“Saya paling tidak suka dengan seseorang yang sudah diberi
nikmat oleh Allah, tapi nikmat itu seakan tidak kelihatan, [ما أحب لامرئ
أنعم الله عليه ألا
يرى أثر نعمته]”, begitu ungkap imam Malik sekali waktu
yang dikutip oleh Abu Zahrah dalam salah satu kitabnya.
Mungkin Imam Malik adalah salah satu ulama yang seakan
berbeda dalam hal ini, dalam gaya hidup. Disaat sebagian ulama lainnya memilih
hidup yang biasa-biasa saja, sederhana atau bahkan miskin, tapi justru imam
Malik hidup dalam ‘kemewahan’.
Bukan maksudnya untuk bermewah-mewahan semata, tapi dibalik
itu imam Malik ingin mengajarkan kepada kita bagaimana hidup dalam status yang
tinggi serta mulia, sehingga tidak dipandang sebelah mata oleh pemilik dolar
juga oleh para penguasa khususnya.
Tidak heran jika akhirnya penguasa Mekkah dan Madinah pada
waktu itu takut dengan imam Malik, tidak mudah bagi mereka untuk bertemu dengan
beliau. Imam Malik bukan seperti masyarakat lainnya yang langsung bisa
diperintah oleh penguasa. Mereka segan; segan dengan keilmuannya, juga segan
dengan tampilannya.
Imam syafi’i saja kala itu punya niat berguru dengan Imam
Malik di Madinah, setelah sebelumnya Imam Syafi’i belajar di madarasah Mekkah,
niat ingin berguru dengan imam Malik tidak semudah yang dikira.
Akhirnya Imam Syafi’i meminta bantuan penguasa Mekkah, untuk
kemudian darinya dikirim surat untuk penguasa Madinah, agar disampaikan kepada
imam Malik bahwa ada anak muda dari Mekah yang ingin belajar dengan imam Malik.
Rasa gugup menyelimuti penguasa Madinah ini ketika hendak
mengetuk pintu rumah sang imam. Setelah rumah diketuk, akhirnya yang keluar
malah pembantu, setelah disampaikan bahwa yang datang adalah penguasa Madinah,
Imam Malik justru bertanya: “Beliau mau apa? Jika mau ngobrol biasa, bilang
bahwa saya tidak punya waktu, dan jika mau bertanya tentang agama, maka bilang
juga bisa bertanya pada hari dimana saya isi halaqah di masjid Nabawi”.
Tapi akhirnya imam Malik keluar juga dari kamarnya, dan mau
menemui penguasa yang ternyata Syafi’i muda sudah bersamanya, untuk disampaikan
bahwa Syafi’i muda ini mau belajar dengan sang imam.
Imam Malik keluar dengan penuh wibawah, pakaian ‘mewah’nya
membuat penguasa Madinah semakin tertunduk, belum lagi ditambah dengan
imamahnya. Memang dalam banyak literatur tercatat bahwa sang imam memang tidak
pernah memakai sembarang pakaian, pakain yang dipakai oleh Imam Malik adalah
pakaian-pakaian pilihan, bukan yang ecek-ecek.
Imam Malik sangat suka memakai pakain putih, dan beliau
biasa memakai pakain baru impor (bukan barang bekas) dari negri Khurasan, Mesir, dan lainnya yang
dikenal mahal harganya. Sama seperti ‘mewah’nya makanan harian beliau yang
selalu memakan daging dalam jumlah yang lebih banyak dari kebanyakan orang, pun
begitu dengan rumah dimana beliau berdiam, perabot rumah yang ‘mewah’ dimasa
itu serta semua hal yang bisa menambah kenyaman rumah ada.
Jadi memang sebenarnya tidak ada masalah dengan gaya
kehidupan sebagain ulama yang dikenal mewah, dan tidak baik pula
mempermasalahkannya. Mengapa terkadang kita justru memperdebatkan hal yang
mubah, padahal sah-sah saja jika ada yang punya selera lain dalam hidupnya.
Private life itu murni hak tuan badan, ketika dalam waktu
yang bersamaan mereka sudah bisa menunaikan hak dan kewajibannya terhadap
masyarakat lainnya. Punya rumah bagus, mobil, cara berpakaian menarik, punya
istri lebih dari satu, dan seterusnya, itu semua adalah selera hidup
masing-masing, yang justru pilihannya diserahka kepada kita.
Dan dalam kenyataannya apakah seorang ulama itu harus
disyarakatkan hidup miskin? Siapa yang meragukan keilmuan imam Malik baik dalam
bidang hadits maupun fiqih? Hingga beliau masuk dalam empat madzhab besar yang
sampai sekarang masih terus memberikan manfaat bagi kehidupan, walaupun pada
waktu yang bersamaan hidup dalam kemewahan.
Tidak baik juga selalu berburuk sangka dengan pemilik harta
yang banyak. Pada dasarnya hidup sesama muslim itu harus dilandasi dengan
prasangka baik, terlebih kepada ulama.
Husnu zhon saja bahwa para ulama kita menjalani semua itu
dengan harta yang halal, harta yang halal itu banyak, tidak sempit, sama
seperti banyaknya makanan yang halal, selain dari apa yang Allah haramkan, maka
yakinlah bahwa semuanya halal.
Mudah saja kaidah, hitung saja apa yang sudah Allah
haramkan, maka sisanya yang tidak bisa dihitung itu semuanya halal. Tidak butuh
lebel halal seperti halnya makanan halal di Indonesia. Tidak. Bahkan yang tidak
berlebel halal dan halal jauh lebih banyak ketimbang yang sudah berlebel halal.
Jangan kaku ketika mendengar dan menyaksikan sosok ulama
yang banyak hartanya, jangan sampai ketika disebut kosakata kaya seketika yang
hadir di kepala kita selalu saja negatif. Banyak dari sahabat Rasulullah SAW
yang tidak salah jika kita sematkan pada mereka sebutan millioner. Hidup kaya
asal bahagia itu tidak mustahil diraih, jangan sampai hidup ini hanya
dihadapkan kepada satu pilihan saja;
biar miskin asal bahagia.
Kaya dan miskin itu tergantung dengan cara kita
menyikapinya. Keduanya adalah ujian yang Allah berikan kepada ummatnya, untuk
memastikan siapa yang bersyukur dikala lapang, dan siapa yang bisa bersabar
saat kesusahan melanda. Walau dalam kenyataannya banyak yang bisa bertahan
dalam ujian kesabaran namun sedikit yang lulus dari ujian kesyukuran, begitu
jelas Imam Al-Maraghi.
Dan dari keduanya akan hadir kebaikan, biarkan saja
perdebatan diantara ulama itu terus ada, dalam menilai siapakah yang paling
utama dan mulia; miskin bersabar atau kaya bersyukur, hingga nanti kita semua
kembali kepada Allah untuk meraih nilai ujian kehidupan yang masing-masing kita
sudah menjalaninya di bumi.
Dalam hal ini Allah SWT mengingatkan:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan
menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang
sebenar-benarnya). dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan” (QS. Al-Anbiya’:
35)
Kata fitnah dalam ayat di atas menunjuk makna ujian dan
cobaan. Ibnu Faris (w. 395 H) dalam Maqayis al-Lughah, jilid 4, hal. 472,
menyebutkan bahwa asal kata fa-ta-nun menunjukkan arti ujian dan cobaan [الفاء والتاء والنون
أصل صحيح يدل على
ابتلاء واختبار ], dan darinya juga
muncul istilah fitnah.
Al-Ashfahani (w. 502) dalam Al-Mufradat Fi Gharib al-Quran,
hal. 623 juga menjelaskan bahwa dari 34 ayat Al-Quran yang memakai redaksi
fitnah sebagian besarnya merujuk kepada makna dasar diatas.
Keburukan dan kebaikan semuanya adalah ujian dan cobaan yang
harus disikapi dengan benar. Dalam memahami makna kebaikan dan keburukan pada
ayat diatas, para ulama tafsir sedikit berselisih pendapat, namun setidaknya
perselisihan mereka masuk dalam katagori khilaf tanawwu’, dimana semua hasil
penafsiran tersebut satu dengan yang lainnya bisa saling melengkapi, dan semua
itu bisa kita ambil maknanya, tanpa harus membuang sebagiannya.
Imam Al-Mawardi dalam kitab tafsirnya An-Nukat wa Al-‘Uyun
menjelaskan, setidaknya ada empat pendapat dalam memaknai kebaikan dan keburukan
pada ayat QS. Al-Anbiya’: 35 diatas, namun umumnya para ulama tafsir lebih
banyak menyepakati dengan makna yang keempat, dimana kebaikan dan keburukan
yang dimaksud adalah segala sesuatu yang dicintai dan segala sesuatu yang tidak
disukai, termasuklah diantaranya kaya dan miskin, sehat dan sakit, lapang dan
sempit, ketaatan dan nafsu, dst.
Namun diakhir semua itu imam Al-Mawardi menjelaskan bahwa
yang demikian agar diketahui siapa saja yang bersyukur dengan apa yang mereka
senangi dan siapa saja yang bersabar terhadap apa apa tidak mereka sukai. [لنعلم شكركم لما
تحبون , وصبركم على ما
تكرهون ]
Dan dalam memaknai syukur itu tidak salah dengan apa yang
diungkap oleh imam Malik diawal tulisan ini, bahwa termasuk hal yang kurang
disukai ketika Allah memberikan nkmat kepada seorang hamba lalu kemudian seakan
nikmat itu tidak ada bekasnya sama sekali.
Rupanya ungkapan imam Malik diatas bukan ungkapan sembarang
saja, ternyata ungkapan tersebut bersandar kepada sebuah hadits Rasulullah SAW
yang diriwayatkan oleh imam Turmudzi:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ اللَّهَ يُحِبَّ
أَنْ يَرَى أَثَرَ نِعْمَتِهِ
عَلَى عَبْدِهِ»
Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh Allah sangat suka
meyaksikan bekas nikmatNya pada diri hambanNya” (HR. Turmudzi)
Dan memang dari jauh hari Allah SWT sudah menegaskan:
Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari
Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezeki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu
(disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk
mereka saja) di hari kiamat". Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu
bagi orang-orang yang mengetahui. (QS. Al-A’raf: 32).
Wallahu A’lam Bisshawab
Muhammad Saiyid Mahadhir, Lc. MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar