Perjalanan Sejarah
Jika saya tanya, apakah dahulu ketika Nabi Muhammad
shallaAllahu alaihi wasallam selesai menyampaikan suatu Hadits, beliau berujar;
“Hadits ini shahih, atau Hadits ini dhaif”? Tentu saja tidak. Apakah dahulu
para shahabat Nabi sudah menerapkan sistematika yang terstruktur dengan baik
dalam menerima suatu Hadits? Harus tersambung sanadnya, ‘adil dan dhabith
rawinya misalnya? Tentu saja belum.
Lalu darimana kita dapati lima syarat [1] diterimanya suatu
hadits yang kita kenal saat ini? Jawabannya adalah: dari ijtihad para ulama.
Untuk apakah Ijtihad itu dilakukan? As-Suyuthi (w. 911 H)
menyebutkan bahwa tujuan dari itu semua tidak lain adalah untuk mengetahui
suatu hadits shahih yang benar-benar berasal dari Nabi yang nantinya bisa
dijadikan hujjah [2].
Diskursus seputar otentisitasas hadits memang selalu menarik
untuk dibahas, khususnya Hadits yang diriwayatkan secara Ahad [3]. Hal itu
dapat dipahami, secara normatif-teologis kaum Muslimin memandang hadits sebagai
hujjah agama yang fundamental disamping Al-Qur’an. Tapi disisi lain, perjalanan
sejarah telah menjadikan sebagian hadits nyaris kehilangan orisinalitasnya.
Interval waktu yang cukup panjang antara masa Nabi Muhammad
shallaAllah alaihi wasallam dengan para penghimpun Hadits, terjadinya
periwayatan Hadits secara makna, pergolakan politik, perbedaan madzhab serta
adanya ulah beberapa orang awam Muslim atau musuh Islam merupakan suatu
persoalan yang menambah rumitnya pembuktian otentisitas Hadits.
Para ulama telah berusaha membuktikan otentisitas hadits;
baik secara ekstern yang menyangkut sanad Hadits, maupun secara intern yang
menyangkut matan Hadits.
Berdasarkan kajian tersebut, secara gradual tersusunlah
kerangka epistemologi untuk menentukan otentisitas sebuah hadits. Itulah yang
nantinya disebut sebagai syarat-syarat ke-shahih-an Hadits. Hadits shahih
merupakan salah satu modal dasar penetapan hukum syariat. Tak jarang, ulama
berbeda pendapat dalam menetapkan suatu hukum syariat, karena perbedaan mereka
dalam menilai derajat suatu hadits.
Produk Ijtihad
Kegiatan penelitian otentisitas hadits telah banyak
dilakukan oleh para ulama, baik ulama mutaqaddimun [4] maupun muta’akhirun [5].
Kita temukan para ulama berbeda dalam menilai derajat suatu hadits. Hal itu
menegaskan bahwa penilaian terhadap derajat suatu hadits adalah produk Ijtihady
yang mempunyai dua kemungkinan; benar atau salah.
Satu contoh: Hadits “Thalab al-ilmi faridhatun ‘ala kulli
muslim”. Hadits ini dinilai dhaif oleh para hafidz seperti Ahmad bin Hanbal,
Ishaq bin Rahawaih, Abu Daud, al-Bazzar, al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Abd
al-Barr, Ibn as-Shalah, an-Nawawi, dan ad-Dzahabi. Dinilai Hasan oleh Ibn
al-Qattan, as-Sakhawi, dan as-Suyuthi, tetapi dishahihkan oleh al-Hafidz
al-Iraqi [6].
Ini menunjukkan bahwa perkembangan hadits dan ilmu Hadits
sangat dinamis, di mana para ulama mempunyai sensitivitas dan respon yang
tinggi terhadap hasil suatu penelitian.
Siapakah Mujtahid Itu?
Suatu ketika, saya ditanya oleh teman tentang suatu hukum.
Saya jawab, bahwa menurut Madzhab Hanafi hukumnya seperti ini, Malikiyyah,
Syafi’iyah, Hanabilah seperti ini. Saya terangkan komplit dengan dalil dan
sebab perbedaannya. Di akhir penjelasan, dia bertanya; “Trus, kalo menurut Nabi
Muhammad bagaimana?”.
Wah, mati kutu saya. Seolah pendapat para ulama yang saya
sebutkan tadi bukan benar-benar dari Nabi Muhammad shallaAllah alaihi wasallam.
Hal yang sama pernah ada teman lain bertanya kepada penulis;
“Kok yang ada itu kitab Shahih Bukhari, kitab Shahih Muslim. Kenapa tidak ada
kitab Shahih Nabi ya?!”.
Imam Bukhari (w. 256 H), Imam Muslim (w. 261 H), Abu Daud
(w. 275 H), at-Tirmidzi (w. 279 H), an-Nasa’i (w. 302 H), Ibnu Majah (w. 273
H), ad-Darimi (w. 280 H), Ibn Khuzaimah (w. 311 H), dan lainnya adalah para
Mujtahid yang mencoba mengumpulkan hadits Nabi dan menelitinya. Mereka
menuliskan kitab Hadits dalam format yang berbeda; ada yang berbentuk Musnad,
Mushannaf, Jami’, Sunan, Mu’jam, Mustakhraj, Mustadrak dan lainnya [7].
Maka kitab Hadits Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan kitab
shahih lainnya itulah “Kitab Shahih Nabi”.
Dalam kasus, siapakah yang lebih berhak menilai keshahihan
suatu hadits? Tentu ini kembali kepada syarat-syarat hadits shahih itu sendiri.
Maksudnya, orang yang bisa mengetahui dengan mendalam
terhadap ketersambungan sanad, mengerti al-Jarh dan at-Ta’dil, ‘adalah dan
hafalan masing-masing rawi, mengetahui secara mendalam dan luas ilmu dirayah
dan riwayah hadits, sehingga tahu ada ‘illat dalam sebuah hadits, dan syadznya
sebuah riwayat, maka boleh bagi dia menghukumi suatu hadits.
Bolehkan Saat ini Orang Berijtihad Menetapkan Status Hadits?
Secara logis, orang yang hidupnya lebih dekat dengan masa
Nabi, tentu lebih banyak tahu tentang keadaan rawi. Sebuah sanad yang ‘ali atau
tinggi tentu lebih didahulukan daripada sanad yang nazil [8] atau yang rendah.
Ulama sepakat bahwa Muhaddits yang tergolong Mutaqadimun, mereka boleh berijtihad
dalam menetapkan status suatu hadits. Bagaimanakah dengan ulama saat ini?
Pada umumnya, ijtihad dalam menetapkan status suatu hadits
masih terus terbuka. Ibnu as-Shalah (w.643 H) memang terkenal sebagai ulama
yang menutup pintu ijtihad dalam menilai derajat suatu hadits. Tetapi
sebenarnya bukanlah menutup pintu ijtihad itu, tetapi lebih kepada mengajak
untuk berhati-hati dan teliti dalam menerima penshahihan dan pendhaifan suatu
hadits pada zaman itu.
Disebutkan dalam kitab Muqaddimahnya [9]:
إذا وجدنا فيما يُروى
من أجزاء الحديث وغيرها
حديثًا صحيحَ الإِسناد ولم
نجدْه في أحدِ (الصحيحين)
ولا منصوصًا على صحته في
شيءٍ من مصنفات أئمة
الحديث المعتَمدة المشهورة، فإنا لا نتجاسر
على جَزْم ِ الحُكم
بصحته
Jika kita temukan suatu riwayat yang shahih sanadnya, tetapi
kita tidak temukan dalam shahihain, tidak pula dishahihkan dalam kitab-kitab
para Imam Hadits yang muktamad, maka kita tidak mudah dalam menetapkan
keshahihannya.
Hal ini memang beralasan. Karena shahih secara sanad saja
belum tentu shahih suatu hadits. Ibnu as-Shalah dalam penshahihan suatu hadits,
lebih memilih mengambil hasil ijtihad Muhaddits yang sudah muktamad dan masyhur
kredibiliasnya.
Meskipun Imam an-Nawawi (w. 676 H) punya pandangan lain,
bahwa boleh saja setelah zaman Ibnu as-Shalah, orang berijtihad menetapkan
keshahihan suatu hadits, asalkan mempunyai kemampuan akan hal itu dan bisa
[10].
Perbedaan Hasil Ijtihad
Karena sifatnya ijtihady, maka perbedaan dalam menilai suatu
hadits adalah sebuah keniscayaan. Kita temui, ulama zaman dahulu telah
melakukan kajian ulang sekaligus memberikan kritik terhadap kitab-kitab hadits
yang berhasil dihimpun para imam Ahli Hadits sebelumnya.
Sebagai contoh, Ad-Daraquthni (w. 385 H), Abu Mas’ud
ad-Dimasyqi (w. 401 H), Abu Ali al-Ghassani (w. 365 H) telah melakukan kritik
terhadap kitab as- Shahihain [11] . Ibnu al-Jauzi (w. 597 H) telah meneliti
ulang kitab Sunan empat (as-Sunan al-Arba’ah) dan menyertakan kritik terhadap
hadits-hadits yang dinilai maudhu’.
Pada abad-abad berikutnya, as-Suyuthi (w. 911 H) menjawab
kritikan itu dengan kritik baru sebagai pembelaan terhadap hadits-hadits yang
di-maudhu’ kan oleh Ibn al-Jauzi (w. 597 H).
Abu Said al-Malini (w. 412 H) secara ekstrim menilai bahwa
kitab al-Mustadrak karya al-Hakim an-Naisaburi (w. 405 H) tidak ada satupun
hadits shahih yang memenuhi persyaratan as-Shahihain. Sedangkan ad-Dzahabi (w,
748 H) menilai lebih objektif dan moderat, bahwa dalam al-Mustadrak selain ada
hadits shahih ada juga hadits yang dhaif, munkar dan maudhu’.
Penelitian hadits juga dilakukan oleh para cendikiawan
kontemporer. Sebut saja Ahmad Muhammad Syakir, Habib ar-Rahman al-A’dzami,
Syu’aib al-Arnauth, Abdul Qadir al-Arnauth, Muhammad bin Shidiq al-Ghumari,
Abdul aziz bin Muhammad bin Shidiq al-Ghumari, Abu al-Fattah Abu Ghuddah,
Muhammad Mushtafa al-A’dzami, Muhammad Nashiruddin al-Albani, dan lain
sebagainya.
Muqallid Jika Disuruh Memilih
Tentu kita harusnya sadar bahwa level kita masih muqallid
dalam bab menilai derajat suatu hadits. Itu sebagai bentuk tawadhu’ dan tahu
diri kita.
Lantas, jika terjadi perbedaan dalam menilai suatu hadits
antara ulama terdahulu dengan ulama sekarang, mana yang harusnya didahulukan
perkataannya? Berikut saya berikan kisi-kisinya.
Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) berkata [12]:
قد يكون عند الرجل
الدواوين الكثيرة وهو لا يحيط
بما فيها بل الذين
كانوا قبل جمع هذه
الدواوين أعلم بالسنة من
المتأخرين بكثير؛ لأن كثيرا
مما بلغهم وصح عندهم
قد لا يبلغنا إلا
عن مجهول؛ أو بإسناد
منقطع؛ أو لا يبلغنا
بالكلية
Barangkali seseorang itu mempunyai catatan hadits yang
sangat banyak, tetapi orang itu tidak menguasai dengan sempurna apa yang ada di
catatannya. Bisa jadi orang yang hidup sebelum ditulisnya catatan hadits itu
lebih mengerti tentang hadits Nabi daripada orang-orang setelahnya. Karena
sangat mungkin hadits yang sebenarnya shahih, tetapi sampai kepada kita melalui
seorang rawi yang majhul, atau dengan sanad yang terputus, atau tidak sampai
kepada kita secara utuh..
Memang benar sekali, sangat mungkin hadits yang sebenarnya
shahih dan benar-benar itu datang dari Nabi, gara-gara lewat seorang rawi yang
dinilai lemah atau sanadnya terputus lantas haditsnya jadi ikutan dhaif.
Sebagai ilustrasi, bisa jadi memang benar-benar terjadi
kebakaran di suatu tempat. Tetapi karena yang membawa berita itu kebiasaannya
suka berbohong, maka berita itu pun dianggap bohong. Padahal belum tentu juga
seorang yang terkenal pembohong sekalipun, akan selalu berbohong dalam setiap
perkataannya.
Maka penilaian ulama hadits mutaqaddimun menurut Ibnu
Taimiyyah (w. 728 H) lebih didahulukan.
Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) mengungkapkan [13]:
فمتى وجدنا حديثا قد
حكم إمام من الأئمة
المرجوع إليهم بتعليله، فالأولى
اتباعه في ذلك كما
نتبعه في تصحيح الحديث
إذا صححه..
Jika kita temukan suatu hadits yang oleh para Imam Ahli
Hadits yang terpercaya telah menghukuminya ada illat, maka yang lebih utama
adalah mengikutinya. Sebagaimana kita mengikuti mereka dalam menshahihkan suatu
hadits..
Ibnu Hajar al-Aqalani (w. 852 H) beliau lebih memilih
mengikuti ulama yang memang ahli hadits dari ulama mutaqaddimun dalam menilai
derajat suatu hadits.
Al-Hafidz as-Sakhawi (w. 902 H) menyebutkan dalam kitabnya
Fathu al-Mughits [14] :
فمتى وجدنا في كلام
أحد من المتقدمين الحكم
به، كان معتمدا، لما
أعطاهم الله من الحفظ
الغزير، وإن اختلف النقل
عنهم، عدل إلى الترجيح
Selama kita menemukan di salah satu ulama mutaqaddimun
terkait hukum suatu hadits, maka itulah yang kita pegang. Hal itu karena Allah
telah menganugrahkan kepada mereka hafalan yang sangat banyak. Jika terjadi
perbedaan diantara mereka, maka baru dilakukan tarjih.
Imam al-Bukhari (w. 256 H), Imam Muslim (w. 261 H), Abu Daud
as-Sajistani (w. 275 H), Abu Isa at-Tirmidizi (w. 279 H), an-Nasa’i Abu
Abdirrahman (w. 303 H), Ibn Majah (w. 275 H), al-Hakim an-Naisaburi (w. 405 H),
Imam an-Nawawi (w. 676 H), Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H), Imam as-Suyuthi
(w. 911 H) mereka manusia yang sangat mungkin salah dalam berijtihad.
Tetapi, Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H), Abdullah bin Bazz
(w. 1420 H), Syu’ab al-Arnauth, Ahmad Muhammad Syakir, Muqbil bin Hadi, Robi’
bin Hadi juga bukan malaikat, mereka manusia yang kekurang akuratan ijtihadnya
bisa jadi lebih banyak daripada ulama terdahulu. Karena para muhaddits
terdahulu itu benar-benar hidup bersama para rawi yang meriwayatkan hadits,
mencari sendiri dengan mengadakan perjalanan ilmiyah, meneliti lalu
menuliskannya. Berbeda dengan era maktabah syamilah.
Tinggal sebagai muqallid dalam ilmu hadits, pilih yang mana
silahkan. Sesama muqallid tak sebaiknya saling memaksakan pilihannya.
[1] Lima syarat diterimanya suatu hadits: 1. Tersambungnya
sanad, 2. Diriwayatkan oleh rawi yang ‘adil, 3. Rawi yang dhabith, 4. Tidak ada
‘illat, 5. Tidak syadz. Lihat: Ibnu as-Shalah Utsman bin Abdurrahman (w. 643
H), Ma’rifat ‘Anwa’ Ulum al-Hadits atau yang lebih terkenal dengan Muqaddimah
Ibnu Shalah, (Baerut: Daar al-Fikr, 1406 H), hal. 11
[2] Abdurrahman bin Abu Bakar Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911
H), Tadrib ar-Rawi fi Syarhi Taqrib an-Nawawi, (Daar Thaibah), juz 1, hal. 26
[3] Hadits Ahad oleh para Ulama’ didefinisikan sebagai suatu
hadits yang belum sampai derajat mutawatir. Lihat: Abu al-Fadhl Ahmad bin Ali
bin Muhammad bin Ahmad bin Hajar al-Asqalani (w. 852 H), Nukhbat al-Fikar,
(Kairo: Daar al-Hadits, 1418 H), hal. 46
[4] Ditinjau dari segi masanya, pada umumnya Ulama’ terbagi
menjadi dua. Mutaqaddimun merujuk kepada periode awal, dikhususkan kepada
mereka yang mencari, menulis, menghimpun, dan membukukan hadits. Mereka hidup
di abad I, II, III seperti Malik bin Anas, as-Syaf’i, Ahmad bin Hanbal,
al-Bukhari, Muslim, dan penulis kutub as-sitttah. Sedangkan kategori kedua,
muta’akhirun dikhususkan bagi Ulama’ yang mengoleksi, mengutip, dan melengkapi
hadits dari kitab-kitab Ulama’ mutaqaddimun. Mereka hidup di abad IV dan
setelahnya, seperti al-Hakim, ad-Daraquthni, al-Baihaqi, Ibn as-Shalah,
an-Nawawi, Ibn Hajar dan lain-lain.
[5] Lihat: Muhammad Abu Zahrah, al-Hadits wa al-Muhadditsun.
Beliau telah menuliskan perjalanan hadits, keadaan politik dan peran Ulama’
pada masing-masing abad dalam kitabnya.
[6] Ahmad bin Shidiq al-Ghumari, al-Mushim fi Bayan Hal
Hadits Thalab al-Ilmi, (Riyadh: Maktabah Thabariyyah, 1994 M), hal. 5
[7] Jika ingin mengetahui lebih lengkap tentang sejarah
penulis kitab hadits, perbedaan model kitab hadits dan musthalah hadits bisa
membaca kitab: ar-Risalah al-Mustathrafah li Bayan Masyhuri al-Kutub as-Sunnah
al-Musyarrafah karya Abu Abdillah Muhammad bin Abu al-Faidh Ja’far bin Idris
al-Hasani al-Kattani (w. 1345 H)
[8] Mahmud at-Thahhan, Taysir Mushthalah al-Hadits, (Jeddah,
Maktabah al-Haramain, 1405 H), hal. 184
[9] Ma’rifat ‘Anwa’ Ulum al-Hadits atau yang lebih terkenal
dengan Muqaddimah Ibnu Shalah, Ibnu as-Shalah (w. 643 H), (Baerut: Daar
al-Fikr, 1406 H), hal. 160
[10] An-Nawawi Abu Zakariyya Muhyiddin Yahya bin Syaraf
an-Nawawi (w. 676 H), at-Taqrib wa at-Taisir, (Baerut: Daar al-Kitab al-Arabi,
1405 H), hal. 28
[11] Muhammad Abu Zahrah, al-Hadits wa al-Muhadditsun,
(Mesir: Syirkah Mishriyyah, t.t), hal. 399
[12] Ibnu Taimiyyah al-Harrani (w. 728 H), Majmu’ al-Fatawa,
(Riyadh: Majma al-Malik Fahd, 1416 H), hal. 20/239
[13] Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H), an-Nukat ala Kitab
Ibn Shalah, (Riyadh: Imadat al-Bahts Jamiah Islamiyyah, 1404 H), hal. 2/ 711
[14] Syamsuddin as-Shakhawi (w. 902 H), Fath al-Mughits bi Syarh
Alfiyat al-Hadits, (Kairo: Maktabah as-Sunnah, 1424 H), hal. 1/ 313
Hanif Luthfi, Lc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar