Selasa, 18 Maret 2014

Hukum Yang Punya Sebab

Kalau ada orang yang mencintai kekasihnya masih karena "karena"; karena dia ini, karena dia itu, karena cantik, karena tampan, dan karena yang lainnya. Itu bukan cinta namanya, tapi hanya sekedar kagum, begitu kata kebanyakan orang.

Kalaupun dia mengatakan itu cinta, ya pasti cintanya tak bertahan lama dan kemungkinan besar pasti berakhir. Karena cintanya bergantung pada "karena" itu tadi. Ketika "karena"-nya itu hilang maka hilang juga cintanya.

Cinta "karena" tampan, cantik, berwibawa, berharta, berpangkat. Ketika semua yang di-"karena"-kan itu hilang, maka inti cinta pun entah kemana. Karena sudah tidak ada tempat lagi bagi cinta untuk bergantung ketika yang digantungkannya itu sudah tak ada. "Karena" tak ada, cinta pun tak ada.

Hukum Fiqih Yang Ada Karena-nya

Begitu juga hukum-hukum fiqih yang termaktub dalam teks-teks syariah. Beberapa nash-nash syariah baik dari Al-Quran dan Hadits Nabi saw ada yang mempunyai "karena" untuk hukum yang dihasilkan.

Jadi hukum yang ada dalam nash tersebut bergantung pada "karena"-nya. Dalam bahasa ulama ushul fiqih, "karena" itu disebut dengan istilah "‘illat" [علة] atau sebab hukum.

Cinta = Hukum, "karena" = ‘illat (sebab)

Artinya bahwa hukum tersebut keberadaannya bergantung atas "‘illat" (sebab) tersebut. Kalau "‘illat" (sebab)-nya tidak ada maka hilang juga hukumnya, sama seperti cinta yang hilang ketika "karena"-nya lenyap.

kaidah ushul fiqih-nya ialah:

الحكم يدور مع العلة المأثورة وجودا وعدما

 "Al-hukmu Yaduuru Ma'a Al-'‘illati Wujudan wa 'Adaman"

(keberadaan hukum itu berkutat pada keberadaan "‘illat" (sebab)-nya. Ada "‘illat" ada hukum, tak ada "‘illat" tak ada hukum.

Macam-Macam ‘‘illat

"‘illat" (sebab) dalam teks syariah ada 2 macam;

[1] Manshushoh (tertulis), dan

[2] Mustanbanthoh (Teristimbat/Ter/Disimpulkan).

‘‘illat Manshushah

‘illat Manshushoh ialah ‘illat (sebab) yang memang tersebut bersama hukumnya dalam satu susunan redaksi teks syariah itu sendiri. Contohnya:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ

"Allah swt tidak melihat kepada siapa yang menjulurkan pakaian-nya dengan sombong" (HR. Bukhori dan Muslim)

Hadits ini jelas menerangkan tentang kemurkaan Allah terhadap mereka yang memakain pakaian dengan menjulurkan atau memanjangkannya dengan nada sombong dan sejenisnya. Atau biasa yang dikenal degan istilah "Isbal". Dan hadits semacam ini banyak redaksinya bukan hanya ini saja.

Karena ini kemurkaan, maka hal ini (menjulurkan panjang kain) itu menjadi haram hukumnya. Akan tetapi Ulama menyimpulakn bahwa "ancaman" kemurkaan Allah itu hanya kepada mereka yang melakukannya karena "sombong".

Ulama berpendapat bahwa keharamannya itu bergantung kepada ‘illat-nya yaitu "khuyala'" (sombong). Jadi ketika ‘illat-nya itu hilang maka hilang juga keharamannya.[1]

‘‘illat Mustanbathah

Sedangkan ‘illat Mustanbathoh itu ialah ‘illat yang tidak tersebut dalam nash syariah namun, keberadaannya bisa disimpulkan dari redaksi nash syariah itu. Karena nash syariah-nya sangat menjurus ke arah itu.

Yang jadi pertanyaan kemudian adalah; “siapa yang bisa menyimpulkan?”

Tentu yang punya wewenang menyimpulkan itu ialah para ulama mujtahid yang memang punya kapasitas dan mengerti tentang dalil beserta madlul-nya. bukan hanya sekedar bisa bahasa arab, tapi lebih dari itu.

Contohnya: hadit nabi saw:

لَا يَقْضِي الْقَاضِي بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ

"Tidaklah seorang Hakim Memberikan putusan hukum ketika ia sedang dalam keadaan marah" (HR Ibnu Majah)



Dalam hadits terdapat larangan bagi seorang hakim untuk memberikan putusan hakim ketika ia sedang marah. Artinya seorang hakim harus netral baik fisik atau pun psikis dalam memberikan putusan.

Ulama dalah hal ini berpendapat bahwa larangan tersebut bukan karena semata-mata "Marah". ‘illat larangannya bukan karena marah saja, akan tetapi ‘illat larangannya tersebut ialah karena marah itu bisa menggangu konsentrasi seorang hakim dalam menentukan putusan, dan bukan hanya marah.

Jadi segala sesutau yang bisa menganggu pikiran Hakim ketika menentukan putusan itu yang menjadi ‘illat larangannya. Bisa jadi karena lapar, mengantuk dan sebagainya.

Dengan kesimpulan tersebut, maka dilarang bagi hakim untuk menentukan putusan ketika ia sedang dalam keadaan lapar, atau sedang mengantuk karena itu bisa menganggu pikirannya.

Jadi "Al-hukmu Yaduuru Ma'a Al-'‘illati Wujudan wa 'Adaman" keberadaan hukum itu berkutat pada keberadaan "‘illat" (sebab)-nya. Ada "‘illat" ada hukum, tak ada "‘illat" tak ada hukum.

Tidak Semua Hukum Ada ‘Illat-nya

Tapi perlu diperhatikan juga, bahwa tidak semua hukum syariat itu ada “karena”-nya, tidak semua hukum syariat itu bergantung pada sebuah ‘Illah. Ada beberapa hukum, bahwa banyak sekali yang disyariatkan oleh Allah untuk orang muslim ini tanpa ada sebab dan kenapanya.

Contoh yang paling populer ialah hukum wajibnya sholat 5 waktu. Kenapa sholat 5 waktu wajib? Ya jawabannya tidak ada kenapa-nya, semua itu karena Allah swt yang memang menghendaki itu wajib dan setiap muslim punya beban untuk menunaikannya.

Ini yang disebut dengan istlah Al-Hukm Al-Ta’abbudi [], hukum ritual yang memang tidak ada kenapa-nya, dan tidak bisa dijelaskan kenapa. Jawabannya yang tepat ialah, karena Allah swt menghendaki itu!

Ada lagi hukum air kencing bayi yang belum makan apa-apa kecuali air susu ibunya. Syariat ini membedakan antara bayi laki dan bayi perempuan, kalau bayi laki-laki, cara mensucikannya cukup dengan dipercikan saja, tanpa dicuci. Berbeda dengan air kencing bayi perempuan, itu harus dicuci dan harus dihilangkan sifatnya.

قَالَ اَلنَّبِيُّيُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ اَلْجَارِيَةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ اَلْغُلامِ

“Nabi SAW bersabda"Air kencing bayi perempuan harus dicuci sedangkan air kencing bayi laki-laki cukup dipercikkan air saja”. (HR. Abu Daud An-Nasai dan Al-Hakim)

Kenapa dibedakan, padahal sama-sama air kencing bayi? Jawabannya ya tidak kenapa-kenapa! Itu karena syariat ini memang membedakannya, dan bagi muslim diharuskan taat dengan apa yang sudah ditetapkan oleh syariah.

Wallahu a’lam


[1] Syarhu An-Nawawi Lil-Muslim 14/62

Ahmad Zarkasih, Lc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar