Dalam beragama, kita meyakini bahwa Al-Qur’an dan Hadits
adalah dua sumber pokok yang selalu menjadi rujukan. Kita juga sudah mengetahui
bahwa keduanya hadir dalam bahasa Arab.
Bahwa Allah SWT menurunkan wahyuNya yang pertama kali itu di
Arab adalah sebuah takdir yang harus kita terima apa adanya. Tidak usah terlalu
sibuk mendebatkan mengapa Rasul kita orang Arab dan bukan orang Indonesia.
Bahasa Arab bahasa yang sangat luas, ibarat laut ia adalah
laut yang seakan tidak bertepi, semakin kita mendalaminya semakin kita akan
mendapati bahwa tepinya masih sangat jauh. Namun walau demikian, bahasa ini
mutlak menjadi syarat pertama dalam memahami teks-teks agama, dan agama ini
tidak akan difahami dengan benar kecuali dengan bahasa Arab.
Syarat Mujtahid
Saking pentinya penguasaan bahasa ini, sehingga tidak heran
jika para ulama menjadikan penguasaan bahasa ini sebagai syarat pertama bagi
seorang mujtahid.
Tidak mudah untuk sampai kepada derajat mujtahid, tapi
memang begitulah semestinya, bahwa agama ini tidak boleh digerakkan oleh
sembarang orang, sehingga setiap orang boleh berbicara atas nama agama dan
boleh berfatwa sesukanya.
Bahkan Al-Ghozali mensyaratkan agar penguasaan ini setara
dengan penguasan mereka yang asli arab, atau bahkan melebihi mereka. Ini
artinya seorang mujtahid harus benar-benar expert, bukan hanya sebatas bisa
berbicara dengan bahasa Arab saja.
Sehingga seorang mujtahid memang benar-benar bisa membedakan
antara lafazh shorih dan kinayah, zhohir dan mujmal, haqiqah dan majaz, ‘am dan
khash, mutlaq dan muqayyad, nash dan fahwa, dan seterusnya.
Ada hal yang menarik dari seorang Imam As-Syathibi, beliau
menuturkan bahwa ukuran penguasaan agama seseorang itu didasarkan atas
penguasaannya dirinya terhadap bahasa Arab.
Maka mereka yang awam bahasa Arab, berarti mereka juga awam
syariah, mereka yang baru belajar bahasa Arab, itu bertanda bahwa penguasaan
syariah mereka juga baru, mereka yang pemula dalam bahasa Arabnya, itu juga
berarti bahwa pemahaman syariahnya juga
masih pemula, hingga akhirnya mereka yang benar-benar sempurna penguasaan
bahasa Arabnya, maka itu isyarat bahwa pemahaman syariah mereka juga bagus dan
sempurna, dan kepada mereka yang terkhir ini bisa menjadi sandaran bagi kita
dalam beragama.
Tidak hanya itu, diakahir perkatannya Imam As-Syathibi
melanjutkan bahwa pemahaman syariah yang bersumber dari mereka yang tidak bisa
bahasa Arab, atau penguasaan bahasa Arab mereka tidak sampai pada kualitas
sempurna, maka pemahaman itu bukanlah hujjah, dan bahkan pemahaman itu sangat
mungkin untuk tidak diterima. (Lihat: As-Syathibi, Al-Muwafaqot, Juz 4, hal. 114)
Huruf Waw
Kata adalah gabungan dari rangkaian huruf-huruf,
maka suatu huruf yang dengannya disusun kata-kata disebut dengan huruf mabani,
dimana perhurufnya tidak bisa kita maknai dengan sendirinya. Misalnya saja [الكتاب ], kalimat ini adalah
gabungan dari huruf alif, lam, kaf, ta’, alif dan ba’, maka setiap hurufnya
tidak mempunyai arti tersendiri, barulah ia bisa difahami setelah dirangkai
satu dengan yang lainnya. Dalam sebutan lainnya huruf ini dikenal dengan huruf
Hijaiyah.
Tapi dilain pihak ada huruf yang yang sebenarnya bisa
difahami dengan sendirinya, walaupun pada akhirnya pemahamannya sangat
bergantung dengan kalimat sebelum atau sesudahnya. Huruf ini dalam kajian
bahasa dikenal dengan huruf ma’ani.
Al-Muradi dalam kitab al-Jana ad-Dani fi Huruf al-Ma’ani
menjelaskan bahwa huruf ma’ani tidak bisa difahami sebagaimana kita memahami
ism (kata benda) dan fi’l (kata kerja), karena kedua hal tersebut bisa difahami
dengan sendirinya, tanpa harus bersandar dengan kata sebelum atau sesudahnya.
Mobil, rumah, dapur, kasur, dst, adalah nama-nama benda yang langsung bisa kita
fahami dengan sendirinya, begitu halnya jika ada kalimat: Belajar, duduk,
makan, dst, juga bisa langsung kita fahami.
Berbeda dengan huruf fa’ (maka), waw (dan), tsumma
(kemudian), dst, huruf-huruf ini dalam bahasa Arab tidak bisa kita fahami
dengan baik kecuali jika ia sudah masuk dalam kalmat, bergabung dengan sebelum
atau sesudahnya.
Huruf-huruf ma’ani jumlahnya berkisar antara tujuh puluh
hingga seratus, namun dalam pandangan Al-Muradi sebagai pemerhati masalah ini
beliau lebih cenderung meyakini bahwa jumlahnya ada tujuh puluh tiga huruf.
(Lihat: Al-Muradi, al-Jana ad-Dani fi Huruf al-Ma’ani, hal. 28).
Makna Huruf Waw
Huruf waw ini adalah satu dari seratus huruf ma’ani yang
maknanya harus diketahui oleh para ulama, khususnya oleh para mujtahid, karena
pada akhirnya bahwa pengambilan sebagian hukum fiqih itu juga akan disandarkan
dari pemahaman terhadap pemaknaan huruf ini.
Sehingga tidak heran kita akan mendapati bahwa para ulama
ushul dalam pembahasannya juga akan ikut serta dalam menjelaskan masalah ini,
walaupun sebenarnya penjelasannya menjadi haknya para ulama lughah (bahasa).
Imam As-Syairozi misalnya dalam kitabnya al-Luma’ fi ushul
al-Fiqh, juga As-Syaukani dalam kitabnya Irsyad al-Fuhul, Az-Zarkasyi dalam
al-Bahr al-Muhith, juga memberikan penjelaan masalah ini dengan penjelasan yang
cukup panjang.
Syaikh An-Namlah dalam al-Muhadzzab fi Ilm ushul al-Fiqh
jilid 3, hal. 1279 menyimpulkan bahwa pengetahuan ini sangat penting demi
keselamatan dalam menyimpulkan suatu hukum fiqih dari sebuah dalil, dan karena
memang banyak permasalahan fiqih yang tidak bisa difahami kecuali dengan
mengetahui makna dari huruf tersebut. [لأن
معرفتها مهمة لسلامة استنباط
الأحكام الشرعية من الأدلة؛ حيث
إن كثيراً من مسائل
الفقه يتوقف فهمها على
فهم معنى الحرف ومدلوله]
Setidaknya para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan
makna dasar dari huruf waw ini dalam dua makna yang besar, walapun ada juga
yang menambahkan makna ketiga darinya: Mengumpulkan [ مطلق الجمع
], dan tertib [الترتيب
].
Sebagai contoh sederhana, ketika ada kalimat: جاء محمد وسيد
إلى المدرسة (Muhammad dan Saiyid datang ke sekolah), maka
pertanyaannya adalah apakah makna waw (dan) pada kalimat diatas bermakna hanya
sebatas mengumpulkan, dimana yang datang kesekolah itu adalah Muhammad dan
Saiyid, atau ia bermakna tertib, dimana yang yang datang itu adalah Muhammad
dan Saiyid dengan urutan bahwa Muhammad datang lebih dahulu ketimbang Saiyid?
A. Mengumpulkan [مطلق الجمع ]
Mayoritas ulama ushul fiqih dan bahasa berpendapat bahwa
arti dasar huruf waw itu adalah menggabungkan, ini pendapatnya ulama-ulama
Hanafiyah, Hanabilah, Ibnu Hazm dan lainnya.
Penjelasan ini bisa ditemukan dibanyak kitab, seperti yang
pernah ditulis oleh Al-Bazdawy dalam Kasyf al-Asrar, Ibn Muflih al-Hanbali
dalam Ushul al-Fiqh, Ibnu Hazm dalam al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, dan
as-Sarakhsi dalam kitabnya Ushul as-Sarakhsi.
Al-Amidi dalam kitabnya al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam jilid 1
hal. 64 (nama kitabnya sama dengan nama kitab yang ditulis oleh Ibn Hazm)
menuliskan beberapa dalil dari pendapat pertama ini:
Pertama: Jika memang bahwa arti huruf waw dimaknai dengan
tertib, maka akan terjadinya kerancuan pada firman Allah berikut:
وادخلوا
الباب سجدا وقولوا حطة
“Dan masukilah pintu
gerbangnya sambil bersujud dan Katakanlah: "Bebaskanlah Kami dari dosa
Maksudnya menurut sebagian ahli tafsir: menundukkan diri”. (Al-Baqarah: 58)
Dimana pada surat lainnya ayat ini hadir kembali dengan
redaksi yang sudah menglamai perubahan posisi, padahal kedua ayat ini berbicara
dalam tema yang sama:
وقولوا
حطة وادخلوا الباب سجدا
dan Katakanlah: "Bebaskanlah Kami dari dosa Kami dan
masukilah pintu gerbangnya sambil membungkuk” (Al-A’raf: 161)
Kedua: Jika memang huruf waw bermakna tertib maka tidaklah
bisa dibenarkan perkataan berikut: تقاتل
زيد وعمرو (Zaid dan Umar saling
membunuh), karena memaknainya dengan tertib akan menunjuk makna bahwa Zaid yang
membunuh duluan, baru kemudian Umar. Bagaimana mungkin Umar bisa membunuh
disaat dia sendiri sudah terbunuh?
Ketika ada kalimat ضر
محمد ومحاضر في الفصل
معاً (Muhammad dan
Mahadhir datang ke sekolah secara bersamaan), maka dalam hal ini hanya huruf
waw (dan) sajalah yang bisa kita pakai untuk mengungkapkan kalimat diatas.
Ketiga: Jika bukan huruf waw yang mempunyai arti hanya
sebatas mengumpulkan, maka sepertinya sudah tidak ada lagi huruf yang digunakan
untuk menunjuk makna itu.
B. Menunjukkan
Makna Tertib [للترتيب ]
Selain menunjuk makna menggabungkan, dalam waktu yang sama
ia juga menunjukkan bahwa kejian itu hadirnya secara berurutan (tertib), seperti
contoh yang sudah kita misalkan di atas; Muhammad dan Saiyid datang ke sekolah,
maka Saiyid datangnya setelah Muhammad, dan Muhammad datangnya sebelum Saiyid.
Dan ini adalah pendapatnya ulama-ulama dari kalangan
Syafiiyah, dan pendapat ini juga dinisbahkan kepada Imam Abu Hanifah.
Penjelasan ini setidanya dapat dirujuk ke beberapa kitab
berikut: Al-Bushairiy, al-Mu’tamad fi Ushul al-Fiqh, Ibnu Amir al-Hajj,
at-Taqriri wa at-Tahbir, As-Sam’ani, Qawathi’ al-Adillah, Al-Amidi, al-Ihkam fi
Ushul al-Ahkam, dan As-Sarakhsi, Ushul as-Sarakhsiy, dan kitab-kitab ushul
fiqih lainnya.
Pendapat ini mereka sandarkan dengan beberapa alasan
berikut:
Pertama: Firman Allah
SWT:
يا أيها الذين آمنوا
اركعوا واسجدوا
“Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, dan sujudlah
kamu” (Al-Hajj: 77)
Huruf waw (dan) pada ayat ini sudah barang tentu bermakna
tertib, dimana rukuk hadirnya lebih dahulu sebelum sujud
Kedua: Firman Allah SWT:
إن الصفا والمروة من
شعائر الله
“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar
Allah”. (Al-Baqarah: 158)
Dari ayat ini akhirnya para sahabat bertanya kepada
Rasulullah SAW kaitannya dengan sa’i dari mana harus memulai? Maka Rasulullah
SAW menjelaskan bahwa harus dimulai sesuai dengan urutan yang Allah SWT
sebutakan dalam ayat. [ابدؤوا
بما بدأ الله به
]
Namun pada akhirnya kelompok pertama yang meyakini bahwa waw
hanya bermakna menggabungkan tidak serta-merta meniadakan makna tertib, makna
tertib tetap mereka ambil juga ketika memang ada qarinah (petunjuk tambahan)
lainnya. Sehingga makna tertib itu bukan diambil dari makna aslinya, akan
tetapi ia diambil dari dalil lainnya. [والقول
بمطلق الجمع لا ينفي
الترتيب عند القرينة، فإذا
كان هناك قرينة تدل
على الترتيب دلت الواو عندها
على الترتيب]
Tertib Wudhu’; Sunnah atau Wajib?
Sepertinya untuk menjawab pertanyaan ini terlihat sederhana
dan mudah, karena memang dari awal sebagian dari masyarakat kita Indonesia
khususnya menjadikan tertib wudhu’ dalam prakteknya hanya sebagai kebiasaan
saja, bahwa tatacara wudhu’ yang didapat dari kecil memang seperti itu adanya.
Ibarat makanan jadi,
fiqih itu adalah makanan yang sudah siap saji. Kadang para pecinta
kuliner itu hanya bisa menikmati saja makanan yang disantap, tanpa harus
berfikir dan mengetahui bagaimana gerangan proses dibalik layarnya, hingga
akhirnya jadi makanan dengan rasa seperti itu.
Bahan dasar utama dari fiqih memang Al-Quran dan As-Sunnah,
namun keduanya masih bersifat mentah, lagi-lagi kita membutuhkan bagaimana
caranya mengolah kedua bahan mentah ini hingga menjadi sesuatu yang menarik dan
bisa disajikan untuk dijadikan makanan sehat yang bisa disantap oleh kita
semua.
Tidak serta-merta ketika ada ikan dan gandum yang bagus lalu
kemudian dari keduanya langsung bisa kita olah untuk dijadikan makanan khas
Palembang; pempek. Tidak. Kedua bahan itu masih sangat mentah, kita membutuhkan
keilmuan berikutnya untuk mengolah keduanya.
Dalam permasalahan ini para ulama berbeda pendapat apakah
tertib itu adalah sebuah kewajiban sehingga jika ia ditinggalkan maka wudhu’nya
tidak sah, atau ia hanya sebatas sebuah kesunnahan.
Salah satu sebab perbedaan dalam permasalahan ini adalah
perbedaan ulama dalam memakani huruf waw pada ayat berikut:
﴿يا أيها الذين آمنوا
إذا قمتم إلى الصلاة
فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى
المرافق وامسحوا برؤوسكم وأرجلكم إلى الكعبين﴾
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki” (Al-Maidah: 6)
a. Sunnah
Pedapat ini berpendapat bahwa tertib dalam wudhu itu
hukumnya sunnah, bukan wajib. Ini adalah pendapatnya ulama-ulama Hanafiyah,
Malikiyah, dan Daud Az-Zhahiri. Penjelasan ini setidaknya bisa kita dapatkan
dalam kitab Ibnu Abdin, Hasyiah Ibn Abdin, Al-Kasani dalam Bada’i' as-Shana’i',
Imam Malik dalam al-Mudawanah.
Walaupun dalam pendapat ini meyakini bahwa tertib wudhu
bukanlah sebuah hal wajib, tapi dalam prakteknya wudhu mereka juga dilakukan
dengan urutannya.
b. Wajib
Ini adalah pendapatnya ulama-ulama Syafiyah, Hanabilah,
Ishaq, dan Ibn Hazm. Seperti yang dijelaskan
Al-Ghazali dalam al-Wasith, Al-Khatib as-Syarbini dalam Mughni
al-Muhtaj, An-Nawawi dalam al-Majmu’, Ibn Qudamah dalam al-Mughni, Al-Buhuti
dalam Kassyaf al-Qina’, Ibn Abd Al-Bar dalam Al-Inshaf, dan Ibn Hazm dalam
al-Muhalla.
Wajib itu artinya rukun, jika ditinggalkan maka wudhu’nya
tidak sah dan harus diulang. Inilah pendapat yang masyhur dimasyarakat
Indonesia pada umumnya. Walaupun pada akhirnya semuanya akan berwudhu dengan
cara yang sama, namun yang membedaan hanya keyakinan saja; sunnah atau wajib.
Memang pemaknaan huruf ini bukanlah satu-satunya penyebab
dari perbedaan yang muncul, namun setidaknya huruf waw ini sudah menjadi bagian
dari sebab yang membuat para ulama kita berbeda dalam sudut pandang.
Itulah mengapa Az-Zarkasyi dalam al-Bahr al-Muhithnya jiid
3, hal. 140 menegaskan bahwa pengetahuan tentang makna huruf ini sangat penting
diketahui karena memang perbedaan hukum fiqih itu akan muncul karena perbedaan
dalam memahaminya. [وتختلف
الأحكام الفقهية بسبب اختلاف معانيها
]
Dimana Kita?
Seperti itulah fiqih, tidak semudah seperti yang kita
bayangkan. Ada banyak hal yang harus diketahui sebelum menyimpulkan hukum dari
dalil Al-Quran dan As-Sunnah. Kemampuan bahasa Arab menjadi syarat sangat
penting dalam memahami syariat ini.
Seperti itu itulah akhirnya, ungkapan Imam As-Syathibi itu
sangat layak kita pikirkan bersama:
“Maka mereka yang awam bahasa Arab, berarti mereka juga awam
syariah, mereka yang baru belajar bahasa Arab, itu bertanda bahwa penguasaan
syariah mereka juga baru, mereka yang pemula dalam bahasa Arabnya, itu juga
berarti bahwa pemahaman syariahnya juga
masih pemula, hingga akhirnya mereka yang benar-benar sempurna penguasaan
bahasa Arabnya, maka itu isyarat bahwa pemahaman syariah mereka juga bagus dan
sempurna, dan kepada mereka yang terkhir ini bisa menjadi sandaran bagi kita
dalam beragama”
Wallahu A’lam Bisshawab
Muhammad Saiyid Mahadhir, MA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar