Sebab-Sebab Perbedaan Muhadditsin
Sebenarnya banyak hadits yang ulama sepakat akan
keshahihannya, sebagaimana banyak juga hadits yang ulama sepakat juga
ke-dhaif-annya. Diantara itu, ada hadits yang memang masih diperselisihkan
derajatnya.
Sangat penting mengetahui sebab perbedaan ulama muhaddits
dalam menetapkan suatu hadits. Agar taklidnya tidak begitu parah.
Diantara sebab-sebab perbedaan itu adalah:
1. Perbedaan penerapan kaidah minor.
Para Muhadditsin, disamping berpegang kepada kaidah-kadiah
umum yang disepakati (kaidah mayor), mempunyai visi dan kekhasan tersendiri
dalam operasionalnya (kaidah minor).
Operasional ketersambungan sanad (ittishal as-Sanad)
misalnya, antara al-Bukhari dan Muslim terdapat perbedaan. Al-Bukhari
mensyaratkan seorang murid (rawi kedua) pernah bertemu langsung dengan guru
(rawi pertama) walaupun hanya sekali [1].
Sedangkan menurut Muslim, sanad dinilai bersambung jika
terdapat indikasi bahwa kedua rawi itu pernah bertemu, karena ditemukan bukti
bahwa keduanya hidup sezaman (Mu’asharah).
Dengan demikian, konsep hadits mu’an’an (hadits yang
diterima menggunakan lafadz ‘an) antara al-Bukhari dan Muslim berbeda.
Perbedaan ini akan terlihat lebih jelas, dengan adanya statement dalam ilmu
Hadits ‘ala Syarth al-Bukhari dan ‘ala Syarth Muslim.
2. Perbedaan al-Jarh dan at-Ta’dil
Syarat rawi hadits shahih haruslah ‘adil dan dhabith. Tetapi
pertanyaannya, siapakah yang berhak menilai keadilan seorang rawi? Siapakah
yang berhak memberikan test hafalan seorang rawi? Apakah ada tes masuk bagi
calon rawi sebagaimana fit and propertest?.
Semua itu adalah ijtihad ulama al-Jarh wa at-Ta’dil. Al-Imam
at-Tirmidzi (w. 279 H) berkata [2]:
وَقد اخْتلف الْأَئِمَّة من
أهل الْعلم فِي تَضْعِيف
الرِّجَال كَمَا اخْتلفُوا فِي
سوى ذَلِك من الْعلم
Ulama telah berbeda pendapat dalam menilai lemah seseorang,
sebagaimana mereka juga berbeda pendapat dalam Ilmu lainnya.
Perbedaan pendapat dalam al-Jarh wa at-Ta’dil ini sangat
mempengaruhi dalam penilain suatu hadits.
Perbedaan kriteria orang yang memberikan penilaian
(al-Mujarrih dan al-Mu’addil), perbedaan sikap dalam al-Jarh wa at-Ta’dil
antara ulama satu dengan lainnya, perbedaan shighat antar ulama al-Jarh wa
at-Ta’dil, turut menyumbang perbedaan dalam penilaian terhadap seorang rawi.
Sebagai contoh, Sebagaimana dikatakan oleh Abu Hatim ar-Razi
(w. 227 H), dinukil dalam kitab Tahrir Ulum al-Hadits [3]:
ونقل أبو حاتم الرازي
عن هشام بن يوسف
الصنعاني قوله في (عبد
الله بن معاذ بن
نشيط صاحب معمر): " هو
صدوق، وكان عبد الرزاق
يكذبه " ثم قال أبو
حاتم: " أقول: هو أوثق
من عبد الرزاق
Dinukil dari Abu Hatim ar-Razi dari Hisyam bin Yusuf
as-Shan’ani dalam penilaiannya terhadap Abdullah bin Mu’adz: Dia orang yang
shaduq. Sedangkan Abdurrazaq menilai: Dia seorang yang bohong. Abu Hatim
menjawab: (justru) Dia (Abdullah bin Mu’adz) itu lebih tsiqah daripada
Abdurrazaq [4].
Maka, para ulama al-Jarh wa at-Ta’dil ada yang bersifat
tasyaddud, tawasuth dan tasahul [5] . Cukup banyak perbedaan ulama al-Jarh dan
at-Ta’dil dalam menilai satu rawi. Kadang satu rawi dianggap lemah oleh ulama,
tapi oleh ulama lain dianggap tsiqah atau shaduq.
Disinilah seorang yang akan meneliti derajat suatu hadits
dituntut ketelitian, keluasan ilmu, pemahaman yang mendalam terhadap
istilah-istilah yang dipakai oleh para ulama, juga terbebas dirinya dari hawa
nafsu dan kepentingan tertentu.
Jangan sampai seorang peneliti hadits, jika matan hadits itu
sesuai dengan keinginan dan pendapatnya, maka dicarilah penilain yang baik
terhadap rawi-rawinya. Tapi jika matan hadits bertentangan dengan pendapatnya,
maka akan dicari penilaian yang negatif terhadap rawi.
3. Perbedaan dalam menerima ‘an’anah dalam Sanad
Imam Nawawi dalam Mukaddimah Syarah Shahih Muslim,
menjelaskan bahwa Hadits mu’an’an [6] oleh jumhur ulama dihukumi muttashil/
tersambung sanadnya, meskipun ada juga yang menganggap bahwa hadits mu’an’an
masuk kategori mursal. Syaratnya Hadits mu’an’an tidak diriwayatkan oleh rawi
mudallis dan dimungkinkan bertemu antara rawi pertama dengan rawi kedua[7] .
Sedangkan untuk mengetahui dimungkinkannya bertemu,
muhaddits berbeda pendapat. Sebagaian muhaddits hanya mensyaratkan pernah
bertemu saja, Imam Nawawi (w. 676 H) menyebutkan bahwa ini pendapat Ali bin
Madini, al-Bukhari, Abu Bakar as-Shairafi. Sebagian muhaddits mensyaratkan thul
as-Shuhbah/ lama dalam berguru, ini adalah pendapat Abu al-Mudhaffar
as-Syafi’i. Ada sebagian Muhaddits yang mensyaratkan rawi kedua itu sudah
terkenal banyak meriwayatkan dari rawi pertama, ini adalah pendapat Abu Umar
al-Muqri.
Rawi mudallis jika terbukti seorang rawi melakukan tadlis
dalam Isnad [8] , maka para ulama’ berbeda pendapat tentang status rawi
tersebut. Sebagian ulama’ Ahli Hadits menolak periwayatan orang tersebut secara
muthlak. Tetapi yang lebih shahih menurut al-Imam an-Nawawi [9] (w. 676 H) dan
diikuti oleh al-Imam as-Suyuthi [10] (w. 911 H) adalah ditafshil/diperinci.
Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) dalam kitab Thabaqat
al-Mudallisin membagi tingkatan mudallis menjadi 5 tingkatan. Pada tingkatan
ketiga, yaitu Orang-orang yang sering melakukan tadlis, maka para ulama tidak
mengambil hadits darinya kecuali jika orang tersebut menjelaskan bahwa dia
mendengar langsung dari rawi atasnya (Tahammul dan Ada’ dengan shighat
sama’/mendengar). Seperti: Abu az-Zubair al-Makkiy [11].
Tentu masih ada beberapa sebab perbedaan lain para muhaddits
dalam menilai suatu hadits.
Khilafiyyah Dalam Menilai Derajat Hadits
Semua sepakat bahwa hadits yang shahih menjadi salah satu
sumber utama dalam penetapan hukum Islam. Iya, semua sepakat.
Tapi dalam menetapkan keshahihan suatu hadits, para
muhaddits pun mereka berbeda pendapat. Karena penetapan derajat hadits sifatnya
ijtihady, dan ijtihad seorang ulama itu bisa benar dan bisa saja salah.
Salah satu faktor perbedaan para ulama dalam suatu hukum
syariat adalah perbedaan mereka dalam menilai derajat suatu hadits. Ibnu Rusyd
(w. 595 H) mencontohkan: perbedaan masalah gaji muadzin [12], Ijtihad dalam
menetapkan arah qiblat[13],sutrah/ pembatas dalam shalat [14], berhenti
sebentar setelah membaca surat dalam shalat [15], sah tidaknya shalat sendirian
di belakang shaf [16], zakat madu [17], hukuman orang yang berkhianat dalam harta
rampasan perang [18], sembelihan janin dalam perut hewan [19] dan lain
sebagainya.
Perbedaan ini masih dalam tataran tsubut tidaknya suatu
hadits. Setelah suatu hadits sudah benar-benar berasal dari Nabi, maka
selanjutnya masuk kepada dalalah-nya; apakah qath’iy ataukah dzanniy, am dan
khashnya, muthlaq dan muqayyadnya, nasikh dan mansukhnya, asbab wurud-nya.
Disinilah peran Ushul Fiqih bermain.
Sayangnya, kita temui ada beberapa kalangan yang baru tahu
hadits shahih dari pengajian mingguan, sudah berani menyalah-nyalahkan ijtihad
Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Malik, dan imam-imam yang lainnya, dengan
berdalih kembali kepada sunnah. Memangnya Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafi’i tidak tahu sunnah? Maka, Ahli Hadits tidak boleh buta ushul fiqih.
WaAllahua’lam bis shawab
[1] Ibnu Hajar Abu al-Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin
Ahmad bin Hajar, Nuzhat an-Nadzar fi Taudhih Nukhbat al-Fikr, (Damskus:
Mathba’ah as-Shabah, 1421 H), hal. 63
[2] At-Tirmidzi Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin
Dhahhak Abu Isa (w. 279 H), al-Ilal as-Shaghir, (Baerut: Daar Ihya at-Turats
al-Arabi, t.t), hal. 756
[3] Abdullah bin Yusuf al-Judai’, Tahrir Ulum al-Hadits,
(Baerut: Muassasah ar-Rayyan, 1424 H), juz 1, hal. 519
[4] Lebih lengkapnya, baca: Abu Muhammad Abdurrahman bin
Muhammad bin Idris bin al-Mundzir at-Tamimi al-Handzali ar-Razi ibn Abi Hatim
(w. 327 H), al-Jarh wa at-Ta’dil, (India: Majlis Dairat al-Ma’arif
al-Utsmaniyyah, 1271 H), juz 5, hal. 173
[5] Tasyaddud, tawasuth dan tasahul merupakan sikap Ulama’
dalam menilai periwayat (rijal). Tasyaddud artinya keras atau ketat,tawasuth
artinya sedang atau moderat, tasahul artinya mudah atau longgar. Bahkan dalam
menilai Ulama’ tergolongmutasyaddid, mutawasith ataupun mutasahil, terjadi
perbedaan pendapat. Diantara Ulama’ yang terknela mutasyaddin adalah Abu
Zakariyya Yahya bin Ma’in (w. 233 H), Abu Hatim ar-Razi (w. 277 H), yang
terkenal mutasahil diantaranya al-Hakim an-Naisaburi (w. 405 H), Abdullah bin
Shalih bin Muslim al-Ajili. Ulama’ yang terkenal mutawasith diantaranya: Ahmad
bin Muhammad bin Hanbal (w. 241 H), ad-Daraquthni (w. 385 H), Malik bin Anas
(w. 179 H)
[6] Hadits Mu’an’an adalah hadits yang menggunakan shighat
‘an dalam tahammul dan ada’nya. Lihat: Zainuddin Abu Yahya Zakariyya bin Muhammad
bin Zakariyya al-Anshari (w. 926 H), Fathu al-Baqi bi Syarhi Alfiyati al-Iraqi,
(Baerut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1422 H), Tahqiq Abdullathif Hamim, juz 1.
Hal. 208
[7] An-Nawawi Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf (w. 676 H),
Muqaddimah al-Minhaj Syarah Shahih Muslim bin Hajjaj, (Baerut: Daar Ihya’
at-Turats al-Arabi, 1392 H), hal. 32
[8] Tadlis menurut bahasa artinya menyembunyika aib dalam
dagangan. Dalam Ilmu Mushtalah Hadits diartikan bahwa menyembunyikan aib dalam
sanad dan menampilkan kebaikannnya saja. Tadlis dibagi menjadi dua; tadlis
Isnad dan tadlis Syuyukh.
Tadlis Isnad adalah jika seorang Rawi meriwayatkan hadits
dari orang yang hidup sezaman dengannya, padahal hadits itu tidak ia dapatkan
darinya, dengan lafadz yang seolah-olah menandakan ittishal/bersambung, seperti
“عَنْ”, dan “أَنَّ” atau dengan lafadz “قال” Tadlis Isnad adalah jika
seorang Rawi meriwayatkan hadits dari orang yang hidup sezaman dengannya,
padahal hadits itu tidak ia dapatkan darinya, dengan lafadz yang seolah-olah
menandakan ittishal/bersambung, seperti “عَنْ”,
dan “أَنَّ” atau dengan
lafadz “قال”. Lihat: Abu
Hafsh Mahmud bin Ahmad bin Mahmud at-Thahhan an-Nu’aimi, Taisir Mushtalah
Hadits, (Kairo: Maktabah al-Ma’arif, 1425 H), hal. 96
[9] Yahya bin Syarah an-Nawawi (w. 676 H), at-Taqrib wa
at-Taisir li Ma’rifati Sunani al-Basyir an-Nadzir, hal. 4
[10] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H),
Tadribu ar-Rawi fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, hal. 164
[11] Ahmad bin Ali bin Hajar Abu al-Fadhl al-Asqalani
as-Syafi’i (w. 852 H), Thabaqat al-Mudallisin, (Umman: Maktabah al-Manar, 1983
M), Cetakan I, Tahqiq Dr. Ashim bin Abdullah al-Quryuti, hal. 13
[12] Ibnu Rusyd Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad
bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthubi (w. 595 H), Bidayat al-Mujtahid, (Kairo: Daar
al-Hadits, 1425 H), juz 1, hal. 116
[13] Ibnu Rusyd, juz 1, hal. 119
[14] Ibnu Rusyd, juz 1, hal. 121
[15] Ibnu Rusyd, juz 1, hal. 132
[16] Ibnu Rusyd, juz 1, hal. 159
[17] Ibnu Rusyd, juz 2, hal. 14
[18] Ibnu Rusyd, juz 2, hal. 158
[19] Ibnu Rusyd, juz 2, hal. 205
Hanif Luthfi, Lc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar