Kamis, 13 Maret 2014

Huruf Waw dan Pengambilan Hukum Fiqih

Dalam beragama, kita meyakini bahwa Al-Qur’an dan Hadits adalah dua sumber pokok yang selalu menjadi rujukan. Kita juga sudah mengetahui bahwa keduanya hadir dalam bahasa Arab.

Bahwa Allah SWT menurunkan wahyuNya yang pertama kali itu di Arab adalah sebuah takdir yang harus kita terima apa adanya. Tidak usah terlalu sibuk mendebatkan mengapa Rasul kita orang Arab dan bukan orang Indonesia.

Bahasa Arab bahasa yang sangat luas, ibarat laut ia adalah laut yang seakan tidak bertepi, semakin kita mendalaminya semakin kita akan mendapati bahwa tepinya masih sangat jauh. Namun walau demikian, bahasa ini mutlak menjadi syarat pertama dalam memahami teks-teks agama, dan agama ini tidak akan difahami dengan benar kecuali dengan bahasa Arab.

Syarat Mujtahid

Saking pentinya penguasaan bahasa ini, sehingga tidak heran jika para ulama menjadikan penguasaan bahasa ini sebagai syarat pertama bagi seorang mujtahid.

Tidak mudah untuk sampai kepada derajat mujtahid, tapi memang begitulah semestinya, bahwa agama ini tidak boleh digerakkan oleh sembarang orang, sehingga setiap orang boleh berbicara atas nama agama dan boleh berfatwa sesukanya.

Bahkan Al-Ghozali mensyaratkan agar penguasaan ini setara dengan penguasan mereka yang asli arab, atau bahkan melebihi mereka. Ini artinya seorang mujtahid harus benar-benar expert, bukan hanya sebatas bisa berbicara dengan bahasa Arab saja.

Sehingga seorang mujtahid memang benar-benar bisa membedakan antara lafazh shorih dan kinayah, zhohir dan mujmal, haqiqah dan majaz, ‘am dan khash, mutlaq dan muqayyad, nash dan fahwa, dan seterusnya.

Ada hal yang menarik dari seorang Imam As-Syathibi, beliau menuturkan bahwa ukuran penguasaan agama seseorang itu didasarkan atas penguasaannya dirinya terhadap bahasa Arab.

Maka mereka yang awam bahasa Arab, berarti mereka juga awam syariah, mereka yang baru belajar bahasa Arab, itu bertanda bahwa penguasaan syariah mereka juga baru, mereka yang pemula dalam bahasa Arabnya, itu juga berarti bahwa  pemahaman syariahnya juga masih pemula, hingga akhirnya mereka yang benar-benar sempurna penguasaan bahasa Arabnya, maka itu isyarat bahwa pemahaman syariah mereka juga bagus dan sempurna, dan kepada mereka yang terkhir ini bisa menjadi sandaran bagi kita dalam beragama.

Tidak hanya itu, diakahir perkatannya Imam As-Syathibi melanjutkan bahwa pemahaman syariah yang bersumber dari mereka yang tidak bisa bahasa Arab, atau penguasaan bahasa Arab mereka tidak sampai pada kualitas sempurna, maka pemahaman itu bukanlah hujjah, dan bahkan pemahaman itu sangat mungkin untuk tidak diterima. (Lihat: As-Syathibi,  Al-Muwafaqot, Juz 4, hal. 114)

Huruf Waw

 Kata  adalah gabungan dari rangkaian huruf-huruf, maka suatu huruf yang dengannya disusun kata-kata disebut dengan huruf mabani, dimana perhurufnya tidak bisa kita maknai dengan sendirinya. Misalnya saja [الكتاب ], kalimat ini adalah gabungan dari huruf alif, lam, kaf, ta’, alif dan ba’, maka setiap hurufnya tidak mempunyai arti tersendiri, barulah ia bisa difahami setelah dirangkai satu dengan yang lainnya. Dalam sebutan lainnya huruf ini dikenal dengan huruf Hijaiyah.

Tapi dilain pihak ada huruf yang yang sebenarnya bisa difahami dengan sendirinya, walaupun pada akhirnya pemahamannya sangat bergantung dengan kalimat sebelum atau sesudahnya. Huruf ini dalam kajian bahasa dikenal dengan huruf ma’ani.

Al-Muradi dalam kitab al-Jana ad-Dani fi Huruf al-Ma’ani menjelaskan bahwa huruf ma’ani tidak bisa difahami sebagaimana kita memahami ism (kata benda) dan fi’l (kata kerja), karena kedua hal tersebut bisa difahami dengan sendirinya, tanpa harus bersandar dengan kata sebelum atau sesudahnya.

Mobil, rumah, dapur, kasur, dst,  adalah nama-nama benda yang langsung bisa kita fahami dengan sendirinya, begitu halnya jika ada kalimat: Belajar, duduk, makan, dst, juga bisa langsung kita fahami.

Berbeda dengan huruf fa’ (maka), waw (dan), tsumma (kemudian), dst, huruf-huruf ini dalam bahasa Arab tidak bisa kita fahami dengan baik kecuali jika ia sudah masuk dalam kalmat, bergabung dengan sebelum atau sesudahnya.

Huruf-huruf ma’ani jumlahnya berkisar antara tujuh puluh hingga seratus, namun dalam pandangan Al-Muradi sebagai pemerhati masalah ini beliau lebih cenderung meyakini bahwa jumlahnya ada tujuh puluh tiga huruf. (Lihat: Al-Muradi, al-Jana ad-Dani fi Huruf al-Ma’ani, hal. 28).

Makna Huruf Waw

Huruf waw ini adalah satu dari seratus huruf ma’ani yang maknanya harus diketahui oleh para ulama, khususnya oleh para mujtahid, karena pada akhirnya bahwa pengambilan sebagian hukum fiqih itu juga akan disandarkan dari pemahaman terhadap pemaknaan huruf ini.

Sehingga tidak heran kita akan mendapati bahwa para ulama ushul dalam pembahasannya juga akan ikut serta dalam menjelaskan masalah ini, walaupun sebenarnya penjelasannya menjadi haknya para ulama lughah (bahasa).

Imam As-Syairozi misalnya dalam kitabnya al-Luma’ fi ushul al-Fiqh, juga As-Syaukani dalam kitabnya Irsyad al-Fuhul, Az-Zarkasyi dalam al-Bahr al-Muhith, juga memberikan penjelaan masalah ini dengan penjelasan yang cukup panjang.

Syaikh An-Namlah dalam al-Muhadzzab fi Ilm ushul al-Fiqh jilid 3, hal. 1279 menyimpulkan bahwa pengetahuan ini sangat penting demi keselamatan dalam menyimpulkan suatu hukum fiqih dari sebuah dalil, dan karena memang banyak permasalahan fiqih yang tidak bisa difahami kecuali dengan mengetahui makna dari huruf tersebut. [لأن معرفتها مهمة لسلامة استنباط الأحكام الشرعية من الأدلة؛ حيث إن كثيراً من مسائل الفقه يتوقف فهمها على فهم معنى الحرف ومدلوله]

Setidaknya para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan makna dasar dari huruf waw ini dalam dua makna yang besar, walapun ada juga yang menambahkan makna ketiga darinya: Mengumpulkan [ مطلق الجمع ], dan tertib [الترتيب ].

Sebagai contoh sederhana, ketika ada kalimat: جاء محمد وسيد إلى المدرسة  (Muhammad dan Saiyid datang ke sekolah), maka pertanyaannya adalah apakah makna waw (dan) pada kalimat diatas bermakna hanya sebatas mengumpulkan, dimana yang datang kesekolah itu adalah Muhammad dan Saiyid, atau ia bermakna tertib, dimana yang yang datang itu adalah Muhammad dan Saiyid dengan urutan bahwa Muhammad datang lebih dahulu ketimbang Saiyid?

A.    Mengumpulkan [مطلق الجمع ]

Mayoritas ulama ushul fiqih dan bahasa berpendapat bahwa arti dasar huruf waw itu adalah menggabungkan, ini pendapatnya ulama-ulama Hanafiyah, Hanabilah, Ibnu Hazm dan lainnya.

Penjelasan ini bisa ditemukan dibanyak kitab, seperti yang pernah ditulis oleh Al-Bazdawy dalam Kasyf al-Asrar, Ibn Muflih al-Hanbali dalam Ushul al-Fiqh, Ibnu Hazm dalam al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, dan as-Sarakhsi dalam kitabnya Ushul as-Sarakhsi.

Al-Amidi dalam kitabnya al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam jilid 1 hal. 64 (nama kitabnya sama dengan nama kitab yang ditulis oleh Ibn Hazm) menuliskan beberapa dalil dari pendapat pertama ini:

Pertama: Jika memang bahwa arti huruf waw dimaknai dengan tertib, maka akan terjadinya kerancuan pada firman Allah berikut:
وادخلوا الباب سجدا وقولوا حطة

 “Dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud dan Katakanlah: "Bebaskanlah Kami dari dosa Maksudnya menurut sebagian ahli tafsir: menundukkan diri”. (Al-Baqarah: 58)

Dimana pada surat lainnya ayat ini hadir kembali dengan redaksi yang sudah menglamai perubahan posisi, padahal kedua ayat ini berbicara dalam tema yang sama:

وقولوا حطة وادخلوا الباب سجدا

dan Katakanlah: "Bebaskanlah Kami dari dosa Kami dan masukilah pintu gerbangnya sambil membungkuk” (Al-A’raf: 161)

Kedua: Jika memang huruf waw bermakna tertib maka tidaklah bisa dibenarkan perkataan berikut: تقاتل زيد وعمرو (Zaid dan Umar saling membunuh), karena memaknainya dengan tertib akan menunjuk makna bahwa Zaid yang membunuh duluan, baru kemudian Umar. Bagaimana mungkin Umar bisa membunuh disaat dia sendiri sudah terbunuh?

Ketika ada kalimat ضر محمد ومحاضر في الفصل معاً (Muhammad dan Mahadhir datang ke sekolah secara bersamaan), maka dalam hal ini hanya huruf waw (dan) sajalah yang bisa kita pakai untuk mengungkapkan kalimat diatas.

Ketiga: Jika bukan huruf waw yang mempunyai arti hanya sebatas mengumpulkan, maka sepertinya sudah tidak ada lagi huruf yang digunakan untuk menunjuk makna itu.

B.     Menunjukkan Makna Tertib [للترتيب ]

Selain menunjuk makna menggabungkan, dalam waktu yang sama ia juga menunjukkan bahwa kejian itu hadirnya secara berurutan (tertib), seperti contoh yang sudah kita misalkan di atas; Muhammad dan Saiyid datang ke sekolah, maka Saiyid datangnya setelah Muhammad, dan Muhammad datangnya sebelum Saiyid.

Dan ini adalah pendapatnya ulama-ulama dari kalangan Syafiiyah, dan pendapat ini juga dinisbahkan kepada Imam Abu Hanifah.

Penjelasan ini setidanya dapat dirujuk ke beberapa kitab berikut: Al-Bushairiy, al-Mu’tamad fi Ushul al-Fiqh, Ibnu Amir al-Hajj, at-Taqriri wa at-Tahbir, As-Sam’ani, Qawathi’ al-Adillah, Al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, dan As-Sarakhsi, Ushul as-Sarakhsiy, dan kitab-kitab ushul fiqih lainnya.

Pendapat ini mereka sandarkan dengan beberapa alasan berikut:

 Pertama: Firman Allah SWT:



يا أيها الذين آمنوا اركعوا واسجدوا

“Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, dan sujudlah kamu” (Al-Hajj: 77)

Huruf waw (dan) pada ayat ini sudah barang tentu bermakna tertib, dimana rukuk hadirnya lebih dahulu sebelum sujud

Kedua: Firman Allah SWT:

إن الصفا والمروة من شعائر الله

“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah”. (Al-Baqarah: 158)

Dari ayat ini akhirnya para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW kaitannya dengan sa’i dari mana harus memulai? Maka Rasulullah SAW menjelaskan bahwa harus dimulai sesuai dengan urutan yang Allah SWT sebutakan dalam ayat. [ابدؤوا بما بدأ الله به ]

Namun pada akhirnya kelompok pertama yang meyakini bahwa waw hanya bermakna menggabungkan tidak serta-merta meniadakan makna tertib, makna tertib tetap mereka ambil juga ketika memang ada qarinah (petunjuk tambahan) lainnya. Sehingga makna tertib itu bukan diambil dari makna aslinya, akan tetapi ia diambil dari dalil lainnya. [والقول بمطلق الجمع لا ينفي الترتيب عند القرينة، فإذا كان هناك قرينة تدل على الترتيب دلت الواو عندها على الترتيب]

Tertib Wudhu’; Sunnah atau Wajib?

Sepertinya untuk menjawab pertanyaan ini terlihat sederhana dan mudah, karena memang dari awal sebagian dari masyarakat kita Indonesia khususnya menjadikan tertib wudhu’ dalam prakteknya hanya sebagai kebiasaan saja, bahwa tatacara wudhu’ yang didapat dari kecil memang seperti itu adanya.

Ibarat makanan jadi,  fiqih itu adalah makanan yang sudah siap saji. Kadang para pecinta kuliner itu hanya bisa menikmati saja makanan yang disantap, tanpa harus berfikir dan mengetahui bagaimana gerangan proses dibalik layarnya, hingga akhirnya jadi makanan dengan rasa seperti itu.

Bahan dasar utama dari fiqih memang Al-Quran dan As-Sunnah, namun keduanya masih bersifat mentah, lagi-lagi kita membutuhkan bagaimana caranya mengolah kedua bahan mentah ini hingga menjadi sesuatu yang menarik dan bisa disajikan untuk dijadikan makanan sehat yang bisa disantap oleh kita semua.

Tidak serta-merta ketika ada ikan dan gandum yang bagus lalu kemudian dari keduanya langsung bisa kita olah untuk dijadikan makanan khas Palembang; pempek. Tidak. Kedua bahan itu masih sangat mentah, kita membutuhkan keilmuan berikutnya untuk mengolah keduanya.

Dalam permasalahan ini para ulama berbeda pendapat apakah tertib itu adalah sebuah kewajiban sehingga jika ia ditinggalkan maka wudhu’nya tidak sah, atau ia hanya sebatas sebuah kesunnahan.

Salah satu sebab perbedaan dalam permasalahan ini adalah perbedaan ulama dalam memakani huruf waw pada ayat berikut:

﴿يا أيها الذين آمنوا إذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق وامسحوا برؤوسكم وأرجلكم إلى الكعبين﴾

 “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (Al-Maidah: 6)

a. Sunnah

Pedapat ini berpendapat bahwa tertib dalam wudhu itu hukumnya sunnah, bukan wajib. Ini adalah pendapatnya ulama-ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Daud Az-Zhahiri. Penjelasan ini setidaknya bisa kita dapatkan dalam kitab Ibnu Abdin, Hasyiah Ibn Abdin, Al-Kasani dalam Bada’i' as-Shana’i', Imam Malik dalam al-Mudawanah.

Walaupun dalam pendapat ini meyakini bahwa tertib wudhu bukanlah sebuah hal wajib, tapi dalam prakteknya wudhu mereka juga dilakukan dengan urutannya.

b. Wajib

Ini adalah pendapatnya ulama-ulama Syafiyah, Hanabilah, Ishaq, dan Ibn Hazm. Seperti yang dijelaskan  Al-Ghazali dalam al-Wasith, Al-Khatib as-Syarbini dalam Mughni al-Muhtaj, An-Nawawi dalam al-Majmu’, Ibn Qudamah dalam al-Mughni, Al-Buhuti dalam Kassyaf al-Qina’, Ibn Abd Al-Bar dalam Al-Inshaf, dan Ibn Hazm dalam al-Muhalla.

Wajib itu artinya rukun, jika ditinggalkan maka wudhu’nya tidak sah dan harus diulang. Inilah pendapat yang masyhur dimasyarakat Indonesia pada umumnya. Walaupun pada akhirnya semuanya akan berwudhu dengan cara yang sama, namun yang membedaan hanya keyakinan saja; sunnah atau wajib.

Memang pemaknaan huruf ini bukanlah satu-satunya penyebab dari perbedaan yang muncul, namun setidaknya huruf waw ini sudah menjadi bagian dari sebab yang membuat para ulama kita berbeda dalam sudut pandang.

Itulah mengapa Az-Zarkasyi dalam al-Bahr al-Muhithnya jiid 3, hal. 140 menegaskan bahwa pengetahuan tentang makna huruf ini sangat penting diketahui karena memang perbedaan hukum fiqih itu akan muncul karena perbedaan dalam memahaminya. [وتختلف الأحكام الفقهية بسبب اختلاف معانيها ]

Dimana Kita?

Seperti itulah fiqih, tidak semudah seperti yang kita bayangkan. Ada banyak hal yang harus diketahui sebelum menyimpulkan hukum dari dalil Al-Quran dan As-Sunnah. Kemampuan bahasa Arab menjadi syarat sangat penting dalam memahami syariat ini.

Seperti itu itulah akhirnya, ungkapan Imam As-Syathibi itu sangat layak kita pikirkan bersama:

“Maka mereka yang awam bahasa Arab, berarti mereka juga awam syariah, mereka yang baru belajar bahasa Arab, itu bertanda bahwa penguasaan syariah mereka juga baru, mereka yang pemula dalam bahasa Arabnya, itu juga berarti bahwa  pemahaman syariahnya juga masih pemula, hingga akhirnya mereka yang benar-benar sempurna penguasaan bahasa Arabnya, maka itu isyarat bahwa pemahaman syariah mereka juga bagus dan sempurna, dan kepada mereka yang terkhir ini bisa menjadi sandaran bagi kita dalam beragama”

Wallahu A’lam Bisshawab


Muhammad Saiyid Mahadhir, MA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar