Rabu, 01 Desember 2010

KHULU'

Assalamu’alaikum wr wb.



Di Era Modern ini, dimana kesetaraan gender sering dijadikan topic utama oleh kaum wanita (pendukung kesetaraan gender via kaum Liberalis/JIL), seringkali dengan mudahnya para istri meminta cerai kepada sang suami dengan dasar hukum yang kurang kuat.

Untuk itu, maka alangkah baiknya bila kita simak dulu penjelasan dari Al Qur’an dan Hadits Nabi tentang wanita yang meminta cerai kepada suaminya ditinjau dari sisi Hukum Islam.



Semoga bermanfaat.



KHULU’ (GUGAT CERAI)



Definisi Khulu’.



Khulu’ dalam pengertian bahasa berarti mencabut dan melepas. Sedangkan dalam pengertian Fiqh, Khulu adalah “Terjadinya perpisahan hubungan suami-istri atas keridhaan kedua belah pihak dengan kompensasi (tebusan) yang diberikan istri kepada suami. (Lihat kitab Al Mufashshal Al Mar’ah Wa Al Bait Al Muslim, Abdul Karim Zaidan)



Jadi bila disimpulkan/diringkas, pengertian Khulu’ adalah Permintaan/ gugatan cerai/pisah dari seorang istri kepada suami.



Dasar Hukum Khulu’



1. Firman Allah SWT, “Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya” (QS. Al Baqarah:229)



2. Hadits Ibnu Abbas, kisahnya : Istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang menghadap Nabi SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak bisa lagi menyembunyikan kebencian pada Tsabit dalam hal agamanya maupun akhlaknya, hanya saja saya takut kekufuran”. Rasulullah SAW bersabda, “(Kalau begitu) kamu siap mengembalikan kebunnya (yang pernah diberikan kepadamu) kepadanya?” Ia menjawab, “Ya”. Iapun mengembalikannya dan beliau lantas memerintahkan Tsabit untuk mencerainya. (Shohih, HR. Bukhari, HR Muslim, HR Abu Daud, HR Ibnu Majah).





3. Ijma Ulama (Al Mughni 7/53 dan, Fath Al Bari 9/136)





Hukum Pensyariatan Khulu’ (Tafsir Al Manar dan Al Mufashshal)



Khulu’ disyariatkan sebagai kebijakan preventif guna menghindari tindakan pelanggaran ketentuan hukum-hukum Allah yang telah ditentukan-Nya bagi suami-istri, berupa kewajiban saling menggauli dengan baik, dan melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing terhadap pasangannya, disertai penegasan serupa pada hak-hak dan kewajiban melaksanakan apa yang dituntut oleh kepemimpinan laki-laki (suami) atas perempuan (istri), beserta konsekuensi yang mengharuskan istri untuk mengurus urusan rumah, merawat dan mengasuh anak-anak, serta tidak mempersulit suami (dengan segala macam beban dan tuntutan)



Dengan demikian, pertama-tama khulu’ disyariatkan untuk menghilangkan dharar (bahaya/ketidaknyamanan) dari istri ketika harus tetap mempertahankan hubungan pernikahannya dengan suami sementara ia membencinya atau ketika si suami tidak melaksanakan kewajiannya dengan baik terhadap istri.



Hukum Taklifi Khulu’



Khulu’ memiliki tiga ketentuan hukum sesuai kondisi yang melatarbelakanginya :



1. Mubah.



Khulu’ dihukumi mubah ketika istri tidak merasa nyaman lagi hidup bersama suami lantaran kebenciannya yang sudah memuncak terhadap suami, sehingga ia khawatir tidak bisa melaksanakan hak suami (yang menjadi kewajibannya) dengan baik serta tidak bisa menegakkan hukum Allah untuk menaatinya. Konsekuensinya, ia musti memberikan tebusan kepada suaminya.



Dasar hukumnya dalam hal ini adalah Firman Allah SWT, “Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya” (QS. Al Baqarah:229)



Hadits Ibnu Abbas tentang Istri Tsabit bin Qis bin Syammas, sebagaimana disebutkan diatas (HR Bukhari, HR Muslim dll).



2. Haram.



Khulu’ dihukumi haram pada 2 kondisi yang melibatkan pihak istri dan pihak suami.



1. Dari pihak istri, antara lain jika ia mengajukan gugatan cerai tanpa sebab, sementara kondisi rumah tangga keduanya stabil (tidak ada hal-hal yang membuat si istri tidak nyaman hidup serumah dengan suaminya). Hal ini mulai banyak ditemukan di jaman sekarang, dimana banyaknya terjadi perselingkuhan, dimana si istri bekerja (sebagai wanita karier) dan terlibat hubungan cinta dengan rekan kerja sekantor dll, sementara kondisi dirumah adalah stabil, suami mencintai istri, begitu pula anak-anak. Namun dikarenakan “sudah bosan” maka si Istri menggugat cerai suami dan meninggalkan keluarganya, untuk “menikah kembali” dengan pria “selingkuhannya” itu.



Dasar hukumnya adalah Hadits dari Tsauban, Nabi SAW bersabda, “Wanita manapun yang meminta cerai terhadap suaminya tanpa ada alasan apa-apa, maka haram baginya aroma wangi surga” (HR Ahmad, HR Abu Daud, HR Ibnu Majah,)



Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda, “Istri yang menggugat cerai adalah wanita-wanita munafik” (HR An Nasa’I, dishohihkan oleh Syaikh Albani dalam Shohih al Jami’)



Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW bersabda, “Janganlah seorang wanita meminta talak kepada suaminya yang bukan karena alasan semestinya, niscaya ia akan dapat mencium baunya surga; dan sesungguhnya bau surga itu benar-benar dapat dirasakan sejauh perjalanan empat puluh tahun. (HR Ibnu Majah).



Pendapat Jumhur Ulama (Ulama Salaf dan Ulama Khalaf) tidak boleh khulu’ kecuali jika pertengkaran dan perpecahan terjadi dari pihak istri.



b. Dari pihak suami: antara lain jika suami memaksanya dengan cara melaksanakan teror (fisik maupun mental) dan memasung haknya secara semena-mena agar ia memberikan tebusan kepadanya (dengan menggugat cerai) berdasarkan firman Allah SWT, “dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya” (QS An Nisaa:19)



Jika dalam kondisi ini, istri kemudian menggugat cerai, maka suami tidak berhak mendapatkan kompensasi, karena ia merupakan kompensasi yang dipaksakan kepadanya.

Namun jika si istri terbukti berzina (berselingkuh), maka ia boleh memaksanya untuk memberikan tebusan gugat cerai, dan khulu’ (gugatan cerai) tersebut pun sah, berdasarkakn firman Allah SWT, “dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan Keji yang nyata” (QS An Nisaa:19)



3. Sunnah/Mustahabbah.



Gugatan cerai istri terhadap suami dihukumi sunnah (mustahabbah) oleh kalangan mazhab Hanbali jika suami sudah keterlalulan dalam meninggalkan hak-hak Allah.



Demikianlah penjelasan singkat tentang Khulu’ semoga bermanfaat.



Wassalam.



Diringkas dari kitab Shohih Fiqh Sunnah jilid 3, Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim dan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar