Apakah benar ada Syi'ah yang mirip atau hampir sama dengan Ahlu Sunnah?
Apakah memang semua Syiah sesat dan tidak ada yang benar?
Ternyata tidak semua Syi’ah sesat. Ada Syi’ah yang memang mendekati
ahlu sunnah.
Berikut ada tulisan dari Ust Ahmad Zarkasyi Lc tentang Syi’ah yang
memang mendekati Ahlu Sunnah.
Silahkan dibaca, semoga bermanfaat.
Madzhab Fiqih Zaidiyah
Kalau mendengar fiqih syiah, mungkin yang terlintas di fikiran kita
nikah mut’ah. Memang benar bahwa umumnya fiqih syiah mengakui adanya kawin
kontrak alias nikah mut’ah.
Menarik untuk dicatat, ternyata dalam litelatur fiqih Zaidiyah –salah
satu dari golongan syiah- nikah mut’ah justru ditentang dan tidak dibenarkan.
Dan penting juga untuk diketahui, bahwa syiah tidak hanya satu kelompok saja
melainkan terdiri dari banyak kelompok, mazhab fiqih dan juga golongannya.
Salah satunya mazhab fiqih Zaidiyah yang akan kita bahas ini.
Madzhab Fiqih Zaidiyah adalah madzhab Fiqih para pengikut Imam Zaid bin
Ali Zainal-Abidin. Beliau adalah salah satu imam ahli bait (keluarga Nabi),
yang merupakan cucu dari sayyidina Ali bin Abi thalib dari jalur Husain.
Keberadaan fiqih madzhab Zaidiyah ini secara keseluruhan diakui dan
diterima para ulama ahlussunnah sebagai mazhab fiqih resmi. Artinya madzhab
fiqih Zaidiyah adalah madzhab fiqih yang diterima dan boleh diamalkan oleh
muslim dimana saja, karena sudah mendapat pengakuan.
Sebagaimana kita ketahui setidaknya ada 7 madzhab fiqih yang diakui
keberadaan oleh ulama dan telah disepakati atas kebolehan mengikuti
madzhab-madzhab tersebut. Mereka adalah:
Madzhab Imam Abu Hanifah An-Nu’man (150 H)
Madzhab Imam Zaid bin Ali (122 H)
Madzhab Imam Ja’far Al-Shadiq (148 H)
Madzhab Imam Anas bin Malik (179 H)
Madzhab Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i (204 H)
Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal (241 H)
Madzhab Imam Abu Daud Al-Dzahiri (270 H)
Kemudian, dalam kitab Ushul Al-Madzahib Al-Islamiyah, Syeikh Muhammad
Abu Zahrah menambahkan satu madzhab lagi, yaitu madzhab Imam Ibnu Taimiyyah
(728 H). Namun sejatinya beliau adalah pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal.
Tidak Banyak Berbeda Dengan Ahlu
Sunnah
Madzhab fiqih Zaidiyah adalah madzhab fiqih syiah yang paling dekat
dengan ahli sunnah, sebagaimana umumnya pengakuan banyak ulama.
Al-Ustadz Muhammad Al-Khudhari Bik dalam kitabnya Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, menyebutkan
alasan kenapa madzhab Zaidiyah banyak diterima oleh Ahlu sunnah. Alasan yang
paling utama karena madzhab ini tidak sama sekali menghina Shaikhan; Abu Bakar
dan Umar bin Khathtab. Mereka hanya lebih mendahulukan atau mengutamakan Ali
bin Abi Thalib ketimbang keduanya.
Ulama mencatat setidaknya hanya ada 3 perbedaan mendasar dimana fiqih
madzhab Zaidiyah menyelisihi para ulama ahlussunnah. Dan ini juga yang
dituliskan oleh Sheikh Al-Hafnawi dalam kitabnya Al-Fath Al-Mubin fi Ta’riif
Musthalah Al-Fuqaha’ wa Al-Ushuliyiin.
Mereka tidak mengakui masyru'iyah al-mashu ‘ala al-khuffain (mengusap
dua khuf).
Mereka juga mengharamkan laki-laki muslim menikah dengan seorang wanita
kitabiyah, baik Nasrani atau Yahudi. Sedangkan madzhab fiqih Ahli Sunnah
membolehkan itu.
Mereka mengharamkan sembelihan selain muslim, sedangkan madzhab fiqih
ahli sunnah membolehkan memakan sembelihan Ahli Kitab.
Hanya di ketiga masalah ini saja madzhab fiqih Zaidiyah berselisih
dengan madzhab fiqih Ahli Sunnah.
Madzhab fiqih Zaidiyah ini termasuk madzhab Syiah yang tidak
diskriminatif dalam menerima hadits. Mereka juga menerima hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh selain pengikut syiah itu sendiri. Mereka menerima riwayat
tsiqah (orang terpercaya) dari kalangan ahli sunnah, sebagaimana mereka juga
menerima riwayat tsiqah dari kalangan mereka sendiri.
Bukan hanya menerima, mereka juga menjadikannya sebagai dalil atas
sebuah hukum. Disinilah letak titik penyebab kenapa banyak pendapat Imam Zaid
atau madzhab Zaidiyah secara keseluruhan tidak banyak berbeda dengan
madzhab-madzhab Fiqh Ahli sunnah. Ternyata ada kesamaan jalur riwayat yang
digunakan.
Berbeda dengan madzhab Syiah Imamiyah yang tidak mau menerima riwayat
tsiqah selain dari kalangannya sendiri. Jadi wajar saja, banyak pendapat fiqih
Syiah Imamiyah yang berbeda dengan madzhab Ahli Sunnah, bahkan dengan madzhab
Zaidiyah sekalipun.
Imam Zaid Menerima Riwayat
Dengan Adil
Salah satu faktor yang membuat Imam Zaid begitu adil menerima
periwayatan dari kalangan ulama ahlusunnah karena pandangannya yang memang
berbeda dari kelompok syiah lainnya, khususnya tentang Imamah.
Kelompok syiah mayoritas berkeyakinan bahwa kepemimpinan setelah
Rasulullah SAW wafat itu seharusnya diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib dan
bukan Abu Bakar atau Umar. Dalam aqidah yang tertanam di dada mereka, Nabi SAW
telah mewasiatkan tongkat khilafah kepada Ali secara langsung, dan bukan dengan
dipilih atau musyawarah.
Dalam pandangan mereka, hanya keturunan Alawiyin-lah yang pantas
menduduki kursi kepimpinan. Sementara Abu Bakar dan Umar dianggap telah
merampas kepimpinan dari tangan Ali. Karena itu mereka berdua layak mendapat
ejekan dan hinaan. Bahkan kebenciannya melebar sampai memusuhi juga siapa pun
yang mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Salah satu bentuknya adalah
menolak semua periwayatan hadits dari seluruh shahabat nabi ridhwanullahi
'alaihim, kecuali hanya beberapa orang yang mereka anggap sebagai ahlulbait.
Ini jelas berbeda dengan apa yang ditunjukkan oleh Imam Zaid bin Ali.
Beliau memang masih memandang bahwa yang seharusnya mendapat kursi kepimpinan
selepas wafatnya Nabi SAW adalah Ali bin Abi Thalib. Tetapi tidak mengapa juga
kalau bukan Ali yang jadi khalifah, cuma dianggap kurang afdhal. Dalam
pandangan mereka, Ali tetap yang terbaik.
Imam Zaid memandang bahwa Ali adalah sebaik-baik sahabat, tetapi tidak
mencela atau mencaci-maki Abu Bakar atau Umar. Dan tentunya juga tidak
mengkafirkan. Justru pemikiran seperti itu adalah objek yang selalu diluruskan
oleh Imam Zaid kepada pengikutnya.
Kita akan takjub dengan apa yang dilakukan oleh Imam Zaid kalau kita
tahu bagaimana kerasnya upaya beliau dalam meluruskan pandangan para kelompok
syiah terhadap Abu Bakar dan Umar. Imam Al-Syihristani dalam kitabnya Al-Milal
wa Al-Nihal (1/153) menyebutkan hal ini dengan tegas.
Maka masuk akal kalau mazhab Zaidiyah sama sekali tidak
mempermasalahkan periwayatan hadits dari semua shahabat, walaupun tidak
mendukung Ali sebagai khalifah. Yang terpenting ialah hadits itu diriwayatkan
oleh orang yang tsiqah dan mendapat rekomendasi dari tsiqah lainnya yang
sezaman. Maka hadits itu mereka terima apa adanya.
Al-Majmu’ Al-Kabir
Banyak dari para pendiri mazhab fiqih yang tidak menuliskan
sendiri fatwa dan ijtihadnya. Tetapi
para muridnya yang kemudian menuliskan dan membukukan fatwa serta ijtihad para
Imam tersebut.
Imam Abu Hanifah tidak menuliskan fatwa-fatwa Fiqihnya. Akan tetapi
madzhab Imam Abu Hanifah terbukukan oleh muridnya yaitu Ya’qub Abu Yusuf (182
H) dan Muhammad (bin Hasan Al-Syaibani (189 H).
Hal yang sama terjadi dalam madzhab Zaidiyah ini. Imam Zaid bin Ali
tidak menuliskan sendiri pendapat-pendapat fiqihnya. Madzhabnya kemudian
tersebar atas jasa salah seornag muridnya, Abu Khalid bin Amr bin Khalid
Al-Wasithy[1]. Beliau lah yang membukukan riwayat-riwayat Imam Zaid bin Ali.
Riwayat haditsnya disebut dengan Majmu’ Al-hadits, sedangkan riwayat
fiqih-nya (fatwa dan ijtihad) disebut dengan Majmu’ Al-Fiqh. kedua kitab induk
ini disebut oleh kebanyakan ulama Zaidiyah dengan istilah Al-Majmuu’ Al-Kabiir.
Dan kitab ini mendapat sambutan baik dari hampir seluruh ulama zaidiyah
di zamannya dan zaman setelahnya, bahkan sampai sekarang.
Zaidiyah Bukan Rafidhah
Banyak orang kurang cermat dengan menyama-ratakan seluruh kelompok
syiah, bahwa semuanya sesat dan jahat. Padahal kalau agak teliti sesungguhnya
syiah dan kelompok-kelompok yang dinisbatkan sebagai syiah penuh dengan
pernak-pernik.
Memang umumnya kelompok syiah menempatkan Abu Bakar dan Umar sebagai
perampas kekuasaan. Dan umumnya mereka meyakini bahwa kursi khilafah hanya
boleh diduduki hanya oleh Alawiyin saja. Yang lain tidak boleh.
Tetapi syiah Zaidiyah lain sendiri. Mereka justru menentang itu semua.
Imam Zaid bin Ali berseberangan pandangan dengan kelompok Rafidhah (artinya:
penolak/penentang). Justru mereka menolak semua penghinaan kepada Abu Bakar dan
Umar. Dan malah sebutan rafidhah itu
sendiri disematkan oleh Imam Zaid bin Ali kepada mereka yang menentang
kemuliaan sahabat Abu Bakr dan Umar.
Dalam kitab Musnad Imam Zaid bin Ali (hal. 11) diceritakan bahwa beliau
(Imam Zaid) pernah didatangi sekelompok orang dari kalangan syiah yang sangat
membenci Abu Bakar dan Umar. Mereka berkata:
“Wahai Imam (Zaid), Tabarro’ (berlepas diri lah!) dari Abu Bakar dan
Umar (maksudnya, lepaskan diri dari penghormatan kepada Abu Bakr dan Umar).
Kalau kau sudah ber-tabarro’ dari keduanya, kami akan membaiat anda wahai
Imam!”
Imam Zaid dengan tegas menjawab: “Tidak! Aku tidak akan berlepas diri
dari mereka berdua (Abu Bakr dan Umar)”. Mereka menanggapi: “kalau gitu, kami
menolakmu (Rafdh)”.
Imam Zaid tanpa basa basi menjawab,"Baik, pergilah kalian. Kalian
semua adalah penolak/penentang! (Rafidhah)”
Sejak saat itulah istilah 'rafidhah' digunakan bagi mereka yang
membenci dan menentang sayyidina Abu Bakr dan sayyidina Umar. Dan nama
'zaidiyah' digunakan bagi mereka yang
mengikuti Imam Zaid dalam pandangannya terhadap Abu Bakar dan Umar.
Cerita ini juga dinukil oleh Sheikh Ali bin Ibrahim Al-Halabi dalam
kitabnya, Al-Sirah Al-Halabiyah (2/49).
Imam Zaid bin Ali
Beliau hidup di masa yang sama dengan Imam Abu Hanifah, yaitu ketika
pergolakan politik dan perpindahan kekuasaan antara Bani Umayah dan Ahl Bait.
Yang menyedihkan ialah beliau hidup di zaman banyak dari keluarga dibunuh,
termasuk kakek beliau sendiri yaitu Husain bin Ali bin Abi Thalib. Karena itu
banyak sejarawan menyebut bahwa hidupnya Imam Zaid penuh dengan air mata dan
kesedihan.
Beliau lahir antara tahun 75 – 80 Hijriyah, dan besar dalam lingkungan
para ahli agama dari kalangan alawiyin. Tak tahan dengan tekanan yang diberikan
oleh pemerintahan Bani Umayah yang ketika itu dipimpin oleh Hisyam bin Abd.
Malik, akhirnya beliau pindah ke Syam dan juga Madinah dan menetap lama di kota
Nabi SAW itu.
Beliau berguru dalam fiqih ahlulbait kepada Imam Muhammad bin Al-Hasan
yang merupakan sepupu ayahnya, Imam Ali Zainal-Abidin bin Al-Husain. Dan juga
mengambil ilmu dari kakaknya, Imam Muhammad Al-Baqir, seorang ahli fiqih Syiah
ketika itu.
Hebatnya, beliau tidak hanya bergaul dengan kalangan alawiyin saja
tetapi juga kepada semua kalangan. Maka wajar kalau muridnya pun banyak yang
bukan dari kalangan alawiyin, diantara yang masyhur ialah Imam Abu Hanifah, dan
juga Sufyan Al-Tsauri.
Tentang kecerdasannya, Imam Al-Zirikly, dalam kitabnya Al-A’lam menukil
pujian Imam Abu Hanifah kepada Imam Zaid. Imam Abu Hanifah berkata:
“Aku tidak melihat ada yang lebih pintar dari Imam Zaid di zamannya, dan
juga tidak menemukan orang yang bisa secepat Imam Zaid dalam menjawab
pertanyaan, serta lugas penjelasannya”
Beliau wafat tahun 122 Hijriyah dalam peperangan di kufah.
Wallahu a’lam.
[1] Tidak dipastikan tahun wafat beliau. Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani
dalam Taqriib Al-Tahdziib mengatakan bahwa beliau meninggal setelah tahun 120
H. sedangkan Imam Abu Zahroh mengatakan bahwa ia wafat antara tahun 150 – 175
Hijriyah.
Ahmad Zarkasih, Lc