
sendiri sampai beristinbath hukum dari bacaan terjemahannya itu.
As-Syaukani (w. 1250 H) menekankan bahwa seseorang yang akan
berijtihad tak hanya sekedar tahu dan bisa Bahasa Arab saja. Beliau mengatakan:
والحاصل:
أنه لا بد أن
تثبت له الملكة القوية
في هذه العلوم، وإنما
تثبت هذه الملكة بطول
الممارسة، وكثرة الملازمة لشيوخ
هذا الفن.
Kesimpulannya adalah (seseorang yang akan berijtihad) harus
mempunyai malakah atau keilmuan yang melekat terhadap ilmu ini (pent: Bahasa
Arab), hal ini bisa didapat dengan lamanya membiasakan diri, banyak mulazamah
kapada para cendikiawan ilmu ini [6].
Jika hanya sekedar bisa menterjemahkan kitab berbahasa Arab
atau bisa berbicara dengan orang Arab sepertinya masih sangat jauh untuk
terpenuhi syarat mujtahid. Sebagai bukti kongkrit, ternyata tak semua orang
Arab menjadi mujtahid, padahal sejak lahir sudah berbicara Bahasa Arab.
4. Harus mengetahui Ilmu Ushul Fiqih.
Tidak mungkin seseorang bisa beristinbath hukum dan kembali
kepada Qur’an dan Sunnah sendiri tanpa menguasai dengan baik cabang ilmu Ushul
Fiqih. Seseorang yang akan beristinbath hukum harus thawil al-ba’, mempunyai
ilmu yang mendalam, menguasai kitab-kitab Ushul Fiqih yang Mukhtasar atau
ringkas dan muthawwal atau panjang lebar.
Ilmu Ushul Fiqih tak lain adalah sebuah metodologi yang
dipakai para Ulama untuk memahami teks-teks dalil, sehingga bisa menjadi
hujjah.
5. Harus mengetahui ilmu Nasikh-Mansukh.
Paling tidak ada 5 syarat sebelum seseorang boleh
berijtihad, beristinbath hukum dari teks Qur’an dan Hadits.
Ternyata syarat mujtahid yang dikemukakan oleh as-Syaukani
(w. 1250 H) bukanlah syarat yang mudah.
Itulah beberapa point penting yang perlu dicatat jika kita
menggunakan konsep taklid-ijtihad yang dikemukakan oleh as-Syaukani (w. 1250
H).
Fuqaha’ Masa Ibnu Rusyd (w. 595 H) itu Termasuk Orang Awam
dan Muqallid
Berbeda dengan as-Syaukani (w. 1250 H), Ibnu Rusyd
al-Qurthuby (w. 505 H) mempunyai konsep lain terkait taklid.
Dalam kitab ad-Dharuri fi Ushul al-Fiqh/ Mukhtashar
al-Mushtashfa Ibnu Rusyd mengungkapkan [7]:
والتقليد
هو قبول قول قائل
يغلب على الظن صدقه
لحسن الثقة فيه.
"Taklid adalah menerima perkataan orang lain yang
dianggap kejujurannya karena kepercayaan yang baik terhadap orang lain
tersebut."
Dengan kata lain, taklid menurut Ibnu Rusyd (w. 505 H)
berbeda dengan yang diungkapkan as-Syaukani (w. 1250 H). Taklid bukan berarti
hanya mengambil pendapat orang lain tanpa hujjah, tapi mengambil pendapat orang
lain karena yakin akan kemampuan dan ke-tsiqah-an orang lain tersebut.
Bahkan lebih menarik lagi, Ibnu Rusyd (w. 505 H) memasukkan
Fuqaha’ pada zamannya dalam golongan orang AWAM dan Muqallid.
Ibnu Rusyd (w. 505 H) mengungkapkan [8]:
ولأن ههنا طائفة تشبه
العوام من جهة، والمجتهدين
من جهة، وهم، - المسمون
في زماننا هذا أكثر
ذلك بالفقهاء، فينبغى أن ننظر
في أي الصنفين أولى
أن نلحقهم. وهو ظاهر من
أمرهم أن مرتبتهم مرتبة،
العوام، وأنهم مقلدون.
Disana ada golongan yang disatu sisi mirip orang awam,
disatu sisi mirip mujtahid. Mereka lebih dikenal di zaman ini dengan sebutan
Fuqaha’. Maka kita selayaknya melihat, kira-kira mereka lebih cenderung pada
golongan mana. Hal yang jelas terlihat dari mereka adalah mereka masuk dalam
kategori AWAM, mereka adalah MUQALLID.
والفرق
بين هؤلاء وبين العوام،
أنهم يحفظون الآراء التي
للمجتهدين فيخبرون عنها العوام، من
غير أن تكون عندهم
شروط الاجتهاد، فكأن مرتبتهم في
ذلك مرتبة الناقلين عن
المجتهدين.
Perbedaan mereka (Fuqaha’) dengan awam adalah mereka
menghafal pendapat-pendapat para mujtahid lalu mengabarkannya kepada orang
awam, mereka juga belum memiliki syarat-syarat mujtahid, maka derajat mereka
adalah derajat mengabarkan pendapat mujtahid.
ولو وقفوا في هذا
لكان الأمر أشبه، لكن
يتعدون فيقيسون أشياء لم ينقل
فيها عن مقلديهم حكم
على ما نقل عنه
في ذلك حكم فيجعلون
أصلا ما ليس بأصل،
ويصيرون أقاويل المجتهدين أصولأ
لاجتهادهم، وكفى بهذا ضلالا
وبدعة
Jika saja mereka (Fuqaha’) hanya berdiam diri maka itu akan
lebih baik. Tapi sayangnya mereka melampaui batas dan menqiyaskan sendiri
sesuatu hukum dari hasil ijtihad orang yang di-taklidi-nya. Maka terjadilah
kesesatan dan kebid’ahan.
Ibnu Rusyd (w. 505 H) secara umum menyebutkan bahwa disebut
muqallid jika belum memenuhi syarat mujtahid. Bahkan Ahli Fiqih pun lebih cocok
dimasukkan dalam golongan orang awam dan muqallid.
Taklid, Berbeda Ulama Berbeda Konsep
“Jangan bertaklid! Bertaklid itu dilarang!”. Sebelum
mengiyakan perkataan itu, hal mendasar yang perlu diketahui adalah pengertian
taklid yang seperti apa yang dimaksud.
Jangan sampai melarang orang untuk taklid dengan menyitir
perkataan as-Syaukani, tetapi memaknai taklid dengan konsep ulama lain yang
berbeda.
Jika ditarik benang merah, sebenarnya apa yang diungkapkan
oleh as-Syaukani dan Ibnu Rusyd ini memiliki persamaan. Sama-sama mengajak
ummat Islam untuk sadar diri pada posisi masing-masing. Jika seseorang sudah
sampai derajat ijtihad, maka sudah menjadi kewajibannya untuk berjitihad. Tapi
sebaliknya, kerusakan akan timbul jika menyerahkan sesuatu bukan kepada
ahlinya.
Menyadarkan umat islam tentang bahaya taklid itu bisa jadi
lebih mudah daripada menyadarkannya mereka bahwa jika belum mempunyai
syarat-syarat ijtihad, jangan sok menjadi mujtahid. []
Footnote:
[1] Risalah Imam as-Syaukani (w. 1250 H) dalam kitab
al-Fathu ar-Rabbani min Fatawa al-Imam as-Syaukani, yang dikumpulkan oleh Abu
Mush’ab Muhammad Shubhi, (Yaman: Maktabah al-Jail al-Jadid, t.t), hal. 5/
2161
[2] Muhammad bin Ali as-Syaukani (w. 1250 H), Irsyad
al-Fuhul, (Baerut: Daar al-Kitab al-Arabi, 1419 H), hal. 2/ 239
[3] Bisa dilihat dalam paparan al-Ghazali (w. 505 H),
al-Mustashfa, (Baerut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1413 H), hal. 370, atau
Badruddin az-Zarkasyi (w. 794 H), al-Bahru al-Muhith, hal. 8/ 316
[4] Ulama berbeda pendapat tentang apakah disebut taklid
seorang awam yang mengamalkan perkataan mufti. Sebagian ulama tidak menganggap
hal itu sebagai taklid. Pendapat ini diambil oleh oleh al-Ghazali (w. 505 H),
al-Amidi (w. 631 H), Ibnu al-Hajib (w. 646 H). Sedangkan kebanyakan ulama ushul
fiqih memasukkannya dalam pengertian taklid. Lihat: Badruddin az-Zarkasyi (w.
794 H), al-Bahru al-Muhith, hal. 8/ 320-321
[5] Muhammad bin Ali as-Syaukani (w. 1250 H), Irsyad
al-Fuhul, (Baerut: Daar al-Kitab al-Arabi, 1419 H), hal. 2/ 207
[6] Muhammad bin Ali as-Syaukani (w. 1250 H), Irsyad
al-Fuhul, hal. 2/ 209
[7] Ibnu Rusyd al-Hafid Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin
Muhammad (w. 595 H), ad-Dharuri fi Ushul al-Fiqh/ Mukhtashar al-Mushtashfa,
(Baerut: Daar al-Gharb al-Islamiy, 1994 M), hal. 143
[8] Ibnu Rusyd al-Hafid Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin
Muhammad (w. 595 H), ad-Dharuri fi Ushul al-Fiqh/ Mukhtashar al-Mushtashfa,
hal. 144
Hanif Luthfi, Lc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar