Minggu, 16 Maret 2014

Khilafiyah Dalam Menshahihkan dan Mendhaifkan Hadits: Sebuah Keniscayaan 1

Perjalanan Sejarah

Jika saya tanya, apakah dahulu ketika Nabi Muhammad shallaAllahu alaihi wasallam selesai menyampaikan suatu Hadits, beliau berujar; “Hadits ini shahih, atau Hadits ini dhaif”? Tentu saja tidak. Apakah dahulu para shahabat Nabi sudah menerapkan sistematika yang terstruktur dengan baik dalam menerima suatu Hadits? Harus tersambung sanadnya, ‘adil dan dhabith rawinya misalnya? Tentu saja belum.

Lalu darimana kita dapati lima syarat [1] diterimanya suatu hadits yang kita kenal saat ini? Jawabannya adalah: dari ijtihad para ulama.

Untuk apakah Ijtihad itu dilakukan? As-Suyuthi (w. 911 H) menyebutkan bahwa tujuan dari itu semua tidak lain adalah untuk mengetahui suatu hadits shahih yang benar-benar berasal dari Nabi yang nantinya bisa dijadikan hujjah [2].

Diskursus seputar otentisitasas hadits memang selalu menarik untuk dibahas, khususnya Hadits yang diriwayatkan secara Ahad [3]. Hal itu dapat dipahami, secara normatif-teologis kaum Muslimin memandang hadits sebagai hujjah agama yang fundamental disamping Al-Qur’an. Tapi disisi lain, perjalanan sejarah telah menjadikan sebagian hadits nyaris kehilangan orisinalitasnya.

Interval waktu yang cukup panjang antara masa Nabi Muhammad shallaAllah alaihi wasallam dengan para penghimpun Hadits, terjadinya periwayatan Hadits secara makna, pergolakan politik, perbedaan madzhab serta adanya ulah beberapa orang awam Muslim atau musuh Islam merupakan suatu persoalan yang menambah rumitnya pembuktian otentisitas Hadits.

Para ulama telah berusaha membuktikan otentisitas hadits; baik secara ekstern yang menyangkut sanad Hadits, maupun secara intern yang menyangkut matan Hadits.

Berdasarkan kajian tersebut, secara gradual tersusunlah kerangka epistemologi untuk menentukan otentisitas sebuah hadits. Itulah yang nantinya disebut sebagai syarat-syarat ke-shahih-an Hadits. Hadits shahih merupakan salah satu modal dasar penetapan hukum syariat. Tak jarang, ulama berbeda pendapat dalam menetapkan suatu hukum syariat, karena perbedaan mereka dalam menilai derajat suatu hadits.

Produk Ijtihad

Kegiatan penelitian otentisitas hadits telah banyak dilakukan oleh para ulama, baik ulama mutaqaddimun [4] maupun muta’akhirun [5]. Kita temukan para ulama berbeda dalam menilai derajat suatu hadits. Hal itu menegaskan bahwa penilaian terhadap derajat suatu hadits adalah produk Ijtihady yang mempunyai dua kemungkinan; benar atau salah.

Satu contoh: Hadits “Thalab al-ilmi faridhatun ‘ala kulli muslim”. Hadits ini dinilai dhaif oleh para hafidz seperti Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Abu Daud, al-Bazzar, al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Abd al-Barr, Ibn as-Shalah, an-Nawawi, dan ad-Dzahabi. Dinilai Hasan oleh Ibn al-Qattan, as-Sakhawi, dan as-Suyuthi, tetapi dishahihkan oleh al-Hafidz al-Iraqi [6].

Ini menunjukkan bahwa perkembangan hadits dan ilmu Hadits sangat dinamis, di mana para ulama mempunyai sensitivitas dan respon yang tinggi terhadap hasil suatu penelitian.

Siapakah Mujtahid Itu?

Suatu ketika, saya ditanya oleh teman tentang suatu hukum. Saya jawab, bahwa menurut Madzhab Hanafi hukumnya seperti ini, Malikiyyah, Syafi’iyah, Hanabilah seperti ini. Saya terangkan komplit dengan dalil dan sebab perbedaannya. Di akhir penjelasan, dia bertanya; “Trus, kalo menurut Nabi Muhammad bagaimana?”.

Wah, mati kutu saya. Seolah pendapat para ulama yang saya sebutkan tadi bukan benar-benar dari Nabi Muhammad shallaAllah alaihi wasallam.

Hal yang sama pernah ada teman lain bertanya kepada penulis; “Kok yang ada itu kitab Shahih Bukhari, kitab Shahih Muslim. Kenapa tidak ada kitab Shahih Nabi ya?!”.

Imam Bukhari (w. 256 H), Imam Muslim (w. 261 H), Abu Daud (w. 275 H), at-Tirmidzi (w. 279 H), an-Nasa’i (w. 302 H), Ibnu Majah (w. 273 H), ad-Darimi (w. 280 H), Ibn Khuzaimah (w. 311 H), dan lainnya adalah para Mujtahid yang mencoba mengumpulkan hadits Nabi dan menelitinya. Mereka menuliskan kitab Hadits dalam format yang berbeda; ada yang berbentuk Musnad, Mushannaf, Jami’, Sunan, Mu’jam, Mustakhraj, Mustadrak dan lainnya [7].

Maka kitab Hadits Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan kitab shahih lainnya itulah “Kitab Shahih Nabi”.

Dalam kasus, siapakah yang lebih berhak menilai keshahihan suatu hadits? Tentu ini kembali kepada syarat-syarat hadits shahih itu sendiri.

Maksudnya, orang yang bisa mengetahui dengan mendalam terhadap ketersambungan sanad, mengerti al-Jarh dan at-Ta’dil, ‘adalah dan hafalan masing-masing rawi, mengetahui secara mendalam dan luas ilmu dirayah dan riwayah hadits, sehingga tahu ada ‘illat dalam sebuah hadits, dan syadznya sebuah riwayat, maka boleh bagi dia menghukumi suatu hadits.

Bolehkan Saat ini Orang Berijtihad Menetapkan Status Hadits?

Secara logis, orang yang hidupnya lebih dekat dengan masa Nabi, tentu lebih banyak tahu tentang keadaan rawi. Sebuah sanad yang ‘ali atau tinggi tentu lebih didahulukan daripada sanad yang nazil [8] atau yang rendah. Ulama sepakat bahwa Muhaddits yang tergolong Mutaqadimun, mereka boleh berijtihad dalam menetapkan status suatu hadits. Bagaimanakah dengan ulama saat ini?

Pada umumnya, ijtihad dalam menetapkan status suatu hadits masih terus terbuka. Ibnu as-Shalah (w.643 H) memang terkenal sebagai ulama yang menutup pintu ijtihad dalam menilai derajat suatu hadits. Tetapi sebenarnya bukanlah menutup pintu ijtihad itu, tetapi lebih kepada mengajak untuk berhati-hati dan teliti dalam menerima penshahihan dan pendhaifan suatu hadits pada zaman itu.

Disebutkan dalam kitab Muqaddimahnya [9]:

إذا وجدنا فيما يُروى من أجزاء الحديث وغيرها حديثًا صحيحَ الإِسناد ولم نجدْه في أحدِ (الصحيحين) ولا منصوصًا على صحته في شيءٍ من مصنفات أئمة الحديث المعتَمدة المشهورة، فإنا لا نتجاسر على جَزْم ِ الحُكم بصحته

Jika kita temukan suatu riwayat yang shahih sanadnya, tetapi kita tidak temukan dalam shahihain, tidak pula dishahihkan dalam kitab-kitab para Imam Hadits yang muktamad, maka kita tidak mudah dalam menetapkan keshahihannya.

Hal ini memang beralasan. Karena shahih secara sanad saja belum tentu shahih suatu hadits. Ibnu as-Shalah dalam penshahihan suatu hadits, lebih memilih mengambil hasil ijtihad Muhaddits yang sudah muktamad dan masyhur kredibiliasnya.

Meskipun Imam an-Nawawi (w. 676 H) punya pandangan lain, bahwa boleh saja setelah zaman Ibnu as-Shalah, orang berijtihad menetapkan keshahihan suatu hadits, asalkan mempunyai kemampuan akan hal itu dan bisa [10].

Perbedaan Hasil Ijtihad

Karena sifatnya ijtihady, maka perbedaan dalam menilai suatu hadits adalah sebuah keniscayaan. Kita temui, ulama zaman dahulu telah melakukan kajian ulang sekaligus memberikan kritik terhadap kitab-kitab hadits yang berhasil dihimpun para imam Ahli Hadits sebelumnya.

Sebagai contoh, Ad-Daraquthni (w. 385 H), Abu Mas’ud ad-Dimasyqi (w. 401 H), Abu Ali al-Ghassani (w. 365 H) telah melakukan kritik terhadap kitab as- Shahihain [11] . Ibnu al-Jauzi (w. 597 H) telah meneliti ulang kitab Sunan empat (as-Sunan al-Arba’ah) dan menyertakan kritik terhadap hadits-hadits yang dinilai maudhu’.

Pada abad-abad berikutnya, as-Suyuthi (w. 911 H) menjawab kritikan itu dengan kritik baru sebagai pembelaan terhadap hadits-hadits yang di-maudhu’ kan oleh Ibn al-Jauzi (w. 597 H).

Abu Said al-Malini (w. 412 H) secara ekstrim menilai bahwa kitab al-Mustadrak karya al-Hakim an-Naisaburi (w. 405 H) tidak ada satupun hadits shahih yang memenuhi persyaratan as-Shahihain. Sedangkan ad-Dzahabi (w, 748 H) menilai lebih objektif dan moderat, bahwa dalam al-Mustadrak selain ada hadits shahih ada juga hadits yang dhaif, munkar dan maudhu’.

Penelitian hadits juga dilakukan oleh para cendikiawan kontemporer. Sebut saja Ahmad Muhammad Syakir, Habib ar-Rahman al-A’dzami, Syu’aib al-Arnauth, Abdul Qadir al-Arnauth, Muhammad bin Shidiq al-Ghumari, Abdul aziz bin Muhammad bin Shidiq al-Ghumari, Abu al-Fattah Abu Ghuddah, Muhammad Mushtafa al-A’dzami, Muhammad Nashiruddin al-Albani, dan lain sebagainya.

Muqallid Jika Disuruh Memilih

Tentu kita harusnya sadar bahwa level kita masih muqallid dalam bab menilai derajat suatu hadits. Itu sebagai bentuk tawadhu’ dan tahu diri kita.

Lantas, jika terjadi perbedaan dalam menilai suatu hadits antara ulama terdahulu dengan ulama sekarang, mana yang harusnya didahulukan perkataannya? Berikut saya berikan kisi-kisinya.

Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) berkata [12]:

قد يكون عند الرجل الدواوين الكثيرة وهو لا يحيط بما فيها بل الذين كانوا قبل جمع هذه الدواوين أعلم بالسنة من المتأخرين بكثير؛ لأن كثيرا مما بلغهم وصح عندهم قد لا يبلغنا إلا عن مجهول؛ أو بإسناد منقطع؛ أو لا يبلغنا بالكلية

Barangkali seseorang itu mempunyai catatan hadits yang sangat banyak, tetapi orang itu tidak menguasai dengan sempurna apa yang ada di catatannya. Bisa jadi orang yang hidup sebelum ditulisnya catatan hadits itu lebih mengerti tentang hadits Nabi daripada orang-orang setelahnya. Karena sangat mungkin hadits yang sebenarnya shahih, tetapi sampai kepada kita melalui seorang rawi yang majhul, atau dengan sanad yang terputus, atau tidak sampai kepada kita secara utuh..

Memang benar sekali, sangat mungkin hadits yang sebenarnya shahih dan benar-benar itu datang dari Nabi, gara-gara lewat seorang rawi yang dinilai lemah atau sanadnya terputus lantas haditsnya jadi ikutan dhaif.

Sebagai ilustrasi, bisa jadi memang benar-benar terjadi kebakaran di suatu tempat. Tetapi karena yang membawa berita itu kebiasaannya suka berbohong, maka berita itu pun dianggap bohong. Padahal belum tentu juga seorang yang terkenal pembohong sekalipun, akan selalu berbohong dalam setiap perkataannya.

Maka penilaian ulama hadits mutaqaddimun menurut Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) lebih didahulukan.

Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) mengungkapkan [13]:

فمتى وجدنا حديثا قد حكم إمام من الأئمة المرجوع إليهم بتعليله، فالأولى اتباعه في ذلك كما نتبعه في تصحيح الحديث إذا صححه..

Jika kita temukan suatu hadits yang oleh para Imam Ahli Hadits yang terpercaya telah menghukuminya ada illat, maka yang lebih utama adalah mengikutinya. Sebagaimana kita mengikuti mereka dalam menshahihkan suatu hadits..

Ibnu Hajar al-Aqalani (w. 852 H) beliau lebih memilih mengikuti ulama yang memang ahli hadits dari ulama mutaqaddimun dalam menilai derajat suatu hadits.

Al-Hafidz as-Sakhawi (w. 902 H) menyebutkan dalam kitabnya Fathu al-Mughits [14] :

فمتى وجدنا في كلام أحد من المتقدمين الحكم به، كان معتمدا، لما أعطاهم الله من الحفظ الغزير، وإن اختلف النقل عنهم، عدل إلى الترجيح

Selama kita menemukan di salah satu ulama mutaqaddimun terkait hukum suatu hadits, maka itulah yang kita pegang. Hal itu karena Allah telah menganugrahkan kepada mereka hafalan yang sangat banyak. Jika terjadi perbedaan diantara mereka, maka baru dilakukan tarjih.

Imam al-Bukhari (w. 256 H), Imam Muslim (w. 261 H), Abu Daud as-Sajistani (w. 275 H), Abu Isa at-Tirmidizi (w. 279 H), an-Nasa’i Abu Abdirrahman (w. 303 H), Ibn Majah (w. 275 H), al-Hakim an-Naisaburi (w. 405 H), Imam an-Nawawi (w. 676 H), Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H), Imam as-Suyuthi (w. 911 H) mereka manusia yang sangat mungkin salah dalam berijtihad.

Tetapi, Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H), Abdullah bin Bazz (w. 1420 H), Syu’ab al-Arnauth, Ahmad Muhammad Syakir, Muqbil bin Hadi, Robi’ bin Hadi juga bukan malaikat, mereka manusia yang kekurang akuratan ijtihadnya bisa jadi lebih banyak daripada ulama terdahulu. Karena para muhaddits terdahulu itu benar-benar hidup bersama para rawi yang meriwayatkan hadits, mencari sendiri dengan mengadakan perjalanan ilmiyah, meneliti lalu menuliskannya. Berbeda dengan era maktabah syamilah.

Tinggal sebagai muqallid dalam ilmu hadits, pilih yang mana silahkan. Sesama muqallid tak sebaiknya saling memaksakan pilihannya.

[1] Lima syarat diterimanya suatu hadits: 1. Tersambungnya sanad, 2. Diriwayatkan oleh rawi yang ‘adil, 3. Rawi yang dhabith, 4. Tidak ada ‘illat, 5. Tidak syadz. Lihat: Ibnu as-Shalah Utsman bin Abdurrahman (w. 643 H), Ma’rifat ‘Anwa’ Ulum al-Hadits atau yang lebih terkenal dengan Muqaddimah Ibnu Shalah, (Baerut: Daar al-Fikr, 1406 H), hal. 11

[2] Abdurrahman bin Abu Bakar Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H), Tadrib ar-Rawi fi Syarhi Taqrib an-Nawawi, (Daar Thaibah), juz 1, hal. 26

[3] Hadits Ahad oleh para Ulama’ didefinisikan sebagai suatu hadits yang belum sampai derajat mutawatir. Lihat: Abu al-Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Hajar al-Asqalani (w. 852 H), Nukhbat al-Fikar, (Kairo: Daar al-Hadits, 1418 H), hal. 46

[4] Ditinjau dari segi masanya, pada umumnya Ulama’ terbagi menjadi dua. Mutaqaddimun merujuk kepada periode awal, dikhususkan kepada mereka yang mencari, menulis, menghimpun, dan membukukan hadits. Mereka hidup di abad I, II, III seperti Malik bin Anas, as-Syaf’i, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, Muslim, dan penulis kutub as-sitttah. Sedangkan kategori kedua, muta’akhirun dikhususkan bagi Ulama’ yang mengoleksi, mengutip, dan melengkapi hadits dari kitab-kitab Ulama’ mutaqaddimun. Mereka hidup di abad IV dan setelahnya, seperti al-Hakim, ad-Daraquthni, al-Baihaqi, Ibn as-Shalah, an-Nawawi, Ibn Hajar dan lain-lain.

[5] Lihat: Muhammad Abu Zahrah, al-Hadits wa al-Muhadditsun. Beliau telah menuliskan perjalanan hadits, keadaan politik dan peran Ulama’ pada masing-masing abad dalam kitabnya.

[6] Ahmad bin Shidiq al-Ghumari, al-Mushim fi Bayan Hal Hadits Thalab al-Ilmi, (Riyadh: Maktabah Thabariyyah, 1994 M), hal. 5

[7] Jika ingin mengetahui lebih lengkap tentang sejarah penulis kitab hadits, perbedaan model kitab hadits dan musthalah hadits bisa membaca kitab: ar-Risalah al-Mustathrafah li Bayan Masyhuri al-Kutub as-Sunnah al-Musyarrafah karya Abu Abdillah Muhammad bin Abu al-Faidh Ja’far bin Idris al-Hasani al-Kattani (w. 1345 H)

[8] Mahmud at-Thahhan, Taysir Mushthalah al-Hadits, (Jeddah, Maktabah al-Haramain, 1405 H), hal. 184

[9] Ma’rifat ‘Anwa’ Ulum al-Hadits atau yang lebih terkenal dengan Muqaddimah Ibnu Shalah, Ibnu as-Shalah (w. 643 H), (Baerut: Daar al-Fikr, 1406 H), hal. 160

[10] An-Nawawi Abu Zakariyya Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi (w. 676 H), at-Taqrib wa at-Taisir, (Baerut: Daar al-Kitab al-Arabi, 1405 H), hal. 28

[11] Muhammad Abu Zahrah, al-Hadits wa al-Muhadditsun, (Mesir: Syirkah Mishriyyah, t.t), hal. 399

[12] Ibnu Taimiyyah al-Harrani (w. 728 H), Majmu’ al-Fatawa, (Riyadh: Majma al-Malik Fahd, 1416 H), hal. 20/239

[13] Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H), an-Nukat ala Kitab Ibn Shalah, (Riyadh: Imadat al-Bahts Jamiah Islamiyyah, 1404 H), hal. 2/ 711

[14] Syamsuddin as-Shakhawi (w. 902 H), Fath al-Mughits bi Syarh Alfiyat al-Hadits, (Kairo: Maktabah as-Sunnah, 1424 H), hal. 1/ 313


Hanif Luthfi, Lc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar