Rabu, 15 Desember 2010

WANITA KARIER DILIHAT DARI PERSEPSI HUKUM ISLAM BAGIAN 2

Tujuan dari Berdiamnya Wanita di Rumah



1. Aman dari fitnah



Islam telah menunjuki kaum wanita agar tetap tinggal di rumahnya; tidak keluar darinya, kecuali jika ada kebutuhan. Hal ini dilakukan guna menjaganya dari perbuatan sia-sia dan melindunginya dari pandangan mata orang asing (bukan mahram) yang melihatnya. Serta, agar dirinya terpelihara dan kehormatannya terlindungi.



Ketika Allah Yang Mahabijaksana menganjurkan kaum wanita agar mengerjakan ibadah di rumahnya saja, maka sudah tentu `tidak keluar rumah' untuk perkara lainnya selain ibadah adalah lebih utama lagi. Sebab, pada saat itu tidak ada keperluan ataupun maslahat yang diperoleh dari keluar rumah1.



Oleh sebab itu, `Aisyah RA pernah berkata: "Andaikata Rasulullah SAW melihat apa yang diperbuat para wanita sekarang, niscaya beliau akan melarang mereka pergi ke masjid; sebagai¬mana para wanita Bani Israil dilarang pergi ke Masjid."2

Dari perkataan `Aisyah ini, kita mendapati bahwa `Aisyah menerangkan sebab pelarangan ini, yaitu karena fitnah-fitnah yang ditimbulkan oleh para wanita.



2. Dapat menunaikan hak suami



Seorang isteri wajib menaati suaminya dan mengurus rumahnya. Seorang isteri tidak boleh keluar dari rumah kecuali dengan izin dari suaminya. Namun, tidak boleh keluar dari rumah itu jangan sampai bertentangan dengan kewajiban mengurus rumah.



Rasulullah SAW bersabda:



"Apabila seorang wanita telah mengerjakan shalat lima waktu, berpuasa pada bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, serta mentaati suaminya, maka akan dikatakan kepadanya: `Masuklah engkau ke dalam Surga dari pintu mana pun yang engkau dikehendaki.”3



Dari Ibnu `Umar bahwasanya dia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:



"Tiap-tiap kalian adalah pemimpin, dan masing–masing dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban tentang ke-pemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Seorang suami adalah pemimpin bagi keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Seorang isteri adalah pemimpin di rumah suaminya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Seorang pembantu adalah pemimpin atas harta majikannya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban awaban tentang kepemimpinannya."



Ibnu 'Umar berkata: "Aku mengira, beliau juga bersabda: `Seorang anak adalah pemimpin atas harta ayahnya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang ia pimpin. Dan, sesungguhnya masing-masing kalian adalah pemimpin, dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya."4



Kesimpulannya, para wanita harus berdiam di rumahnya demi menjaga hak suami dan melindungi diri sendiri, serta menghindari terjadinya prasangka-prasangka buruk terhadap mereka, yang dapat menimbulkan kecurigaan pada diri suami atau diri orang lain5.



3. Dapat mengurus rumah dan anak-anak



Isteri memiliki peran yang sangat penting dalam mem-perbaiki penataan rumah, pembeliharaannya, juga per-lindungan terhadapnya, berikut semua barang dan orang yang ada di dalamnya. Rasulullah SAW telah menerangkan hal tersebut dengan sabdanya:



"Tiap-tiap kalian adalah pemimpin, dan masing-masing dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya Seorang isteri adalah pemimpin di rumah suaminya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya."6.



Kepemimpinan seorang isteri tentunya dilaksanakan dengan mentaati segala perintah suami, serta dengan menjaga harta dan anak-anaknya. Inilah fitrah wanita yang telah Allah tetapkan baginya.



Demi menggapai kepemimpinan yang paling afdhal, seorang isteri harus tetap tinggal di rumahnya agar dapat memperhatikan keadaan anak-anaknya dan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan mereka, karena yang demikian itu tidak mungkin bisa dilakukan oleh orang lain selain seorang ibu. Hal ini tampak jelas dalam hadits di atas.



Aturan-aturan bagi Wanita yang Keluar Rumah.



1. Mendapatkan izin dari walinya



Wali adalah kerabat seorang wanita, baik dari sisi nasabiyah (garis keturunan), sababiyah (karena adanya tali pernikahan), ulul arbam (kerabat jauh), orang yang diserahi perwalian, maupun seorang pemimpin (wali hakim).



2. Berpakaian secara syar'i



Syarat-syarat pakaian syar'i (bagi wanita) adalah sebagai berikut7



a. Menutup seluruh tubuh selain bagian yang dikecualikan8.



Dasarnya adalah firman Allah :



"Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya clan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak rnempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan, janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan, bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung," (QS. An-Nuur: 31)



Juga, firman Allah SWT :"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang Mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan, Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Ahzaab: 59)



b. Pakaian itu sendiri bukan pakaian perhiasan Syarat yang kedua ini diambil dari firman Allah SWT :



"Dan, hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang ahiliyyah yang dahulu ...." (QS. Al-Ahzaab: 33)



c. Tebal, tidak membuat warna kulit di bawahnya kelihatan (transparan)



Karena, sesuatu (pakaian) tidak bisa dikatakan sebagai penutup kecuali ia tebal dan tidak membuat warna kulit di bawahnya kelihatan. Adapun pakaian yang tipis, maka ia hanya akan menambah fitnah dan semakin menghiasi seorang wanita di mata laki-laki. Mengenai hal ini, Rasulullah SAW bersabda:

"Ada dua golongan dari penduduk Neraka yang belum pernah aku lihat: (1) suatu kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi yang mereka gunakan untuk memukul manusia; dan (2) wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak¬lenggok menarik perhatiap., kepala mereka bergoyang-goyang seperti punuk unta yang bergoyang-goyang. Mereka tidak akan masuk Surga dan tidak akan mencium aromanya. Sesungguhnya aroma Surga itu dapat tercium dari jarak sekian dan sekian.”9



d. Pakaian tersebut harus longgar



Hendaklah pakaian tersebut tidak sempit dan ketat sehingga mencetak lekuk tubuhnya. Sebab, tujuan mengenakan pakaian adalah untuk menghindari fitnah. Dan, tujuan ini tidak bisa dicapai melainkan dengan pakaian yang longgar dan luas (tidak ketat).



Usamah bin Zaid bercerita: "Rasulullah memberiku pakaian Qibti yang tebal. Pakaian itu adalah hadiah yang diberikan Dihyah al-Kalbi kepada beliau. Kemudian, aku memberikan pakaian tersebut kepada isteriku. Lalu, Rasulullah menanyaiku: `Mengapa kamu tidak memakai pakaian Qibti itu?' Aku menjawab: `Wahai Rasulullah, pakaian itu telah kuberikan kepada isteriku.' Kemudian, beliau berkata kepadaku:

Perintahkanlah kepada isterimu agar memakai pakaian dalam di bawah baju itu. Sesungguhnya aku khawatir baju itu dapat mencetak bentuk tubuhnya.'10 Yakni, membentuk lekukan tubuhnya.



Dari Abu Musa al-Asy'ari RA, dia berkata bahwa Rasulullah bersabda:



"Wanita mana saja yang memakai minyak wangi, lalu ia pergi melewati suatu kaum agar mereka mencium aromanya, maka ia adalah wanita pezina."11



3. Aman dari fitnah



Yang dimaksud aman dari fitnah adalah, hendaklah agama, kehormatan, dan kesucian diri seorang wanita terlindungi ketika ia keluar rumah hingga kembali lagi ke rumah. Untuk merealisasikan tujuan ini, Islam memerintahkan perkara-perkara berikut ini.



a. Tidak boleh ber-khalwat



Khalwat ialah seorang wanita berdua-duaan dengan seorang laki-laki asing (bukan mahram) tanpa disertai mahramnya12. Rasulullah SAW melarang kita berkhalwat dengan seorang wanita dalam sabdanya:



"Seorang laki-laki tidak boleh berduaan dengan seorang wanita, kecuali jika disertai mahramnya."13



Dan, sabda Nabi SAW:



"Janganlah kalian masuk menemui wanita (tanpa mahram)14.



Lalu, seorang laki-laki Anshar bertanya: "Apa pendapat engkau jika laki-laki itu adalah ipar14 si wanita?" Beliau men-jawab:



"Ipar adalah maut (yakni, ipar wanita yang bertemu dengannya secara berduaan bahayanya seperti kematian)."15



b. Menghindari ikhtilath (pembauran antara laki-laki dan perempuan)



Ikhtilath adalah berkumpulnya para laki-laki dengan wanita-wanita yang bukan mahram yang dapat menyebabkan timbulnya fitnah, baik perkumpulan itu terjadi di tempat khusus maupun umum.16

Namun, ikhtilath yang saya maksud di sini bukanlah berkumpulnya kaum wanita dan kaum laki-laki pada suatu tempat yang masing-masing dan keduanya berada di posisi terpisah, antara yang satu dengan yang lainnya (kaum laki-laki di satu sisi dan kaum wanita di sisi yang lain). Karena, perkumpulan seperti ini pernah terjadi pada masa Rasulullah yaitu shalatnya kaum wanita di belakang kaum laki-laki.



Hukum ikhtilath (yang tanpa hijab/pembatas) adalah haram. Sebab, ikhtilath dapat mendatangkan fitnah. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri , dia berkata bahwa seorang wanita menemui Rasulullah SAW seraya berkata:



"Wahai Rasulullah, kaum laki-laki telah pergi dengan membawa hadits darimu. Maka, luangkanlah satu hari untuk kami (kaum wanita) agar kami dapat menemuimu pada hari itu dan engkau mengajarkan kepada kami apa-apa yang telah diajarkan Allah kepadamu." Beliau bersabda:

"Berkumpullah kalian pada hari ini dan ini, di tempat ini dan ini.”

Setelah itu, para wanita pun berkumpul di tempat (yang dijanjikan) tersebut. Rasulullah lantas menemui mereka, lalu mengajari mereka segala hal yang telah diajarkan Allah kepada beliau.17



Hadits ini menunjukkan tidak boleh melakukan ikhtilath. Seandainya dibolehkan, tentulah kaum wanita akan duduk (berdempet-dempetan) bersama kaum pria di majelis Rasulullah untuk menuntut ilmu, dan tentulah beliau tidak akan mengkhususkan hari tertentu untuk mereka.



c. Tidak memperlembut tutur kata ketika berbicara, serta menundukkan pandangan dan berjalan dengan sewajarnya (tidak melenggak-lenggok)



Seorang wanita tidak halal memperlembut bicaranya dan memperhalus suaranya ketika berbicara kepada kaum laki-laki, sehingga hati-hati mereka tertarik karenanya. Dasarnya adalah firman Allah SWT:



"... maka janganlah kamu menghaluskan suara dalam berbicara, sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik." (QS. Al-Ahzaab: 32)



Wanita juga diperintahkan untuk menundukkan pandangan-nya, sebagaimana firman Allah SWT:



"Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya (QS. An-Nuur: 31)



Sebagaimana mereka juga diperintahkan untuk berjalan dengan sewajarnya, sesuai dengan firman Allah SWT:



"... dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan ...." (QS. An-Nuur: 31)



4. Adanya mahram ketika melakukan safar



Pengertian mahram



Menurut bahasa, seseorang disebut sebagai mahram bagi seorang wanita apabila orang itu tidak halal menikahi wanita tersebut18.

Adapun menurut istilah, mahram adalah suami dan laki-laki yang diharamkan menikahi wanita tersebut selama-lamanya. Ketetapan ini berlaku baik hubungan antara laki-laki tersebut dengan si wanita disebabkan karena ikatan nasab (keturunan), seperti ayah dan anak laki-laki; ikatan perkawinan, seperti suami dari anak perempuan dan anak laki-laki suami; maupun sebab persusuan, seperti anak yang disusui atau saudara laki-laki sepersusuan.19



Nabi SAW bersabda:



"Persusuan mengharamkan apa-apa yang diharamkan karena nasab."20



Insya Allah masih bersambung ke Penutup, serta profesi-profesi yang dibolehkan secara syariah, dan profesi-profesi yang dilarang dalam fiqh Islam (setelah diringkas dari kesepakatan jumhur ulama berdasarkan pendapat yang rajih/lebih kuat menurut pandangan Penulis kitab ini).



Wallahua’lam.



Catatan Kaki :



1. Qaraqi', Ahkaam Qaraaril Mar-ah fii Baitiha wa Khuruujiha minhu fil Filqh al-Islaami (hlm. 33).

2. HR. Al-Bukhari dalam Shahiih-nya (no. 869), Kitab "al-Adzaan", Bab "Intizhaarun Naas Qiyaamal Imaam al-‘Aalim"; Muslim dalam. Shahiih-nya (no. 445), Kitab "ash-Shalaah", Bab "Khuruujun Nisaa' ilal Masaajid idza lam Yatarattab `alaihi Fitnah wa annaha laa Takhruju Muthayyabah", dari Aisyah RA

3. " HR. Ibnu Hibban dalam Shahiih-nya (no. 4163—al-Ihsaan); ath-Thabrani dalam al-Ausath (no. 4598), dari Abu Hurairah RA dengan sanad shahih. Lihat 'Abdul 'Azhim bin 'Abdul Qawi al-Mundziri Abu Muhammad, at-Targhiib wat Tarhiib minal Hadiits asy-Syariif (III/33/2970), cetakan pertama, dengan tahqiq Ibrahim Syamsuddin, terbitan Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, tahun 1417 H.

4. Al-Bukhari (no. 893), Kitab "al-Jumu'ah':, Bab "al-Jumu'ah fil Quraa wal Mudun"; Muslim dalam Shahiih-nya (no. 1829), Kitab "al-Imaarah", Bab "Fadhiilatul Imaam al’Aadil wa `Uquubatul Jaa-ir wal Hatstsu `alar Rifqi bir Ra'iyyah wan Nahyu Masyaqqah `alaihim", dari `Abdullah bin `Umar RA.

5. Qaraqi', Ahkaam Qaraaril Mar-ah fii Baitiha wa Khuruujiha minhu fil Fiqh al-Islaami (hlm. 35).

6. Takhrij-nya telah disebutkan.

7. Lihat Muhammad Nashiruddin al-Albani, Jilbaabul Mar-ah al-Muslimah (him. 39), terbitan Maktabah Dandis, 'Amman, tahun 1423 H.

8. Maksudnya, wajah dan kedua telapak tangan, berdasarkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Namun, di sini bukan tempat untuk membahasnya.

9. Muslim dalam Shahiih-nya (no. 2128), Kitab "al-Libaas waz Ziinah", Bab "an-Nisaa¬ul Kaasiyaat al-`Aariyaatul Maa-ilaat al-Mumiilaat", dari Abu Hurairah . Abu `Ubaidah berkata: "Hadits ini mengisyaratkan bahwa kezhaliman dari pemerintah dan kerusakan akhlak saling mengiringi, antara satu dengan yang lainnya. Keduanya bagaikan dua mata koin yang tak terpisahkan! Ketika akhlak manusia rusak, Allah mengirimkan berbagai macam adzab melalui tangan-tangan orang yang berbuat buruk kepada mereka, baik secara materi maupun maknawi. Oleh karena itu, periksalah dan carilah kesalahan; niscaya kamu akan menemukannya, lalu minta ampunlah kepada Allah!"

10. HR. Ahmad dalam al-Musnad (V/205, no. 21786); al-Bazzar dalam Musnad-nya (VII/30, no. 2579); ath-Thabrani (Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Abul Qasim), al-Mu Jamul Kabiir (no. 376), cetakan kedua, dengan tahqiq Hamidi bin 'Abdul Majid as-Salafi, terbitan Maktabah al-Uluum wa al-Hikam, al-Mushil, tahun 1404 H/1983 M; al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubraa (XXI/234); Ibnu Sa'ad (Muhammad bin Sa'ad bin Mani' Abu `Abdullah al-Bashri az-Zuhri), ath-Tbabaqaatul Kubraa (IV/64-65), terbitan Daar Shaadir, Beirut, dari Usamah bin Zaid dengan sanad hasan.

11. HR. Ahmad dalam al-Musnad (IV/414, no. 19711); `Abd bin Humaid dalam Musnad¬nya (no. 557 —al-Muntakhab); Abu Dawud dalam as-Sunan (no. 4173), Kitab "at-Tarajjul", Bab "Maa Jaa-a fil Mar-ah Tatathayyabu lil Khuruuj"; at-Tirmidzi dalam as-Sunan (no. 2786), Kitab "al-Adab", Bab "Maa Jaa-a fii Karaahiyati Khuruujil Mar-ah Muta'aththirah"; an-Nasa-i (Ahmad bin Syu'aib Abu `Abdurrahman an-Nasa-i), al-Multabaa minas Sunan, cetakan kedua, dengan tahqiq 'Abdul Fattah Abu Ghuddah, terbitan Maktabah al-Mathbuu'aat al-Islaamiah, Halab, tahun 1406 H/1986 M (no. 5126—al-Mujtabaa), Kitab "az-Ziinah", Bab "Maa Yukrahu lin Nisaa' minath Thiib"; ad-Darimi dalam as-Sunan (11/362, no. 2646); Ibnu Khuzaimah dalam Shahiih-nya (no. 1681); Ibnu Hibban dalam Shahiih-nya (no. 4424—alihsaan); al-Hakim dalam al-Mustadrak (II/430); al-Baihaqi dalam as-Sunan (III/246), dari Abu Musa al-Asy'ari dan `Abdullah bin Qais dengan sanad shahih. Muthayyabatan", dari Zainab ats-Tsagafiyyah; an-Nasa-i (no. 5134—al-Mujtabaa), Kitab "az-Ziinah", Bab "an-Nahyu lil Mar-ah an Tasyhadash Shalaah idzaa Ashaabatil Bukhuur".

12. Dr. Abu Yahya berkata: "Khalwat ialah seorang wanita berduaan dengan seorang atau beberapa orang laki-laki asing tanpa disertai mahramnya". Lihat Dr. Muhammad Hasan Abu Yahya, Ahammu Qadhaayal Manah al-Mustimah (hlm. 105), cetakan ketiga, terbitan Maktabah ar-Risaalah, 'Amman, tahun 1411 H.

13. Al-Bukhari dalam Shahiib-nya (no. 5233), Kitab "an-Nikaah", Bab "Las Yakhluwanna Rajulun bi Imra-atin illaa Dzuu Mahramin"; Muslim dalam Shahiih-nya (no. 1341), Kitab "al-Hajj", Bab "Safarul Mar-ah ma'a Mahramin iIal Hajji wa Ghairihi".

14. Hamu artinya kerabat suami, misalnya saudara kandung dan paman. Lihat Ahmad bin Muhammad bin 'Ali al-Magri al-Fayumi ar-Rafi'i, al-Mishbaahui Muniir (I/210), terbitan Daar al-Qalam, Beirut.

15. HR. A1-Bukhari dalam Shahiih-nya (no. 5232), Kitab "an-Nikaah", Bab "Laa Yakhluwanna Rajulun bi Imra-atin illaa Dzuu Mahramin"; Muslim dalam Shahiih-nya (no. 2172), Kitab "as-Salaam", Bab "Tahriimul Khalwah bit Ajnabiyyah wad Dukhuul alaihaa".

16. Abu Yahya. Ahammu Qadhayal Mar-ah al Muslimah

17. Al-Bukhari dalam Shahiih-nya (no. 7310), Kitab "al-I'tishaam bil Kitaab was Sunnah", Bab "Ta'liimun Nabi Umatahu minar Rijaal wan Nisaa' mimmaa 'Allamahullaah laisa bi Ra'yin walaa bi Tamtsiilin", Fat-hul Baari (XV/9087); Muslim dalam Shahiih¬nya dengan syarah an-Nawawi (VIII/230-231, no. 2633), Kitab "al-Birr wash Shilah wal Adab", Bab "Fadhlu Man Yamuutu lahu Waladun fa Yahtasibuhu".

18. " Ar-Razi, Mukhtaarush Shihaah (hlm. 56).

19. " Qaraqi', A hkaam Qamard Mar-ah fii Baitihaa wa Khurujihaa minim fil Fiqh al-Islaami (hlm. 212).

20. " HR. Al-Bukhari (no. 2645), Kitab "asy-Syahaadaat", Bab "asy-Syahaadah 'alai Ansaab"; Muslim (no. 1447), Kitab "ar-Radhaa'", Bab "Tahriim Ibnatil Akh minar Radhaa'ah", dari Ibnu 'Abbas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar