Rabu, 15 Desember 2010

WANITA KARIER DILIHAT DARI PERSEPSI HUKUM ISLAM BAGIAN 1

HUKUM WANITA BERDIAM DIRUMAH

Bagian 1.

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berdiamnya wanita di rumahnya. Ada dua pendapat dalam hal ini.



Pendapat pertama, wanita wajib berdiam diri di rumah-nya. Ini adalah pendapat jumhur ulama ahli tafsir1. Dalil-dalil yang dijadikan dasar pendapat ini adalah sebagai berikut.



Pertama, dalil dari al-Qur-an, yakni firman Allah SWT :



"Dan, hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah yang dahulu ...." (QS. Al-Ahzaab: 33)



Kata qarna merupakan fi'il ‘amr (kata kerja perintah) dari kata qarar yang menunjukkan suatu kewajiban. Dengan demikian, ayat tersebut menunjukkan wajibnya seorang wanita berdiam di dalam rumahnya.

Jadi, pengertian ayat al-Qur-an di atas adalah perintah kepada para wanita untuk tetap tinggal dan menetap di rumah serta tidak keluar darinya kecuali untuk suatu keperluan atau hal yang darurat2.



Kedua, dalil akal. Menurut akal sehat, seorang wanita harus tetap berada di rumahnya agar ia dapat memelihara rumahnya, mengurusi suami dan anak-anaknya, serta dapat berupaya mendidik mereka berdasarkan metode yang benar. Berdasarkan hal ini, tinggalnya seorang wanita di rumahnya merupakan suatu hal yang sangat penting, demi menjaganya dari berbagai fitnah dan gangguan-gangguan yang bisa menimpa dirinya apabila ia keluar rumah3. Ini merupakan salah satu bentuk usaha untuk mengantisipasi bahaya.



Pendapat kedua, seorang wanita hanya dianjurkan (mustahab) untuk berdiam di rumahnya. Ini pendapat sejumlah Sahabat Nabi di antaranya `Umar dan `Utsman4. Pendapat ini diikuti oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-`Asqalani5. Mereka ber-hujjah dengan dalil-dalil dari al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma' ulama.



Dalil-dalil yang melandasi pendapat ini adalah sebagai berikut.



Pertama, dalil dari al-Qur-an, yakni firman Allah SWT:



"Dan, (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya."6 (QS. An-Nisaa': 15)



Allah memerintahkan kaum Muslimin menahan para wanita yang melakukan perbuatan keji di dalam rumah. Ini merupakan dalil yang menjelaskan bahwa menahan wanita di dalam rumah bukan merupakan hukum asal, tetapi hal tersebut diperintahkan karena adanya suatu penyebab, yakni terjadinya perbuatan keji.



Juga Firman Allah SWT yang lain :

"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.' Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya ....'" (QS. An-Nuur: 30-31)



Pada ayat ini, Allah SWT memerintahkan kaum laki-laki untuk menundukkan pandangan mereka, sebagaimana Dia memerintahkan perintah itu kepada kaum wanita. Dalam ayat ini terdapat dalil bolehnya wanita keluar rumah. Karena, menundukkan pandangan hanya dibutuhkan ketika terjadi pencampurbauran dengan kaum pria dan ada kemungkinan wanita itu melihat mereka7.



Kedua, dalil dari as-Sunnah, yakni sabda Nabi SAW



"Wanita adalah aurat, apabila ia keluar rumah maka syaitan akan menyambutnya dengan sukacita."8



Redaksi hadits tersebut secara gamblang memotivasi wanita agar tidak keluar rumah dan menganjurkan mereka untuk tinggal di rumah.



Sabda Nabi SAW



"Janganlah kalian menghalangi hamba-hamba Allah yang wanita untuk pergi ke masjid-Nya."9



Hadits ini jelas menunjukkan bahwa kaum laki-laki dilarang menghalangi para wanita untuk pergi ke masjid jika mereka hendak ke sana. Karena itulah, hukum tinggalnya wanita di rumah menjadi mustahab (sunnah). Seandainya perintah berdiam di rumah itu hukumnya wajib, niscaya mereka tidak diizinkan pergi ke masjid. Sebab, shalat seorang wanita di rumahnya lebih afdhal daripada shalat di masjid.



Kalangan ulama yang mengemukakan pendapat ini juga berdalil dengan (riwayat yang mengisahkan kepergian `Aisyah Radhiallohu’anhuma ke Iraq untuk mendamaikan kaum muslimin yang berselisih waktu perang Jamal10.



Ketiga, dalil dari ijma'. Terdapat riwayat yang menyebutkan bahwasanya `Umar RA mengizinkan isteri-isteri Rasulullah SAW untuk pergi haji dan umrah setelah sebelumnya ia bersikap tawaqquf (tidak menentukan pendapat) dalam masalah ini. Pendapat ini diikuti oleh 'Utsman, `Abdurrahman bin `Auf, al-Mughirah bin Syu'bah, Mu'awiyah, dan para Sahabat lain yang semasa dengan mereka; tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya11. Keluarnya isteri-isteri Nabi SAW untuk pergi haji dan umrah tanpa ada pengingkaran dari para Sahabat ini merupakan ijma' sukuti (persetujuan dengan cara diam).



Pendapat yang rajih menurut Penulis kitab ini: setelah membaca pendapat para ahli fiqih dan meneliti dalil-dalil mereka, saya menilai bahwa pendapat yang kuat adalah pendapat yang kedua, yakni pendapat yang menyatakan bahwa perintah tinggal di dalam rumah yang ditujukan kepada kaum wanita hukumnya hanyalah mustahab (anjuran). Pendapat ini dibangun berdasarkan sebuah kaidah ushul: "Kalimat perintah itu menunjukkan suatu kewajiban, selama tidak ada qarinah (petunjuk) yang memalingkannya dari hukum wajib ke hukum yang lain."12. Sementara perintah berdiam diri di rumah yang terdapat dalam bahasan ini diiringi dengan qarinah yang memalingkannya dari hukum wajib ke hukum yang lain. Dalil yang memalingkan perintah tersebut telah dikemukakan oleh pihak kedua pada uraian sebelumnya, yakni dalil yang membolehkan wanita keluar rumah untuk melaksanakan shalat, menuntut ilmu, dan lainnya.



Bersambung Insya Allah,.. tentang Tujuan dari Berdiamnya Wanita di Rumah…



Wallahua’lam.





Catatan Kaki:



1. Al-Qurthubi, al-Jaami' li Ahkaamil Qur-an (XIV/116); Ibnu Katsir, Tafsiirul Qur-aan al-Azhiim (III/631); asy-Syaukani, Fat-hul Qadiir (IV/277).

2. Lihat asv-Syaukani. Fat-hul Oadiir (IV/277).

3. Muhammad Nu'man Umaimah Qaraqi', Ahkaam Qaraaril Mar-ah fii Baitiha wa Khuruujiba minim fil Fiqh al-Islaami, tesis magister, di bawah bimbingan Dr. Jamal Ahmad Zaid al-Kailani, Universitas an-Najaah al-Wathaniyyah, Fakultas Syari'ah, Jurusan Fiqih dan Tasyri', Nablis, tahun 1419 H/1998 M (hlm. 25).

4. Ibnu Hajar, Fat-hul Baari (IV/2413-2414)..

5. Ibid. (IV/2414-2415).

6. Perlu diketahui di sini bahwa Allah SWT sudah menghapus hukum habs (mengurung di dalam rumah) dan menggantinya dengan hukuman rajam bagi wanita yang berzina dan telah menikah, serta hukuman cambuk untuk wanita yang berzina dan belum menikah.

7. " Qaraqi', Ahkaam Qaraaril Mar-ah fii Baitiha wa Khuruujiha minbu fil Fiqh al-Islaami (hlm. 26).

8. Ibnu Abi Syaibah (Abu Bakar `Abdullah bin Muhammad), af-Mushannaf fil Ahaadiits wal Aatsaar (II/157), cetakan pertama, dengan tahqiq Kamal al-Hut, terbitan Maktabah ar-Rusyd, Riyadh, tahun 1409 H; at-Tirmidzi, as-Sunan (no. 1173), Kitab "ar-Radhaa'", Bab XVIII; Ibnu Khuzaimah (Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah Abu Bakar as-Sulami an-Naisaburi), Shahiih Ibni Khuzaimah (no. 1675), dengan tahqiq Dr. Mushthafa al-A'zhami, terbitan al-Maktab al-Islaami, Beirut, tahun 1390 H/1970 M; Ibnu Hibban dalam Shahiih-nya (no. 5598—al-Ihsaan); Ibnu `Adi (`Abdullah bin `Adi bin 'Abdullah bin Muhammad Abu Ahmad al-Jurjani), al-Kaamil fii Dhu'afaa-ir Rijaal (III/423), cetakan ketiga, dengan tahqiq Yahya Mukhtar Ghazawi, terbitan Daar al-Fikr, Beirut, tahun 1409 H/1988 M; al- Khathib al-Baghdadi dalam Taariikh Baghdaad (VIII/451), dari `Abdullah bin Mas'ud RA dengan sanad shahih.

9. HR. Al-Bukhari dalam Shahiih-nya (no. 900), Kitab "al-Jumu'ah", Bab ke-8; Muslim dalam Shahiih-nya (no. 42), Kitab "ash-Shalaah", Bab "Khuruujun Nisaa' ilal Masaajid idzaa lam Yatarattab `alaihi Fitnah wa annaha laa Takhruju Muthayyab dari Ibnu `Umar, RA.

10. Ibnu Hajar, Fat-hul Baari’ (IV/2414).

11. " Ibid. (IV/2413).

12. Lihat Najmuddin Abu ar-Rabi' Sulairnan bin 'Abdul Qawi ath-Thufi, Syarh Mukh¬tasharir Raudhah (11/365), cetakan pertama, dengan tahqiq Dr. `Abdullah at-Turki, terbitan Mu-assasah ar-Risaalah, Beirut, tahun 1410 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar