Rabu, 01 Desember 2010

Bagaimana menyikapi perbedaan perilaku nabi dan perintahnya..

Oleh: Farid Nu’man Hasan

Mukadimah

Tidak sedikit manusia menganggap bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dalam beberapa hal, telah melakukan perilaku tanaqudhat (kontradiksi). Beliau melarang, tetapi Beliau sendiri melaksanakan. Ini merupakan pemahaman yang tidak benar. Sesungguhnya apa yang diucapkan dan dilakukannya adalah atas bimbingan wahyu, bukan hawa nafsunya, baik ketika melarang, memerintah, atau perilakunya. Termasuk terhadap perilaku yang nampak bertentangan antara larangannya dan perbuatannya sendiri.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4)

“Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm (53): 3-4)

Berkata Abdullah bin Amru bin Al Ash Radhiallahu ‘Anhuma:

كُنْتُ أَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرِيدُ حِفْظَهُ فَنَهَتْنِي قُرَيْشٌ عَنْ ذَلِكَ وَقَالُوا تَكْتُبُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا فَأَمْسَكْتُ حَتَّى ذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ اكْتُبْ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا خَرَجَ مِنْهُ إِلَّا حَقٌّ وأشار بيده إلى فيه

"Saya menulis setiap yang saya dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, saya hendak menghafalkannya, lalu kaum Quraisy melarangku melakukannya. Mereka mengatakan: Kau menulisnya sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bisa dalam keadaan marah dan ridha. Lalu saya menahan diri, sampai saya ceritakan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda: “Tulislah! Demi Yang jiwaku ada di tanganNya, tidaklah keluar darinya melainkan kebenaran.” Beliau mengisyaratkan ke mulutnya. (HR. Ahmad No. 6511. Al Hakim, Al Mustadrak ‘Alash Shahihain, No. 359)

Maka, ayat dan riwayat ini hendaknya menjadi bingkai dalam ruang berpikir setiap muslim ketika melihat ucapan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Selain itu, ada nilai-nilai yang berlaku di dunia secara umum (bukan hanya dunia Islam), yakni orang-orang besar dan agung tidaklah selalu mengikuti arus kebanyakan manusia, ada hal-hal yang dikhususkan bagi mereka, dan tidak bagi yang lainnya. Dan, hal itu tidaklah menodai kehormatannya.

Ada beberapa metode para ulama dalam memahami sikap nabi yang nampaknya berbeda pada sebuah aktifitas, di mana riwayat itu shahih semua.

- Lebih Mengutamakan ucapan dibanding perbuatan

- Bisa jadi ada aktifitas yang memang dikhususkan baginya, namun tidak bagi umatnya

- Mencari kemungkinan salah satu menasakh (menghapus) yang lainnya

- Mengkompromikannya, tidak menganggap adanya nasakh, tidak pula menganggap yang satu lebih utama dibanding lainnya. Contoh: Jika lisan beliau melarang suatu aktifitas, sementara beliau sendiri melakukannya, maka berarti larangan itu bukan bermakna haram, dan apa yang diperbuatnya merupakan memperkuat bahwa itu tidak haram tetapi makruh. Contoh lain: Jika lisan beliau memerintahkan suatu aktifitas, sementara beliau sendiri tidak melakukannya, maka berarti aktifitas itu menunjukkan sunah bukan wajib.

Berikut ini kita akan lihat beberapa kasus.

1. Puasa Wishal (Menyambung puasa tanpa berbuka)

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْوِصَالَ قَالُوا فَإِنَّكَ تُوَاصِلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِنَّكُمْ لَسْتُمْ فِي ذَلِكَ مِثْلِي إِنِّي أَبِيتُ يُطْعِمُنِي رَبِّي وَيَسْقِينِي

“Jauhilah oleh kalian puasa wishal.” Para sahabat berkata: “Engkau sendiri melakukan wishal ya Rasulullah.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya kalian ini tidaklah seperti aku, aku bermalam diberikan makan dan minum oleh Tuhanku.” (HR. Bukhari No. 1860, 6814 dan Muslim No. 1103)

Dari hadits ini kita dapat mengetahui, bahwa:

1. Nabi melarang umatnya puasa wishal.

2. Nabi justru melakukan puasa wishal.



3. Alasannya karena beliau memiliki kekhususan yang tidak sama dengan umatnya, yakni kemuliaan dari Allah Ta’ala berupa kekuatan yang membuatnya mampu menjalankannya.

Para ulama berselisih pendapat tentang makna “aku diberikan makan dan minum oleh Tuhanku”. Menurut mayoritas ulama bukanlah secara hakiki beliau makan dan minum ketika malam, jika demikian tentu itu bukan berpuasa. Maknanya adalah itu sebagai majaz bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diberikan kekuatan, seakan Beliau diberikan makan dan minum.

Al Hafizh Ibnu Hajar telah memaparkan berbagai penafsiran tersebut, lalu beliau menyebutkan pandangan jumhur ulama:

وَقَالَ الْجُمْهُور : قَوْله يُطْعِمنِي وَيَسْقِينِي مَجَاز عَنْ لَازِم الطَّعَام وَالشَّرَاب وَهُوَ الْقُوَّة ، فَكَأَنَّهُ قَالَ يُعْطِينِي قُوَّة الْآكِل وَالشَّارِب ، وَيُفِيض عَلِيّ مَا يَسُدّ مَسَد الطَّعَام وَالشَّرَاب

"Berkatalah jumhur: Sabdanya “aku diberikan makan dan minum oleh Tuhanku” adalah majaz dari makanan dan minuman yaitu adanya kekuatan. Seakan dia mengatakan: aku diberikan kekuatannya makanan dan minuman, dan dilimpahkan atasku apa-apa yang bisa ditutup oleh makanan dan minuman.” (Fathul Bari, 4/297. Darul Fikr)

Dari sinilah kita paham, bahwa Benar adanya kekhususan buat Beliau, tidak bagi umatnya. Seperti Beliau dibolehkan menikah dengan lebih dari empat isteri, padahal umatnya hanya dibolehkan paling banyak empat Isteri. Dari sini kita juga paham sebuah kaidah para ulama, yang menyebutkan Al Qaul Aqwa minl Fi’l fi Ad Dalalah ‘Alat Tasyri’ (Perkataan lebih kuat dalam penunjukkan hukum syariat). (Lihat kaidah ini dalam beberapa kitab ushul fiqh, seperti Imam Fakhruddin Ar Razi, Al Mahshul, 3/258. Muasasah Ar Risalah. Imam Alauddin Ali bin Sulaiman, Syarh Al kaukab Al Munir, 1/387. Mawqi’ Al Islam. Hasyiah Al ‘Athar ‘Alal Jalal Al Mahalli, 5/432. Mawqi’ Al Islam)

2. Minum Sambil Berdiri

Berikut ini adalah keterangan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah minum sambil berdiri. Dari Nazzal, katanya:

أَتَى عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى بَابِ الرَّحَبَةِ فَشَرِبَ قَائِمًا فَقَالَ إِنَّ نَاسًا يَكْرَهُ أَحَدُهُمْ أَنْ يَشْرَبَ وَهُوَ قَائِمٌ وَإِنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَ كَمَا رَأَيْتُمُونِي فَعَلْتُ

“Ali Radhiallahu ‘Anhu datang ke pintu Ar Rahabah, lalu dia minum sambil berdiri, lalu berkata: Sesungguhnya manusia membenci salah seorang mereka minum sambil berdiri. Sesungguhnya saya melihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan seperti yang kalian lihat terhadap perbuatanku.” (HR. Bukhari No. 5292)

Dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, katanya:

رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يشرب قائما وقاعدا

“Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam minum sambil berdiri dan duduk.” (HR. At Tirmidzi No. 1944, katanya: hasan shahih. Syaikh Al Albani menyatakan hasan dalam Mukhtashar Asy Syamail Muhammadiyah No. 177)

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

سقيت النبي صلى الله عليه وسلم من زمزم فشرب وهو قائم

“Aku menuangkan air zamzam kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu dia meminumnya sambil berdiri.” (HR. At Tirmidzi, Syaikh Al Albani menyatakan shahih dalam Mukhtashar Asy Syamail Muhammadiyah No. 178)

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أن النبي صلى الله عليه وسلم شرب من زمزم وهو قائمٌ

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam minum zamzam sambil berdiri.”(HR. At Tirmidzi No. 1943, katanya: hasan shahih. Dishahihkan oleh Syaikh Al Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1882)

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْرَبُ قَائِمًا وَقَاعِدًا

“Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam minum sambil berdiri dan duduk.” (HR. An Nasa’i No. 1361, Syaikh Al Albani menshahihkannya dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 1361)

Selanjutnya adalah keterangan bahwa Beliau melarang minum sambil berdiri. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَا يَشْرَبَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ قَائِمًا فَمَنْ نَسِيَ فَلْيَسْتَقِئْ

“Janganlah salah seorang kalian minum sambil berdiri, barang siapa yang lupa, maka muntahkanlah.” (HR. Muslim)

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى أن يشرب الرجل قائما فقيل الأكل قال: ذاك أشد

"Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang seseorang minum sambil berdiri.” Dikatakan: kalau makan? Beliau menjawab: lebih keras lagi larangannya.” (HR. At Tirmidzi No. 1940, Katanya: hadits ini shahih. Dalam riwayat Muslim No. 2024, lafaznya: lebih jelek dan lebih buruk lagi)

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أن النبي صلى الله عليه وسلم زجر عن الشرب قائما.

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang minum sambil berdiri.” (HR. Muslim No. 2024, juga dengan lafaz yang sama dari jalur Abu Said Al Khudri No. 2025)

Dari Al Jarud bin Al ‘Ala Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن الشرب قائما

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang minum sambil berdiri.” (HR. At Tirmidzi No. 1941, katanya: hasan gharib. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1880)

Kita lihat berbagai keterangan riwayat shahih ini, bahwa Beliau minum sambil berdiri dan disaksikan oleh beberapa sahabatnya. Dan, beliau juga melarang minum sambil berdiri dan ini pun juga didengar dan diriwayatkan oleh beberapa sahabatnya. Perbedaan ini membuat perselisihan pendapat di antara para ulama; ada yang mengharamkan, memakruhkan, dan membolehkan. Tapi mereka sepakat, minum sambil berdiri adalah afdhal. Ada sebagian ulama menganggap hadits-hadits ini musykil (bermasalah), bahkan dhaif (lemah), dan ada pula yang menganggap yang satu menasakh (menghapus) yang lain. Semua ini dibantah oleh Imam An Nawawi dengan bantahan yang bagus. Beliau melakukan metode kompromi di antara riwayat yang nampaknya bertentangan ini. Baginya, baik berdiri atau duduk, keduanya adalah boleh tetapi duduk adalah lebih utama dan sempurna.

Perhatikan penjelasan beliau:

اِعْلَمْ أَنَّ هَذِهِ الْأَحَادِيث أَشْكَلَ مَعْنَاهَا عَلَى بَعْض الْعُلَمَاء حَتَّى قَالَ فِيهَا أَقْوَالًا بَاطِلَة ، وَزَادَ حَتَّى تَجَاسَرَ وَرَامَ أَنْ يُضَعِّف بَعْضهَا ، وَادَّعَى فِيهَا دَعَاوِي بَاطِلَة لَا غَرَض لَنَا فِي ذِكْرهَا ، وَلَا وَجْه لِإِشَاعَةِ الْأَبَاطِيل وَالْغَلَطَات فِي تَفْسِير السُّنَن ، بَلْ نَذْكُر الصَّوَاب ، وَيُشَار إِلَى التَّحْذِير مِنْ الِاغْتِرَار بِمَا خَالَفَهُ ، وَلَيْسَ فِي هَذِهِ الْأَحَادِيث بِحَمْدِ اللَّه تَعَالَى إِشْكَال ، وَلَا فِيهَا ضَعْف ، بَلْ كُلّهَا صَحِيحَة ، وَالصَّوَاب فِيهَا أَنَّ النَّهْي فِيهَا مَحْمُول عَلَى كَرَاهَة التَّنْزِيه . وَأَمَّا شُرْبه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمًا فَبَيَان لِلْجَوَازِ ، فَلَا إِشْكَال وَلَا تَعَارُض ، وَهَذَا الَّذِي ذَكَرْنَاهُ يَتَعَيَّن الْمَصِير إِلَيْهِ ، وَأَمَّا مَنْ زَعَمَ نَسْخًا أَوْ غَيْره فَقَدْ غَلِطَ غَلَطًا فَاحِشًا ، وَكَيْف يُصَار إِلَى النَّسْخ مَعَ إِمْكَان الْجَمْع بَيْن الْأَحَادِيث لَوْ ثَبَتَ التَّارِيخ وَأَنَّى لَهُ بِذَلِكَ . وَاللَّهُ أَعْلَم . فَإِنْ قِيلَ : كَيْف يَكُون الشُّرْب قَائِمًا مَكْرُوهًا وَقَدْ فَعَلَهُ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَالْجَوَاب : أَنَّ فِعْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ بَيَانًا لِلْجَوَازِ لَا يَكُون مَكْرُوهًا ، بَلْ الْبَيَان وَاجِب عَلَيْهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَكَيْف يَكُون مَكْرُوهًا وَقَدْ ثَبَتَ عَنْهُ أَنَّهُ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ مَرَّة مَرَّة وَطَافَ عَلَى بَعِير مَعَ أَنَّ الْإِجْمَاع عَلَى أَنَّ الْوُضُوء ثَلَاثًا وَالطَّوَاف مَاشِيًا أَكْمَل ، وَنَظَائِر هَذَا غَيْر مُنْحَصِرَة ، فَكَانَ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُنَبِّه عَلَى جَوَاز الشَّيْء مَرَّة أَوْ مَرَّات ، وَيُوَاظِب عَلَى الْأَفْضَل مِنْهُ ، وَهَكَذَا كَانَ أَكْثَر وُضُوئِهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاث ثَلَاثًا ، وَأَكْثَر طَوَافه مَاشِيًا ، وَأَكْثَر شُرْبه جَالِسًا ، وَهَذَا وَاضِح لَا يَتَشَكَّك فِيهِ مَنْ لَهُ أَدْنَى نِسْبَة إِلَى عِلْم . وَاللَّهُ أَعْلَم .

“Ketahuilah, hadits-hadits ini menurut sebagian ulama dinilai musykil (bermasalah) maknanya, sampai-sampai di antara mereka terdapat pendapat-pendapat yang batil, ditambah lagi sampai berani melemparkan anggapan sebagian hadits-hadits tersebut adalah dhaif. Mereka mengklaim dengan vonis yang batil tapi kami tidak bermaksud membahasnya di sini, dan tidak akan menyebarkan kebatilan dan kekeliruan penafsiran mereka terhadap sunah. Tetapi kami akan sampaikan kebenaran tentang ini, bahwa larangan tersebut bermakna makruh tanzih (makruh mendekati mubah). Ada pun minumnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam secara berdiri merupakan penjelasan atas kebolehannya. Tidak ada musykil dan tidak ada pula kontradiksi, inilah yang telah kami sebutkan maknanya. Ada pun barangsiapa menyangka adanya nasakh atau lainnya, maka itu merupakan kesalahan yang buruk. Bagaimana bisa terjadi nasakh, padahal masih bisa dimungkinkan jam’u (kompromi) antara hadits-hadits yang ada. Wallahu A’lam. Jika dikatakan: “Bagaimana bisa minum berdiri adalah makruh padahal Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukannya?” Jawabnya: “Sesungguhnya perbuatan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika sebagai penjelas atas kebolehan sesuatu, maka tidaklah itu menjadi makruh, bahkan penjelasan itu adalah wajib atasnya (untuk menjelaskan), bagaimana hal itu menjadi makruh, padahal telah shahih darinya bahwa beliau berwudhu pernah sekali-sekali, thawaf dengan menunggang Unta, sedangkan ijma’ menyebutkan bahwa wudhu hendaknya tiga kali-tiga kali, dan thawaf dengan berjalan kaki adalah lebih sempurna. Pandangan-pandangan ini tidaklah dibatasi, sebab dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengabarkan kebolehan sesuatu sekali atau berkali-kali, dan beliau menegaskan pula mana yang afdhalnya. Demikian juga, bahwa kebanyakan wudhu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tiga kali-tiga kali, dan lebih banyak thawaf dengan berjalan kaki, dan lebih banyak minum dengan cara duduk. Dan, ini sangat jelas, tanpa ada keraguan lagi bagi orang-orang yang menyerukan dirinya kepada ilmu. Wallahu A’lam.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/62. Mawqi’ Al Islam)

Kesimpulannya, menurut Imam An Nawawi pendapat yang paling kuat dalam memahami perbedaan hadits-hadits ini adalah menunjukkan kebolehan minum sambil berdiri, tetapi dengan cara duduk adalah lebih utama. Dalam kitab Riyadhushshalihin Beliau pun membuat Bab Bayan Jawaz Asy Syurb Qaiman wa Bayan An Al Akmal wal Afdhal Asy Syurb Qa’idan. (Penjelasan Bolehnya Minum Berdiri dan Penjelasan Bahwa Lebih Sempurna dan Utama Minum adalah Sambil Duduk)

Tarjih Imam An Nawawi ini diperkuat oleh perilaku para sahabat, bahwa ereka pun pernah minum berdiri.

Umar, Ali, dan Utsman Radhiallahu ‘Anhum

عن مالك أنه بلغه أن عمر بن الخطاب وعلي بن أبي طالب وعثمان بن عفان كانوا يشربون قياما


Dari Malik, sesungguhnya telah sampai kepadanya, bahwa Umar bin Al Khathab, Ali bin Abi Thalib, dan Utsman bin Affan, mereka minum sambil berdiri. (Al Muwaththa’ No. 1651)

Zubeir bin Awwam Radhiallahu ‘Anhu

Dari Abdullah bin Az Zubier, dari Ayahnya (yakni Zubeir bin Awwam):

أَنَّهُ كَانَ يَشْرَبُ قَائِمًا

“Bahwa dia (ayahnya) minum sambil berdiri.” (HR. Malik, Al Muwaththa’ No. 1654)

'Aisyah dan Saad bin Abi Waqqash Radhiallahu ‘Anhuma

Dari Ibnu Syihab, katanya:

أن عائشة أم المؤمنين وسعد بن أبي وقاص كانا لا يريان بشرب الإنسان وهو قائم بأسا

“Bahwa Ummul Mu’minin ‘Aisyah dan Sa’ad bin Abi Waqqash menganggap tidak apa-apa manusia minum sambil berdiri.” (HR. Malik, Al Muwaththa’ No. 1652. Abdurrazzaq, Al Mushannaf, No. 19591. Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 5/514, No. 5)

Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘Ahuma

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, katanya

“Kami makan pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sambil berjalan dan minum sambil berdiri.” (HR. At Tirmidzi No. 1942, katanya: hasan shahih. Ibnu Majah No. 3301, Ahmad No. 5607. Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf , 5/515, No. 16)

Selain itu juga dari Abu Hurairah, Said bin Jubeir, Al Hasan, dan lainnya. Wallahu A’lam

3. Berwudhu Karena Makan Makanan Yang Dibakar (Panggang)

Abdullah bin Ibrahim bin Qarizh, mengatakan: Aku melewati Abu Hurairah yang sat itu sedang berwudhu, dia bertanya: “Tahukah kamu kenapa saya berwudhu? Yakni karena saya telah makan susu kering, sebab saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

تَوَضَّئُوا مِمَّا مَسَّتْ النَّارُ

“Wudhulah kalian jika memakan makanan yang disentuh api.” (HR. Muslim No. 352, juga dengan lafaz yang sama dari jalur ‘Aisyah, No. 353)

Imam Muslim memasukkan hadits ini dalam Bab Al Wudhu Mimma Massat An Nar (Berwudhu karena makanan yang tersentuh Api)

Sementara, dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكَلَ كَتِفَ شَاةٍ ثُمَّ صَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ

“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memakan bahu kambing kemudian shalat dan tidak berwudhu.” (HR. Muslim No. 354)

Dua riwayat ini nampak bertentangan. Yang pertama beliau memerintahkan berwudhu lagi setelah makan makanan yang dibakar (panggang), tetapi hadits kedua beliau sendiri tidak berwudhu setelah akan daging bakar. Para ulama kita memiliki dua cara memahami hadits ini.

Pertama. Jam’u (kompromi), yakni perintah beliau tidak menunjukkan wajib mengulangi wudhu tetapi hanya sunah. Kesunahan ini ditunjukkan oleh perilaku beliau pula yang tidak berwudhu setelah makan daging bakar. Ini juga menunjukkan makan makanan yang dibakar tidaklah membatalkan wudhu.

Syaikh Sayyid Sabiq memasukkan hal ini dalam pembahasan perbuatan yang membuat seseorang disunahkan berwudhu. Berkata Syaikh Sayyiq Sabiq Rahimahullah:

والامر بالوضوء محمول على الندب لحديث عمرو بن أمية الضمري رضي الله عنه قال: (رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يحتز من كتف شاة فاكل منها فأكل منها فدعى إلى الصلاة فقام وطرح السكين وصلى ولم يتوضأ) متفق عليه،

“Perintah wudhu di sini bermakna sunah, karena hadits dari ‘Amru bin Umayyah Al Dhamri Radhiallahu ‘Anhu, katanya: Saya melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memotong bahu kambing dan memakannya. Tiba-tiba terdengar panggilan shalat, lalu Beliau bangun dan melemparkan pisau, lalu shalat dan tanpa berwudhu lagi.” Muttafaq ‘Alaih. (Fiqhus Sunnah, 1/59. Darul Kitab Al Arabi)
Kedua. Para ulama juga menyatakan bahwa hadits dari Abu Hurairah –yang berbunyi perintah Nabi agar berwudhu setelah makan apa-apa yang disentuh api- telah dinasakh (dihapus) oleh hadits dari Ibnu Abbas (juga hadits lainnya). Sehingga, mengambil wudhu setelah makan daging panggang, tidaklah membatalkan wudhu dan juga tidak sunah, namun bagus jika dia berwudhu, minimal berkumur.

Imam Muslim pun dalam kitab Shahihnya memasukkan hadits Ibnu Abbas dalam Bab Naskh Al Wudhu Mimma Massat An Nar. (Penghapusan Anjuran Wudhu karena makanan yang tersentuh Api)

Imam An Nawawi mengatakan:

فَذَهَبَ جَمَاهِير الْعُلَمَاء مِنْ السَّلَف وَالْخَلَف إِلَى أَنَّهُ لَا يُنْتَقَض الْوُضُوء بِأَكْلِ مَا مَسَّتْهُ النَّار . مِمَّنْ ذَهَبَ إِلَيْهِ أَبُو بَكْر الصِّدِّيق رَضِيَ اللَّه عَنْهُ ، وَعُمَر بْن الْخَطَّاب ، وَعُثْمَان بْن عَفَّانَ ، وَعَلِيّ بْن أَبِي طَالِب ، وَعَبْد اللَّه بْن مَسْعُود ، وَأَبُو الدَّرْدَاء ، وَابْن عَبَّاس ، وَعَبْد اللَّه بْن عُمَر وَأَنَس بْن مَالِك ، وَجَابِر بْن سَمُرَة ، وَزَيْد بْن ثَابِت ، وَأَبُو مُوسَى ، وَأَبُو هُرَيْرَة ، وَأُبَيّ بْن كَعْب وَأَبُو طَلْحَة ، وَعَامِر بْن رَبِيعَة ، وَأَبُو أُمَامَة ، وَعَائِشَة رَضِيَ اللَّه عَنْهُمْ أَجْمَعِينَ . وَهَؤُلَاءِ كُلّهمْ صَحَابَة وَذَهَبَ إِلَيْهِ جَمَاهِير التَّابِعِينَ وَهُوَ مَذْهَب مَالِك ، وَأَبِي حَنِيفَة . وَالشَّافِعِيّ ، وَأَحْمَد ، وَإِسْحَاق بْن رَاهْوَيْهِ ، وَيَحْيَى بْن يَحْيَى ، وَأَبِي ثَوْر ، وَأَبِي خَيْثَمَةَ رَحِمَهُمْ اللَّه .

“Pendapat jumhur (mayoritas) ulama salaf dan khalaf adalah wudhu tidak batal karena makan makanan yang dipanggang. Diantara yang berpendapat demikian adalah Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Al Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Abu Darda, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Anas bin Malik, Jabir bin Samurah, Zaid bin Tsabit, Abu Musa, Abu Hurairah, Ubai bin Ka’ab, Abu Thalhah, ‘Amir bin Rabi’ah, Abu Umamah, dan Aisyah Radhiallahu ‘Anhum ajma’in. Mereka semua adalah sahabat nabi, dan begitu pula mayoritas tabi’in, dan ini pendapat Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, Yahya bin Yahya, Abu Tsaur, Abu Khaitsamah Rahimahullah.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/66)

Lalu Imam An Nawawi melanjutkan:

وَذَهَبَ طَائِفَة إِلَى وُجُوب الْوُضُوء الشَّرْعِيّ وُضُوء الصَّلَاة بِأَكْلِ مَا مَسَّتْهُ النَّار ، وَهُوَ مَرْوِيّ عَنْ عُمَر بْن عَبْد الْعَزِيز ، وَالْحَسَن الْبَصْرِيّ ، وَالزُّهْرِيّ ، وَأَبِي قِلَابَةَ ، وَأَبِي مِجْلَز ، وَاحْتَجَّ هَؤُلَاءِ بِحَدِيثِ تَوَضَّئُوا مِمَّا مَسَّتْهُ النَّار

“Ada sekelompok ulama yang secara syar’i mewajibkan wudhu untuk shalat lantaran makan makanan yang disentuh api, pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz, Al Hasan Al Bahsri, Az Zuhri, Abu Qilabah, dan Abu Mijlas, mereka semua beralasan dengan hadits yang memerintahkan berwudhu karena makan makanan yang disentuh api.” (Iblis)


Namun pendapat mereka ini, dijawab oleh jumhur (mayoritas) ulama, sebagaimana dipaparkan Imam An Nawawi berikut:

وَأَجَابُوا عَنْ حَدِيث الْوُضُوء مِمَّا مَسَّتْ النَّار بِجَوَابَيْنِ : أَحَدهمَا أَنَّهُ مَنْسُوخ بِحَدِيثِ جَابِر رَضِيَ اللَّه عَنْهُ قَالَ : كَانَ آخِر الْأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرْك الْوُضُوء مِمَّا مَسَّتْ النَّار ، وَهُوَ حَدِيث صَحِيح رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِيّ وَغَيْرهمَا مِنْ أَهْل السُّنَن بِأَسَانِيدِهِمْ الصَّحِيحَة ، وَالْجَوَاب الثَّانِي أَنَّ الْمُرَاد بِالْوُضُوءِ غَسْل الْفَم وَالْكَفَّيْنِ ، ثُمَّ إِنَّ هَذَا الْخِلَاف الَّذِي حَكَيْنَاهُ كَانَ فِي الصَّدْر الْأَوَّل ، ثُمَّ أَجْمَعَ الْعُلَمَاء بَعْد ذَلِكَ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجِب الْوُضُوء بِأَكْلِ مَا مَسَّتْهُ النَّار . وَاَللَّه أَعْلَم

“Tentang hadits perintah berwudhu karena makan makanan yang disentuh api, mereka memberikan dua jawaban:

Pertama. Hadits itu telah mansukh (dihapus) oleh hadits Jabir Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata: Akhir perkara dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah meninggalkan wudhu karena makan makanan yang disentuh api. Ini adalah hadits shahih. Diriwayatkan oleh Abu Daud, An Nasa’i, dan lainnya dari kalangan pengarang Sunan dengan sanad yang shahih.

Kedua. Maksud dengan wudhu dalam hadits ini adalah mencuci mulut dan kedua telapak tangannya.

Kemudian terjadilah perbedaan ini, yang telah kami ceritakan pada pembahasan awal, kemudian ulama ijma’ (aklamasi) setelah itu bahwa tidak wajibnya berwudhu karena makan makanan yang disentuh api.” Wallahu A’lam (Ibid)

Demikianlah sikap dan metode para ulama terhadap perbedaan antara perbuatan Rasulullah dan perkataannya.

Wallahu A’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar